Pages

Wednesday, January 26, 2011

Terror dan War on Terrorism

(tulisan ini sebagai rasa duka untuk serangan teroris di Bandara Domodedovo, Moskow)

Apa itu terorisme?


Kajian akademis tentang terorisme selalu berhadapan dengan kesulitan untuk mencari suatu definisi universal tentang terorisme. Masalah ini terungkap dengan baik dalam ungkapan “one person’s terrorist being another’s freedom fighter”[Andy wijayanto, Menangkal Terorisme Global, dalam buku kumpulan esai Terorisme yang diterbitkan oleh Imparsial, 2003. ].

Teror adalah fenomena yang cukup tua dalam sejarah. Menakut-nakuti, mengancam, memberi kejutan kekerasan, atau membunuh dengan maksud menyebarkan rasa takut adalah taktik-taktik yang sudah melekat dalam perjuangan kekuasaan, jauh sebelum hal-hal ini dinamai “teror” atau “terorisme”. Kata “assassin” mengacu pada gerakan dalam Perang Salib abad ke-11 Masehi.[F. Budi Hardiman, Terorisme: Paradigma dan Definisi, dalam buku kumpulan esai Terorisme yang diterbitkan oleh Imparsial, 2003] Kata “teror” masuk dalam kosakata politis baru pada Revolusi Prancis. Di akhir abad ke-19, awal abad ke-20, dan menjelang PD II, “terorisme” menjadi teknik perjuangan revolusi. Misalnya, dalam rezim Stalin pada 1930-an yang juga disebut “pemerintahan teror”. Di era perang dingin, “teror” dikaitkan dengan ancaman senjata nuklir[ Ibid, hal. 4].

Terorisme adalah fenomena dalam masyarakat demokratis dan liberal atau masyarakat yang menuju transisi ke sana [Ibid, hal. 5]. Kaum teroris memanfaatkan kebebasan yang tersedia dalam masyarakat itu. Di dalam negara totaliter atau otoriter, situasi ini relatif terkendali. Yang berlaku di sini adalah terorisme oleh negara.
Pada insiden 11 September 2001, teror mencapai dimensi barunya, bukan “sekadar” ingin menunjukkan sikap perlawanan atau menekan pada sebuah rezim, melainkan ingin memobilisasi sebuah konflik global dengan mengisi “kevakuman ideologis” yang ada sejak berakhirnya Perang Dingin. Skala gigantis dari teror ini ‘sukses’ memobilisasi opini politis global untuk mengarahkan pada antinomi “kawan” dan “lawan” pada skala global. Dan Al Qaeda adalah organisasi yang langsung menjadi target utama.

Terorisme termasuk dalam kekerasan politis (political violence), seperfti kerusuhan, pemberontakan, huru-hara, revolusi, perang saudara, gerilya dan pembantaian, dan sebagainya. Namun terorisme tidak selalu politis. Misalkan penyanderaan oleh seorang psikopat. Meski yang terakhir tidak masuk dalam kajian ini.

Terorisme politis memiliki karakteristik sebagai berikut [Ibid, hal. 4-5];
1. Merupakan intimidasi yang memaksa
2. Memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana untuk suatu tujuan tertentu
3. Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni “bunuh satu orang untuk menakut-nakuti seribu orang”
4. Target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, namun tujuannya adalah publisitas
5. Pesan aksi cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal
6. Para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras. Misalnya, “berjuang demi agama dan kemanusiaan”.

War on Terrorism
Wacana terorisme kini telah menjadi new security agenda[ Colin S. Gray, Another Bloody Century, pg. 145-6]. Krisis energi menjadi ancaman nyata pada masa depan, harus dimenangkan melalui proyek baru bernama war on terrorism. Sudah menjadi rahasia umum bahwa intervensi AS ke Irak tahun 1991 dan 2003 serta ke Afghanistan tahun 2001 juga memiliki agenda terselebung (hidden agenda) yaitu mengamankan kebutuhan energi minyak bumi. Tindakan AS yang dengan cepat merespons aksi intervensi Irak ke Kuwait Agustus 1990 dengan membentuk pasukan multinasional dengan segera dapat dilihat sebagai upaya untuk mengamankan sumber daya minyak bumi di Kuwait yang menjadi andalan utama pasokan energi ke negara-negara Barat.

Bukti lain, serangan AS ke Afghanistan yang dikenal sebegai Operation Enduring Freedom secara formal memang dilakukan untuk melaksanakan strategi war on terrorism paska tragedi 9/11. Namun di balik serangan tersebut sebenarnya AS juga memiliki agenda untuk menguasai wilayah Afghanistan yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan jalur pipa minyak dari Laut Kaspia.

Konsep keamanan energi (Energy Security) adalah pisau analisis yang mampu mengiris persoalan proyek war on terrorism. Keamanan energi adalah upaya untuk mengantisipasi krisis energi guna menunjang poses industrialisasi diikuti dengan peningkatan kapabilitas militer dalam kerangka pelaksanaan strategi keamanan nasional maupun internasional kemudian dilakukan dengan mengerahkan kekuatan militer untuk mengamankan pasokan energi khususnya minyak bumi dan mencari sumber-sumber energi baru.

Pengerahan kekuatan militer inilah yang kemudian mengaitkan masalah krisis energi dengan keamanan global. Terlebih ketika upaya untuk menemukan sumber-sumber baru energi minyak bumi dilakukan dalam bentuk persaingan atau kompetisi dengan menggunakan kekuatan militer maka di satu titik akan menciptakan konflik terbuka. Gejala jelas tercermin di kawasan Kaspia dimana pada masa mendatang kawasan tersebut akan menjadi The New Great Game antara tiga negara yang memang sangat bergantung pada pasokan energi dalam jumlah besar yaitu AS, Rusia dan China.

Kondisi konflik di kawasan Kaspia pada gilirannya akan berpengaruh pada kondisi keamanan global di masa mendatang yang akan lebih diwarnai dengan perang memperebutkan sumber-sumber energi baru[ Nurani Chandrawati, ‘Dampak Krisis Energi terhadap Keamanan Global’].

Upaya AS didukung oleh kekuatan militernya ingin terus mempertahankan hegemoni mereka atas sumber daya energi. George Walker Bush melalui proyek perang melawan teror menurut George Junus Aditjondro adalah sebuah siasat untuk membenarkan perang AS dan pendudukan atas Afganistan. Tujuan utamanya belum tentu untuk menangkap Osama bin Laden, yang telah secara ekstra yudisial dituduh mendalangi serangan terhadap WTC Twin Towers. Agenda yang sebenarnya menyerang Afghanistan untuk menggantikan rezim Taliban dengan yang lain, yang bersedia melakukan kontrak dengan sebuah perusahaan AS untuk membangun pipa gas Kazakhstan-Pakistan, di pegunungan Afghanistan dan gurun[ George Junus Aditjondro dalam “Neoliberalism, Human Rights Violations, and Poverty in Indonesia].

Kebijakan AS untuk menggunakan kekuatan militer dalam mengamankan pasokan energi juga akan membawa dampak yang cukup luas terhadap situasi keamanan global pada abad ke-21. Sejak Pemerintahan George W Bush, Pemerintah Amerika Serikat melelui Wakil Presidennya Dick Chenney dihadapan para pelaku bisnis pada Mei 2001 telah mendeklarasikan bahwa keamanan pasokan energi menjadi prioritas dari kebijakan perdagangan dan politik luar negeri AS.

AS sepenuhnya menyadari ketergantungan terhadap pasokan minyak dari negara-negara OPEC khususnya Saudi Arabia dan Venezuela akan semakin sulit karena adanya masalah domestik[ Ibid]. Terutama bagi negara-negara Barat paska tragedi 11 September 2001 yang menghadapi tantangan munculnya gerakan anti Barat terutama di kawasan Timur Tengah sehingga akan menyulitkan negara-negara tersebut terutama AS untuk mempertahankan eksplorasi minyaknya di Saudi Arabia. Karena itulah Wilayah Laut Kaspia akhirnya menjadi salah satu sasaran pengamanan pasokan energi AS karena diperkirakan pada tahun 2015 Laut Kaspia akan menyumbang 5-8% dari produksi minyak dunia[ Ibid ].

Dengan kekayaan kandungan minyak yang menempati posisi nomor tiga terbesar setelah Saudi Arabia dan kawasan Teluk Persia, maka Laut Kaspia dengan segera menjadi “surga” eksplorasi bagi sejumlah besar Perusahaan Minyak Ternama Dunia seperti Amoco, Chevron, Exxon dan Mobil Oil dari AS kemudian British Petroleum, Royal Dutch/Shell, Elf Aqutaine France, Agip Italy, Stat Oil Norway, Bridas Argentina, Lukoil Rusia, dan China Petroleum Company. Diperkirakan sampai sampai tahun 2010 nilai investasi untuk eksplorasi minyak di laut Kaspia akan mencapai 50 milyar US Dollar[ Ibid.].

