Pages

Thursday, November 27, 2014

Hak Asasi Manusia dan Realisme

Pada dasarnya Hak Assi Manusia (HAM) adalah intervensi nilai-nilai moral ke dalam ranah politik. Dalam “The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration” John Locke mengajukan sebuah postulat, semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh negara.[1]
Sekumpulan nilai-nilai dan mekanisme yang mengatur prilaku bagaimana hubungan antara penguasa dan warganya kemudian berkembang menjadi sebuah rezim.[2] Rezim HAM telah lama masuk dalam diskursus Hubungan Internasional dan baru memampatkan dirinya dan terjadi perubahan yang sangat signifikan, khususnya pada beberapa tiga dekade belakangan ini[3].
Sejak perjanjian Wesphalia (1648) sampai awal abad ke-20, hubungan internasional pada hakikatnya merupakan hubungan antara badan-badan pemerintahan yang masing-masing berdaulat.[4]
Usaha memasukkan rezim moral dalam politik sejatinya sudah dimulai sejak zaman Mesir dan China kuno —kira-kira abad ke-4 sebelum Masehi, ketika Sun Tzu menyusun sebuah aturan bagaimana perang seharusnya diselenggarakan. Persoalan HAM juga seiring dengan evolusi peradaban umat manusia itu sendiri, dalam hal ini, rakyat warga negara-bangsa, yang tidak saja diam ketika ditindas oleh penguasannya. Mereka melakukan perlawanan kritis-rasional terhadap penguasa yang dengan mudah menyalahgunakan kekuasaan (abused of power). Penyalahgunaan kekuasaan tersebut bisa jadi dalam bentuknya yang diskriminatif, rasis, imun terhadap hukum, dan lain sebagainya. 
Dalam semangat perlawanan terhadap penyalahgunaan wewenang penguasa, terdapat sejumlah tonggak sejarah yang bisa dijadikan rujukan. Sebut saja peristiwa pada awal abad ke-12 ketika Inggris dipimpin oleh Raja John Lackland yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dan bangsawannya. Tindakan sewenang-wenang Raja John mengakibatkan rasa tidak puas dari para bangsawan. Rakyat dan bangsawan bergerak dan berhasil memaksa Raja John untuk membuat suatu pakta perjanjian yang kemudian disebut Magna Charta (1215).
Di daratan Amerika pada abad ke-18, semangat perlawanan orang-orang yang diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa Inggris juga berhasil mendesakkan tuntutannya yang kemudian menjadi deklarasi kemerdekaan (declaration of independence, 1776) yang ditandatangani oleh 13 negara bagian. Selain itu, perlawanan rakyat Prancis (1789) melawan kekuasaan raja dan gereja semasa Raja Lois XVI. Perjuangan rakyat Prancis saat itu berbuah deklarasi hak asasi manusia dan warga negara (declaration des droit de l’homme et du citoyen).
Abad ke-16, di Prancis, hakim Jean Bodin menetapkan bahwa perang adalah setan utama dan domain resmi dari pemilik kedaulatan. Abad ke-17 seorang praktisi hukum Hugo Grotius menjadi saksi arsitek perang 30 tahun, dan menuliskan bagaimana seharusnya ada tindakan melindungi non-kombatan dan mempromosikan perdamian. Abad ke-19 dan awal abad ke-20 diselenggarakan Konvensi di Den Haag yang dilanjutkan di Jenewa dan menghasilkan hukum perang, dengan tujuan untuk melindungi kombatan dan non-kombatan perang. Aturan-aturan tersebut menjadikan perang menjadi semakin terlihat humanis. Meski demikian, belum dialamatkan sebagai pertanyaan-pertanyaan etis dari politik luar negeri. Kampanye internasional pertama kali dilakukan Quakers di Inggris dan Amerika Serikat (AS) guna menentang perbudakan dan hak bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum.[5]
Perang Dunia II juga dapat dimaknai sebagai perang terhadap kekuasaan fasis di Jerman, Italia, dan Jepang. Pasca Perang Dunia II, melalui pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dikumandangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) untuk menjadikan nilai-nilainya sebagai norma yang bersifat universal. Jadi, bisa dikatakan bahwa semangat HAM adalah semangat perlawanan kritis rasional rakyat terhadap absolutisme penguasa. Dengan kata lain, HAM dapat dilihat sebagai sebuah pencapaian peradaban manusia melawan kekuasaan yang menindas.
Woodrow Wilson merupakan orang modern pertama yang meletakkan perdebatan etis dan nilai-nilai universal HAM masuk ke dalam jantung kebijakan luar negeri. Wilson mengundang siapa saja untuk melakukan penentuan nasib sendiri (self determination) dan demokrasi. Tokoh lainnya adalah Jimmy Carter. Ia medeklarasikan HAM sebagai prinsip absolut dalam tema kampanyenya. Meski fakta menunjukkan, selama pemerintahannya, Carter mendukung diktator di Argentina, Uruguay, dan Ethiopia. Ia juga abai dengan banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di Filipina, Iran, dan Saudi Arabia.
Akhirnya, banyak pemimpin negara hanya sanggup membahasakan persoalan keamanan dalam bahasa yang lebih etis. Hal ini disebabkan salah satunya oleh dominasi perspektif realisme dalam HI.

