Pages

Tuesday, November 18, 2008

Paradoks Kejujuran


Kuhabiskan malam yang tinggal sepotong ini dengan lamunan
Ternyata ada sesuatu yang tertinggal
Akibat sebuah ketidakpekaan dan kebodohan
Luka sudah tergores pada hatinya

Ternyata ada yang salah dengan sebuah kejujuran
Dan itu tejadi dalam sebuah hubungan cinta antara dua anak manusia di atas dunia
Padahal, semua itu kulakukan demi dan atas nama cinta itu sendiri
Pil pahit tertelan sudah
Sehari tanpa kata sayang darinya

Siapa yang bisa menduga badai bisa datang

Aku sudah mencoba menjelaskan sebisaku
Namun yang terjadi justru dia semakin menyalahkan perasaannya sendiri
Tidak sayang... Kamu benar!

Maka berlalulah cerita tentang sebuah kejujuran
Yang ternyata membawa sebuah luka
Walau demikian kejujuran tetap menjadi pegangan utama
Dan aku sama sekali tidak mengutukinya
Kar'na masalahnya tidak sesederhana itu

Ada sebuah tumbukan
Ketika aku khilaf menempatkan diriku
Dan sedang goblok karena sempat menangkap masa lalu
Yang tiba-tiba saja datang menyergap
Perasaannya yang halus tajam mensuk tepat ke jantung permasalahan
Yang membuat aku hanya bisa menangis

dan hanya bisa terus berucap

Maafkan aku
Marahlah padaku

Jakarta, 18 November 2008

Anggaplah ini sebuah ujian tuk cinta kita
Dengan doa teriring semoga kita bisa melewati ini semua
Aku tidak mau menyerah dan pada akhirnya kita berpisah
Aku mau dia tetap di sini sekarang
Juga dengan esok hari dan lusa serta selama-lamanya

Wednesday, October 29, 2008

How Can



Kutinggalkan ruangan yang dari sanalah aku mulai mengenal dia. Seorang dengan raut wajah lembut berisi. Dia yang lebih banyak diam namun tak jarang tersenyum. Kutinggalkan ruangan yang kelewat panas itu dengan langkah berat tertahan. Sesorang di pojok ruangan lantai dua tempatku bekerja itulah yang memperberat ayunan langkahku. Dia yang mampu memacu detak jantungku. Membelah dan mengacau laju lamuananku. Seorang gadis yang akhirnya kutahu berasal dari negeri batas senja.

Kaki yang lain akhirnya menutup langkahku. Meninggalkan gadis batas senja seorang diri. Aku pergi untuk sebuah perjalanan melintas benua. Sebuah perziarahan. Kalau mengikuti terminologi seorang temanku, ziarah adalah misi untuk satu tujuan tertentu. Fokus. Dalam bahasa Jawa, kata ziarah diurai menjadi siji sing diarah (satu yang dituju).

Sama seperti yang lain, aku pun menyiapkan berbagai bekal untuk keperluan perziarahan itu sendiri. Sebuah carier memuat sleeping bag, 10 potong kaos, 4 celana panjang, dan lain-lain, sebuah backpack untuk membawa laptop dan beberapa buku, serta tas pinggang untuk menyimpan passport, dompet, handphone dan radio fm. Selain itu, aku sengaja mempersiapkan batin menjelang pemberangkatan bersama dengan 100 orang muda lainnya. Dalam doa semuanya kubungkus.

Pesawat air bus pun menderu, berlari kencang di atas landasan pacu meninggalkan Jakarta sewaktu senja. Kutinggalkan juga luka-luka. Kuhempaskan lara. Kubuang segala emosi dalam pekatnya kegelapan bayang-bayang masa laluku. Sesuatu yang menjadi duniaku saat itu. Suatu ilusi semu dan tak mungkin akan menjadi nyata. Karena dusta telah meraja. Kasih sudah ternoda.

Aku menganggap, pergi meninggalkan kotaku menuju sebuah benua yang belum pernah aku ketahui sebelunya untuk sebuah perziarahan adalah sebuah simbolisasi dari transformasi kehidupan pribadiku. Meninggalkan yang lama dan memulai sesuatu dan semangat yang baru.

Dari jendela pesawat Garuda dari Denpasar menuju Sydney, 12 Juli 2008, tepatnya di atas samudra hindia, kuputuskan untuk membuat satu intensi khusus dalam perziarhan rohaniku. Gadis batas senja muncul perlahan dari balik awan tepat pada saat aku membayangkannya. Langkahnya tenang saat dia berjalan. Tinggi semampai badannya. Putih-kuning bekilau-kilauan kulitnya. Lembut tutur sapa keluar dari bibir ranum merah yang selalu basah. Damai dan sendu pembawaannya. Dia datang membawa sebuah senyum dan sebongkah cerita. Cerita tentang sebuah kebahagiaan dan harapan. Kebimbangan dan kekeuhan. Cinta dan derita.

Kutuliskan surat ini di atas sehelai kertas yang nanti akan aku salin ketika aku tiba di penginapan. Aku menulis ketika Sydney sedang mendung kelabu. Sama seperti suasana hatiku. Entah mengapa.

Aku sedang dirundung perasaanku sendiri. Walau di tengah lautan berjuta umat manusia dari seluruh penjuru dunia, yang kurasakan adalah aku ingin bersamamu. Melewatkan waktu berdua, berbicara dari hati ke hati. Bukan dalam suasana kerja.

Aku saat ini sedang berada di Bangaroo. Tepat di depan kanal besar yang ditata modern. Apik. Layar televisi raksasa menunjukkan gambar Sri Paus yang baru saja datang ke Sydney. Gegap gempita disambut histeris muda-mudi yang terbakar emosi. Ada 5 helikopter setidaknya yang bisa aku saksikan. Ada beberapa kapal perang, dan pengamanan ekstra ketat untuk menjaga orang nomor satu di Gereja Katolik saat ini.
Mereka menerapkan zero tolerance untuk kesalahan. Semua terpagari. Rapi.
Lautan orang berbondong datang ke sini untuk bertemu langsung dengan Sri Paus. Tapi aneh rasanya. Aku merasa justru sebaliknya. Hatiku ingin pulang dan menemuimu. Mataku ingin mengamatimu lebih dan lebih lagi. Karena ketika bersamamu sungguh merasa menemukan sesorang yang sungguh aku percaya mampu membuat aku bahagia menjalani hidup di dunia. Membuat aku merasa dunia ini sungguh sangat damai dan tenang. Cinta itu begitu nyata rasanya. Lembut.

Waktu itu, aku ingat benar, kamu menaruh perhatian yang utuh terhadap kamu.. Tidak tahu apakah kamu menyadari atau tidak... Di awal-awal kedatangan kamu ke kantor, itulah saat aku mengamati kamu. Jujur, yang mengamati itu bukan sekadar mataku, melainkan hatiku....

Aku merasakan hatiku bernyanyi. Meluap. Ingin rasanya berkenalan dengan hatimu. Masuk ke dalam pedalaman jiwamu.


Gadis batas senja adalah perempuan yang sesungguhnya baru kukenal. Yang entah mengapa, hatiku begitu tergerak kepadanya. Seperti besi yang tertarik sebuah magnet raksasa. Padahal, dia sendiri tidak berkata dan berbuat apa-apa kepadaku. Ada sesuatu yang berdesir membujukku untuk mendekatinya. Padahal, beberapa orang telah menghapiriku sebelunya. Banyak juga yang sudah mengirimkan signal-signal tertentu yang tertangkap oleh antena hatiku. Tapi semuanya itu tidak ada yang gilang-gemilang Gadis Batas Senja.

Pilihan pun akhirnya jatuh ketika rasa berselingkuh dengan logika dan mereka bercumbu dalam pagutan asa. Kedamain begitu nyata terasa. Mesra. Dan gadis batas senja menjadi intensi tersendiri dalam perziarahanku.

Kala malam dingin menyergap. Dan mataku tiada bisa terpejam dalam sunyi. Hasratku membara dan terus saja semakin meninggi. Seribu asa memanggilku. Sejuta harap menyapaku. Di arena pacuan kuda Randwick yang disulap menjadi bumi perkemahan untuk sebuah vigil night dini hari 20 Juli 2008. Di antara lautan orang muda dari seluruh penjuru dunia. Dihadapan Bendictus XVI, penerus tahta Petrus. Aku bangkit berdiri. Menyalakan sebuah lilin. Aku merinding. Kutemukan makna perziarahanku. Gadis Batas Senja itu sendirilah ke sana segalanya bermuara. Dialah satu-satu yang aku tuju. Dia sendirilah sang PEZIARAHAN-ku selanjutnya.