Tuesday, January 25, 2011

TUNDUK PADA REZIM MORAL

Oleh Ahmad Junaidi dan Daniel Awigra


Sejak jatuhnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 dan dimulainya sebuah masa yang disebut era reformasi, media massa tumbuh pesat. Puluhan bahkan ratusan media cetak baru terbit dengan fokus liputan beragam mulai dari politik, ekonomi, sampai dengan ulasan seputar seks dan seksualitas. Namun, setelah beberapa tahun era reformasi berjalan, banyak media cetak mulai berhenti terbit seiring dengan ketatnya persaingan antar media. Umumnya koran, tabloid dan majalah yang tidak dapat bertahan adalah mereka yang mengkhususkan perhatiannya pada bidang politik dan eknomi, seperti tabloid Detak, koran Monitor, majalah Prospek, majalah Tiras, Majalah DR, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Tetapi, sejumlah koran, tabloid dan majalah baik baru maupun lama yang mengkhususkan pada pembaca dewasa dengan liputan dan tampilan gambar-gambar seronok serta kata-kata yang mengeplorasi seksualitas mampu bertahan sampai saat ini. Media cetak yang terbit sebelum era reformasi dan menjadikan pembaca dewasa sebagai targetnya yang masih hidup, misalnya majalah Popular, sementara media yang baru muncul pada awal reformasi dengan penyajian seputar seks dan seksualitas baik melalui gambar dan kata adalah tabloid Pop, Bos, dan Koran Lampu Merah.

Tabloid dan koran yang disebut terakhir ini mentargetkan pembaca dari kelas ekonomi bawah, sementara itu, baru-baru ini terbit majalah waralaba (franchise) luar negeri yang juga mengulas persoalan yang sama dengan target pembaca kalangan menengah atas, seperti Maxim dan For Him Magazine.

Sudah agak lama dunia pers dianggap bukan lagi institusi yang bermodalkan “idealisme” semata, melainkan sebuah industri. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang juga pada masa awal kemerdekaan penerbitan pers lebih banyak disemangati idealisme nasionalis dan keinginan untuk merdeka. Beberapa tokoh nasional banyak yang berasal dari dunia pers atau pun mereka yang banyak menuliskan pikiran-pikirannya melalui media cetak, misalnya Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohamad Hatta atau Wakil Presiden Adam Malik. Seiring dengan peningkatan ekonomi, pada masa 1980-an, persaingan antar pers semakin kuat. Grup-grup pers yang besar, seperti Kompas, Tempo, Jawa Pos dan lain-lain semakin memperluas usahanya. Dengan berjalannya Reformasi, persaingan di antara media cetak juga semakin tajam, banyak media cetak, koran dan tabloid, tidak dapat terbit karena, di antaranya, kurangnya dukungan dana selain permasalahan manajemen.

Persaingan antara pers bukanlah semata didasarkan perbedaan idealisme semata, melainkan juga untuk memperluas pasar pembaca. Sebagai sebuah industri, pers mencari pasar-pasar tertentu yang mendatangkan keuntungan, diantaranya dengan mengekploitasi seksualitas, terutama perempuan.

Pencarian keuntungan menemukan pasarnya yakni masyarakat pembaca yang masih kental nilai-nilai patriarkinya di mana perempuan selalu dalam posisi yang termajinalkan. Seksualitas menjadi barang dagangan kepada masyarakt pembaca yang cenderung mengangap perempuan masih sebagai obyek dan properti. Alasan-alasan tersebut diatas diantaranya dipakai untuk memahami mengapa pers, media cetak dan elektronik yang mengeksploitasi seksualitas perempuan masih bertahan hingga kini.

Banyaknya penerbitan media-media cetak "dewasa" yakni media yang mengeksploitasi seks dan seksualitas tersebut bukannya tanpa membawa masalah karena sebagian masyarakat memprotes keberadaannya. Bahkan di awal reformasi ini, berawal dari keberatan masyarakat, Pemimpin Redaksi majalah Matra N. Riantiarno sempat diadili dan dihukum percobaan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena dianggap bersalah dengan penampilan yang agak terbuka dari beberapa artis terkenal ibukota dalam sampul majalah tersebut. Banyak pihak membela Riantiarno dan mengecam pengadilan karena memasung kebebasan ekspresi/seni yang ditampilkan Matra dalam sampul majalahnya.

Perdebatan seputar kebebasan ekspresi dan pornografi dalam masyarakat, termasuk pers, sejauh ini belum menemukan titik temu. Dalam diskursus tersebut tampak adanya keberagaman tentang apa yang dimaksud dengan kebebasan ekspresi dan batasan dari pornografi. Sebagian masyarakat melihat pornografi dan erotisme dapat membawa dampak merusak tatanan moral. Sementara sebagian yang lain, termasuk sebagian pers, berharap RUU nantinya tidak menjadi alat untuk mengekang kebebasan ekspressi/seni dan menghukum pers dan tentu saja kepentingan ekonomi pers menjadi tertutup atau merugi.

Banyak penelitian dan laporan ilmiah menyimpulkan bahwa media massa, media cetak dan elektronik, membawa bias-bias tertentu berkenaan dengan pemberitaan seputar perempuan. Bahasa jurnalisme media massa di Indonesia masih mencerminkan budaya patriarki. Perempuan masih dianggap sebagai properti. Ia dinilai dan dieksploitasi lebih banyak dari bentuk tubuhnya daripada pikiranya.

Sedikitnya jurnalis perempuan daripada jurnalis laki-laki dianggap juga menciptakan bias-bias dalam pemberitaan. Perbedaan jumlah wartawan perempuan dan laki-laki berdampak pada hasil karya junalistik mereka. Penelitian atas beberapa koran di Indonesia, menunjukkan korelasi antara sedikitnya jumlah wartawan perempuan dengan "mutu" berita yang dihasilkan yang sering membawa bias-bias tertentu, seperti nilai-nilai patriarki dan merendahkan perempuan.

Namun, selain sedikitnya jurnalis perempuan, rendahnya perspektif gender di antara jurnalis juga dipercaya menyumbang pada terbentuknya berita-berita atau artikel yang bias gender atau bias laki-laki. Hal ini dikerenakan masih kuatnya budaya patriarki dalam masyarakat, termasuk di dalam pers.

Selain itu, media massa memang diakui bukanlah sebagai sebuah lembaga yang netral. Media massa, menurut Murdoch dan Golding (Suryandaru: 2000) masuk dalam tarik-menarik kepentingan ekonomi dan politik. Dalam masyarakat kapitalis, media massa memiliki kedudukan yang penting dalam kaitannya dengan hegemoni. Oleh karenanya, media akan selalu menjadi ajang pertarungan kepentingan ekonomi dan politik.

Menurut Resse dan Shoemaker (Suryandaru: 2000), pertarungan kepentingan ini dimulai saat disiapkan sebuah berita sampai tahap akhir. Menurut keduanya, proses pertarungan dapat dibagi dalam beberapa tahap: individual, rutin, organisasi, eksternal dan idiologis. Pada tahap individual wartawan atau reporter berperan besar dalam pembentukan agenda sebuah berita. Bagian mana dari sebuah berita akan ditulis dan bagian mana yang tidak akan tergantung pada jurnalisnya. Tahap rutin, seperti rapat redaksi, menunjukkan peran redaktur atau editor dalam pembentukan sebuah berita. Pada banyak kasus, apa yang ditulis reporter sangat tergantung dengan petunjuk redakturnya. Selain kedua tahap tersebut diatas peran organisasi sangat berperan terhadap pembentukan sebuah berita. Organisasi media sebagai sebuah industri juga berperan dalam konstruksi sebuah berita. Sementara itu pengaruh eksternal, seperti sumber berita, pemasang iklan, pelanggan, kontrol pemerintah, pasar dan teknologi ,juga berperan dalam pembentukan sebuah berita. Konstruksi berita juga dipengaruhi faktor idiologis yang masuk melalui kekuasan dengan berbagai aturannya.

Rendahnya kualitas jurnalisme yang dipengaruhi budaya patriarki serta sedikitnya jurnalis perempuan dipercaya menyumbang pada hasil karya jurnalistik yang merendahkan perempuan.

Penggambaran perempuan di dalam media massa masih mencerminkan sterotipe-stereotipe tertentu: seperti perempuan yang baik adalah perempuan yang bisa membagi waktu antara parir dan keluarga, ibu rumah tangga yang mampu mendorong suami hingga sukses. Wanita lajang dan janda hampir selalu mendapatkan penggambaran buruk dalam media.

Suciwati, istri mendiang pejuang HAM Munir, misalnya, menolak wawancara sebuah stasiun televisi dan majalah wanita karena dia diminta menangis di depan kamera dan sang wartawan akan bertanya bagaimana dia mengasuh anaknya sepeninggal suaminya.
Sering kita membaca berita tentang pemerkosaan yang menyudutkan korban. Misalnya, dengan menyatakan perbuatan kriminal itu terjadi karena korban mengenakan busana mini. Penggunaan, seperti “menggagahi”, dll, menunjukkan bias gender dalam penulisan berita. Contoh lain, misalnya jurnalis mewawancari narasumber perempuan dengan pertanyaan, “Apakah ibu sudah mendapat ijin suami?”, “Bagaimana ibu membagi waktu antara karir dan rumah tangga,” dan seterusnya.