Realisme Klasik dan Neorealis
Pendekatan Realis adalah pendekatan yang dominan berkembang pada masa Perang Dingin.[6] Realis menggambarkan HI sebagai pergumulan untuk meraih kekuasaan di antara kepentingan nasional negara-negara dan digeneralisasikan sebagai pendekatan yang pesimistis dalam menghapuskan konflik dan perang.
Pendekatan ini mendominasi pada masa Perang Dingin karena realis memberikan penjelasan yang sederhana, tetapi dengan penjelasan yang kuat tentang perang, aliansi, imperalisme, rintangan dalam berkerjasama dan fenomena  internasional lainnya. Terdapat penekanan pada kompetisi. Realis secara konsisten terus menyoroti perseteruan antara AS dan Uni Soviet.[7]
Pendekatan Realis klasik yang dipelopori oleh Hans Morgenthau dan Reinhold Niebuhr,  percaya bahwa negara seperti halnya manusia, memiliki sifat dasar untuk mendominasi satu sama lain, yang akhirnya berujung pada perang. Morgenthau menarik kesimpulan bahwa sistem dunia multipolar merupakan bentuk terbaik dari balance of power suatu sistem, sedangkan rivalitas antar dua kekuatan (bipolar) merupakan suatu sistem yang berbahaya.
Realisme klasik memandang sifat negara tidak ubahnya sifat dasar manusia yang pada dasarnya mau menang sendiri (selfish) dan serakah. Realisme klasik melihat individu  secara alami adalah binatang politik. Mereka dilahirkan untuk mengejar kekuasaan dan untuk memperoleh hasil dari kekuasaan. Morgenthau menambahkan, manusia adalah haus kekuasaan (animus dominandi).[8]
Bagi kaum Realis, negara (state) adalah aktor utama dalam HI, sekaligus menekankan pada hubungan antarnegara (interstate relations). Negara dalam konteks ini diasumsikan sebagai entitas yang bersifat tunggal (unitary) dan rasional. Hal yang dimaksud adalah dalam tataran negara, perbedaan pandangan politis telah diselesaikan hingga menghasilkan satu suara. Sedangkan negara dianggap rasional karena mampu mengalkulasikan bagaimana cara mencapai kepentingan agar mendapat hasil yang maksimal.[9]
Pemikiran Realisme Klasik ini mendapat tantangan dari seorang bernama Neal Kenneth Waltz (lahir 1924) dari Columbia University. Waltz menjadi sangat terkemuka di dalam ilmu HI dengan teori Neorealisme atau Realisme strukturalnya. Meski demikian, Waltz sependapat dengan Realisme Klasik di mana konsep kedaulatan negara masih menjadi aspek normatif.
Neorealisme memandang keamanan internasional bersifat anarki karena struktur internasional yang terdiri atas negara-negara yang berdaulat, dan tidak ada pemerintahan dunia. Sehingga, Neorealisme menekankan studinya pada struktur sistem dan distribusi kekuasaan. Karena lahir merevisi Realisme Klasik, Neorealisme memandang aktor-aktor kurang begitu penting sebab struktur anarki inilah yang memaksa mereka beraksi dengan cara-cara tertentu. Struktur atau sitem internasional beserta efeknya, pada dasarnya adalah faktor utama yang menentukan tindakan.
Dalam buku Man, the State, and War, Waltz mendefinisikan anarki sebagai sebuah kondisi atas kemungkinan untuk atau penyebab yang memungkinkan terjadinya perang, memperdebatkan bahwa “perang terjadi karena tidak ada yang mencegahnya”. Anarki mungkin bertahan karena negara-negara ingin mempertahankan sifatnya yang otonom. Hal ini yang pada akhirnya menjadi kritik Alexander Wendt —seorang Konstruktivis— terhadap Waltz. Anarki menurut Wendt adalah apa yang negara buat sendiri[10].
Kenneth Waltz berpendapat, perhatian mendasar negara-negara adalah keamanan dan kelangsungan hidup. Ia juga menganggap masalah utama konflik negara berkekuatan besar adalah perang, dan tugas utama HI —di antara negara-negara berkekuatan besar— adalah perdamaian dan keamanan.[11]
Fokus Waltz dalam neorealismenya adalah bagaimana menciptakan sistem atau mengoperasikan sistem itu. Berbeda dari Morgenthau yang banyak mengupas sifat alami manusia, khususnya pemimpin negara, Waltz memandang pemimpin negara adalah sekadar tawanan dari struktur sistem negara dan logika determinasinya yang memberikan petunjuk tentang apa yang harus mereka lakukan dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Argumen ini pada dasarnya merupakan teori determinis di mana strukturlah yang menentukan kebijakan. Dalam sistem atau pun cara mengooperasikannya inilah, terdapat kemungkinan, perdebatan HAM bisa muncul dalam paradigma realis. Sejauh rezim HAM yang masuk ke dalam sistem internasional bisa lebih menambah power suatu negara, terdapat kemungkinan realis menerima HAM, dan sebaliknya.