***


Dia selalu barertanya kepadaku, “… how can, kamu bisa sayang sama aku?”. Aku sendiri tidak tahu kalimat apa yang tepat untuk melukis sebuah perasaan yang sudah tertinggal di belakang. Jawabanku kepadanya selalu saja berubah-ubah. Karena perasaan waktu itu, sekarang sudah jauh bertumbuh dan berkembang. Aku sulit mengingat-ingatnya.

Seandainya waktu bisa berbalik, ingin aku sejenak untuk kembali. Bernostalgia dengan perasaan itu pertama menghinggapiku. Lewat tulisan ini, semoga tanya itu sedikit terungkap. Menyibak beberapa sangsi. Untaian aksara ini kubuat dengan perasaan yang berbicara dengan perasaan-perasaan lain yang sedang terus merasa.


***

Jalan Bangka III No 1,
27 Oktober 2008 pukul 04.13 WIB
Khusus untuk dia….

Monday, October 13, 2008

Sekalian Aja



Kuta tersenyum lebar melihat aku kembali ke sana. Menggenapi janji yang sudah lama kusauhkan. Janji untuk berkunjung dengan secauk kebahagiaan yang tak lain adalah sejumput perubahan dalam hidupku. Kala terakhir aku ke pantai ini, aku adalah seorang yang penuh dengan lamunan. Dan Kuta mengahmpiriku. Menawarkan secercah keceriaan. Lewat ramai para pengunjungnya, ramah penduduk lokalnya, lewat arak Bali yang kupesan dari seorang sopir yang sekarang entah apa kabarnya.

Ketika mendapatiku dengan air muka yang sedikit berbinar, muka Kuta merah merona. Membara ceria. Sapa selamat datang terdengar berdesir-desir seperti nyanyian sesorang pujangga yang sedang jatuh cinta. Pasir putihnya menyambut kaki telanjangku ramah dan lembut terasa. Bergulung-gulung ombak mengatakan berjuta cerita dari beribu manusia di penjuru dunia.

Kuhargai usahanya menjelaskan sesuatu kepadaku. Pasir pantai berantakan yang dipaksa dikeruk oleh sejumlah orang yang akan menggelar event akbar perhelatan dunia olahraga pantai minggu depan, DJ-DJ café dengan penampilan eksotiknya siap memutar musik-musik asing pada malam panjang ini yang akan menggeser kidung-kidung alam, kisah peselancar yang patah hati ditinggal ombak tercintanya yang lari entah ke mana. Dan masih banyak lagi cerita yang dia sampaikan. Kadang aku tertawa geli, dan sesekali memasang muka masam.

Kupesan barang sebotol kecil bir bintang seharga Rp 15.000,- dari penjaja minuman pinggir pantai. Dan kini dimintanya aku untuk giliran bercerita. Kepadanya, kuceritakan tentang kisah seorang yang sudah dua bulan lewat selalu menjadi lakon dalam mimpi malam-malamku.

Sang surya tampak tertahan. Malas terlihat ia meneruskan pulang menuju peraduannya. Ia masih ingin mendengarkan ceritaku. Aku tak tega melihatnya. Kuucapkan selamat jalan dan sampai berjumpa esok kepadanya. Dan ia pun mengedipkan matanya kepadaku. Karena sesaat sebelumnya, kujanjikan akan tetap menceritkan ini kepadanya lewat sebuah tulisan.

Aku mulai bercerita dengan memilih kata-kata “pada suatu ketika” sebagai pengantar. Kata-kata yang dipakai oleh tukang-tukang cerita dalam dongeng para leluhur.
Pada suatu ketika, saat kakak sulungku sedang merayakan 29 tahun kelahirannya. Waktu itu, aku berada di tengah perjalanan menuju Puputan Badung, Denpasar untuk sebuah pekerjaan advokasi sebuah kebijakan publik. Langkahku sejenak tertahan. Handphone bergetar.

Aku mendapat pesan singkat elektronik dari seseorang gadis dari negeri batas senja. Dalam pesan singkat itu, tertulis “…. menghapus semuanya”. Aku tidak tahu benar apa maksud kata-kata itu. Aku balas pesan itu dan menanayakan kepada gadis dari batas senja itu apa maksud dari kata-kata, “menghapuskan semuanya”.

Gadis batas senja adalah manusia pencinta. Manusia yang dalam setiap tarikan nafas, detak jantung, dan setiap detik waktunya diberikan seluruhnya kepada sesorang yang sungguh dicintainya. Barang siapa yang bisa mendapatkan cinta dari gadis batas senja, berbahagialah dia hidup di dunia. Sampai saat ini, tak satu pun orang mampu menaklukan hati dan cintanya.

Orang tak banyak tahu akan cerita tentang perburuan mendapatkan gadis dari batas senja. Karena di dunia ini sekarang meluap dengan berjuta cerita tanpa makna. Cerita itu sendiri kutemukan dalam sebuah perjalanan ketika aku kembali menyeberang sungai perasaan. Tempat di mana hati sanubari bernyanyi dan menangis. Ruang di mana sukma meraja. Tempat di mana kata hati bisa ditemukan.

Sayangnya, tempat itu kini kadang terasa sangat jauh. Karena menuju tempat itu adalah sesuatu yang sudah tidak lagi menarik dan juga tidak mudah bagi kebanyakan orang-orang, setidaknya yang ada di sekelilingku. Karena, tuntuntan hidup begitu menyiksa. Berat.

Handphone-ku kembali bergetar. Kulihat jam tanganku menunjuk angka 12.47 WITA. Tepat ketika terik matari Bali memabakar hangus kulit ariku, kutemukan jawabannya dari manusia pencinta itu, gadis dari batas senja;

“Karena aku akhirnya memutuskan untuk maju, move on bersama kamu. Ya, seperti yang di blog kemarin, aku juga nggak tahu apa pilihan aku benar/nggak, tapi kalau nggak dicoba ya nggak akan tahu, daripada setengah-setengah, mending sekalian aja”.

Yah… sejujurnya hanya cerita yang belum rampung inilah yang ingin aku sampaikan kepada mega-mega, laut-laut, pasir-pasir, deru ombak, kicau burung, dan kepada sepotong sunset. Cerita tentang gadis batas senja, seorang manusia pencinta yang akhirnya memutuskan untuk maju bersama aku. Walau dia sebenarnya masih bimbang. Apakah benar atau salah pilihannya, maju dan move on bersama aku. Yah, bersama aku.

Aku sungguh sadar, cerita ini yang belum ada tanda titiknya, belum berakhir dan seperti sesuatu yang masih terbuka di bagian ujungnya. Berjuta kemungkinan menghadang di depan sana. Sama persis dengan apa yang dituliskannya, tanpa dicoba tiada tahu cerita akhirnya. Tetapi yang patut digarisbawahi adalah, ucapannya di bagaian ini; daripada setengah-setengah, mendingan SEKALIAN AJA.

***
khusus untuk kebersamaan selama 59 hari bersama gadis batas senja

Thursday, September 18, 2008

KERINDUAN


Akhirnya, aku dipenuhi kerinduan yang amat sangat. Meluap. Membuncah. Membangkitkan gairah... Baru empat hari rasanya tidak bertemu kamu... Kerinduan bukan lagi sekadar kata-kata. Tetapi sungguh sangat nyata... Aku bisa merasakannya...

Sebuah perasaan yang mengikuti setiap tarikan nafasku. Mengintip malam-malamku. Menarikku mendekat, dan mendekat. Masuk ke dalam kamu. Menggerakkan hati dan jiwa untuk bertemu. Tak peduli terhalang ruang dan waktu...

Aku merindukanmu. Seperti anak ayam yang kehilangan sang induk. Mengiyak-iyak. Berlari tak tentu arah. Galau...

Dari sana sungguh aku sadar. Bahwa dirimu sudah menjadi bagian dariku. Ada sesuatu yang hilang ketika kamu 'tiada'. Dan dari sanalah sedikit aku bisa merasakan bagaimana kesedihan Sang Bunda yang mengharap pulang anak-anaknya.

Untuk pacarku...

Wednesday, September 10, 2008

Bulan Jingga

Langit malam diterangi sepotong rembulan utuh yang sedang mendaki perlahan di timur sana. Warnanya jingga merona. Lembut sinarnya meluruh memendarkan aura. Menjadi semacam pelita utama ketika aku dan gadis batas senja hanyut di atas laju roda[1].

Dia memelukku dari belakang. Mendekatkan wajahnya dan mengecupkan bibir lembutnya ke pipi kiriku. Kutangkap cahaya kebahagiaan membias dari ujung mata sipitnya. Kemudian membisikkan sebaris kata-kata.

“Aku sayang kamu,” katanya pelan.

Ucapannya halus menyentuh sukma. Membangunkan jiwa yang sekejap terlelap dalam dekap asmara. Kalimat itu meluncur setelah aku sebelumnya menegaskan niat untuk terus memperjuangkan bisikan naluriku. Pergi menuju ke sebuah tempat baru bersamanya.