Masih terkait dengan pertanyaan seputar kemampuan, jurnalis juga mempertanyakan kualitas calon legislatif perempuan. Dengan 11,6 % persen kursi DPR, perempuan anngota dewan berhasil membuat beberapa undang-undang yang berkualitas, termasuk UU KDRT, UU Kewarganegraan, UU Anti-Perdagangan Manusia dan terlibat dalam advokasi anggaran yang berpiahak pada rakyat. Sementara itu, 88,4 % persen laki-laki yang ada di DPR menghasilkan / berkontribusi besar dalam pembuatan beberapa UU yang dipandang menurun kualitasnya, diantaranya UU Pemilu. Semua anggota DPR yang ditahan KPK saat ini adalah laki-laki. Kualitas?

Dalam pemberitaan skandal video yang melibatkan penyanyi Nazriel Ilham atau yang dikenal dengan Ariel Peterpan, misalnya, ada pemberitaan televisi yang memberi komentar kehebatan Aril yang bisa berhubungan dengan banyak perempuan sementara Cut Tari yang terlihat dalam video bersama dengan sang vokalis diberi label sebagai perempuan nakal.

Pemberitaan dalam kasus skandal video seks itu juga terasa membawa nilai-nilai moral agama tertentu yang sangat bias dan tidak berpihak pada perempuan. Televisi, terutama program infotainment, memberitakan “habis-habisan” hal-hal privat yang samasekali tidak bersentuhan dengan kepentingan publik.

Perdebatan tubuh terus aktual hingga kini ketika media massa hadir menawarkan salah satu fungsi hiburan selain fungsi informasi, dan edukasi. Media massa (cetak, radio, televisi, dan e-media) adalah sarana utama penegakan demokrasi substansial. Saat ini media massa telah menjadi kekuatan keempat (the fourth estate), di luar kekuasaan eksekutif, legislatif dan judikatif.

Menurut Maria Hartiningsih, setelah Reformasi tahun 1998, fenomena yang terlihat semakin jelas adalah, perubahan media menjadi mediacracy (mediakrasi). Seperti birokrasi yang sangat potensial menjadi korup, media juga demikian. Bedanya, kalau yang satu terkait dengan uang (birokrasi), yang lain (media) terkait dengan reproduksi makna yang dihasilkan, baik lewat gambar, suara mau pun tulisan. Akibatnya, media juga berpotensi kehilangan fungsinya sebagai ‘penjaga demokrasi’, karena justru atas nama ‘demokrasi’, mereka dapat mengonstruksikan suatu peristiwa sesuai kepentingannya . Masih menurut Hartiningsih, kurangnya kepekaan dalam memahami relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan (gender) dalam kebijakan media telah membuat perempuan sebagai pihak yang selalu menjadi obyek, termasuk untuk meningkatkan promosi konsumtivisme. Perempuan menjadi sasaran utama kapitalisme yang masif dalam semua bentuknya. Bahasa dalam media cetak pun masih menempatkan perempuan sebagai pihak yang dipersalahkan.

Pekerja seks komersil adalah satu kelompok yang paling menjadi sasaran dari berbagai operasi, baik operasi Penyakit Masyarakat maupun operasi terkait ketertiban umum. Pemberitaan mengenai penggrebegan PSK tersebar di beberapa wilayah di Indonesia seperti Sumatra Selatan, Propinsi Riau, Sumatra Utara, Juga Jawa Timur.

Beberapa media memberitakan penggrebegan PSK dengan nada yang memihak pada sebuah dukungan terhadap penertiban ini. Beberpa kata yang provokatif dituliskan sebagai judul berita, misalnya: “PSK yang berkeliaran” atau “PSK bergentayangan”, “PSK di Jalinsum ibarat kentut”. Media daerah seringkali memuat hasil wawancara dengan petugas yang melaksanakan penggrebegan, wali kota, atau beberapa pejabat terkait. Namun sangat jarang media menampilkan wawancara mereka dengan PSK yang digrebeg atau ditangkap. Perempuan pekerja seks komersial diperkosa beberapa kali, termasuk oleh media.

Menurut Melanie Budianta, pemilihan kata dan konsep bahasa serta seluruh gaya pemberitaan yang melecehkan dan menjadikan peristiwa ini sebagai hal yang lucu adalah alat yang luar biasa tajam untuk melakukan perkosaan ganda, atau yang sering disebut sebagai second rape, atau bisa juga di sebut sebagai third/fourth rape karena sebelum “diperkosa” media massa, ia telah “diperkosa” oleh tim penyidik dan tim medis yang tak punya empati .

Media sering juga mengutip pendapat tokoh-tokoh agama, misalnya pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan politisi (laki-laki) berbasis agama dengan mengutip ayat-ayat kitab suci yang menyatakan kedudukan perempuan di bawah laki-laki. Laki-laki adalah pemimpin perempuan. Saat ini sudah banyak tokoh-tokoh agama, baik laki-laki dan perempuan, yang mengembangkan tafsir dan pemikiran yang sangat sensitive gender, misalnya mantan pembantu rector UIN Nasaruddin Umar (Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al Qur’an) atau KH Husein Muhammad (Fikih Perempuan).
“Kebiasaan” memakai narasumber dari kelompok fundamentalis berakibat semakin terpinggirkannya kelompok-kelompok marjinal, termasuk perempuan. “Kebiasaan” ini pada akhirnya merugikan media, misalnya, dengan keluarnya fatwa MUI yang mengharamkan program infotainment.

Media massa berperan penting dalam pembentukan opini publik. Media massa dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu, juga pesan-pesan dlam kaitannya dengan perempuan. Namun media massa juga merupakan cermin opini sebagian masyarakat. Liputan media sekaligus mencerminkan pandangan yang berkembang dalam masyarakat. Masyarakat yang sebagian besar masih patriarkis dengan nilai-nilai laki-laki yang dominan akan tergambar dalam liputan media massa yang hidup di dalamnya. Media massa adalah sebuah potret masyarakat dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Monday, January 17, 2011

PERANG MALVINAS


Klaim teritorial oleh negara bekas jajahan terhadap wilayah yang telah lama diyakini sebagai bagian dari bekas negara si penjajah bukanlah suatu isu baru yang melanda dunia politik internasional; salah satu contohnya dikenal dengan nama “Perang Malvinas/Falkland”.

Perang Malvinas/Falkland terjadi pada periode April - Juni 1982 akibat perselisihan antara Argentina dan Inggris dalam memperebutkan pulau Malvinas (sebutan bagi Argentina) atau Falkland (bagi Inggris) setelah perundingan yang alot selama bertahun-tahun dan mencapai puncaknya setelah kebuntuan perundingan diantara keduanya pada Februari 1982.

Kekecewaan pihak Argentina serta pengurangan kekuatan militer dan pengawasan Inggris atas Malvinas/Falkland memberikan kesempatan kepada Argentina untuk memikirkan langkah militer dalam mencapai tujuannya. Langkah pertama yang diambil oleh pihak Argentina untuk memulai konflik yaitu dengan mengibarkan bendera Argentina di South Georgia pada 19 Maret 1982 yang kemudian dilanjutkan dengan serangan ke Malvinas/Falkland Timur dan menduduki Port Stanley pada 2 April 1982. Selanjutnya sebagaimana diketahui, serangan Argentina ini dibalas Inggris dengan serangan yang lebih dasyat sampai akhirnya Malvinas/Falkland berhasil direbut kembali oleh Inggris.

Kepentingan Nasional Argentina
Perang Malvinas/Falkland mengusung kepentingan negara (politik prestise untuk memperbaiki dan meraih kehormatan nasional) sebagai alasan dilegalkannya keputusan untuk merebut kembali Malvinas/Falkland dari tangan Inggris melalui langkah militer setelah perundingan dengan Inggris mengenai masalah ini dianggap gagal. Namun apakah perang ini murni pecah karena alasan tersebut di atas?

Argentina menganut sistem pemerintahan otoriter yang berada di bawah komando junta militer, dimana keputusan politik dan kebijakan yang diambil terfokus pada kelompok militer yang berkuasa, yang dalam hal ini adalah presiden dan jenderal-jenderal militernya yang berperan sebagai pendukung serta tidak melalui pertimbangan perwakilan rakyat sehingga kemungkinan diambilnya keputusan irrational sangat besar. Namun, mengapa keputusan pengambilan langkah-langkah militer ini tidak diambil jauh sebelumnya? Padahal bila dilihat dari kondisi politik, sosial, dan ekonomi; kondisi Argentina pada masa presiden-presiden sebelumnya dibandingkan dengan masa pemerintahan Jenderal Galtieri tidak jauh berbeda bahkan kondisi Argentina jauh lebih buruk saat diambilnya keputusan untuk berperang. Apakah ada aktor yang berperan dibalik pecahnya perang Malvinas/Falkland ini?

Berdasarkan Teropong Kompas, 28 Mei 2007 disebutkan bahwa alasan umum penyerangan yang dilakukan oleh pihak Argentina dikarenakan adanya perasaan memiliki karena jarak yang dekat dengan wilayah utama Argentina dan juga dikarenakan pihaknya merasa sebagai pewaris kedaulatan pemerintah Spanyol di Malvinas/Falkland yang gagal mempertahankan wilayahnya pada 1810 sehingga Malvinas/Falkland dikuasai oleh Inggris. Namun di paragraf lain juga disebutkan bahwa sejumlah pihak melihat bahwa motivasi utama Argentina melancarkan perang ini adalah untuk mengalihkan ancaman terhadap rezim Jenderal Leopoldo Galtieri yang sedang mendapat tekanan dari berbagai penjuru karena dituduh melancarkan ”perang kotor”, dimana 15.000 sampai 30.000 rakyat sipil Argentina dibunuh atau hilang, selain karena ekonomi buruk.