HAM dan Kebijakan Luar Negeri
Hubungan HAM dalam HI mewujud dan dapat dijumpai pada kebijakan luar negeri suatu negara. Menurut Jack Donnelly, ada tiga macam hubungan antara HAM dan kebijakan luar negeri.[12]
Pertama, the realist argument. Kaum Realis melihat politik internasional sebagai perjuangan antara negara-negara yang mementingkan kepentingan nasionalnya masing-masing dalam lingkungan yang anarki. Berhadapan dengan dunia yang (berpotensi atau secara riil) bermusuhan satu sama lain, dan tidak ada pemerintahan global yang bisa melindungi, maka perhatian terhadap power menjadi mutlak dalam situasi apa pun untuk mendapatkan keadilan atau pengakuan. Hal ini akan membuat negara terbuka atau “mengundang” negara lain untuk menyerang.
Bagi Morgenthau, formula yang seharusnya mengenai kepentingan nasional dijelaskan dalam kaitannya dengan power. Memasukkan perhatian soal HAM dalam kebijakan luar negeri, sebagai instrumen untuk kepentingan nasional, sangat tidak tepat dan akan membawa bahaya tersendiri. Menurut Morgenthau;
the principles of the defense human rights cannot be consistently applied in foreign policy because it can and must come in conflict with other interests that may be more important than the defense of human rights in a particular circumstances.[13]
Baginya, hubungan antarnegera tidak didasarkan atas basis moral dan basis moral hanya berlaku antarindividu. Ronald Niebuhr’s dalam bukunya “Moral Man and Immoral Society” menekankan perbedaan antara individu dalam hubungan moral dengan dunia yang tidak bermoral yang menjadi fakta hubungan internasional.[14]
Kaum realis ingin mengeluarkan domain moral dari lanskap kebijakan luar negeri. George Kennan menggambarkan secara kontras hubungan antara kepentingan nasional dan moralitas. Ia membiarkan moralitas berada di bawah kepentingan nasional. Kepentingan moral tidak menurunkan power. Kaum Realis melihat bahwa tidak bijak menempatkan HAM dalam politik luar negeri. Ia harus dilihat kasus per kasus.[15]
Kedua, the statist (legalist) arguments. HI dibentuk dalam lingkaran kedaulatan, yang memberikan garansi ekslusif kepada negara untuk menegakkan yurisdiksinya di dalam teritori dan sumber dayanya serta penduduk masing-masing negara. Kedaulatan adalah hal yang menyebabkan prinsip non-intervensi terhadap urusan dalam negeri negara lain. Kaum statis melihat, HAM harus dikeluarkan dari kebijakan luar negeri sebab apa yang dilakukan oleh negara dengan pertimbangan respek atas teritorinya masing-masing. Argumentasi statis menekankan pada penerimaan secara luas yang dibatasi power yang dinamakan kedaulatan dan bentuk tradisional dari hukum internasional yang mengalir bersamanya. Kaum statis melihat struktur dan prinsip normatif adalah hal yang fundamental dari politik internasional.[16]
Argumen statis membahas pengaturan dunia (public world order), dan hukum internasional adalah inti (core) dari kedaulatan hukum. Secara virtual, semua  negara di setiap wilayah tergabung dalam kedulatan dasar ini, kecuali jika negara itu itu dalam keadaan bahaya (at stake). Meski kedaulatan adalah titik awal dari hukum internasional, hal ini tidak menjadi titik akhir. Kenyataannya, hukum internasional dapat dilihat sebagai badan untuk membatasi (the body of restriction) dari kedaulatan melalui berbagai perjanjian yang diterima dan dibuat. Selama lebih dari setengah abad badan internasional hukum HAM (body of international human rights law) telah dan masih terus dibangun. HAM telah menjadi subjek yang memiliki legitimasi dalam HI meski berangkat dari pengaturan yang ketat tentang kedaulatan. Kelemahan dari implementasi internasional dan mekanisme memaksa (enforcement) dapat disebabkan karena prinsipnya bertentangan dengan prinsip non-intervensi. Tapi, penekanan secara paksa (coerchive) tidak diperkenankan.[17]
Ketiga, the relativist (pluralist) argument. Kalangan relativis menekankan pada prinsip “self determination” atau komitmen dalam international pluralism. Sebuah negara harus menghadapi yurisdiksi negaranya, di mana dalam terminologi HAM hal itu bisa direfleksikan dengan mempraktikkan HAM di negaranya masing-masing, seperti hak untuk berpartisipasi dalam politik. Bagi kaum relativis, hukum internasional HAM dipandang sebagai imperialisme moral.[18]