Aku utuh menyadari hal itu bukan perjalanan yang mudah. Jurang perbedaan antara aku dan dia lebar menganga dan siap menelan kapan saja. Sementara, aku dan dia hanya meniti di atas sebuah pijakan. Sesuatu yang banyak orang sebut dengan istilah cinta.

Kepadaku, dia mengaku samasekali tidak memiliki semacam pegangan dalam meniti perjalanan ke sebuah tempat baru itu. Hanya kesungguhanku saja untuk terus mau berjuang mendapatakannya-lah menjadi satu-satunya tongkat penyangga langkahnya. Malam itu ketika rembulan meraja, kunyatakan kembali kesungguhanku. Dia menghadiahi aku lagi, sebuah kecupan di pipi kiriku. Lembut.

Sore hari sebelumnya. Hari di mana aku menghadap kedua orangtuanya. Mereka mengajakku pergi ke sebuah tebing di mana di sanalah awal mula cerita ini tercipta. Cerita tentang hikayat cinta yang kata orang bijak mampu datang untuk mengoyak perbedaan. Sesuatu yang selalu memiliki dua sisi sekaligus. Bahagia dan derita.

Lelaki paruh baya itu membentangkan gambar jurang perbedaan antara aku dan anak bungsunya. Perbedaan agama, Budha dan Katolik. Cina dan Jawa. Serta 8 tahun rentang usiaku dan usianya.

“Tiada maksud untuk menghalang-halangi. Apalagi di saat kalian jatuh cinta. Semua terlihat baik-baik saja. Semua indah. Tapi masalah itu akan datang. Nanti,” sambung mamanya lugas mengingatkan.

“Kami berbicara seperti ini karena kami mengalami. Sakit rasanya setiap kali misa saya selalu duduk di pojok gereja paling belakang. Karena apa? Karena malu tidak pernah menerima sakramen maha kudus komuni. Perkawinan beda agama tanpa melalui pemberkatan dalam gereja katolik masih dilihat sebagai zinah. Itu setahu saya. Saya sudah tanya ke beberapa pastor. Semua tidak bisa menjawab. Apa saya zinah? Mereka hanya menjawab masih ada kesempatan Bapak bisa menerima komuni. Bukan itu pertanyaan saya. Apakah saya zinah?” cerita papanya kepadaku getir.

Dari paparannya, hampir tiada sedikit pun jembatan untukku dapat menyeberang menuju suatu tempat yang baru yang selalu kuimpikan itu. Semua terjal berbatu. Keras dan curam. Ular-ular berbisa siap berjaga di bawah sana. Nada bicara kepala keluarga itu pelan namun keras berisi. Menyimpan sebuah pengalaman pahit pada masa lalu. Yang dia tidak ingin putri tercintanya mengecapnya lagi.

“Cukup. Cukup papa saja,” katanya nyeri walau tak terungkap.

Sepotong kalimat yang keluar dari mulutku hanyalah ucapan terima kasih. Terima kasih untuk mau berbagi pengalaman kepada yang muda. Segetir apa pun pengalaman itu, kata orang, dialah pelajaran hidup paling berharga. Kuhargai sungguh permintaannya untuk mempertimbangkan kembali maksudku mendapatkan putrinya.

Mataku beradu pandang cukup lama dengan mata si ayah gadis batas senja. Kudapati kesan dia sangat menyayangiku juga. Dia juga tidak ingin aku masuk dalam putaran roda masalah hanya berrotasi naik-turun pada porosnya. Dia memperingatkan aku untuk berpikir dua kali. Sebelum semuanya menggelinding lolos begitu saja.

Aku pun mengangguk penuh. Ketegangan berangsur reda. Kemudian, mereka mengajakku untuk pergi makan malam bersama. Di pingir kali Cisadane di sebuah resto sea food. Dua ikan bawal goreng dan bakar dihidangkan dengan cah kangkung serta tahu-tempe.

Makan malam pun dimulai. Aku saja yang meminta izin untuk sekadar menemani. Karena aku sudah penuh. Kenyang. Aku melihat gadis batas senja tak begitu berselera makan. Entah kenapa. Syukur tidak dengan yang lain.

Kuhabiskan segelas es jeruk. Masih kurasakan suasana hati di antara aku dan orangtuanya yang belum sepenuhnya mencair seperti es jeruk yang kuminum ini. Kuputuskan untuk undur diri dan pamit. Diberinya aku kesempatan oleh kedua orangtua itu ditemani putri bungsungya untuk sekadar berpamitan.

Bulan jingga kulihat masih merona. Ketika angin kota desir menyapa, dia memelukku dari belakang. Damai terasa menjadi begitu nyata. Kubahas lagi saat aku menghadap kedua orangtuanya. Seraya kusepuh niat untuk mengajaknya pergi ke sebuah tempat baru. Walau harus terjun ke dalam palung yang tak berdasar.

“Aku tidak ingin menjadi bagian cerita buruk tentang cinta itu,” kata dia kepadaku.

“Oke. Tapi apakah kamu tidak mau berusaha menjadi bagian dari cerita manis tentang cinta? Saya yakin, kita diberi anugrah untuk bisa dalam bahasaku memanggul salib ini,” tegasku.

“Apakah kamu kamu optimis?” tanya Putri Cina beragama Budha itu.

“Ya. Justru kitalah orang yang berbahagia karena dianggap layak menyelesaikan tugas ini di dunia. Aku akan menjemputmu!”

Inilah awal mula sebuah cerita. Cerita perjuangan demi sesuatu yang banyak orang sebut sebagai cinta. Sekali lagi demi dan atas nama cinta itu sendiri. Semoga tak ada lagi cinta yang terhalang oleh apa pun di muka bumi ini NANTINYA.

***

Bulan jingga merona saat lagu Hari Merdeka-nya H. Mutahar dan Indonesia Raya berkumandang di mana-mana. Hari kelima kita…

Antara Tangerang sampai Jakarta, 17 Agustus 2008

[1] Dari syair lagunya KLA project berjudul Tentang Kita.

Tuesday, September 2, 2008

Burung Unta



Aku sering menjulukinya burung unta. Hahahaha... entah mengapa sebutan itu meluncur begitu saja ketika dia pertama kali menyandarkan mukanya di punggung kiriku.

Lewat media ini saya hanya ingin menunjukkan seperti apa burung unta itu.

Straight forward to the point!

Tuesday, August 5, 2008

MEMERAH SEPERTI BUAH PREM

La Pedrosa[1] mengajakku berlari menuju batas senja. Lajunya lincah menyelinap di antara mobil-mobil yang kehausan di sepanjang jalan menuju asa yang hendak kutautkan. Sementara, bayang-bayangku terus berpacu dengan kerinduanku. Kerinduan untuk menjemput impian yang hadir pada malam-malamku akhir-akhir ini.

Padahal, teknologi sepertinya sedang tidak berpihak padaku. Sesorang di sana susah sekali menghubungiku. SMS-nya tak pernah masuk. Mungkin sinyal jaringan telepon selulernya rusak. Tapi, begitu kutangkap sinyal hijau dari kedua orangtuanya, langsung kuputuskan untuk menemuinya. Saat itu juga. Satu jam lebih perjalanan, akhirnya sampai juga aku di depan rumahnya.

Aku melihat dia berdiri menungguku tepat di sudut pagar rumahnya. Sementara di sudut pagar mata sipitnya, sekilas kutangkap semburat sinar kebahagiaan. Ups, sebenatar… barangkali saja aku salah. Bisa jadi, cahaya itu adalah sinar keterkejutan melihat kenekatanku. Aku tak tahu.

Dia hanya menggunakan kaos putih dan bercelana pendek. Saat itu kali pertama aku melihat kakinya yang jenjang, mulus dan putih kekuning-kuningan. Sayang, mataku tidak bisa berlama-lama bermain di sana. Karena selangkah sebelum memasuki rumahnya, papanya telah menelanjangiku dengan pisau tatapannya. Orang petama di keluarga itu adalah sosok pendiam yang seperti memiliki semacam alat pendeteksi keamanan alami. Sebagai kepala keluarga, naluri melindunginya kurasakan kuat sekali.

“Sore..” kataku kepada lelaki paruh baya itu rendah sambil kujulurkan tanganku mengajak bersalaman. Dia tersenyum menerima sapa dan jabat tanganku. Aku langsung membayangkan dia mirip seorang samurái dalam novel-novel Jepang yang pernah kubaca. Pembawaannya tenang namun tak sedikit pun lepas sikap kewaspadaannya. Aku yakin, sifat pendiam lelaki itu mewaris dalam diri anak gadisnya yang sedang kugandrungi.

