Pages

Thursday, August 4, 2011

Rakyat Papua Menuntut Referendum

Ribuan rakyat Papua membanjiri Abepura, Jayapura, berunjuk rasa damai menuntut referéndum kembali, Selasa (2/8). Aksi tersebut juga sebagai bentuk dukungan terhadap pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi 62 pengacara ternama di London, Inggris, yang pada hari yang sama yang membahas soal Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atas nasib rakyat Papua bergabung dengan NKRI. Masalah Perpera di Papua tahun 1969 akan ditinjau ulang dan akan digugat legitimasinya di Mahkamah internasional.


Bergabungnya Papua ke dalam Republik Indonesia menurut Prof. P.J Drooglever dalam bukunya, Daad van Vrije Keuze, de Papuans van Westelijk Nieuw Guinea, en de grenzen van het Zelfbeschichtings recht, adalah suatu kecelakaan sejarah atau rekayasa dari proses persiapan sampai pelaksanaan Act of free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).

Drooglever menyebut, Sekjen PBB waktu itu U.Thant dari Birma, dalam laporan akhirnya kepada Majelis Umum PBB, menyimpulkan, Pepera yang berlangsung 1969 itu, adalah Penentuan Pendapat Rakyat. Dijelaskan, sebetulnya dalam perjanjian New York 15 Agustus 1962 diputuskan suatu proses plebisit, namun belakangan, diubah menjadi "the Act of Free Choice" yakni hak untuk menentukan nasib sendiri orang Papua.

Masalahnya, kalangan pejabat PBB yang ditugaskan mengawas Pepera, khususnya Ortiz Sans merasa sangat meragukan tentang seberapa jauh sebenarnya "the Act of Free Choice" itu benar-benar bisa dilakukan oleh penguasa Indonesia. Dengan kata lain, apakah pelaksanaannya benar-benar sesuai dengan asas-asas yang diakui dunia internasional. Ortiz dan juga U. Thant mengambil kesimpulan, terdapat keberatan yang serius dari masyarakat internasional.

Bagi Drooglever, Pepera adalah suatu peristiwa historis dalam konteks Perang Dingin, 1962-1969. Di mana, sebuah konspirasi politik tingkat tinggi yang melibatkan Amerika dan Indonesia, untuk mengamankan rencana Jakarta, memenangkan Act of Free Choice, demi kepentingan Indonesia.
Perlahan-lahan, persoalan keabsahan hasil Pepera digugat kembali dan debat akan klaim kebenaran sejarah mulai dipersoalkan secara gambalng setelah terkubur selama 42 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, rakyat Papua dengan terpaksa harus menelan pil pahit, karena janji untuk berdaulat sebagai negara merdeka, telah berubah menjadi tragedi kemanusiaan.

Memang, Pemerintah Pusat telah memberlakuan status Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001. Namun, pelaksanaan Otsus juga dinilai gagal oleh berbagi elemen masyarakat di Papua. Eksploitasi kekayaan alam Papua sama sekali tidak dibarengi dengan upaya pemerataan hasil-hasilnya oleh Pemerintah Pusat di Jakarta, khususnya sejak masa pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto. Sehingga, rakyat Papua mengalami keterbelakangan dalam semua aspek kehidupan. Mirisnya adalah, pemerintah pusat membiarkan ketidakadilan ini terus-menerus berlangsung, sampai sekarang!

Sudah banyak cerita ketika rakyat Papua yang mulai membangun kepercayaan diri dan mengkritisi serta mempertanyakan nasibnya kepada Pemerintah Pusat. Namun, tuntutan mereka dijawab dengan pendekatan represi militer. Satu label dilekatkan erat-erat kepada para penuntut keadilan itu dengan sebutan; kaum separatis. Pemerintah khususnya lewat institusi militernya justru memusuhi rakyatnya sendiri, dan bukan melindungi dan melayani rakyatnya. Berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terjadi oleh oknum militer di Papua. Situasi ini tentu menambah berat posisi Indonesia jika benar kasus ini akan diajukan ke Mahkamah Internasional.

Foto: http://freewestpapua.files.wordpress.com/2010/07/west-papua-demo-jayapura.jpg