Studi Kasus Kebijakan Luar Negeri AS pada Masa Perang Dingin
Yang kerap menjadi persoalan adalah terdapat ketidaksesuaian antara kata dan laku dari negara-negara yang selama ini menegaskan prinsip demokrasi dan HAM dalam jantung kebijakan luar negerinya, namun berbeda dalam tataran praktiknya di lapangan.
Untuk melihat lebih jauh bagaimana ambivalensi ini bisa terjadi, studi kasus atas kebijakan luar negeri AS pada masa Perang Dingin, khususnya di Chile selama pemerintahan Augusto Pinochet menjadi relevan.  
Fakta dukungan AS terhadap rezim-rezim anti demokrasi dan pelanggar HAM diungkap Naomi Klein dalam bukunya Shock Doctrine. Klein membongkar berbagai pengabaian persoalan HAM dengan menggunakan dalih pembendungan terhadap ancaman komunisme dalam kebijakan luar negeri AS. Peran AS mendukung rezim-rezim pelanggar HAM dan anti demokrasi, terjadi di Amerika Selatan, Asia, Eropa dan Afrika.[19]
Dukungan AS terhadap rezim diktator anti demokrasi ini, menurut Klein, dimulai dari era Dwight Eisenhower dari Partai Republik, yang berhasil menangkap fenomena developmentalism, berikut gagasan untuk memeranginya. Proyek ini diinisiasi oleh serangkaian kejadian di Iran dan Indonesia ketika Mohammad Mossadegh dan Soekarno melakukan berbagai proyek nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan minyak. Melalui serangkaian operasi, Central Intelligence Agency (CIA) sukses menggeser kekuasaan Mossadegh di Iran. CIA juga mendukung coup d’etat di Guatemala tahun 1953 dan 1954.[20]
Kesuksesan di Guatemala menuai tantangan yang lebih berat ketika memasuki  belahan Selatan benua Amerika, di mana developmentalism memiliki akar ideologi dan massa yang kuat. Usaha ini dimulai ketika di Chile bertemu dua orang AS yaitu Albion Patterson, Direktur U.S International Cooperation Administration — badan ini kini menjadi USAID — dengan Theodore W. Schultz ketua program Departemen Ekonomi Universitas Chicago. Schultz berpendapat;
“What we need to do is to change the formation of the men, to influence the education, which is very bad”.[21]
Banyak bukti menunjukkan bahwa CIA berperan serta aktif dalam mendukung sejumlah pihak di Chile untuk menggulingkan pemerintahan Salvador Allende melalui jalan kudeta.[22]
Budiarto Shambazy dalam pengantar buku Membongkar Kegagalan CIA yang ditulis oleh wartawan The New York Times, Tim Weiner, menggambarkan peran CIA dalam kudeta Allende meneruskan model kesuksesan CIA di Indonesia yang mendukung Soeharto mengkudeta pemerintahan Soekarno.
“Saking suksesnya CIA memakai metode ini untuk menunggangi Jendral Augusto Pinochet menggulingkan pemerintahan Chile yang dipimpin Presiden Gustavo Allende yang pro-komunis tahun 1973. Nama covert operation itu “Operasi Djakarta.”[23]
Apa yang terjadi di Amerika Selatan sebelumnya terjadi di Benua Afrika. Pada pertengahan 1950-an Afrika Selatan memasuki babak paling kelam dengan pemerintahan apartheid. Nelson Mandela yang waktu itu adalah pemuda progresif yang tergabung dalam African Nationalist Congress (ANC) harus mengubur impiannya mewujudkan Afrika Selatan yang berdaulat dengan menjalankan Piagam Kebebasan (Freedom Charter). Politik apartheid yang dijalankan pemerintah tidak sekadar membagi kekuasaan politik termasuk hak suara bagi kulit putih, melainkan apartheid adalah satu bentuk sistem ekonomi yang menggunakan rasisme untuk menekan sejumlah perjanjian yang seluruhnya menguntungkan jumlah penduduk kulit putih, meski mereka sedikit jumlahnya.[24] F.W de Klerk adalah pemimpin Partai Nasional yang didukung oleh kepentingan modal asing untuk menghalangi usaha Mandela dan kawan-kawannya menjalankan Freedom Charter. Keterlibatan AS dalam mendukung rezim apartheid yang dimulai sejak pertengahan tahun 1950-an, terus menjadi sebuah tanda tanya besar bagi kebijakan politik luar negeri AS, terutama menyangkut persoalan HAM dan demokrasi, terutama di Afrika Selatan.
Pada masa pemerintahan Lyndon B. Johnson dari Partai Demokrat, AS banyak terlibat aktif melalui CIA-nya dalam kudeta militer di Indonesia yang dipimpin Soeharto tahun 1965. Kudeta militer tersebut diikuti dengan pembunuhan massal (massacre) dan penghilangan kader maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta pemenjaraan orang-orang yang dituduh komunis dengan atau pun tanpa melalui proses pengadilan. Klein mencatat, dalam sekitar satu bulan, setengah juta dan mungkin sampai satu juta orang dibunuh.[25]
Tentu saja, perilaku politik AS seperti ini banyak menuai kecaman dari negara-negara lain karena Amerika sering membanggakan dirinya sebagai kampiun dan garda demokrasi, dengan tradisi demokrasi yang kuat sejak deklarasi kemerdekaannya; 4 Juli 1776 hingga kini.[26] Hal ini dipertegas dengan doktrin Carter (1980) yang berusaha mengaitkan masalah HAM dalam kebijakan luar negeri AS terhadap negara lain. Presiden Carter setidaknya menyampaikan tiga kategori hak yang hendak disampaikan AS ke seluruh penjuru dunia, di antaranya;
the rights to be free from governmental violation of integrity of the person; the right to enjoy civil and political liberties; and the right to such vital needs as food, shelter, health care, and education”.[27]
Chile
Di Chile, Pemerintah AS pun berani mempengaruhi perubahan tradisi demokrasi negara itu yang sudah berlangsung sejak tahun 1930-an. Semasa pemerintahan Richard M. Nixon dari Partai Republik, CIA dan pejabat tinggi pemerintahan AS terlibat aktif dalam mendukung kudeta militer Augusto Pinochet, dalam menggulingkan pemerintahan Salvador Allende yang mendapat mandat sah dari pemilu yang demokratis. Setelah kudeta berlangsung, Direktur CIA William Colby mengkonfirmasi dan membenarkan dukungan ekonomi dengan jumlah US$ 6.476.166 kepada partai politik di Chile, media, dan organisasi sektor privat di Chile yang menentang Salvador Allende.[28] Padahal, selama Pinochet berkuasa, dia memimpin mejadi rezim pelanggar HAM dan anti-demokrasi. [29]
Tabel-tabel di bawah ini menjelaskan bagaimana dukungan pemerintah AS terhadap pemerintah Chile di bawah Augusto Pinochet[30]