Major Darren More dalam jurnalnya ”Rear Admiral Woodward : Political Influence During The Falkland War “ juga menyebutkan alasan serupa dimana ia beranggapan bahwa alasan Argentina memilih untuk berperang dilakukan untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah ekonomi dan politik dalam negeri yang semakin berkembang. Dari sini terlihat bahwa kepentingan politik penguasa sangat kental dalam pengambilan keputusan untuk berperang.

Serangan Argentina juga dilakukan karena perhitungan jarak antara Malvinas/Falkland - Argentina dan Malvinas/Falkland - Inggris. Jarak yang jauh antara Malvinas/Falkland – Inggris membuat Jenderal Galtieri yakin bahwa Inggris tidak akan bersusah payah untuk menanggapi pendudukan Malvinas/Falkland dengan kekuatan militer ditambah bahwa Malvinas/Falkland bukanlah daerah yang strategis bagi kepentingan Inggris karena posisi, kondisi, dan sumber daya alam yang tidak menguntungkan. Ditambah lagi kekuatan militer Inggris di Malvinas/Falkland telah mengendur.

Respon Inggris
Kemungkinan pendudukan Malvinas/Falkland oleh Argentina merupakan suatu hal yang diperkirakan oleh Inggris. Hal ini juga diutarakan oleh Major Darren More dalam jurnalnya menyebutkan bahwa berbagai komite pertahanan Inggris mengakui bahwa penyusutan kekuatan Inggris berarti bahwa Malvinas/Falkland tidak memiliki pertahanan sehingga akan sangat mudah bagi Argentina untuk menduduki Malvinas/Falkland dengan kekuatan militer. Dari situ dapat dilihat bahwa Inggris secara sadar menurunkan kekuatannya, namun kondisi dalam negeri Argentina sangatlah buruk dan ditambah kenyataan bahwa Inggris merupakan negara tujuan ekspor produk pertanian Argentina serta merupakan salah satu importir persenjataan militer Argentina, agaknya Inggris menganggap bahwa Argentina bukanlah sebuah ancaman yang berarti dan kemungkinan Argentina untuk merebut Malvinas/Falkland sangatlah kecil. Namun, perhitungan tersebut ternyata meleset.

Keputusan Inggris menanggapi serangan Argentina dengan serangan balasan menurut tidak bisa lepas dari andil Margareth Thatcher sebagai perdana menteri Inggris saat itu. Diplomasi tidak menjadi prioritas utama karena menganggap pendudukan itu merupakan pelanggaran keras terhadap kedaulatan Inggris dan pada saat itu pemerintahan Thatcher juga tengah mengalami penurunan popularitas di Inggris sehingga penggelaran kekuatan militer Inggris di Malvinas/Falkland merupakan kesempatan yang bagus bagi Thatcher untuk meningkatkan popularitasnya menjelang pemilihan umum di Inggris pada tahun 1983.

Ninok Leksono dalam Teropong Kompas menyebutkan bahwa Thatcher berusaha untuk membela hak kedaulatannya dengan menegaskan bahwa kedaulatan didasarkan pada hak penentuan nasib sendiri bagi warga Malvinas/Falkland yang beretnik Inggris. Namun disisi lain ia juga menyebutkan bahwa pada saat itu Inggris sedang memerlukan alat pemersatu ketika negara tersebut sedang dirundung kesulitan akibat kebijakan fiskal dan ekonomi pemerintahan Konservatif. Major Darren More sendiri dalam jurnalnya menyebutkan bahwa tindakan yang diambil oleh Inggris mencerminkan kegagalan politik dan diplomasi dalam penyelesaian perselisihan panjang dengan Argentina menyangkut Malvinas/Falkland dan pengiriman pasukan militer Inggris merupakan pengalihan perhatian publik terhadap kegagalan tersebut.

Pengaruh AS
Amerika Serikat merupakan tokoh lain yang ternyata cukup berperan dalam pecahnya perang Malvinas/Falkland. Argentina mengklaim bahwa AS tidak akan ikut campur dalam tindakan Argentina terhadap Malvinas/Falkland. Namun, perhitungan Argentina tersebut ternyata meleset. Amerika ternyata lebih memihak Inggris dan bahkan memberikan bantuan kepada Inggris dalam mengambil alih kembali Malvinas/Falkland dari tangan Argentina dalam bentuk intelijen dan material. Pengaruh AS terhadap organisasi negara-negara Amerika dan Amerika Latin yang pada dasarnya mendukung Argentina membuat anggota organisasi tidak bisa mengambil langkah konkret. Inggris juga mendapatkan dukungan dari masyarakat Eropa pada umumnya. Misalnya Perancis yang mengembargo senjata ke Argentina sehingga kemampuan militer Argentina terpangkas drastis. Hal tersebut jelas membuat Argentina yang berharap adanya persatuan sesama warga hemisfer (selatan) di pihak AS atau sekurang-kurangnya sikap netral sangat kecewa dengan tindakan AS.

Salah Perhutungan
Perang Malvinas/Falkland merupakan perang yang sarat dengan kepentingan politik penguasa. Namun perang ini tidak mungkin tercetus tanpa adanya kesempatan. Pengenduran kekuatan Inggris di Malvinas/Falkland memberikan kesempatan bagi pihak Argentina untuk melakukan pendudukan atas Malvinas/Falkland. Selain itu, pengaruh tokoh politik sangat berperan dalam pengambilan keputusan untuk berperang maupun keputusan lainnya yang menyangkut dengan konflik tersebut. Perang ini cukup irrational mengingat perbedaan kekuatan yang sangat mencolok diantara keduanya, dimana seharusnya Argentina tahu bahwa kecil sekali kemungkinan untuk menang melawan sebuah negara kolonial yang besar seperti Inggris. Hal ini tentunya dapat timbul karena adanya irrational actor yang berperan dalam pengambilan keputusan ini.

Kondisi ini oleh Jorge Luis Borges, seorang kolumnis Argentina digambarkan sebagai ”dua orang buta yang memperebutkan sisir”. Memperbutkan Falkland/Malvinas adalah sebuah bentuk representasi ego mengalahkan perhitungan-perhitungan rasionalitas. Konteksnya, Argentina pada zaman itu relatif sedang mensejajarkan dirinya dengan negara-negara Eropa, khususnya dalam bidang ekonomi. Dalam konteks itu, mengembalikan Malvinas adalah sebuah tindakan untuk meningkatkan harga diri bangsa.

Perang Malvinas/Falkland juga tercetus karena adanya kesalahan perhitungan dari pihak Argentina maupun pihak Inggris, serta adanya pengaruh AS pada keduanya. Pada akhirnya yang dirugikan bukan hanya pihak yang kalah tetapi juga pihak yang menang, namun yang diuntungkan adalah segelintir kecil tokoh-tokoh yang berada di balik peristiwa ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ninok Leksono.Teropong:Kenangan 25 Tahun Perang Malvinas.Senin, 28 Mei 2007. http://202.146.5.33/kompas-cetak/0705/28/teropong/3559326.htm
Major Darren Moore. Rear Admiral Woodward: Political Influences during the Falklands War. Australian Defence Form Journal: Journal of Profession of Arms.

Thursday, January 13, 2011

Yang Satu Ini

Untuk yang satu ini, 
Aku tidak mau seorang pun mengajariku
Apalagi memaksakan standarnya untukku

Dan menganggap aku sama dengannya


Untuk yang satu ini,
Tiada logika yang utama
Karena itu bukan urusan raga

Untuk yang satu ini,
Hanya tatapmu yang kurasa
Senyummu saja yang kupercaya
Dan hati adalah rajanya

Monday, January 10, 2011

Revolusi dari Jalan Raya

Lama aku sudah memperhatikan bahwa di Jakarta akhir-akhir ini, banyak terlihat angkot (angkutan kota) hilir-mudik tanpa penumpang alias kosong. Masalahnya bagiku menjadi sederhana, kredit motor murah dan banyak yang memberikan fasilitas kredit tanpa jaminan. Motor menjadi pilihan warga Jakarta menghidari kemacetan dan mempercepat perjalanan. Angkot pun berangsur-angsur ditinggalkan penumpangnya.  Termasuk aku.

Kemarin, aku sendiri ingin kembali naik angkot dan bus kota. Aku ingin menjumpai pengamen-pengamen terminal, ingin membaui keringat penumpang, mengamati para pedagang asongan lengkap dengan khas cara mereka menawarkan barang dagangannya. 

Bus kota ekonomi kunaiki. Aku duduk di bangku paling depan di dekat pintu masuk. Sebuah buku yang kubawa kucoba buka. Di sampingku, terdapat seorang laki-laki usia empat puluh tahunan. Dia membelli sebuah jeruk seharga seribu rupiah. Ketika dia menguliti jeruk itu, dia menawariku jeruk itu. Aku hanya menggeleng dan tersenyum. Kuputuskan untuk melanjutkan lagi membaca buku. 