Sapaan serupa juga kulayangkan kepada mama dan kakak perempuannya. Mereka semua hangat menerimaku. Terutama mamanya. Aku mendapati kesan, tante –begitu aku menyapa ibu dua anak gadis itu, adalah seorang ibunda yang memiliki intuisi kuat dalam banyak hal. Dia kenal benar sifat anak-anaknya. Dia tahu persis sekarang anak bungsunya sedang jatuh cinta. Walau anaknya kerap berkata sebaliknya. Semoga saja tidak untuk ke depannya.

Ternyata, mamanya adalah orang yang mengundangku untuk menempuh perjalanan melewat batas senja ini. Mungkin, dia sekadar ingin mengetes keberanian sesorang yang sedang ‘mengganggu’ putrinya. Semua dilakukannya hanya untuk membahagiakan anaknya. Sama seperti kemuliaan ibu-ibu lain di seluruh semesta raya.

Aku sendiri merasa cukup bisa membawa diri. Tidak ada perasaan gugup sedikit pun. Bahkan, aku merasa samasekali tidak asing di tempat baru ini. Namun, dia – yang kini menjadi satu-satunya kebahagiaanku, justru berada pada posisi sebaliknya. Sebagai tuan rumah, dia sangat terlihat gugup. Ketika kupalingkan pandangku dan mengamati dia yang baru saja keluar kamar dan hendak berganti baju, entah mengapa, pipinya memerah seperti buah prem. Lucu sekali.

Sekilas kita beradu pandang. Dia hanya tersenyum dan langsung masuk kembali ke kamarnya. Tak lama sesudah itu, dia keluar dengan baju warna pastel hijau, jeans biru, membawa tas jinjing kain kecil putih bergaris biru, dan hanya bersandal. Cukup serasi –untuk mengatakan cantik sih sebenarnya.

“Tante, aku pinjem anak tante jalan-jalan ya… Aduh maaf, maksud aku, anak tante aku ajak jalan ya…” dan perempuan itu tertawa sembari menjawab, “Hati-hati saja di jalan!” Saat itu, sungguh aku merasa DITERIMA.

***

Tulisan ini adalah momen sesaat sebelum aku dan dia –jalan– untuk kedua kalinya….

¡Muchas gracias! Mi Diamante… y Su familia…

Kemang, 4 Agustus 2008



[1] Motor kesayanganku. Yamaha Jupiter tahun 2004 berplat nomor B 6524 NDG warna hitam. La Pedrosa, kuambil dari nama motornya Che Guevara.

Thursday, July 31, 2008

ST GEORGE TENGAH MALAM

Menyusur jalan St George setapak setelah keluar dari stasiun kereta api Central, Sydney, tiba-tiba anganku terantuk pada sebuah cerita tentang perayaan St. George seperti yang tertuang dalam novel Dracula-nya Bram Stocker. Di sana ditulis, “Ketika jam berbunyi pada tengah malam, semua yang jahat di dunia ini akan bebas merdeka.”
Rupanya, kebiasaan melamun dan mengkhayalkan hal-hal aneh terus saja membayang-bayangiku. Padahal, aku sedang berada di tempat baru. Aku sebagai orang asing di sini. Kuputuskan untuk menahan sejenak langkahku. Aku ingin mengisi isi batok kepala ini dengan hal-hal yang sifatnya nyata, guna menggeser bayang-bayang anganku yang sedang mengingat kembali cerita Dracula. Di tempat baru, seperti pesan Ibuku, haruslah selalu waspada.
Waktu itu senja datang lebih awal. Jam tanganku belum kuatur, jarumnya masih menunjuk angka 1. Padahal jam besar di atas stasiun Central sudah menunjuk angka 5. Kusandarkan punggungku pada salahsatu pilar tua. Kuhirup nafas dalam-dalam. Segar meraja kurasa.
Kuamati pemandangan baru. Lalu-lalang orang-orang yang baru saja pulang dari tempat kerja. Langkahnya panjang-panjang dan bergerak sangat cepat yang seketika mengusik kawanan burung-burung putih yang baru saja berkumpul. Mereka pun terbang berhamburan dan tak lama kemudian mereka berkumpul lagi. Entah apa yang sedang dibicarakan oleh burung-burung putih itu. Barangkali mereka sedang membicarakan aku. Orang asing dan baru di tempat mereka. Jarak kami hanya 2 meter. Kulihat senyum keramahan justru kudapati pada burung-burung putih itu. Kulempar pandangku sepanjang jalan St George. Kulihat di ujung sana banyak sekali pencakar-pencakar langit. Kugambar dan kupotret kota itu tegas dalam benakku.
Di tengah-tengah musim dingin, berlama-lama berdiri justru tidak membuatku merasa nyaman. Angin Benua Kanguru itu mampu menembus celah jaketku. Kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Darling Harbor guna menyelesaikan sebuah pekerjaan.
Setelah menanyakan arah terpendek menuju lokasi, kupacu langkahku bahkan melebihi mereka semua. Aku bukan saja berjalan sangat cepat, namun sudah hampir berlari. Tak terasa, hampir 1,5 kilometer telah kulalui.
Sydney Convention Center (SCC). Itulah gedung megah yang aku cari. Aku tidak langsung masuk ke dalam gedung itu. Aku menyempatkan diri mengisi perut ini di resto pinggir pelabuhan. Kupesan seporsi fish and chips. Kunikmati pemandangan pelabuhan itu sama seperti kunikmati hangatnya kentang goreng dicampur ikan. Kusantap pemandangan sepasang muda-mudi yang sedang larut dalam pergumulan frenchkiss-nya. Seorang perempuan yang hanyut dalam dekapan kekasihnya. Musisi jalanan yang sedang memainkan gitar ditemani topi hitam di bawahnya yang baru saja sedikit terisi oleh beberapa kepingan uang logam. Serta, dekorasi lingkaran partisi air yang membuat air-air itu berkejar-kejaran menuju bola besar di tengah-tengahnya. Semuanya ludes kutelan. Tanpa sempat kukunyah.
Kepada sepasang muda-mudi yang asik dalam pagutan asmaranya, jujur mataku terparkir cukup lama ke arahnya. Ketika kupejamkan kelopaknya, aku seperti melihat diriku sendiri hadir begitu nyata di sana. Tepat di bangku di mana pasangan itu berada sekarang. Yang tergambar di sebelahku adalah dia.
Seseorang yang sedang menjadi bayang-bayangku. Ke mana pun aku pergi ke sana pula ia mengikuti. Seseorang baru dalam hidupku. Yang kepadanyalah logika ini menjadi tak ada gunanya. Aku hanya bisa memanjatkan doa untuk memohon agar suatu saat bisa membawa dia ke tempat ini. Dan yang ingin kulakukan bersamanya adalah hal yang sama seperti yang dibuat oleh kedua pasangan itu.
“Tuhan, apakah itu berlebih?” doaku penuh dalam hati. Aku tahu, Tuhan langsung menjawab. Aku pun tersenyum sendiri. Kuselesaikan makanku, kubayar, dan aku bergegas ke SCC.
Media center berada di hall 2 SCC. Para volunteer sedang sibuk melayani banyaknya wartawan yang baru saja datang dari penjuru dunia. Terpaksa aku rela berjam-jam mengantri untuk kemudian dilayani.
Sepotong informasi akhirnya aku dapatkan. Walau tidak sebanding dengan usahaku mengejarnya, namun aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mereka saja belum siap dengan pertanyaan-pertanyaanku. Mereka baru akan aktif berkerja besok pagi. Beberapa di antara mereka menyarankan aku untuk datang lagi ke sini besok pagi ketika manajer mereka besok datang. Dan aku mengangguk saja.
Kutinggalkan SCC dan Darling Harbor. Di salah satu ruas jalan menuju jalan St George, kudapati informasi kereta paling akhir tengah malam. Tengah malam itu tenyata tinggal setengah jam lagi. Kupacu langkahku lebih cepat lagi dari tadi sore ketika aku datang ke sini.
Sebenarnya, bukan karena setengah jam itu aku berlari. Namun karena anganku telah kembali dirasuki lagi oleh cerita tentang perayaan St. George dan kata-kata, “Ketika jam berbunyi pada tengah malam, semua yang jahat di dunia ini akan bebas merdeka.”
Sejurus kemudian, kutinggalkan kota dengan kereta menuju Congcord West.
***
Aku tidaklah pergi sendiri melainkan bersama sahabat baruku, Patrick Owen. Dialah yang menunjukkan jalan St George kepadaku. Dan tentu saja untuk dia...
Sydney, 14 Juli 2008

Monday, July 28, 2008

MI DIAMANTE

Kugenggam tangannya yang selalu berasa dingin itu semakin kencang. Ketika temaram kota mulai menyelimuti puncak-puncak pegunungan jiwa. Dan saat metropolitan menunjukkan senyum keramahannya.