Program or account
1974
1975
1976
1976TQ
1977
1978
1979
1980
1981
Bantuan Ekonomi, Total
9.8
95.5
78.3
5.1
33.25
7
13.44
10.18
12.04










Program or account
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
Bantuan Ekonomi, Total
6.76
2.82
1.69
1.25
1.14
1.09
1.39
5.32
2.57










Program or account
1974
1975
1989


Bantuan Militer, Total
16.1
0.62
0.05


            Hibah Program Bantuan Militer
.
.
.


            Pendidikan dan Pelatihan Militer Internasional
1.14
0.62
0.05


            Program Pembiayaan Militer Asing
.
.
.


            Pembiayaan Militer Asing, Akun Program Pinjaman Langsung
15
.
.

Tabel 1: Bantuan-bantuan Luar Negeri AS untuk Chile Semasa Pinochet (1974-1990)
(dalam juta US$)
Sumber: US Overseas Loans & Grants [Greenbook]



Menurut Darren Hawkins dalam Encyclopedia of Human Rights, pemerintahan junta militer dipimpin oleh empat orang yaitu; Augusto Pinochet untuk Angkatan Darat, Jose Merino untuk Angkatan Laut, Gustavo Leigh untuk Angkatan Udara, dan untuk Kepolisian Cesar Mendoza.[31] Meski demikian, Angkatan daratlah yang pada akhirnya menjadi paling berpengaruh, terutama sejak Desember 1974 ketika Pinochet diangkat sebagai Presiden Chile. Di bawah Pinochet, pemerintahan Chile memiliki tiga misi utama: mengeliminasi Marxisme, membangun ulang ekonomi, dan stabilisasi sistem politik baru.[32]
Dirección de Inteligencia Nacional (DINA) atau dinas intelijen nasional di bawah kepemimpinan Manuel Contreras adalah badan yang paling bertanggung jawab terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM selama 1973-1977 sebagai akibat dari politik eliminasi Marxis. [33]
Membangun ulang ekonomi dapat diartikan sebagai mengadopsi secara cepat prinsip-prisip ekonomi neoliberal. Prinsip-prinsip ini berfokus pada pengurangan peran pemerintahan dalam sektor ekonomi, terutama dengan memotong sejumlah anggaran subsidi; menurunkan pajak impor; dan menjual perusahaan milik negera. Stabilitas politik berarti pemerintahan akan dipimpin oleh junta militer selama beberapa waktu, karena demokrasi dan konstitusi tidak dapat berdiri bersama Marxisme. Otoritas resmi sering membuat klaim hanya militerlah yang mampu membasmi kangker Marxisme dari tubuh sistem politik Chile.[34]
Meski jumlah komprehensif pelanggaran HAM selama pemerintahan junta belum pernah terpublikasi secara utuh, pada tahun 1990 pemerintahan demokratik baru di bawah Presiden Aylwin membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi  inilah yang pada 1991 menerbitkan laporan tentang jumlah korban meninggal dunia dan orang yang dihilangkan di Chile.[35] National Corporation of Reparation and Reconciliation mencatat ada 1.792 korban (meninggal dunia) akibat pelanggaran HAM oleh pemerintahan Pinochet, selama periode September-Desember 1973.[36]
Tahun                  Provinsi                                    Santiago                             Total
1973                            182                                            65                                247
1974                              22                                          201                                223
1975                              21                                            55                                  76 
1976                                5                                          106                                111          
1977                                7                                              5                                  12