Menaiki bus kota itu tidak sekadar mengantarkan aku ke sebuah kota di mana gadis batas senja berada, namun lebih dari itu bus kota itu telah mengajak aku berjalan-jalan kembali ke laluku. Buku yang kubaca menjadi semacam kertas kosong yang tak jelas susunan hurufnya. Anganku mulai berlari, menyusuri ruang-ruang nostalgia. Aku masih ingat persis perjalanan seperti ini dulu kulakukan hampir setiap hari. 

Tujuh tahunan yang lalu, perjalanan ini biasa-biasa saja. Bagiku dulu, bus kota adalah tempat pertaruhan peruntungan. Jika nasib baik bisa dapat tempat duduk atau tidak kena macet, jika sedang sial, terbaliklah semuanya. Dan tujuh tahun itu hampir mengubah segalanya. Kini, seolah saja 'nasib' para penumpang bus relatif sama. Mereka tiap hari harus menjalani laku tapa di jalan raya. Ada semacam kesialan tanpa henti. Jalanan macet tidak sekadar pagi atau sore hari saat orang sibuk berangkat atau pulang kerja. Pilihan keluar dari persoalan ini pun tidak diselesaikan secara bersama-sama oleh sesama warga penumpang bus. Meski tiap hari mereka -mungkin- bertemu di jalan, namun pertemuan itu tidaklah disertai dengan sapaan, rasa ingin mengenal dan lebih jauh lagi, ingin bekerja bersama. Sisi egois setiap penumpang dan mencurigai penumpang lain terkesan lebih mendominasi. 


Ketika masalah kemacetan itu menjadi semakin akut dan menimpa mereka bak persoalan banjir ibukota, mereka menunjukkan siapa dirinya dan keluarlah sifat aslinya. Memilih mencari jalan selamat bagi dirinya sendiri. Kolektivitas ditinggalkan. Rasa kebersamaan sebagai sesama penumpang membumbung bagai asap hitam dari lubang kenalpot bus kota. Jika memiliki uang lebih, mereka akan mencari kredit mobil, dan atau motor. Celakanya, jalan keluar ini adalah menjadi satu-satunya jalan yang diyakini bisa menyelamatkan persoalan transportasi masing-masing orang. 

Jika saja ada komunikasi dan forum antarpenumpang, bisa saja persoalan kemacetan di Jakarta bisa bersama-sama digugat. Solusi mencari moda angkutan massal bisa terus diserukan. Proyek monorail yang teronggok bisa kembali menjadi pusat perhatian. Dan kritik atas tarif toll yang terus meningkat bisa dilemparkan kepada perusahaan pengelola jasa jalan toll. Jalan bebas hambatan yang seharusnya menjadi solusi dari persoalan kemacetan, menjadi persoalan tambahan ketika jalan itu meningkatkan tarifnya dan tak ada bedanya dari jalan raya biasa. 


Jika ada forum antarpenumpang, pengguna jalan raya, bisa-bisa akan muncul satu demonstrasi massal untuk persoalan ini. Namun bisa saja bagi orang-orang yang sudah jengkel karena kesialan tanpa henti di jalan raya ia temui, apresiasi kemarahannya bisa bermacam-macam. Bisa jadi, gerbang-gerbang pintu toll akan dirusak atau bahkan dibakar massa. 

Rasanya, jika para penumpang atau pengguna jalan memiliki sedikit saja komunikasi antarsesama pengguna jalan, bisa-bisa revolusi untuk perbaikan Indonesia dimulai dari jalan raya. 

Aneh memang, sampai saat ini, tiada satu orang atau lembaga yang menggugat institusi pengelola jalan tol. Mekanisme hukum seperti class action sebenarnya pun bisa ditempuh. Mengapa hal ini tidak bisa dilakukan? Padahal, berapa ribu sarjana hukum tinggal di Jakarta? Berapa ribu aktivis sosial? Berapa juta pengguna jalan? Dan berapa triliun keuntungan yang telah masuk kantong para pengelola jalan toll? 

Anganku harus berhenti sampai di sini. Tempat yang kutuju sudah menyapa. Hanya dia yang tampak sama, baik rupa maupun sapa ramah orang-orangnya.   

Friday, January 7, 2011

Yes We Can

Dinamika hubungan internasional pasca perang dingin berakhir menjadi semakin rumit dipelajari. Konstalasi kekuatan internasional menjadi bahan studi banyak sekali ilmuan hubungan internasional. Francis Fukuyama menandai runtuhnya Uni Soviet sebagai “The End of History”. Persoalan-persoalan lama seolah belum terjawab, muncul persoalan baru yang tidak kalah kompleks, seperti: globalisasi, persoalan kerusakan lingkungan hidup, perubhan iklim, kelaparan, sampai persoalan terorisme global.

Fenomena perebutan ‘tahta’ superpower juga menarik untuk diikuti, mulai dari bersatunya UE, kebangkitan China, tumbangnya G-8, sampai munculnya fenomena kuda hitam BRIC dalam sistem internasional bernama G-20. Pertanyaannya kemudian, apa wujud dari sistem internasional saat ini? Apakah uni polar atau multi polar? Benarkah AS pasca krisis finansial global tetap menjadi satu-satunya superpower? Dan siapa yang akan menjadi aktor berpengaruh dalam dalam kurun waktu 10 tahun mendatang?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja sudah banyak ahli yang mengulasnya melalui buku-buku maupun melalui kajian dalam jurnal-jurnal ilmiah. Namun pada kesempatan kali ini, kelompok 10 akan mencoba melakukan analisis siapa aktor yang akan memainkan peran penting dalam satu decade ke dapan.

Pemain lama seperti AS tetap menjadi pusat kajian, sementara pesaing-pesaing baru juga penting untuk diperhatikan dengan seksama. Menggunakan perspektif neorealisme serta menggunakan level analisis state, makalah ini akan mencoba membuat prediksi aktor yang akan menjadi kampiun pada satu dekade ke depan beserta analisisnya.

Headly Bull dalam The Great Power and International Order, konsep baru “super power” bagaimanapun tidak menambah apa-apa dari konsep yang lama “Great Power”. Adalah suatu kesalahan untuk mendefinisikan “kekuatan besar” / “super power” dengan posisi strategi kekuatan nuklir. Kemudian, siapa sebenarnya yang dapat dikatakan sebagai kekuatan besar sekarang?

Masih dalam The Great Power and International Order, kriteria pertama adalah perbandingan status; kedua adalah dengan memiliki kekuatan militer yang baik; ketiga kontribusi dari kekuatan besar  terhadap tatanan internasional beranjak dari fakta kekuatan yang tidak setara antara negara-negara yang membentuk sistem internasional. Keempat, karena negara tidak setara dalam kekuatan, isu internasional tertentu diselesaikan sebagai konsekuensi, keinginan dari negara tertentu (yang lemah) dapat dalam prakteknya ditinggalkan, dan kehendak/ keinginan dari negara (yang lebih kuat) dianggap sebagai isu yang sangat relevan. Kelima, ketidaksetaraan dalam bidang kekuatan negara telah mempunyai pengaruh, menyerdehanakan pola hubungan internasional, memastikan beberapa negara akan berjaya sedangkan yang lain akan redup, konflik tertentu akan membentuk motif politik internasional sedangkan yang lain akan terbenam.

Terakhir, kekuatan besar berkontribusi terhadap tatanan internasional dalam dua jalan: dengan cara mengelola hubungan yang satu dengan yang lain, dan dengan mengeksploitasi lebih besar dengan cara untuk mengalihkan tingkat arah pusat kepada urusan masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Kedua peran atau fungsi saling berhubungan dan sulit untuk memisahkan realitas sejarah, langkah dan kekuatan besar untuk mengatur hubungan antara satu dengan yang lain mengarah secara langsung untuk berusaha menyediakan arah pusat atau mengatur urusan masyarakat internasional sebagai keseluruhan.

I. Persepktif  Neorealisme

Neorealisme memandang keamanan internasional bersifat anarki karena memang struktur internasional yang terdiri atas negara-negara yang berdaulat, dan tidak ada pemerintahan dunia. Sehingga, neorealisme menekankan studinya pada struktur sistem dan distribusi kekuasaan. Karena lahir merevisi realisme klasik, neorealisme memandang aktor-aktor kurang begitu penting sebab struktur anarki inilah yang memaksa mereka beraksi dengan cara-cara tertentu. Struktur atau sistem internasional beserta efeknya, pada dasarnya adalah faktor utama yang menentukan tindakan.

Dalam buku Man, the State, and War, Kenneth Waltz mendefinisikan anarki sebagai sebuah kondisi atas kemungkinan untuk atau penyebab yang memungkinkan terjadinya perang, memperdebatkan bahwa “perang terjadi karena tidak ada yang mencegahnya”. Anarki mungkin bertahan karena negara-negara ingin mempertahankan sifatnya yang otonom. Hal ini yang pada akhirnya menjadikan kritik Alexander Wendt –seorang konstruktivisme– terhadap Waltz. Anarki menurut Wendt adalah apa yang negara-negara buat sendiri.

Waltz berpendapat perhatian mendasar negara-negara adalah keamanan dan kelangsungan hidup. Ia juga menganggap bahwa masalah utama konflik negara berkekuatan besar adalah perang, dan tugas utama hubungan internasional –di antara negara-negara berkekuatan besar– adalah perdamaian dan keamanan.