Dia membiarkan saja tanganku merajai jemarinya. Aliran darahku menghantarkan kehangatan perasaan yang ada di dalam hatiku. Dari sana harapan kulayangkan. Berjuta kasih kucurahkan. Dan sejumput benih cinta kusemai.

Dia tetap saja diam. Hanya tersenyum, tanpa berbicara. Kemudian, dia memberiku ide untuk meniup nyala lilin cair yang menghasi satu-satunya meja perayaan ulangtahunku. Aku menurut saja. Kutiup saja api yang seharusnya menjadi dekorasi itu. Sepotong harapan yang seharusnya kulayangkan sebelum meniup nyala lilin cair itu tidak sempat terucap. Dia tampak senang, aku pun demikian.

Dua buah ice cream kupesan. Menunggu kedatangannya, kupecahkan keheningan dengan menceritakan persoalan-persolan yang sedang menyumbat keceriaanku.

“Setidaknya ada dua masalah yang sedang menimpa aku saat ini. Pada saat aku genap 27 tahun,” kataku memulai. Aku sengaja tidak mencertakan detail persolannya. Aku buat beberapa analogi-analogi. Tidak gamblang benar. Tapi setidaknya, sedikit demi sedikit mulai kubuang cendawan masalah itu.

Dia mendengarkan dengan penuh. Beberapa kali saja dia tampak tersenyum sembari mungkin sedang menggambar masalahku dalam benaknya. Aku lanjutkan kembali ceritaku sampai ketika pelayan itu datang membawa gelas-gelas berisi ice cream yang terhias dengan strawbery, biskuit, dan coklat.

Cerita mulai tersapu begitu saja oleh dinginnya ice cream yang perlahan-lahan turun melewati celah kerongkongan dan mulai menyusup seluruh saluran makanku. Apalagi, ketika dia berbicara dan meyakinkan aku tentang pentingnya memberikan penghargaan kepada diriku sendiri, khusus hari ini. Beban masalahku seketika saja meleleh dan mencair bersama ice cream itu. Kugenggam kembali jemarinya lalu kukecup punggung tangannya.

Dia tidak mau menyebut memen ini sebagai kencan. Dia lebih suka menyebut ini sebagai sebuah jalan. Entah mengapa. Sudah sekitar satu bulan terakhir ini aku mulai bermain dengan perasaannya. Dia pun aku rasa demikian. Perjumpaanku dengannya tidaklah sekadar pertemuan. Aku yakin sekali ini adalah sebuah persentuhan (baca: persen Tuhan) terindah pada saat ulangtahunku dari Sang Pembebas yang tidak menginginkan aku merasa kesepian di dalam keramian-keramaianku.

Kulihat jam tanganku melewati angka tujuh. Aku membiarkan saja batas waktu yang dia tetapakan sendiri lewat begitu saja. Aku tidak yakin apakah dia sadar atau tidak. Namun, aku tidak ingin menghancurkan momen ini begitu saja. Bahkan sempat aku mematikan handphone-ku hanya agar momentum ini tidak terganggu oleh siapa pun.

Kuajak dia berpindah tempat duduk. Tidak lagi duduk berhadap-hadapan seperti layaknya kencan-kencan di sinetron-sinetron televisi. Kita duduk bersamping-sampingan. Dia pun menurut saja. Kembali kuraih dan kugenggam tangannya yang masih saja dingin. Kutanyai perasaannya. Dia hanya bilang biasa-biasa saja. Tapi aku tidak yakin itu perasaan yang sesungguhnya dia rasakan. Bisa saja hatinya berkata lain.

Perpindahan posisi duduknya menjadi di samping kananku, juga memindah kehangatan suasana dan isi percakapan antara aku dan dia. Canda tawa bersemi. Sesekali kupekuk dan kubelai rambutnya. Dia tetap saja diam. Ketika kutanyai apakah dia keberatan, dia menggelengkan kepala. Mi Diamante (Espanol; permataku), aku bahagia.

***

Tulisan ini kubuat pada saat aku mulai (kembali) menyeberang sungai perasaanku.

Jakarta, 28 Juli 2008

Tuesday, July 8, 2008

voy a ir a ausy

perziarahan. begitualh judulnya. dalam pengertian bahasa jawa, ziarah diartikan sebagai siji sing diarah (satu yang diarah, red) atau secara sederhana bisa diartikan juga sebagai fokus.

perziarahanku di ausy nanti juga akan kufokuskan pada sebuah tujuan. apakah itu? terlalu untuk kuungkapkan di sini. yang jelas, itu bukan main-main.

Monday, April 21, 2008

Once Minutos de Paulo Coelho

Despues volvi de la clase espanol, yo fui a Pondok Indah Mall para buscar los libros nuevos. Yo senti muy afortunado, por que hay un nuevo libro de Paulo Coelho que titulo es Once Minutos. Coelho es favorito escrito para mi. Cada novela de Coelho es una reflexion de teologia, no sola mente una novela.

Once Minutos lleve mi a un campo en Brazil. Un lugar de Maria naci. Maria es una persona fue sujeta major de Once Minutos. Cuando Maria estuvo joven, ella tuvo muy mal experencia. En la clase, hay un bueno chico. Maria siempre mirar y piensar a el. Aun que, Maria no quiero empezar para hablar con el. Hasta que un dia cuando el chico quiso pedir un boligrafo de Maria. Pero, Maria miro, el chico bueno tuvo un boligrafo tambien. Entonces, Maria no dio su boligrafo a el. Actualmente, el chico es Maria primer amor.

Despues esso momento, el chico nunca hablar con Maria. Tambien, el chico fue a una gran distancia. Para el, Maria supe significado de las palabras, “una gran distancia”.

Maria es chica casi perfecta. Maria no sola mente bonita, ella sexy y intelegensia tambien. Cada ganar una ventura en su vida, Maria siempre recordar el momento que el chico nunca hablar con ella y el fue a una gran distancia. Si ella no acepto cada venturas, en Maria piensa, todos quisieron ir a una gran distancia. Maria fue una chica oportunista.

En una vocacion Maria pudo ir a Rio de Janero. Tambien, Maria quiso probrar de las palabras “una gran distancia” en el diccionario de su vida. Cuando ella nado en el mar –la primer experencia pudo mirar y nadar en el mar- Maria, conocio con un gente de Swiza. El dio una ventura para trabajar en su oficina en Genebra, estuve una modela. Maria estuvo muy feliz. No se por que, Maria acepto su inviter para trabajar en otra pais.

Maria tuvo un sueno estuve rica persona. Maria decidio ir a Swiz. Maria quiso buscar mucas experencias en nueva ciudad en su vida, Genebra. Cuando Maria trabajo estuve una modela, ella no gano muchos dineros. Por esso, Maria fue una perra.

Durante el tiempo que Maria fue una perra en Genebra, Maria siempre extranar sus padres en Brazil. Ella quiso dar muchos dinero para ellos. Trabajo en Genebra en opinion de Maria es una especialmente ventura en su vida. Maria fue muy brava chica.

Mientras Maria discubrio un gente que poder cambiar su corazon. Maria estuve enamorse para a el. Desde esso momento, Maria tuvo nueva vida. Maria siempre escribir sus experencias, Maria leo muchos libros tambien.

Maria descubrio una llave en su reflecion, cuando penso muchas cosas que hacer el mundo muy mal. Solo para ONCE MINUTOS, todos van a cambiar!

Thursday, March 27, 2008

Pertarungan Suci

Aku akan menantangmu
Dalam sebuah pertarungan

Tidak memperebutkan sebuah tropi
Bukan juga soal menang-kalah
Apalagi harga diri
Jauh-jauh, jauh dari itu

Aku sama sekali tidak membencimu
Juga tiada sejumput dendam

Bagiku, ini soal laki-laki
Yang memiliki insting menaklukkan
Untuk mendapatkan kepuasan


Kemarin engkau telah memulainya
Menusukku dari belakang
Darah dan nanah telah mengucur dari seluruh pori tubuhku
Aku tak menyangka aku masih saja bernafas

Aku akan menantangmu
Dalam sebuah pertarungan

Hidup dan mati adalah taruhannya
Mungkin aku telah lolos dari maut kala itu
Tapi tak ada jaminan aku lolos kembali
Maka aku tidak akan memalingkan muka
Kuputuskan untuk menantangmu

Harapku, pertarungan ini menjadi pertarungan suci
Ketika garis itu sudah tiada maknanya
Kutegaskan lagi dengan darah yang akan mengucur lagi dari poriku

Seperti setiap pertarungan
Selalu ada pemenang dan pecundang
Tak kurisaukan soal itu