Total                            237                                          432                               699
Tabel 2: Daftar Orang Hilang selama 1973-1977

Organisasi di bawah otoritas Gereja Katolik juga banyak mencatat detail persoalan orang hilang dan korban di bawah kepemimpinan junta militer. Adalah Committee of Cooperation for Peace (COPACHI) yang kemudian menjelma menjadi organisasi bernama Vicariate of Solidarity (Solidaritas Korban). COPACHI bekerja sama dengan jaringan di luar Chile dan mampu melakukan advokasi internasional dengan mengirimkan laporan tersebut kepada Amnesti International, International Committee of the Red Cross (ICRC), American Watch, the International Commission of Jursits, PBB, Organization of American State (OAS), dan lain-lain.[37]
Akibat laporan ini, untuk pertama kali Majelis Umum PBB mengutuk pemerintahan Chile pada bulan Desember 1974. Dan untuk pertama kalinya, penyalahgunaan wewenang negara dengan pelanggaran HAM dikritisi, meski tanpa menghubungkan persoalan ini dengan masalah keamanan internasional. Pemerintah Inggris kemudian menghentikan penjualan senjata ke Chili pada 1974. Pemerintah AS setelah mendapat tekanan politik yang diinisiasi oleh Senator Edward Kennedy, pada akhirnya mengurangi bantuan ekonomi ke Chile. Akhirnnya, pemerintah AS menghentikan bantuan militer, namun tidak menghentikan penjualan senjata.[38]
Di titik inilah politik luar negeri AS kerap menjadi bertolak belakang terhadap nilai-nilai yang diyakini Pemerintah AS, yaitu dukungan terhadap nilai-nilai demokrasi dan pemajuan HAM. Pertanyaannya kemudian, mengapa hal itu bisa terjadi? Di mana posisi nilai-nilai tersebut dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri pemerintah AS?
American Exceptionalism
Politik luar negeri AS di Amerika Latin dan di tempat lain pada era Perang Dingin didominasi oleh doktrin “American Exceptionalism”. Menurut Noam Chomsky, AS tidak seperti great power lain — baik pada masa lalu maupun masa kini — karena menurutnya, AS memiliki “transcendcent purpose” yaitu ”the establishment of equality and freedom in America”. Chomsky juga sejalan dengan Morgenthau yang menyatakan, pada kenyataannya kebijakan luar negeri AS yang “transcendent purpose” mengingkari realitas sejarah yang ada. [39]
Chomsky mengkritik keras kebijakan luar negeri AS di Amerika Latin yang mana pemerintah AS sendiri justru melakukan kejahatan terhadap politik AS yang ideal, yaitu komitmennya untuk mempromosikan demokrasi dan HAM.[40] Ia menjelaskan ambivalensi persoalan ini dengan mengutip Samuel P. Huntington pada jurnal International Security: “AS melakukan berbagai tindakan yang bertentangan dengan politik idealnya, yang bertujuan menjadi dan mempertahankan ‘international primacy’ dengan mempromosikan identitas nasionalnya.”[41] Hal tersebut tidak bisa dijelaskan secara empiris, seperti penjelasan 2 + 2 = 4. Jika dijelaskan secara empiris maka yang akan terjadi adalah penyangkalan terhadap realitas (abuse of reality).[42]  
Identitas nasional AS itu sendiri bagi Huntington, adalah kumpulan dari nilai-nilai ekonomi dan politik universal; kebebasan (liberty), demokrasi (democracy), persamaan (equality), kepemilikan pribadi (private property), dan pasar (market). AS, bagi Huntington, merasa berkewajiban menjalankan sendiri keunggulan international (international primacy) untuk kepentingan dan keuntungan masyarakat-masyarakat lain di dunia.[43]
Huntington berpendapat bahwa nilai-nilai ini memang diperjuangkan oleh negara-negara besar lain dari waktu ke waktu dan dengan derajat tertentu, meski komitmennya tidak seperti AS. Hal ini tidak mengatakan bahwa persoalan ini selalu menjadi prioritas utama kebijakan luar negeri AS. Keprihatianan dan kebutuhan lainnya juga menjadi pertimbangan. Pernyataan tersebut juga bukan berarti bahwa promosi demokrasi, HAM, dan pasar jauh lebih penting bagi kebijakan AS daripada kebijakan negara lain. Mengikuti apa yang telah dicapai oleh Carter, dan Ronald Reagen, Bill Clinton telah berkomitmen untuk mendedikasikan diri pada kebijakan luar negeri “democrtatic realism” yang tujuan utamanya adalah promosi AS untuk demokrasi di dunia.[44]
Mempertahankan American primacy dan memperkuat pengaruh AS di dunia sangat diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Argumentasi ini untuk menjelaskan bahwa primacy tidak dapat dicapai tanpa adanya argumentasi nilai-nilai politik dan ekonomi, dan nilai-nilai ini tidak dapat dicapai tanpa demokrasi.[45]  
Studi yang dilakukan penulis mengenai dukungan pemerintah AS terhadap rezim antidemokratis seperti dukungan terhadap rezim Pinochet menunjukkan, kebijakan luar negeri HAM pemerintah AS mendapat tantangan serius ketika kepentingan strategis, ekonomi, dan keamanan AS terancam di negera lain. Persoalan ini kemudian menjadi pertarungan sengit di antara para pembuat kebijakan luar negeri AS dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya. Pragmatisme untuk mempertahankan kepentingan ekonomi dan mencapai stabilitas politiklah yang pada akhirnya harus mengalahkan isu HAM dalam kebijakan luar negeri AS pada masa Perang Dingin.[46]
Memperhatikan contoh kasus implementasi HAM dalam kebijakan luar negeri AS di Chile membuktikan bahwa HAM tidak cukup menjadi perhatian ketika kepentingan nasional suatu negara berhadapan dengan isu-isu keamanan dan ekonomi. Hard power masih mendominasi diskursus kebijakan luar negeri suatu negara.


