Perasaan syukur sebenarnya sedang hadir di sana. Stroke yang menyerang lebih dari tiga tahun dan membuatnya lumpuh itu seolah berahasil disebuhkannya. Ia mulai bisa berjalan kembali. Omongannya mulai tertata dan tidak kasar lagi. Yang terpenting, ingatan dan pikirannya mulai kembali membaik. Ia tidak lagi seperti pada saat awal-awal berbaring di atas ranjang yang menjadi seluruh dunianya. Tiga tahun lalu aku ingat saat menjenguknya, ia selalu membicarakan kematian yang sebentar lagi datang menjemputnya. Ia tampak ketakutan dalam sebuah kepasrahan yang tampak dipaksakan. Menurutku, waktu itu ia belum bisa menerima kenyataan kalau separuh tubuhnya tiba-tiba saja tidak bisa ia gerakan. Sementara hasratnya untuk mengolah sawah, kebun dan beribadah di langgar masih menggebu-gebu.
Menurut cerita mama -yang juga anak kedua dari perempuan tua itu, dia bersama adik perempuannya sering berbagi rasa syukur atas perkembangan kesehatan ibu kandung mereka yang sudah lebih dari 20 tahun menjanda. "Apa karena kesabaran kita ya, akhirnya mulai sehat lagi," ujar mama mengulang percakapan dengan adik perempuannya kepadaku melalui telpon.
Sabtu pagi, perempuan beranak lima itu ingin mamaku membelikan sebungkus nasi rames. Makanan yang katanya sangat ia sukai. Sayangnya, nasi rames itu kelewat pedas. Siang harinya, ia mencret. Dari sana ia tak mau makan lagi. Sepiring nasi berlauk tahu-tempe masih ada di atas meja persis di samping ranjangnya. Makanan yang seharusnya menjadi sarapan minggu paginya, terlantar sampai petang datang. Dan ia menemani perempuan tua itu mangkat.
Sepanjang aku mengenalnya, ia adalah orang yang sangat sederhana, sesederhana namanya, Lasiah. Hidupnya pun serba sederhana. Sampai nyawa meninggalkan dirinyai, kesederhanaan selalu mengikuti langkahnya. Mungkin itu tak lepas dari kesusahan hidup yang dialaminya mulai zaman Belanda. Hantu kemiskinan yang terus membayangi hidupnya mengajari secara langsung bagaimana ia menjadi seorang yang sangat sederhana. Dalam bayang-bayang hantu kemiskinan, bermimpi untuk hidup bahagia pun rasanya mustahil. Seolah hidup di dunia ini sekadar tabah menanggung derita. Pada wajah nenek tua itu, tergambar jelas bagaimana getir dan susahnya hidup.
Jelang kematiannya, ada sesuatu yang berbeda. Mungkin, ia sudah muak dengan kemiskinan. Karena, kemewahan hampir tiada pernah berkenalan dengan hidupnya. Satu-satunya cerita 'kemewahan' aku dengar pada saat berita kematian itu kukonfirmasi ke mama. Aku tanyakan ke mama bagaimana detik-detik terakhir kehidupannya, dan pesan terakhir apa yang ditinggalkannya. Cerita 'kemewahan' itu tak lain datang dari mulut perempuan tua itu pada saat-saat awal dia terkena stroke. Dia berpesan, kalau nanti dia meninggal, dia ingin kerandanya tidak digotong oleh orang-orang. Dia ingin kerandanya dibawa dengan sebuah mobil ambulance ke pemakaman. Entah mengapa ia menginginkan hal ini. Apakah ia memang tidak ingin merepotkan orang? Atau memiliki mobil, mungkin pernah menjadi cita-cita masa kecilnya pada zaman penjajahan dulu yang sampai saat ini tiada pernah kesampaian? Entahlah...
Saat ia menderita stroke, ia tiada mau dirawat di rumah sakit sekali pun. Ia enggan membuat orang lain susah atas penyakitnya. Ketika penyakit itu baru saja menggerogoti tubuh rapuhnya, ia menjadi sangat malu kepada siapa saja yang hendak membantunya sekadar menyuapi makanan, membantu membersihkan badan, dan kotorannya. Ia merasa tiada berguna saat menjadi seorang pesakitan.
Ia juga orang desa dengan segala keluguannya. Pekerja keras, dan orang yang tidak banyak bicara. Jika ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, itu murni ungkapan jujur dan kepolosannya. Sering informasi yang diterimanya ia telan mentah-mentah.
Pernah semasa aku kecil, diajarinya aku lagu Kimigayo, yang katanya adalah lagu Kemerdekaan Bangsa Jepang. Cerita ia harus mengulum karet gelang dan masuk ke dalam galian tanah saat ada suara pesawat yang melintas juga masih hidup di dalam hatiku. Pernah suatu ketika kita sama-sama memanen padi di sawah. Aku masih kecil waktu itu heran bagaimana perempuan tua itu piawai memotong batang padi dengan ani-ani maupun aritnya. Meski sudah tua, aku juga mengagumi kepiawaiannya mengolah tanah dan merawat tanaman. Sepertinya, masa-masa itu kini hadir kembali. Lengkap dengan kolak pisang buatan tangannya, disajikan dengan lantunan pelan langgam Jawa yang mengalun lirih dari mulutnya.
***
Lasiah nenekku, selamat jalan! Ini adalah iringan doa dariku menghantar Ninine ke tempat peristirahatanmu selanjutnya... Maafkan cucumu ini yang tiada bisa pulang pun sekadar untuk mengikuti upacara pemakamanmu. Jika kerandamu dibawa nanti, percayalah hatiku ada di sisimu. Ketika jasadmu masuk ke dalam tanah, harapku benih-benih kebajikan yang Ninine tanam akan tumbuh di hati anak cucu-cicitmu semua. Karena darahmu mengalir di dalam tubuhku Ni... Kebahagianmu adalah sukaku. Kesedihanmu juga lukaku. Air mata yang mengalir ini pun adalah ucapan duka dari sebuah perpisahan sementara kita Ni... Aku yakin kita akan bertemu lagi ya Ni... Dan hanya restumu yang terus kudamba....
Ajari aku hidup sedeerhana ya Ni... Selamat Jalan!!!