Fokus Waltz dalam neorealismenya adalah bagaimana menciptakan sistem atau mengoperasikan sistem. Berbeda dari Morgenthau yang banyak mengupas sifat alami manusia, khususnya pemimpin negara, Waltz memandang pemimpin negara adalah sekadar tawanan dari struktur sistem negara dan logika determinasinya yang memberikan petunjuk tentang apa yang harus mereka lakukan dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Argumen ini pada dasarnya merupakan teori determinis di mana strukturlah yang menentukan kebijakan.  

Fungsi Dasar Negara Sama

Bentuk dasar struktur hubungan internasional menurut Waltz adalah anarki yang tersebar di antara negara-negara. Negara-negara, serupa dalam semua fungsi dasarnya –disamping perbedaan budaya, ideologi, atau konstitusi, atau personal, mereka harus menjalankan tugas-tugas dasar yang sama. Semua negara harus mengumpulkan pajak, menjalankan kebijakan luar negeri, dan sebagainya.

Karena sifatnya yang sama-sama berdaulat, maka menurut Waltz, masing-masing Negara secara formal “sama terhadap yang lain. Tidak ada yang berhak memerintah, tak ada yang perlu dipatuhi”. Dalam hal ini, norma tentang kedaulatan negara seimbang. Bagi Waltz, semua negara adalah sederajat hanya dalam arti legal-formal. Mereka tidak sederajat, bahkan jauh berbeda dalam hal isi atau material.

Fungsi Negara dalam hubungan internasional adalah untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya, juga menjadi salah satu kajian Waltz. Bedanya, jika Morgenthau percaya bahwa para pemimpin negara merasa wajib melaksanakan kebijakan luar negerinya dengan mengacu pada petunjuk yang digariskan oleh kepentingan nasionalnya, maka hipotesis neorealisme Waltz berkata bahwa setiap pemimpin akan selalu melakukan hal itu secara otomatis.

Konstalasi Dunia Dilihat dari Power

Waltz dalam bukunya The Theory of International Politics (1979) memberikan penjelasan ilmiah tentang sistem politik internasional. Pendekatannya dipengaruhi oleh model ekonomi positivis. Teori terbaik dalam Hubungan Internasional menurut Waltz, memfokuskan dirinya pada struktur sistem, pada unit-unitnya yang saling berinteraksi, dan pada kesinambungan dan perubahan dalam sistem

Bagi Waltz, sistem internasional terdiri dari sejumlah kekuatan besar, setiap kekuatan itu mencari cara untuk tetap hidup. Dikarenakan sistem internasional bersifat anarki (tidak ada otoritas sentral yang melindungi suatu negara dari negara lain), setiap negara harus tetap survive dengan caranya masing-masing.

II. Analisis

Jika menggunakan pendekatan neorealist, maka konstalasi sistem internasional akan dilihat dari power. Untuk itu, bagaimana kemungkinan AS ataupun China  akan mengisi ruang yang sifatnya anarki tersebut.

AS - China

Naiknya Obama sebagai presiden ke-44 AS akan sangat mempengaruhi masa depan AS. Meski langsung mendapatkan hadiah nobel perdamaian, Obama pada saat yang sama harus menelan pil pahit pada awal karirnya sebagai Presiden AS - mewarisi dosa-dosa pendahulunya George W. Bush - karena Obama harus menyelesaikan morat-maritnya perekonomian AS pasca krisis financial global, pemulihan kemanan di Iraq, dan Afganistan, serta persoalan jaminan kesehatan sebagai pemenuhan janji kampanyenya.

AS sebagai Land of Hope, tentu saja memiliki sejarah panjang sebagai kampiun dunia. Pax Americana dapat terjadi dikarenakan oleh kuatnya ekonomi dan kekuatan militer Amerika Serikat, tetapi juga oleh beberapa pemikiran seperti: perdagangan bebas, Wilson liberalism, dan lembaga-lembaga multilateral.  Meski sedang mengalami krisis, kepemimpinan AS di Asia misalnya, diperoleh dari berbagai sumber, bukan hanya dari militer dan bantuan ekonomi, tetapi dari peran geoplitik AS. Alasan untuk menahan kehadiran AS di Asia karena hampir semua negara di Asia menerima Washington sebagai penjamin ketentraman di Asia. Berkembangnya negara-negara di Asia, bukan merupakan suatu ancaman bagi AS, tetapi merupakan sebuah opurtunitas.

Belum lagi jika dikaji bagaimana nasionalisme warga Negara AS yang kini sudah semakin mapan. Dalam bukunya  the Next American Nation, Michael Lind menjelaskan secara rinci tahap-tahap menuju sebuah bangsa besar bernama Amerika. Dimulai pertama dari sejarah nasional Anglo-American yang menempatkan kaum protestan di Amerika Utara sebagai homeland-nya; kedua, sejarah Euro-American adalah formasi baru kulit putih berkat percampuran antara orang-orang kulit putih Kristen hasil percampuran Anglo-American dan imigran dari Eropa. Metafora melting pot kerap digunakan dalam percampuran ini; ketiga adalah fase revolusi hak sipil yang dimotri oleh Martin Luther King Jr., tahun 1960-an. Serta kini, Lind menggambarkannya adalah transisi sebelum generasi keempat yakni fase liberal nationalism. Kemenangan perjuangan revolusi hak sipil menanggalkan konsep melting pot karena pemahaman baru bahwa AS seperti sebuah mozaik teridiri atas 5 ras; kulit putih, kulit hitam (African-Americans), Hispanik, Asian dan Kepulauan Pasifik, dan penduduk asli AS. Dengan naiknya Obama sebagai Presiden pertama berkulit hitam, hal ini dapat mendorong terjadinya matafor melting pot jilid II yang lebih dasyat karena akan menyatukan warga AS apa pun latarbelakang, warna kulit, dan status sosialnya. Namun, dengan kapasitas yang dimiliki Obama ini akankah mampu mengembalikan kekuatan AS sebagaimana sebelumnya? Ataukah China yang berikutnya akan menggantikan AS sebagai sebuah hegemon dunia?

Jawabannya belum diketahui secara pasti. Namun berdasarkan beberapa berita terakhir mengenai AS, meskipun saat ini AS tengah tertimpa krisis keuangan yang cukup parah, tampaknya AS sendiri enggan untuk mundur dari kancah kekuataan dunia dan mengakhiri hegemony-nya atas negara-negara lain di dunia.  Hal ini dapat terlihat dari keterlibatan AS di Irak dan Afganistan. Selain sibuk mengembalikan keadaan ekonominya, AS sendiri berusaha untuk tidak tidak terdominasi oleh China. Hal ini dapat dilihat dari sinyal-sinyal peringatan yang seringkali diberikan AS pada China maupun pengambilan sejumlah langkah yang dinilai dapat membendung kekuatan China, misalnya dengan memberikan sejumlah kritik pada China, menjalin kerjasama nuklir dengan India, segera memperbaiki kerjasama militer dengan Rusia setelah sempat terhembus kabar bahwa China akan menjalin kerjasama militer dengan Rusia, dan lainnya. Kemungkinan China menggantikan AS sendiri sampai saat ini masih diragukan oleh banyak pihak. Pei mengatakan bahwa China sedang mengarah pada pengambilalihan kedudukan Jepang sebagai negara ke dua terbesar di dunia tahun ini. Hal ini dikarenakan GDP Asia sendiri apabila dijumlahkan masih terpaut jauh apabila dibandingkan dengan AS. Antara China dan Jepang sendiri besaran GDP keduanya pada tahun 2008 hanya terpaut 0,26 triliun dolar AS, dimana GDP China sebesar 4,42 triliun dolar AS dan Jepang sebesar 4,68 triliun dolar AS. Pedapat ini didukung pula oleh komentar Yoshikami yang mengatakan meskipun China bersungguh-sungguh dalam menumbuhkan konsumsi internalnya, namun pastinya China masih bergantung pada perbaikan dalam konsumsi global yang dipimpin oleh AS. Yoshikami juga mengatakan bahwa laporan-laporan terkini memperkirakan bahwa AS akan bangkit kembali dari resesi.
 



U.S. GDP Gross Domestic Product Forecast
Billion US Dollars. Annual Rate Seasonally Adjusted.
Month
Date
Forecast
Value
0
Oct 2009
14,261.2
0
0
1
Nov 2009
14,261
45
101
2
Dec 2009
14,261
55
124
3
Jan 2010
14,221
63
140
4
Feb 2010
14,221
68
153
5
Mar 2010
14,221
73
163
6
Apr 2010
14,307
77
173
7
May 2010
14,307
81
181
8
Jun 2010
14,307
84
188
Updated Monday, November 30, 2009 , http://forecasts.org/gdp.htm

India
India adalah negara lainnya yang menderita dampak terkecil dari krisis keuangan global setelah China. Negara yang tidak diperhitungkan sebelumnya ini justru menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik meskipun dengan adanya krisis keuangan global. Dengan pertimbangan bahwa kekayaan adalah fondasi dari kekuatan militer, maka India merupakan salah satu negara yang mempunyai prospek yang cukup cerah ke depannya.


Per September 2009, ekonomi India tumbuh sebesar 7,9%, angka yang jauh dari perkiraan berbagai kalangan dan polling yang dilakukan oleh kantor berita Reuters, yakni sebesar 6,3%. Dalam dua dekade terakhir, ukuran kelas menengah telah meningkat empat kali lipat (hampir 250 juta orang), dan 1 persen dari orang miskin India telah melewati garis kemiskinan setiap tahunnya.  Pada saat yang sama, pertumbuhan penduduk telah melambat dari laju bersejarah 2,2 persen per tahun menjadi 1,7 persen saat ini,  yang berarti bahwa pertumbuhan telah membawa pendapatan per kapita besar keuntungan, dari $ 1.178 menjadi $ 3.051 (dalam hal paritas daya-beli) sejak tahun 1980.


Selain itu, sebagaimana China, India juga memiliki pola ekonomi yang unik, dimana India lebih bergantung pada pasar domestik daripada ekspor, konsumsi daripada investasi, servis daripada industri dan teknologi canggih daripada manufaktur berketerampilan rendah. Hal inilah yang menyebabkan kami berpikir bahwa India mungkin saja menjadi aktor selanjutnya yang akan muncul setelah Cina. Seperti halnya Balaam dan Veseth kemukakan bahwa idealnya, negara yang aman adalah negara yang paling kecil tingkat dependency-nya terhadap negara lain.


Namun sayangnya India pada saat ini masih terkendala pada masalah kemiskinan dan juga persebaran kemakmuran yang tidak merata sehingga jurang antara si kaya dan si miskin masih sangat tinggi. Ditambah lagi dengan jumlah penduduk yang besar, meskipun populasi merupakan salah satu sumber dari kekuatan, namun jumlah populasi yang besar dan miskin adalah masalah lain. Selain itu, agaknya India juga masih didominasi oleh AS sehingga jalan India untuk mendekati As agaknya masih sangat panjang.


III. Kesimpulan


Konstelasi dunia pasca menurunnya hegemoni AS tampak menunjukkan ke arah datangnya multipolaritas. Hal ini dapat dilihat dengan mulai munculnya negara-negara lainnya yang berjuang untuk menggantikan posisi AS sebagai hegemon dunia, antara lain China dan India. Namun, AS sendiri tampaknya tidak bersedia untuk mundur dan berjuang keras untuk mempertahankan posisinya. Berdasarkan data dan pendapat dari beberapa ahli diperkirakan bahwa AS akan kembali memegang kekuasaannya atas dunia meskipun akan terus dihambat oleh langkah negara lain yang mengincar kedudukan sebagai hegemon dunia. Namun, tampaknya pengaruh AS yang telah bercokol sekian lama agaknya memang sulit untuk dihilangkan dan AS sampai saat ini masih terus mempertahankan pengaruh tersebut atas negara-negara di dunia.


Naiknya Obama sebagai Presiden pertama berkulit hitam bukan tidak bisa dianggap sebelah mata. Jika Obama menjalankan kepemimpinan partisipatif dengan slogannya Yes, We Can berhasil mengajak semua pihak menuju keadilan, persamaan dan kesejahteraan akan semakin membuat proses menjadi Amerika sebagai satu bangsa besar.


AS memiliki seluruh elemen-elemen dasar dari kekuatan yang belum bisa disaingi oleh negara mana pun di dunia. Elemen-elemen itu antara lain; kekuatan militer, ekonomi, populasi, letak geografi, sumber daya alam, ideologi, sistem sosial dan politik, dan kemampuannya membuat diskursus publik.   (Vera Ariyani dan Awigra)

Daftar Pustaka
Alexander Wendt, Anarki adalah apa yang negara buat: konstruksi social terhadap kekuasaan politik
Minxin Pei, Think Again : Asia’s Rise,  “China Will Dominate Asia”, 2009.
Akhir 2009, China Diprediksi Gantikan Posisi Jepang, www.kompas.com
Michael A. yoshikami, Yoshikami : US and China – Mutual Dependency, www.cnbc.com
John J. Mearsheimer, Anarchy and the Struggle for Power, 2001.
Syamsul Ashar. Pertumbuhan ekonomi 2009 : Ekonomi India Tumbuh 7,9%, www.kontan.co.id
Gurcharan Das, India Model, http://www.foreignaffairs.com/.2006
Robert Jackson & Georg Sorensen, Introduction to International Relations, Oxford University Press, 1999
David n. Balaam, Michael Veseth, Introduction to International Political Economy,1996.

Thursday, January 6, 2011

A Military Buildup Phenomenon on East Asia: Indirect Balancing for “Self Help” System

by Daniel Awigra

East Asia is the most dynamic and fastest growing region[1]. As an economic promising region, East Asia still has a serious problem on its security aspect. The tension between Japan and China, Japan and North Korea, China and ASEAN’s countries on South China Sea, China and Taiwan still on the dynamic position; up and down. 

It was a very recent phenomenon a month ago in the East Asia. Two cases have been increased in the same time. Those cases are conflict between China and Japan on Senkoku islands (Japanese term) or Diaoyu islands (Chinese term), and the friction between China, Taiwan and four ASEAN members; Malaysia, Brunei, Vietnam, and Laos on Spartly and Paracel Islands. Both of two conflicts have the same similarity, that is, China as the most important actor and China has been increased it aggressively.

To Japan, China spread this conflict not only to territorial problems, but also to linkage to economic problem. China warns to limit mineral export to Japan and this warning made instability on the industrial based on technology society in Japan.

With the four ASEAN’s members, China has kept fight to claim that Spartly and Paracel islands are belong to China as China’s historical claim. And China didn’t want to solve this problem on ASEAN level. China wants to solve with bilaterally way. Those conflicts, by nature, ‘invite’ U.S to intervene. The United States also played a significant role in the Diaoyu/Senkaku territorial disputes between China and Japan, at least at the initial stages. Even the current US position regarding this dispute remains ambiguously neutral. The historical fact is that when the United States returned Okinawa to Japan in 1971, the Diaoyu/Senkaku islands were included in the package.[2]

China's primary claim has been that the Diaoyu/Senkaku islands are Chinese territory and should be returned. At the same time, Deng Xiaoping raised two points regarding this issue. First, he presented the idea of gua qi lai, meaning that the issue should be shelved for the time being, leaving it to future generations to resolve. Second, Deng suggested gongtong kaifa, which meant that China and Japan could develop the islands' natural resources jointly, thereby shelving the sovereignty dispute for the time being.[3]

From this phenomenon it can be read as the obstacles to those countries on making stability in East Asia. This is a very complex problem when the scholars want to explore much about East Asia.

Like a ‘paradox’, on the one hand, China and some countries (Japan, South Korea) have signed some agreements on economic, politic, and security with ASEAN, and especially China signed a Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea. It means that China is going to be an active actor on making stability in East Asia on building regional multilateral institutions that serve to regulate exchanges, develop norms, and create regional identity. However, on the other hands, some countries on the region have made the military build-up policy rapidly.

The questions are how to explain clearly this phenomenon in East Asia? Is this small incidents in East Asia are bound to effect the stability and security of the region? And how those countries face China?  This paper is trying to answer those questions.

China’s factor
On East Asia, almost every country is coming up with the military build-up project until 2050. Even though, China is the greatest power in this region. If we want to see the power distribution on East Asia, we can learn quickly from the historical side.

The historical background shows that during the Cold World’s era the real war happened in Asia (Korean’s and Vietnam’s war). North and South Korea are located in Northeast Asia, and Vietnam is located in Southeast Asia. Following what will happen in this regional level is a very challenging study. However, we have to see at least two important foundations: economy and security.

Both southeast and northeast Asia have different history after World War II. Southeast Asia countries have faced the common challenge during Cold War and they have made a new regional architecture forum, named ASEAN. However, Northeast Asia has failed to build any sub-regional institution; it has made somewhat more progress with broader institutions. Northeast Asia is still under the Cold War’s shadow. Northeast Asia still has North Korea nuclear crisis, Taiwan straits problem, and the competition between Japan and China.     

Besides, the raise of China is the most fantastic world’s phenomenon. In January 2006, the People’s Republic’s of China gross domestic product (GDP) exceeded that of Britain and France, making China the world’s fourth-largest economy. In December, it was announced that China replaced the United States as the world’s largest exporter of technology goods. Many experts predict that Chinese economy will be second to the United States by 2020, and possibly surpass it by 2050[4].

Meanwhile, China has achieved a spectacular economic performance since 1978 when China began its reforms and Open Door economic policy, sustaining high growth rates (even with the slowdown from 11-12 per cent to 7-8 per cent since 1998), and escaping the Asian economic crisis of 1997-98. This expansion has greatly increased China's influence in regional and global affairs[5].

The rise of China spread out its influences to Southeast Asia. China has made some meetings to prepare on joining economy cooperation between China and ASEAN. On 2000, China wanted to support ASEAN. Premier Zhu Rongji expressed his government’s intention to positively participate in the process of regional cooperation. In a separate meeting during the summit, he suggested the idea of free trade between China and ASEAN.

ASEAN
The rise of China from ASEAN’s perspective is the major factor to analyze the stability on East Asia. ASEAN contributes at least in two important aspects; consists of the building of ASEAN Economic Community (AEC) and ASEAN Regional Forum (ARF). AEC in 2015 has been signed by 10 ASEAN countries at the 13th ASEAN summit on November 2007 in Singapore. The purpose of AEC is to achieve regional economic integration so that ASEAN becomes a single market and production area. There are 5 pillars reinforcement performed from the economic side, which are; the free flow of goods, services, investment, skilled labor and more freely capital flows. All of these pillars are implemented gradually in accordance with the strategic schedule which has been agreed together. In general, since 2008 AEC has gradually liberalized each pillar. The stages are monitored by the ASEAN mechanism scorecard.

On the other hand, ARF has a vision; promoting peace and security through dialogue and cooperation in the Asia Pacific. It means ARF is ready and has a chance to cooperate with other countries in Pacific including Japan, South Korea and China.

ASEAN actually is still under the ‘shadow’ of U.S influences both on economic and security aspects. U.S has a close relationship in almost every ASEAN’s member. As the result, the if China will threat ASEAN, it is impossible if U.S keep silence.

China-U.S relationship 
The willingness of China to spread its influence (soft power) in Southeast Asia (ASEAN) could be seen as a light in the darkness for some ASEAN’s countries. China is starting to open its politic and economic foreign policy. And at least, for some ASEAN countries, it can be assumed that China needs ASEAN or at least, China will not become a threat. However, it will be different when we look at the U.S site.

Not just in economic aspect, China also strengthens its military buildup. China adopts an increasingly assertive stance on the regional stage; it will undoubtedly heighten perceptions of threat among policymakers in Washington. China has developed close economic relation with oil-rich countries such as Sudan, Iran and Venezuela which are viewed with strong suspicion by the United States. These relationships raise the potential for China’s geopolitical interests to clash with the United States[6]
 
China has a political plan to be a great power in the world. It means that it will be a challenge to U.S. The same interest for their energy security agenda in Balkan will make the bad tamper over both China and U.S. How to solve North Korea Nuclear crisis, and how to “manage” Southeast Asia are the other problems.
Mixin Pei argued, even though China has upgraded their military forces, but still, China’s forces only 1/3 from the U.S. “With the economic growth like this moments, it need 77 years latter to be equal with U.S gross domestic product”.

However, the fact is, deficit trading from U.S to China has made U.S changed its economic foreign policies. U.S also worried with the actual price of Yuan (China’s currency). China also bought U.S foreign exchange reserves $ 1,8 billion.

Therefore, if U.S. perceives China as a competitor; it may eschew minilateral forums in favor of broader cross-regional ones where China’s influence can be diluted. If, on the other hand, bilateral relationship between China and the U.S. get warmer Washington may play a larger role in creating and strengthening regional security organizations to share the burden with Beijing[7].

It’s could be read that China will challenge the status quo. As Evelyn Goh[8] said why East Asia has enjoyed the relative stability on post cold war? The answer is so simple, she said that it was just because the dynamics of the great powers. China didn’t want to challenge the status quo. Perhaps, from this new phenomenon (Diaoyu/Senkaku crisis), it could be read as the change of China’s position on East Asia.

Japan-U.S relationship
In general, both the United States and Japan view their alliance as the central point of their Asian policies. This position has been a clear landmark since 1945, the beginning of the American occupation of Japan, which was further confirmed in 1952 when the US-Japan Security Treaty was signed. According to Kenichi Ito, a Japanese professor of international relations, contemporary US-Japan relations can be divided into six stages: first, initial friendly relations (1853-19Q5); second, confrontation and conflict (1905-41); third, the war period (1941-45); fourth, the occupation period (1945-51); fifth, the Cold War alliance (1951-96); and finally, the post-Cold War alliance (1996-present)[9].

Northeast Asia has been dominated by U.S in Asia Pacific since 1950s (San Francisco System including Japan, South Korea, and US relationship). The failure of this system made Japan and South Korea built their economy and security by themselves. There are so many actions campaigning anti-US sentiment in South Korea and Japan.

When the problem on Diaoyu/Senkaku was rising up, it was easy for Japan to invite U.S to balance China. As the result, from this conflict, some Japanese people protested to their government to change the article 9, the so-called “peace clause” on Japanese constitution. Like Goh said, that Japan is doing indirect balancing against potential Chinese (or other aggressive) power by facilitating the continued U.S. security commitment to the region[10].

Japan is in the difficult position.  In general, both United States and Japan view their alliance as the central point of their Asian policies. This position has been a clear landmark since 1945, the beginning of American occupation of Japan, which was further confirmed in 1952 when the US-Japan Security Treaty was signed.

Japan-China relationship
Historical rivalries have helped to foster threat perceptions on both sides, inhibiting the formation of any robust security institution in Northeast Asia. Similarly, the relationship between India and Pakistan is the key to the sub regional order in South Asia, and more broadly its relationship with the rest of Asia[11].

The architecture
Evelyn Goh said East Asia has enjoyed relative peace after the Cold War when the great power like China has chosen not to be aggressive. This great power, however have also been influenced by the regional state actions. Goh, believed that the peace on East Asia can be found partly in great powers dynamics.
However, when China has willingness to grab the Senkoku/Daiyu islands and Startley and Paracel islands, it can be read as the change of power dynamic. Now, China is showing it aggressively. From this situation, the stability of East Asia is in danger. 

The rise of China has made some countries in East Asia need to have a good relationship with the other great power, such as United States. This is called by some scholar as the indirect balancing. But in the same time those countries also have made a mutual relationship to China. This is kind of ambiguity. On one hand, the countries need the security guarantee from US on facing China. However, on the other hand they did not want to let China as a single player as a great power in this region 

When China has shown the power, and there is asymmetric distribution of power on East Asia, it makes other countries except China doing “Self Help” system to protect their national interest. In other words, the stability on East Asia depends on every single actor on protecting their national interests. 

The making process of regionalism depends on three major actors (China, Japan, and the U.S) and its dynamics. Like Vinold mentioned that the rise of China and the resultant triangular relationship among the U.S, Japan, and China[12] is the major aspects to make regionalism in Asia.

The complex balance of power in this part of region does not allow a single pacesetter, thus motivating these major powers to consider sharing (and competing for) regional leadership and influence each other through minilateral economic and security forums, including the ASEAN Plus Three (APT), the East Asia Summit (EAS) and the Northeast Asian Cooperation Dialogue (NEACD).

Complex balancing is about deterrence, but it is combined with the more subtle aims of diluting, mediating, or rechanneling the military capabilities of potentially threatening powers, and persuading them to reassess their interests and thus policies[13].

Southeast Asian regional security strategies disregard the artificial boundaries between military, economic, and political power; ignore the simplistic distinction drawn between engagement and containment or balancing; and fundamentally challenge the assumption that the management of regional order is the business of big players. Complex balancing is to manage regional order rather than to bring about or to forestall a power transition. It is complemented by complex balancing, which is the Southeast Asian version of indirect balancing in bilateral or triangular relations, combined with a more ambitious aim of forging a regionwide balance of inºuence among the major powers using competitive institutionalization and diplomacy[14].

Conclusions
The conflict between China and Japan on Senkoku/Diaoyu islands (Chinese term), and the friction between China, Taiwan and four ASEAN members; Malaysia, Brunei, Vietnam, and Laos on Spartly and Paracel Islands are the sign that China has changed its international security policy.

The dynamics of the great powers in this case appear when China has increased its tamper aggressively and increased its military and defense budget. When China as the great power in East Asia increases its defense budget and being more aggressively, the other countries will follow what China did. This situation could be read by other countries as the real threat.

Like Japan and South Korea which has made closed relations with U.S, ASEAN countries are doing the same. Indirect balance is the way that they still believe on facing China. However, they didn’t want to let China be their enemy. So, the closeness between Japan, South Korea, and ASEAN with U.S could be read as a “self help” system for every country in order to achieve their national interests. 

The making process of the regionalism on East Asia will be damage if this conflict could not be reduced. It proofs to the world that realism as a very classic paradigm still exists to analyze the security phenomenon on East Asia. The liberalism concept perhaps exists on the institutionalism on East Asia. However, almost countries also increase their military and defense budget.

The point is for what purpose they have increased their military and defense budget on military build-up project? The answer is to increase the bargaining positions of every country. This bargaining position will be appearing on every meeting during the making process of East Asia to a regionalism.

The dynamics process between China-U.S relations, China-Japan relations, China-ASEAN relations, and the U.S-ASEAN relations are the key to make stability on East Asia. ASEAN and Japan as non nuclear country have to have a guarantee from the other great power. US as the best choice, however, India could be the other option.

On Southeast Asia, especially to ASEAN, the closeness with U.S is not about balancing China and it is not about bandwagoning process. However, the prosess of making the complex balance here in order to achieve the national interest. This complexity, by nature is like the self help on anarchical system.



[1] From 1980-2003, East Asia’s average annual GDP growth was an impressive 9.2% compared to 5.9% for the rest of the world. See: Denis Hew, Economic Integration in East Asia
[2] Quansheng Zhao, The Shift of Power Distribution, Journal of Strategic Studies, 2009. pg. 63
[3] Ibid
[4] Mixin Pei, The Dark Side of China’s Rise. http://www.carnegieendowment.org/publications/index.cfm?fa=view&id=18110
[5] Ibid. pg 50
[6] Vinold K Arggarwal, Asia’s New Institutional Architecture, pg. 84
[7] Vinold, ibid. pg 295
[8] Great Powers and Hierarchical Order in Southeast Asia, pg. 113
[9] Quansheng Zao, The shift in power distribution and the change of major power relations, on Journal on Strategi Study. pg. 58
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid. pg 296
[13] Ibid. pg 146
[14] Ibid. 154