Beberapa pertanyaan
  1. Bagaimana HAM sebagai rezim yang diyakini mampu membawa politik ideal yang lebih bermartabat masuk ke dalam kancah diskursus Hubungan Internasional?
  2. Apa makna nilai-nilai HAM dalam perspektif realisme atau neorealisme?
  3. Di mana posisi nilai-nilai moral seperti HAM dan demokrasi pada kebijakan luar negeri (di negera Anda)?
  4. Bagaimana mempromosikan HAM di dalam kebijakan luar negeri untuk membuat kebijakan luar negeri yang lebih bermartabat?
  5. Mana yang lebih penting; satu nyawa seseorang di negara lain atau keuntungan ekonomi dan stabilitas politik?
  6. Bagaimana diskursus HAM dalam HI pasca Perang Dingin?



[1] John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration, disunting oleh J.W. Gough, Blackwell, Oxford, 1964
[2] Stephen D. Krasner, Structural Causes and Regime Consequences: Regime as Intervening Variables, Hal.1. Dalam esai tersebut Krasner mendefinisikan rezim sebagai “… principles, norms, rules, and decision-making procedures around which actor expectations converge in a given issue-area”.
[3] Leslie Gelb and Justine Rosenthal, “Morality and Forign Policy”, Foreign Affairs, vol. 82 (May/June, 2003), 2.
[4] Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Kata Pengantar” dalam Antonio Cassese, Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah, terj. A. Rahman Zainuddin (Jakarta:Yayasan Obor, 2005), viii-ix.
[5] Ibid., 2-3 
[6] Perang Dingin kerap disebut banyak orang sebagai masa berakhirnya Perang Dunia II sampai runtuhnya tembok Berlin pada 1989. Meski tidak ada perang secara langsung antara AS dan Uni Soviet, pada masa Perang Dingin terjadi beberapa kali perang di negara-negara periferi kedua superpower itu. Perang Dingin sendiri berlangsung selama empat dekade. Dari tahun 1947 sampai 1989. Puncaknya terjadi pada 1947-1963, ketika di sana ada ketegangan negosiasi antara AS dan Uni Soviet. Menurut Joseph S. Nye, Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History (New York: Pearson Longman, 2009), apa yang membuat Perang Dingin menjadi begitu luar biasa adalah bahwa ada periode ketegangan yang berlarut-larut dan tidak berakhir dalam perang antara dua negara saingan (AS dan Uni Soviet).
[7] Kenneth Waltz, “International Relations: One World Many Theories”, Foreign Policy
No. 110, Special Edition: Frontiers of Knowledge (Spring, 1998), hal. 31.
[8] Robert Jackson dan Georg Sorensen, Introduction to International Relations (New York: Oxford University Press, 1999).
[9]Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism, and Beyond (New York: Prentice Hall, 1998).
[10] Alexander Wendt, Anarchy is what States Make of it: The Social Construction of Power Politics, International Organization Vol. 46, No. 2, The MIT Press (Spring, 1992)
[11] Kenneth N. Waltz, Theory of International Politics, McGraw-Hill Higher Education, 1979, hal. 112.
[12] Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, 2003, hal 156
[13] Hans J. Morgenthau, "Human Rights and Foreign Policy," First Distinguished CRIA Lecture on Morality & Foreign Policy (New York: CRIA, 1979). (terjemahan: “Prinsip-prinsip mempertahankan HAM tidak bosa secara konsisten diaplikasikan dalam kebijakan luar negeri karena hal tersebut pasti akan membawa konflik antarkepentingan yang mungkin lebih penting dari mempertahankan HAM dalam banyak hal”).
[14] Donnelly, Ibid, 156
[15]  Ibid., 156
[16] Ibid., 157
[17] Ibid., 158
[18] Ibid.
[19] Naomi Klein, The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism (London: Penguin Books, 2008), 57-59.