Aku akan menantangmu
Dalam sebuah pertarungan

Akan kau lihat siapa aku nanti dalam pertarungan itu
Aku pun akan melihatmu
Jangan ada lagi rasa iba
Atau kau khotbahi aku dengan norma-norma

Serang saja aku dengan sepenuh kekuatanmu
Dengan segala ilmu pengetahuan, bela dari yang kau punya
Sama seperti ketika engkau menyerangku waktu itu

Aku hampir saja kau buat mati
Namun kau lupa satu hal
Dan karena kealpaanmu kamu menjadi tampak sangat bodoh

Aku tak lagi menyebutmu orang yang kuhormati
Karena memberaki mukamu pun aku siap
Aku kini menjadi bumerang bagimu
Ingat bukan untuk membalas sebuah dendam

Hanya untuk sebuah penyucian
Tentang garis yang telah koyak
Dan tentang sebuah arti kelelakian

Tunggu tanggal mainnya
Hanya kau dan aku yang ada dalam arena itu
Dan sekarang akulah pemegang kendali pertarungan itu

Aku akan menantangmu
Dalam sebuah pertarungan

Dan kita berdua akan menjadi pusat
Semuanya akan melihat
Di sanalah kita berdua akan bersama dikenang
Sebagai pahlawan-pahlawan
Atau sebagai pecundang-pecundang

***

Untuk seseorang di sana. Yang telah memulai sebuah permaianan dan lupa menyudahinya. Kini aku terlibat dalam permainanan yang tidak kukehendaki sebelumnya. Tapi, begitu berharga pengalaman ini untuk kubuang sia-sia. Maka aku akan menantangmu. Satu-lawan-satu!

Friday, March 7, 2008

Misteri Kota

(Bagian II. Sambungan dari Cinta Sejati....)

Musim menjadi tidak begitu jelas. Sesaat terik dan tak lama kemudian petir menyambar-nyambar, hujan pun menyusul. Ketidakjelasan musim diartikan Ega yang sedang melamun di sisi kolam renang sebagai tanda ketidakjelasan sikap Alia, dan lebih dari itu, ketidakjelasan kelanjutan hubungan mereka.

Ega terus mencari tahu mengapa Alia begitu berubah. Diingat-ingatnya saat terakhir mereka bersama dan saat terakhir Alia bercerita. Ega tak menemukan satu pun kejanggalan dari cerita-cerita terakhir Alia kepadanya. Karena, terakhir mereka bertemu, mereka jalan ke restoran favorit mereka sekadar menikmati sushi dan membahas rencana studi Alia semester depan, novel terbarunya Paulo Coelho, dan persiapan Alia ke luar kota.

Sesaat Ega terdiam. Soal rencana studi dan novel tidak mungkin membuat perubahan dalam diri Alia. Namun, soal pergi ke luar kota, Ega lupa menanyakan secara detail. Dia hanya tahu, Alia ingin menghabiskan liburannya, kemudian mengunjungi saudaranya. Ega waktu itu hanya memikirkan bagaimana dia di kota itu. Mau menginap dimana dan mau naik apa ke sananya?

Ega menjadi semakin menyalahkan dirinya sendiri. Mengapa dia tidak menanyakan lebih lengkap tujuan lain dari sekadar berlibur. Karena, Alia berulang kali menyebut kota itu adalah kota impiannya. Alia pun pernah berkata, suatu saat dia ingin mepunyai rumah di sana. Dia mengaku kerasan dengan kota itu lantaran sangat kondusif untuk belajar.

Ega melihat kembali buku hariannya. Di sana dia mulai menemukan kepingan-kepingan jawaban dari kebingungannya. Dan dalam tiga bulan ini, Alia sudah berkunjung ke kota itu 3 kali. Rasanya, alasan Alia sekadar berkunjung ke rumah saudaranya dan berlibur hanya alasan yang dibuat-buat. Sejak saat itu, Ega mulai memendam rasa curiga kepada pacarnya. Setiap ucapan yang keluar dari mulut Alia, dia tidak serta merta percaya.

Dalam buku harian itu juga ditemukan hal lain, setiap Alia pulang dari kota itu, dia menjadi lebih tertutup dan sensitif. Terutama ketika Ega bertanya, "Ngapain aja lo di sana?" Alia cepat-cepat memotong pembicaraan dengan berkata," Ya biasalah sayang, ketemu teman, makan, jalan-jalan di pusat kota itu, dan membeli sedikit oleh-oleh. Itu saja."

"Ketemu temen kamu yang mana? Apa aku kenal?" catat Ega di bulan pertama kepergian Alia ke kota itu.
"Ya nggak lah sweetheart. Itu kan teman-temanku SMA. Salah?"
"Maksudku, bukan sama siapa itu sama si A, si B. Tapi, teman yang mana. Artinya, apa temen dekat, jauh, apa..."
"Sudahlah Ega. It's not your business!" kata Alia meninggalkan Ega sendiri di taman depan rumah Alia.

Ega mulai diusik virus cemburu. Menanyakan langsung kepada pacarnya, sama saja dia membuat susana perang. Sesuatu yang selalu Ega hindari dari setiap kencan-kencannya. Ega selalu menginginkan kesempurnaan ketika melewatkan waktu bersama. Kesempurnaan yang Ega maksud adalah tawa-canda, rayu-merayu, saling mencurahkan kasih sayang satu sama lain dalam berbagai bentuk, tanpa sedikit pun pertikaian.

***
Alia semakin membeci kota tempat ia lahir dan tumbuh. Selain karena macet di mana-mana, metropolitan juga tidak pernah memiliki kerendahan hati, sapa-tawa apalagi susana romantis. Penat, panas, kumuh, bising, dan terlalu banyak orang. Alia, mulai mengenal ada kota lain. Kota tempat pria misterius itu tinggal. Dan kota itu, dengan sendirinya menjadi kota misterius di mata Alia.

Tanpa sadar Alia sudah mulai satu pekerjaan yang paling tidak adil di dunia, membanding-bandingkan. Ketidakadilan di mana tanpa pernah melibatkan objek yang dibandingkan, penilain diambil dengan selera dan sudut pandang si empunya orang yang merasa bisa memilih. Alia menetapkan standar dan peniliannya sendiri, untuk kemudian menyimpulkan secara serampangan. Pertama-tama, dia mulai membandingkan kedua kota itu. Mulai dari arsitekturnya, tata lalu-lintasnya, pusat-pusat hiburannya, tempat-tempat hangout dan makannya.

Kemudian, Alia memberanikan diri membanding-bandingkan pria di kota itu dan Ega. Alia tahu, bahwa dirinya harus memilih yang terbaik untuk hidupnya. Pria misterius dan Ega dijadikan objek dari pekerjaan barunya membanding-bandingkan. Selama Alia bekerja, dua objek yang diperbandingkannya sudah dalam keadaan yang tidak seimbang. Alia menilai pria misterius itu lebih bisa menyentuh hatinya ketika memanggilnya dengan kata-kata mesra, lebih dewasa, pintar, lebih punya nama, dan lebih bisa mengerti apa yang Alia mau. Sementara Ega diperbandingkan ketika mereka sedang berbuntu komunikasi, dan ketika Ega selalu menjadi salah di mata Alia, karena naluri keingintahuan Ega terhadap apa yang terjadi dalam diri Alia. Ega, selalu saja dikaitkan dengan kata, jenuh.

***

Angin meniup kencang. Menjatuhkan daun dan bunga pohon mahoni di sisi kota. Mirip baling-baling, bunga mahoni kering menari dan berputar-putar di atas sebuah kedai di bilangan Jakarta Selatan, tempat Alia mencurahkan seluruh kata hatinya. Alia tidak mau gegabah menentukan pilihan. Dia mencoba berkonsultasi dengan Lauren, seorang yang dianggapnya bisa membatu memutuskan kebuntuan dalam menentukan pilihan.

Lauren tampak serius dan senang mendengarkan curahan hati Alia. Sambil mengelus pipi Alia yang sedikit basah karena tetes air mata, Lauren terus menggali cerita dan emosi Alia.

"Sudah lebih dua tahun Luaren..."
"Terus.."
"Jangan kamu tanyakan aku sayang atau tidak dengan Ega. Aku sangat menyayangi Ega, bahkan keluarganya" kata Alia sambil mengambil tisu di saku tasnya. "Tapi kenapa Lauren," lanjut Alia, "sayangku dengan Ega sekarang tidak seperti dulu".
"Maksudnya?"
"Masa kamu tidak tahu Lauren... Justru itu yang aku tanyakan sama kamu. Kamu kan sama-sama mahluk adam?"
"Tapi aku benar-benar tidak tahu Alia..."
"Begini ceritanya..."

Alia membeberkan pertemuannya dengan seorang pria misterius di sebuah kota misterius pula. Sejak saat itu, Alia menjalin hubungan dengan pria itu. Alia juga menceritakan bagaimana perlakuan pria itu kepadanya. Alia mendapatkan sebuah sensasi baru. Begitu Alia dimanjanya, begitu Alia disanjung dan di tempatkan sebagai sejatinya seorang perempuan. "Layaknya seorang putri," tandas Alia.

"Terus..." Lauren sabar menunggu pengakuan Alia sambil sesekali mereguk capucino panas yang sudah mulai mendingin.

"Apakah aku jatuh cinta lagi?"
"Kamu yang lebih tahu"
"Ayolah Lauren... Aku salah tingkah diperlakukan seperti itu terus. Aku dibuatnya menjadi seorang perempuan istimewa dan sempurna," aku Alia.
"Apa itu bukan gombal?"
"Tapi dia bilang dia sayang sama aku. Aku jadi ingin mengetahui apa maksud sayangnya kepadaku..."
"Lalu"
"Aku sering menemuinya. Aku luangkan waktu khusus buatnya. Dia juga ketika ke sini, selalu menemuiku. Sampai.. Suatu ketika.. Aku dan dia terlibat dalam sebuah percakapan yang belum pernah aku lakukan dengan siapa pun..." Alia terdiam agak lama. Diusapnya kembali air mata di pipinya.
"Terus"
"Ak Lauren, selalu saja kamu, lalu, terus, terus, lalu, ya kamu tahu lah seharusnya apa yang terjadi selanjutnya.. Masa sih..."
"Ya aku tidak tahu"
"Ah Lauren... Untuk apa kamu di sini. Apa-apa tidak tahu. Bagaimana aku minta pendapatmu?"
"Okelah, anggap saja aku tahu, terus?"
"Setelah itu, ya sudah aku semakin mencintai dia dan aku mulai jenuh dengan Ega".

***

Alia semakin mantap dengan pilihannya, meninggalkan Ega dan memilih pria misterius itu dalam hidupnya. Ditambah, bayang-bayang kota misterius itu selalu hadir dalam mimpi-mimpi Alia. Keramahan orang-orangnya, suasana malam dan canda sepontan anak-anak mudanya. Alia semakin terbang membawa seluruh angan dan cita-citanya. Jauh.. jauh menuju ke bulan dan meninggalkan Ega yang sedang menyalahkan dirinya sendiri sembari mencari tahu kepada siapa Alia selalu pergi ke kota itu.

bersambung....



Friday, February 22, 2008

Cinta Sejati

Kota tua itu masih berusaha tegap berdiri. Menawarkan berbagai sisi kehidupan lengkap dengan lika-liku dan suka dukanya serta mengundang siapa saja untuk menyinggahinya. Walau tampak megah, kota itu sebenarnya rapuh. Serapuh banyak orang-orang yang hidup di kota itu. Yang setiap hari melakukan apa yang mereka tidak ketahui dan tidak mereka ingini. Tetapi, sebagai kota, dia punya banyak cerita.

***

Diujung kemarau. Ega mulai resah dengan statusnya. Dia ingin orang di sekelilingnya memendangnya berbeda. Hampir semua sudah ia dapatkan. Segudang prestasi, dan sedikit harta. Dia mulai belajar mencintai seorang perempuan bernama Alia. Alia adalah kembang yang baru saja hendak mekar. Pintar dan cantik dia. Bagi Ega, Alia nyaris sempurna.

Ega seorang yang cerdas. Bunga-bunga cinta pun bisa dirangkainya dengan apik untuk menarik perhatian Alia. Sejak saat itu, setiap hari kata-kata mesra meluncur dari bibir Ega. Entah langsung ataupun lewat perantaraan kabel telepon ataupun pesan elektronik. Dengan itu genaplah pepatah yang entah dari mana, 'permainan terindah di dunia adalah rayu-merayu'.

Alia mulai terperangkap dan memerangkapkan dirinya dalam permainan cinta Ega. Sama seperti Ega, Alia juga minim pengalaman untuk urusan asmara. Setidaknya bagi Alia, Ega akan menjadi kelinci percobaan asmaranya. Toh, Ega juga cukup rupawan, pintar, dan pengertian.

Suatu senja di depan sebuah gereja, setelah melewatkan misa bersama Ega mengungkapkan kata-kata cinta yang sma sekali tidak diduga oleh Alia. Entah mengapa, Alia mengamini kata-kata itu. "I love you too. Be my sweetheart babe!". Mereka pun jadian.

Sore yang penuh pelangi itu telah berganti. Hari-hari mereka dilanjutkan berbagai kencan, nonton, makan malam bersama, pergi ke pantai, duduk-duduk di cafe, dan berakhir dengan sedikit cumbu.

Mereka mulai saling membuka diri. Menceritakan siapa dirinya dan dari mana asal-usulnya. Kepercayaan ditaruhnya begitu saja ke pundak masing-masing. Sejak saat itu, Alia mulai mengharapkan kehadiran Ega. Alia mulai menyadari makna kata "rindu". Kata-kata yang yang sering dibacanya dalam novel-novel cinta yang didapatnya dari meminjam di perpustakaan kota. Kata itu telah mampu ia gambarkan bentuknya. Mampu ia sentuh wujudnya.

Sama seperti pasangan-pasangan lainnya. Ega dan Alia banyak mencari waktu untuk sekadar bercanda, saling memuji, menyemangati perjuangan hidup masing-masing dan memberinya kado serta berbagai kejutan. Karena setahu Alia, cinta itu memberi. Kemesraan pun mengalir dan cinta yang diusahakan oleh kedua insan itu bekerja dengan caranya sendiri juga dengan logikanya sendiri.

***

Suatu sore, ketika awan gelap masih menggantung di tiang-tiang langit dan hujan belum sempat menyapa, Ega merasakan ada sesuatu yang aneh dalam diri pacarnya. Tidak seperti biasanya, dimana Alia selalu menyambut Ega dengan senyum simpul merekah di bibir merahnya sama seperti daun pintu yang menganga sedikit menunggu kehadiran Ega kekasihnya. Senja itu, Alia hanya teridam. Tidak ada senyum, juga tidak ada keceriaan.

Ega pun mulai merasakan ada sesuatu yang aneh. Adakah yang salah dalam sms-sms nya, adakah yang salah dalam penampilannya, adakah yang salah dalam sikapnya? Atuakah Alia semalam mimpi buruk? Ataukah dia sedang berselisih pendapat papanya, ataukah dia sedang datang bulan?

Keceriaan yang ingin Ega tawarkan sore itu, luruh bersama dengan hujan yang mulai menari-nari, menertawakan kisah sepasang muda-mudi yang mulai bermain-main dengan perasaan. Ega tidak bisa menghibur Alia, dan Alia merasa bersalah karena membuat Ega mulai merasa tidak nyaman.

Sejak sore itu, konflik di antara mereka mulai sering terjadi. Manis cinta yang didambakan Ega terlambat hadir. Justru rasa curiga, sikap egois, dan mau menang sendiri terlalu cepat datang di masa-masa emas usia pacaran mereka, 1 tahun.

Sms mulai tak berbalas. Telepon sering meraung-raung sendiri. Dan masalah komunikasi mulai menjadi kambing hitam dari masalah berubahnya Alia sesungguhnya.

***
Mesin cinta terus bekerja. Melipat siang dan mengganti malam mengantarakan Alia yang begitu ceria ketika meninggalkan kota tua itu. Dengan kereta, ia ingin mengejar angan-anagnnya yang tidak bisa disampaikan kepada Ega. Mencari yang lain dan menemukan arti satu kata yang juga ia dappatkan dari novel-novel yang dipnjamnya dari perpustakaan. Selingkuh.

Cinta segita tiga mulai dijalani dengan rapi oleh Alia. Tidak mau kehilangan Ega yang jelas-jelas sudah terlanjur mencintainya, tapi dia juga tak ingin membohongi kata hatinya dan menunggu datangnya sensasi atas selingkuh yang coba diajalaninya. Ia biarkan Ega bingung sendiri. Karena ketika Alia mau meceritakan masalahnya, ia akan menyakiti Ega, seorang yang menurut janji Ega sanggup mati untuk dirinya.

Ia pendam saja sendiri cerita cinta dengan seseorang di kota lain. Seorang pria misterius dalam hidupnya. Pria yang menurutnya setara dengannya, tampan dan cerdas ditambah dia orang terkenal. Sungguh indah hidup Alia. Cintanya berbalas. Berbunga-bunga hatinya. Dengan seseorang di kota lain itu, dia menemukan apa ia cari selama ini. Petualangan.

Sama seperti kisah petulangan dalam setiap komik dan film. Tentu saja petualangan yang seru selalu disertai dengan rintangan yang tak kalah menantang. Rintangan itu, tak lain adalah bagaimana menutup-nutupi rahasianya. Terutama, ketika ia bertemu dengan Ega.

Alia tidak tahu mengapa roda-roda asmaranya bersama Ega tidak bisa dihentikan. Ia juga tak kuasa meneruskannya. Semuanya kini mulai berjalan, hambar-habar saja rasanya. Menggantung.

***

Ketika embun pagi belum sempat menguap, Ega terjaga dari tidurnya. Seakan seseorang datang menghampirinya, entah dimana. Dan juga entah siapa, apakah jenis malaikat atau genderuwo. Dan ia pun berdoa.

Lama dia tak melakukan ritual ini. Dia merasa telah menjauh dari Tuhannya. Namun, Ega tetap yakin, Tuhan tetap menyayanginya. Juga menyayangi Alia. Ia berdoa untuk Alia yang semakin hari menjadi semakin aneh. Dia juga memohon ampun sekiranya dia telah melukai hati Alina disengaja atau tidak. Karena, dia pun ingin menyelesaikan masalah itu secepatnya.

Jauh di kota sana. Ketika fajar baru saja hendak membuka matanya. Deru gairah membuncah-buncah dari dua insan yang saling mencinta. Saling berpagutan dan terbakar nafsu. Mereka saling menelanjangi. Dengan agak kasar, permainan cinta itu berlangsung. Alia berdansa-dansa di alam yang selama ini hanya ada di bayangannya. Mabuk kepayang Alina dibuai oleh belaian, ciuman dan rengkuhan dari seluruh manifestasi apa yang dikatakan cinta. Ia pun mencapai punggung-punggung asmara. Klimaks.

***

Alia semakin merasa bersalah dengan Ega. Cerita cintanya dengan seseorang nan jauh di sana tak bisa lagi ditutup-tutupinya. Ia tak mau melihat Ega menjadi korban cinta segitiga. Alia pun dihadapkan dengan sebuah pertanyaan besar yang selama ini belum bisa dia jawab; pilihan.

"Ega my sweetheart. Rasanya kita sudah tidak cocok lagi".
"Kenapa?"
"Aku tak tahu".
"Ayolah Alia... Kamu masih menyayangiku kah?"
"Ya. Akan selalu. Tapi aku sudah tidak bisa lagi bersamamu. Dan jangan tanyakan kenapa! Karena aku menyayangimu, aku ingin kamu mendapatkan yang terbaik buat kamu".
"Ada apa dengan kamu sayang?"
"Aku sudah tidak bisa membahagiakan kamu".
"Apakah ada yang salah dalam diriku? Atau adakah yang lain di luar sana?"

Alina tak mau melanjutkan pembicaraan dengan Ega. Ia mengalihkan perhatian Ega dengan membuka buku-buku kuliahnya. "Besok aku ujian. Aku mau belajar dulu yah..." pinta Alia memelas. Ega pun cukup tahu diri. Dia meninggalkan rumah Alia dengan tertunduk dan menggendong beribu tanda tanya. Dan mulai saat itu, Ega mulai menutup buku tentang orang yang dicintainya, Alia.

Kota itu pun terus tersenyum. Tapi tak seindah senyum orang-orang yangs edang berduka. Tanpa memedulikan itu semua, cerita ini terus mengalir.... Entah sampai ke dimana ujungnya.

Bersambung!!!!





Thursday, February 7, 2008

Last Supper Soeharto

Majalah Tempo kembali membuat sebuah sensasi. Namun, sensasinya kali ini bukan saja dari hasil investigasi para jurnalisnya, namun karena kulitmuka majalah edisi 4-10 Februari ini memuat gambar Soeharto sedang melakukan perjamuan malam terakhir bersama putra-putrinya. Ilustrasi itu menyitir gambar Leonardo Da Vinci, "The Last Supper". Sosok Yesus diganiktan oleh Soehrato dan ditambah judul "Setelah Dia Pergi".

Hal ini kemudian menimbulkan kontraksi sosial di tengah masyarakat. Sejumlah perwakilan umat Katolik mendatangi redaksi TEMPO di jalan Proklamasi, Jakarta, Selasa (5/2). Mereka meminta TEMPO menarik edisi tersebut dari peredaran. Alasannya, menurut Hermawi Taslim, Ketua Forum Komunikasi PMKRI itu, agar tidak menimbulkan keresahan. Mereka ditemui Pemimpin Redaksi (Pemred) Tempo, Toriq Hadad.

Pemred TEMPO kemudian meminta maaf atas kesalahannya itu dengan berjanji permintaan maafnya akan diterbitkan pada harian Tempo Rabu (6/2) dan majalah Tempo edisi minggu berikutnya.

Dalam melihat kasus Last Supper Soeharto pada kulitmuka Tempo ada beberapa hal yang menurut saya patut dipilah-pilah. Supaya permasalahannya menjadi lebih gamblang.

Pertama soal gambar Leonardo Da Vinci. Last Supper sebagai sebuah maha karya seni adalah bukan saja milik umat kristiani. Karya itu mampu menjelaskan dan bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Orang lain bebas mengintepretasikannya. Belum lama, Dan Brown penulis buku The Da Vinci Code juga mengintepretasikan karya itu, dengan menyebut seseorang murid Yesus yang berada di sebelah kanannya adalah seorang perempuan, Maria Magdalena namanya. Novel ini menjadi 'best seller' karena kontroversi itu.

Kedua adalah menyangkut sosok Yesus Kristus. Yesus juga bukan milik orang kristiani semata. Orang Islam menyebut Dia nabi Isa. Umat kristiani percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Sementara berbeda bagi umat Islam yang menganggapnya seorang nabi. Bisa jadi, orang lain lagi menganggap dia bukan nabi dan tuhan. Dengan kata lain, Yesus pun bisa dan boleh diintpretasikan beragam.

Yang menjadi permasalahan di sini dalam kasus kulitmuka Tempo adalah menurut saya apakah mungkin, Majalah Tempo tidak memikirkan bagaimana perasaan orang-orang yang menganggap Yesus sebagai Tuhan, 'disamakan' dengan figur Soeharto? Saya menduga ada semacam kesengajaan, entah motifnya apa. Kesengajaan itu dibuktikan lewat kemauan pihak Tempo mengakui kesalahannya dan meminta maaf.

Kebebasan Berekspresi VS Cara Beriman
Yang ingin saya kritisi adalah bagaimana gambar itu yang merupakan sebuah ekspresi seni berbenturan dengan cara beriman sebagian orang.

Dengan dalih kebebasan berekspresi, harian Denmark Jyllands-Posten pernah memuat kartun-kartun Nabi Muhammad. Berbagai reaksi muncul di seluruh belahan dunia, mulai dari demonstrasi, pembakaran bendera Denmark serta penutupan kantor kedutaan.

Benturan kebebasan berekspresi dengan cara beriman seseorang seringkali menimbulkan perasaaan sakit hati. Apalagi hal itu untuk kepentingan publikasi. Novel Dan Brown dan kartun Nabi Mohhamad adalah contohnya.

Saya -sebagai orang kristiani- ingin mengajak kita kembali pada saat hari-hari terakhir Yesus di dunia. Dalam Kitab Matius, ketika Yesus ditangkap, salahseorang dari Muridnya menghunuskan pedang dan menatakkan telinga salahseorang prajurit yang hendak menangkap Yesus. Namun, Yesus tidak mau dibela. Dia meminta muridnya untuk menyarungkan lagi pedangnya.

Sesaat kemudian Yesus juga dianiaya dan dihina. Dia ditelanjangi, diludahi, kepalanya dipukul dengan buluh dan dimahkotai duri untuk kemudian diolok-olok, "Salam hai Raja orang Yahudi!"

Saya terus terang ingin membandingkan perlakuan terhadap Yesus dulu dengan yang terjadi saat ini, di mana gambar Yesus 'disamakan' dengan gambar Soeharto. Bagi saya, yang terjadi saat ini belum ada apa-apanya dengan apa yang diterima Yesus dulu. Dan saat itu pun, Yesus tidak pernah minta dirinya untuk dibela.

Setahu saya, Yesus minta kepada seluruh mudrid-muridnya yang patut untuk dibela adalah orang-orang miskin dan anak-anak akibat ketidakadilan sosial. Reaksi keras yang mungkin diharapkan Yesus adalah ketika kita tidak diam melihat berbagai penggusuran, pemerasan, KKN dan lain-lain.

Dengan kata lain, kulitmuka Tempo bisa menjadi semacam test case dalam melihat cara beriman seseorang. Jika Yesus baru dimaknai sebagai simbol-simbol keagamaan, maka bisa jadi, ketika simbol-simbol itu dirusak, dihancurkan, disatir, dsb yang terjadi seperti sekarang ini, pembelaan terhadap simbol-simbol itu. Bukan pembelaan pada inti ajaran Yesus sendiri.