[20] Ibid.
[21] Ibid., hal. 59 (terjemahan: “Yang perlu kita lakukan adalah mengubah formasi orang-orangnya, mempengaruhi sistem pendidikan, yang sangat buruk.”)
[22] Grace Livingstone, America’s Backyard: The United States and Latin America from the Monroe Doctrine to the War on Terror (London: Zed Books Ltd., 2009), 58. Militer AS berkomunikasi sampai saat kudeta berlangsung, dan terus berkomunikasi mendukung junta militer. Dari dokumen yang telah dipublikasikan, AS tidak secara langsung mendukung kudeta, namun hanya menciptakan suasana yang tepat untuk melaksanakan kudeta. Tahun 1975, rapat senat mempertanyakan apakah AS secara langsung terlibat dalam kudeta. Komite menemukan tidak memiliki bukti untuk hal tersebut. Militer Chile dan stafnya yang melaksanakan kudeta.
[23] Tim Weiner, Membongkar Kegagalan CIA, Spionase Amatiran Sebuah Negara Adidaya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), xv.
[24] Klein, The Shock Doctrine, 196.
[25] Ibid., 67.
[26] James Baker dalam Melvin I. Urofsky, Basic Readings in US Democracy (Washington DC: United States Information Agency, 1994), 354-355.
[27] Ibid (terjemhan: hak untuk bebas dari kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah karena integritas seseorang; hak untuk menikmati kebabasan sipil dan politik; dan hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar seperti pangan, rumah, perawatan kesehatan dan pendidikan).  
[28] Jeremi Suri, Henry Kissinger and the American Century (Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, 2007), 239.
[29] Augusto José Ramón Pinochet Ugarte (Valparaíso, 25 November 1915–Providencia, 10 Desember 2006). Menurut Lois Hecth Oppenheim, Politics In Chile: Democracy, Authoritarianism, and the Search for Development, Second Edition (Boulder: Westview Press, 1999), Komisi HAM Chile melaporkan sebanyak 2.279 orang dibunuh selama pemerintahan Pinochet, 17,8 persennya berasal dari partai sosialis, 16,9 berasal dari MIR, dan 15,5 berasal dari komunis militan.
[30] U.S. Overseas Loans and Grants (Greenbook), Diakses di Information Resource Center, U.S. Embassy  Jakarta pada Mei 2011
[31] Darren Hawkins, “Chile in the Pinochet Era” dalam Encyclopedia of Human Rights, David P. Forsythe (ed.), (New York: Oxford University Press, 2009), 309-319.
[32] Ibid.
[33] Adalah Kolonel Manuel Contreras, Kepala Dinas Intelijen di bawah Pinochet yang mengaku bertanggung jawab atas berbagai pembunuhan dan penyiksaan kejam tersebut. Dia menjadi agen bayaran CIA dan bertemu dengan petinggi CIA di Virginia dua tahun setelah kudeta. Contreras akhirnya dipenjara selama 7 tahun setelah rezim Pinochet yang berkuasa selama 17 tahun tumbang. Weiner, Membongkar Kegagalan CIA, 403-4.
[34] Forsythe (ed.), Encyclopedia of Human Rights, 310-1.
[36]Forsythe (ed.), Encyclopedia of Human Rights, 311
[37] Ibid.
[38] Forsythe (ed.), Encyclopedia of Human Rights, 311-2.
[39] Noam Chomsky, Hopes and Prospect, (London: Penguin Books, 2010), 39.
[40] Ibid., 41.
[41] Ibid.
[42] Ibid., 39-40.
[43] Samuel P. Huntington, “Why International Primacy Matters”, International Security, Vol. 17, No. 4 (Spring 1993): 82.
[44] Ibid.
[45] Ibid., 83.
[46] Awigra, “Dukungan Amerika Serikat terhadap Rezim Antidemokrasi dan Rezim Pelanggar HAM dan Antidemokrasi; Studi Kasus Dukungan Amerika Serikat di Chile pada Pemerintahan Augusto Pinochet (1973-1990)”, tesis Pasca Sarjana Ilmu Hubungan Internasional UI, 2011. 

No comments: