Pages

Friday, February 22, 2008

Cinta Sejati

Kota tua itu masih berusaha tegap berdiri. Menawarkan berbagai sisi kehidupan lengkap dengan lika-liku dan suka dukanya serta mengundang siapa saja untuk menyinggahinya. Walau tampak megah, kota itu sebenarnya rapuh. Serapuh banyak orang-orang yang hidup di kota itu. Yang setiap hari melakukan apa yang mereka tidak ketahui dan tidak mereka ingini. Tetapi, sebagai kota, dia punya banyak cerita.

***

Diujung kemarau. Ega mulai resah dengan statusnya. Dia ingin orang di sekelilingnya memendangnya berbeda. Hampir semua sudah ia dapatkan. Segudang prestasi, dan sedikit harta. Dia mulai belajar mencintai seorang perempuan bernama Alia. Alia adalah kembang yang baru saja hendak mekar. Pintar dan cantik dia. Bagi Ega, Alia nyaris sempurna.

Ega seorang yang cerdas. Bunga-bunga cinta pun bisa dirangkainya dengan apik untuk menarik perhatian Alia. Sejak saat itu, setiap hari kata-kata mesra meluncur dari bibir Ega. Entah langsung ataupun lewat perantaraan kabel telepon ataupun pesan elektronik. Dengan itu genaplah pepatah yang entah dari mana, 'permainan terindah di dunia adalah rayu-merayu'.

Alia mulai terperangkap dan memerangkapkan dirinya dalam permainan cinta Ega. Sama seperti Ega, Alia juga minim pengalaman untuk urusan asmara. Setidaknya bagi Alia, Ega akan menjadi kelinci percobaan asmaranya. Toh, Ega juga cukup rupawan, pintar, dan pengertian.

Suatu senja di depan sebuah gereja, setelah melewatkan misa bersama Ega mengungkapkan kata-kata cinta yang sma sekali tidak diduga oleh Alia. Entah mengapa, Alia mengamini kata-kata itu. "I love you too. Be my sweetheart babe!". Mereka pun jadian.

Sore yang penuh pelangi itu telah berganti. Hari-hari mereka dilanjutkan berbagai kencan, nonton, makan malam bersama, pergi ke pantai, duduk-duduk di cafe, dan berakhir dengan sedikit cumbu.

Mereka mulai saling membuka diri. Menceritakan siapa dirinya dan dari mana asal-usulnya. Kepercayaan ditaruhnya begitu saja ke pundak masing-masing. Sejak saat itu, Alia mulai mengharapkan kehadiran Ega. Alia mulai menyadari makna kata "rindu". Kata-kata yang yang sering dibacanya dalam novel-novel cinta yang didapatnya dari meminjam di perpustakaan kota. Kata itu telah mampu ia gambarkan bentuknya. Mampu ia sentuh wujudnya.

Sama seperti pasangan-pasangan lainnya. Ega dan Alia banyak mencari waktu untuk sekadar bercanda, saling memuji, menyemangati perjuangan hidup masing-masing dan memberinya kado serta berbagai kejutan. Karena setahu Alia, cinta itu memberi. Kemesraan pun mengalir dan cinta yang diusahakan oleh kedua insan itu bekerja dengan caranya sendiri juga dengan logikanya sendiri.

***

Suatu sore, ketika awan gelap masih menggantung di tiang-tiang langit dan hujan belum sempat menyapa, Ega merasakan ada sesuatu yang aneh dalam diri pacarnya. Tidak seperti biasanya, dimana Alia selalu menyambut Ega dengan senyum simpul merekah di bibir merahnya sama seperti daun pintu yang menganga sedikit menunggu kehadiran Ega kekasihnya. Senja itu, Alia hanya teridam. Tidak ada senyum, juga tidak ada keceriaan.

Ega pun mulai merasakan ada sesuatu yang aneh. Adakah yang salah dalam sms-sms nya, adakah yang salah dalam penampilannya, adakah yang salah dalam sikapnya? Atuakah Alia semalam mimpi buruk? Ataukah dia sedang berselisih pendapat papanya, ataukah dia sedang datang bulan?

Keceriaan yang ingin Ega tawarkan sore itu, luruh bersama dengan hujan yang mulai menari-nari, menertawakan kisah sepasang muda-mudi yang mulai bermain-main dengan perasaan. Ega tidak bisa menghibur Alia, dan Alia merasa bersalah karena membuat Ega mulai merasa tidak nyaman.

Sejak sore itu, konflik di antara mereka mulai sering terjadi. Manis cinta yang didambakan Ega terlambat hadir. Justru rasa curiga, sikap egois, dan mau menang sendiri terlalu cepat datang di masa-masa emas usia pacaran mereka, 1 tahun.

Sms mulai tak berbalas. Telepon sering meraung-raung sendiri. Dan masalah komunikasi mulai menjadi kambing hitam dari masalah berubahnya Alia sesungguhnya.

***
Mesin cinta terus bekerja. Melipat siang dan mengganti malam mengantarakan Alia yang begitu ceria ketika meninggalkan kota tua itu. Dengan kereta, ia ingin mengejar angan-anagnnya yang tidak bisa disampaikan kepada Ega. Mencari yang lain dan menemukan arti satu kata yang juga ia dappatkan dari novel-novel yang dipnjamnya dari perpustakaan. Selingkuh.

Cinta segita tiga mulai dijalani dengan rapi oleh Alia. Tidak mau kehilangan Ega yang jelas-jelas sudah terlanjur mencintainya, tapi dia juga tak ingin membohongi kata hatinya dan menunggu datangnya sensasi atas selingkuh yang coba diajalaninya. Ia biarkan Ega bingung sendiri. Karena ketika Alia mau meceritakan masalahnya, ia akan menyakiti Ega, seorang yang menurut janji Ega sanggup mati untuk dirinya.

Ia pendam saja sendiri cerita cinta dengan seseorang di kota lain. Seorang pria misterius dalam hidupnya. Pria yang menurutnya setara dengannya, tampan dan cerdas ditambah dia orang terkenal. Sungguh indah hidup Alia. Cintanya berbalas. Berbunga-bunga hatinya. Dengan seseorang di kota lain itu, dia menemukan apa ia cari selama ini. Petualangan.

Sama seperti kisah petulangan dalam setiap komik dan film. Tentu saja petualangan yang seru selalu disertai dengan rintangan yang tak kalah menantang. Rintangan itu, tak lain adalah bagaimana menutup-nutupi rahasianya. Terutama, ketika ia bertemu dengan Ega.

Alia tidak tahu mengapa roda-roda asmaranya bersama Ega tidak bisa dihentikan. Ia juga tak kuasa meneruskannya. Semuanya kini mulai berjalan, hambar-habar saja rasanya. Menggantung.

***

Ketika embun pagi belum sempat menguap, Ega terjaga dari tidurnya. Seakan seseorang datang menghampirinya, entah dimana. Dan juga entah siapa, apakah jenis malaikat atau genderuwo. Dan ia pun berdoa.

Lama dia tak melakukan ritual ini. Dia merasa telah menjauh dari Tuhannya. Namun, Ega tetap yakin, Tuhan tetap menyayanginya. Juga menyayangi Alia. Ia berdoa untuk Alia yang semakin hari menjadi semakin aneh. Dia juga memohon ampun sekiranya dia telah melukai hati Alina disengaja atau tidak. Karena, dia pun ingin menyelesaikan masalah itu secepatnya.

Jauh di kota sana. Ketika fajar baru saja hendak membuka matanya. Deru gairah membuncah-buncah dari dua insan yang saling mencinta. Saling berpagutan dan terbakar nafsu. Mereka saling menelanjangi. Dengan agak kasar, permainan cinta itu berlangsung. Alia berdansa-dansa di alam yang selama ini hanya ada di bayangannya. Mabuk kepayang Alina dibuai oleh belaian, ciuman dan rengkuhan dari seluruh manifestasi apa yang dikatakan cinta. Ia pun mencapai punggung-punggung asmara. Klimaks.

***

Alia semakin merasa bersalah dengan Ega. Cerita cintanya dengan seseorang nan jauh di sana tak bisa lagi ditutup-tutupinya. Ia tak mau melihat Ega menjadi korban cinta segitiga. Alia pun dihadapkan dengan sebuah pertanyaan besar yang selama ini belum bisa dia jawab; pilihan.

"Ega my sweetheart. Rasanya kita sudah tidak cocok lagi".
"Kenapa?"
"Aku tak tahu".
"Ayolah Alia... Kamu masih menyayangiku kah?"
"Ya. Akan selalu. Tapi aku sudah tidak bisa lagi bersamamu. Dan jangan tanyakan kenapa! Karena aku menyayangimu, aku ingin kamu mendapatkan yang terbaik buat kamu".
"Ada apa dengan kamu sayang?"
"Aku sudah tidak bisa membahagiakan kamu".
"Apakah ada yang salah dalam diriku? Atau adakah yang lain di luar sana?"

Alina tak mau melanjutkan pembicaraan dengan Ega. Ia mengalihkan perhatian Ega dengan membuka buku-buku kuliahnya. "Besok aku ujian. Aku mau belajar dulu yah..." pinta Alia memelas. Ega pun cukup tahu diri. Dia meninggalkan rumah Alia dengan tertunduk dan menggendong beribu tanda tanya. Dan mulai saat itu, Ega mulai menutup buku tentang orang yang dicintainya, Alia.

Kota itu pun terus tersenyum. Tapi tak seindah senyum orang-orang yangs edang berduka. Tanpa memedulikan itu semua, cerita ini terus mengalir.... Entah sampai ke dimana ujungnya.

Bersambung!!!!





Thursday, February 7, 2008

Last Supper Soeharto

Majalah Tempo kembali membuat sebuah sensasi. Namun, sensasinya kali ini bukan saja dari hasil investigasi para jurnalisnya, namun karena kulitmuka majalah edisi 4-10 Februari ini memuat gambar Soeharto sedang melakukan perjamuan malam terakhir bersama putra-putrinya. Ilustrasi itu menyitir gambar Leonardo Da Vinci, "The Last Supper". Sosok Yesus diganiktan oleh Soehrato dan ditambah judul "Setelah Dia Pergi".

Hal ini kemudian menimbulkan kontraksi sosial di tengah masyarakat. Sejumlah perwakilan umat Katolik mendatangi redaksi TEMPO di jalan Proklamasi, Jakarta, Selasa (5/2). Mereka meminta TEMPO menarik edisi tersebut dari peredaran. Alasannya, menurut Hermawi Taslim, Ketua Forum Komunikasi PMKRI itu, agar tidak menimbulkan keresahan. Mereka ditemui Pemimpin Redaksi (Pemred) Tempo, Toriq Hadad.

Pemred TEMPO kemudian meminta maaf atas kesalahannya itu dengan berjanji permintaan maafnya akan diterbitkan pada harian Tempo Rabu (6/2) dan majalah Tempo edisi minggu berikutnya.

Dalam melihat kasus Last Supper Soeharto pada kulitmuka Tempo ada beberapa hal yang menurut saya patut dipilah-pilah. Supaya permasalahannya menjadi lebih gamblang.

Pertama soal gambar Leonardo Da Vinci. Last Supper sebagai sebuah maha karya seni adalah bukan saja milik umat kristiani. Karya itu mampu menjelaskan dan bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Orang lain bebas mengintepretasikannya. Belum lama, Dan Brown penulis buku The Da Vinci Code juga mengintepretasikan karya itu, dengan menyebut seseorang murid Yesus yang berada di sebelah kanannya adalah seorang perempuan, Maria Magdalena namanya. Novel ini menjadi 'best seller' karena kontroversi itu.

Kedua adalah menyangkut sosok Yesus Kristus. Yesus juga bukan milik orang kristiani semata. Orang Islam menyebut Dia nabi Isa. Umat kristiani percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Sementara berbeda bagi umat Islam yang menganggapnya seorang nabi. Bisa jadi, orang lain lagi menganggap dia bukan nabi dan tuhan. Dengan kata lain, Yesus pun bisa dan boleh diintpretasikan beragam.

Yang menjadi permasalahan di sini dalam kasus kulitmuka Tempo adalah menurut saya apakah mungkin, Majalah Tempo tidak memikirkan bagaimana perasaan orang-orang yang menganggap Yesus sebagai Tuhan, 'disamakan' dengan figur Soeharto? Saya menduga ada semacam kesengajaan, entah motifnya apa. Kesengajaan itu dibuktikan lewat kemauan pihak Tempo mengakui kesalahannya dan meminta maaf.

Kebebasan Berekspresi VS Cara Beriman
Yang ingin saya kritisi adalah bagaimana gambar itu yang merupakan sebuah ekspresi seni berbenturan dengan cara beriman sebagian orang.

Dengan dalih kebebasan berekspresi, harian Denmark Jyllands-Posten pernah memuat kartun-kartun Nabi Muhammad. Berbagai reaksi muncul di seluruh belahan dunia, mulai dari demonstrasi, pembakaran bendera Denmark serta penutupan kantor kedutaan.

Benturan kebebasan berekspresi dengan cara beriman seseorang seringkali menimbulkan perasaaan sakit hati. Apalagi hal itu untuk kepentingan publikasi. Novel Dan Brown dan kartun Nabi Mohhamad adalah contohnya.

Saya -sebagai orang kristiani- ingin mengajak kita kembali pada saat hari-hari terakhir Yesus di dunia. Dalam Kitab Matius, ketika Yesus ditangkap, salahseorang dari Muridnya menghunuskan pedang dan menatakkan telinga salahseorang prajurit yang hendak menangkap Yesus. Namun, Yesus tidak mau dibela. Dia meminta muridnya untuk menyarungkan lagi pedangnya.

Sesaat kemudian Yesus juga dianiaya dan dihina. Dia ditelanjangi, diludahi, kepalanya dipukul dengan buluh dan dimahkotai duri untuk kemudian diolok-olok, "Salam hai Raja orang Yahudi!"

Saya terus terang ingin membandingkan perlakuan terhadap Yesus dulu dengan yang terjadi saat ini, di mana gambar Yesus 'disamakan' dengan gambar Soeharto. Bagi saya, yang terjadi saat ini belum ada apa-apanya dengan apa yang diterima Yesus dulu. Dan saat itu pun, Yesus tidak pernah minta dirinya untuk dibela.

Setahu saya, Yesus minta kepada seluruh mudrid-muridnya yang patut untuk dibela adalah orang-orang miskin dan anak-anak akibat ketidakadilan sosial. Reaksi keras yang mungkin diharapkan Yesus adalah ketika kita tidak diam melihat berbagai penggusuran, pemerasan, KKN dan lain-lain.

Dengan kata lain, kulitmuka Tempo bisa menjadi semacam test case dalam melihat cara beriman seseorang. Jika Yesus baru dimaknai sebagai simbol-simbol keagamaan, maka bisa jadi, ketika simbol-simbol itu dirusak, dihancurkan, disatir, dsb yang terjadi seperti sekarang ini, pembelaan terhadap simbol-simbol itu. Bukan pembelaan pada inti ajaran Yesus sendiri.

Sunday, December 23, 2007

MELEBUR DIKOTOMI

Garis itu memang tidak ada. Namun guratan tajamnya mampu merobek-robek dan meluluhlantakkan dunia. Bangsa terpecah-pecah. Masyarakat terbelah. Keluarga terpisah. Individu pun tak menjadi seorang lagi. Dia tidak lagi satu. Bisa jadi dua, tiga, empat dan seterusnya.

Konstruksi-konstruksi sosial adalah garis-garis itu. Tidak kelihatan namun dapat dirasakan. Lewat pelabelan sepihak serta disulut propaganda besar-besaran, tatanan sosial berubah. Pelabelan siapa itu teroris misalnya. Mampu membuat warga dunia menjadi saling curiga. Demi kepentingan tertentu, 'pemilik kekuasaan dunia' melakukan serangkaian kampanye melawan terorisme. Dari sana, mereka justru menjadi biang keladi terbunuhnya anak-anak, perempuan dan orang-orang tak berdosa di Afghanistan, Libanon, Iraq, dan bisa jadi sebentar lagi di Iran. Dan mereka dengan sendirinya sudah menjadi monster pembunuh yang kejahatannya jauh melebihi teroris yang sedang diburunya.

Di belahan dunia yang lain, setiap pusat-pusat keramaian dijaga ketat. Keamanan menjadi barang mahal. Nilai-nilai saling mencurigai tersebar dengan sendirinya. Mereka melihat sesamanya bukan dari apa yang diperbuatnya, melainkan dari melihat siapa dia. Ada label yang terlanjur sudah melekat disetiap benak warga dunia melihat sesamanya. Ini merupakan sebuah bom waktu.

Berangkat dari sana, Alejandro Iglesias Rossi (47), ingin meleburkan dikotomi-dikotomi yang mengiris-iris dunia. Pesan itu dibawa melalui perpaduan apik musik tradisional dan moderen, dikemas dalam sebuah pagelaran orkestra bertajuk "Orqusta de Instrumentos Autoctonos y Nuevas Technologias".

Konduktor asal Argentina itu mampu membius penonton. Dalam babak awal pagelaran, penonton langsung dibawa ke dalam suasana mistis tepian sungai Amazon. "Ritual " ciptaan Susana Ferreres menampilkan tradisi kuno Suku Andean yang mengadakan upacara sakral guna menjaga kelestaraian alam. Di mana, kehadiran halilintar diyakni sebagai tanda bahwa alam murka. Ritual itu pun digelar. Karya ini telah menyabet penghargaan "The First Prize at the Rostrum of America Latin and Caribean Music" dari Music Council of the Three Americas (Paraguay 2002).

Puncak pertunjukkan adalah ketika maracas (sejenis buah mangga yang tumbuh di Amazon yang dikeringkan menjadi sebuah alat musik yang mengeluarkan bunyi-bunyian dari biji yang ada di dalamnya dan sejenis manik-manik yang mengikatnya) dimainkan. Maracas, dimainkan dalam karya berjudul "Temazcal" sebuah istilah yang juga berarti membakar air atau memanskan batu-batuan. Sebuah tradisi dari Nahuatatl (Aztec kuno). Sensasi maracas melebur bersama bunyi-bunyian hasil rekayasa komputer moderen.

“Saat ini seolah-olah hidup ini terpisah-pisah. Yang tradisional seolah-olah tidak mengenal yang modern. Dan sebaliknya. Padahal, kita sering sekali mengikuti tradisi, tak lama kemudian kita menggunakan internet,” kata Alejandro sebelum penampilan pertamanya di Indonesia yang digelar di Teater Luwes Taman Ismail Marzuki Jakarta, Selasa (13/11).

Lewat karya ini, lanjut Alejandro, saya ingin meleburkan dikotomi-dikotomi itu. Implikasi dari dikotomi-dikotomi itu menurutnya sangat berbahaya. Alejandro menjelaskan, globalisasi telah meminggirkan yang tradisonal. Dan selama ini pembangunan hampir di seluruh belahan dunia hanya menumpukan pada satu sisi, yakni pertumbuhan ekonomi.

“Akibatnya alam kita menjadi rusak. Anda mendengar sekarang ada isu global heating,” papar Alejandro. Untuk itu, Alejandro ingin memantang dunia untuk tidak meninggalkan tradisinya masing-masing.

Nilai-nilai tradisional di seluruh dunia menurut pria berambut putih itu sangat baik. Dia menawarkan apa yang selalu disebut sebagai konservasi. Tidak seperti nilai-nilai globalisasi yang penuh muatan eksploitasi.

Alejandro telah menggelar konser ini di seluruh Amerika Latin, beberapa negara di Eropa seperti di Spanyol, Prancis, Jerman, Lithuania, Estonia, dan setelah ini dia ingin melanjutkan kampanye meleburkan dikotomi ke Singapura, China dan masih banyak lagi. ***

Monday, December 17, 2007

Kaleidoskop

Bola-bola dunia terus berputar pada porosnya. Dari perputarannya, fajar di timur dan senja di barat menjadi sebuah komedi putar. Mempertontonkan panggung dunia dalam segala dialektikanya.

Aku pun berada di sana ikut berputar-putar. Waktu menjadi salah satu penanadanya. Sudah berapa kali putaran, berapa jam, dan sebagainya. Tapi bukan itu masalahnya. Bukan soal berapa lama.

Pengalaman Rousseau yang kehilangan arlojinya cukup jelas menggambarkan kesalahkaprahan pemahaman soal waktu. "Ah, untunglah," katanya, "Sekarang aku tak perlu melihat jam lagi hingga juga tak perlu menghitung waktu pula."

Mungkin Martin Heidegger ketika menuliskan Sein und Zeit merasakan hal yang sama. Di mana waktu begitu berarti baginya. Waktu bukan seperti ketika orang menyebut jam berapa, hari apa, dan tahun berapa. Tapi kemewaktuan. Di mana, perasaan ketika sedang mengada di dunia. Dalam kegalauan yang teramat sangat, kata-kata Heidegger tidak sekadar menjadi sabda, benar-benar mampu dirasakan.

Rene Descartes juga pernah menyadari tentang kemewaktuan dan kemengadaannya, dia berkata, "aku berpikir, maka aku ada".

Namun seorang kawan pernah mengkritik Descrates, di mana dia dia mengatakan tesis Descrates keliru, menurutnya, "aku menulis maka aku ada". Dan dengan cepat-cepat juga dia merujuk kata-kata Pramoedya Ananta Toer diambil dari Anak Semua Bangsa, "Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari".

Kesadaran akan kemewaktuan yang bukan ditunjukkan oleh angka-angka pendada di arloji dan kesadaran menuliskan kemengadaan itulah yang akan berbicara dalam kaleidoksop ini. Tapi, tiangnya adalah kata-kata Descrates, berpikir.

Hanya dengan kesadaran itu, detik sungguh bisa dirasakan begitu lambat dan nyaris berhenti. Dari sanalah keberadaan hidup dipertanyakan, digugat dan dikunyah-kunyah. Sampai semuanya menjadi jelas dan terpilah-pilah. Gambalang!

Ketika direntangkan, kita seolah-olah berada di tengah-tengah masa lalu dan masa depan. Sejarah menjelaskan bagian-bagian dari masa lalu. Namun, masa depan tetap menjadi misteri. Celakanya, dunia terus saja berputar, bukan berjalan maju. Dan sejarah seolah hanya berulang-ulang. Kehidupan dan kematian berganti dengan lakon yang berbeda, dengan permasalahan yang sama namun dengan kompleksitas yang berbeda. Permasalahan soal makan dan memakan. Hidup dan mati. Maju dan mundur. Utara dan selatan, dan sebagainya. Di sana, muncul keyakinan di mana barang siapa menguasai sejarah, mereka akan menguasai masa depan.

Setelah kemengadaanku kupertanyakan dalam sebuah konsep kemewaktuan, memang banyak hal yang terjadi hanya berulang-ulang. Jatuh dalam dosa, suka cita dalam keberhasilan, pertemuan, perpisahan, kekosongan, kebersamaan, pertentangan, perdamaian, kiri dan kanan serta awal dan akhir.

Drama kehidupan, puncak dan palungnya, pahit getirnya pernah dikisahkan dalam Romeo and Juliet-nya William Shakespeare. Intrik dan masalahnya pernah diguratkan oleh Leo Tolstoy dalam Anna Karenina. Seratus Tahun Kesunyian-nya Gabriel Garcia Marques telah menelanjangi setiap babaknya. Bahkan, lebih tegas Zahir-nya Paolo Coelho pernah menihilkan semuanya. Katanya dengan bahasaku sendiri, seolah-olah kita telah berarti buat dunia dengan berbuat ini dan itu. Padahal semuanya biasa-biasa saja, yang itu-itu juga.

Menjadi geli akhirnya ketika melihat banyak orang-orang di dunia ini berdebat, berkonflik dan bahkan melakukan gencatan senjata. Seoalah-olah dirinya sendiri adalah pemilik kebenaran. Masalah perang saudara seperti Kain dan Habel belum juga selesai. Masalah Jacob dan Esau tentang hak kesulungan dan soal siapa yang pertama dan terakhir masih juga berulang. Dan masih banyak lagi. Begitu bodohnya manusia-manusia, termasuk aku. Padahal, milyaran buku terbit setiap tahunnya. Jutaan profesor dan sarjana terus diwisuda setiap semesternya. Setiap bulan dibuka kelas-kelas baru. Dan setiap minggu dikumandangkan khotbah-khotbah. Apa arti semuanya? Apa yang mereka cari sebenarnya? Di mana para dewa-dewa?

Menjadi benar apa kata Seno Gumira Ajidharma, dunia ini sudah penuh kata tanpa makna. Maka di sana, ajaran orang-orang Dayak Losarang sungguh menjadi berarti. Di mana mereka menempatkan dirinya sebagai yang salah ketika semua orang menganggap dirinya benar.

Tapi biar bagaimana pun juga, selamanya di dunia ini pemenangnya adalah pemberani-pemberani.

Kaleidoskop kemewaktuanku telah mencatat sebuah tujuan dalam mimpi-mimpi yang telah tersulut ambisi. Dan biarlah menyatu.... Sebanarnya, harapanku hanya satu di dunia melihat kembali mamaku tersenyum bangga dan melihat anak cucunya tumbuh bahagia.

Wednesday, December 12, 2007

Sunset

Sunset, Sand dan Sex. Itulah kata yang meluncur dari bibir seorang kawan ketika kutanyai tentang sebuah negeri di mana para dewa-dewi berkumpul. Bali...

Di tengah-tengah kesibukan meliput konferensi dunia untuk perubahan iklim, kusempatkan diriku menikmati Pulau Dewata dengan seluruh eksotismenya.

Sunset adalah sebuah peristiwa sehari-hari biasa yang dikemas apik dan bisa menjadi sebuah komoditi bernilai ekonomi. Peristiwa terbenamnya matari ketika bumi berotasi pada porosnya dan menempatkan sang surya pada titik awal peraduannya, memendarkan sinar kuning, jingga dan merah yang terpantul pada punggung-punggung air. Sinar-sinar itu tampak lari dan terkadang tunggang-langgang beradu cepat dengan gulungan ombak. Kuta adalah tempat menjajakan sunset lengkap pasir putih, angin laut, kicau camar, atraksi para surfer, pemijit tradisional, beraneka minuman dan gadis-gadis pantainya.

Kutenggak arak Bali yang kudapat dari sopir mobil rentalku dengan menggantinya dengan pecahan Rp 10.000,- Panasnya langsung membakar kerongkongan, persis seperti siang tadi, di mana kulitku langsung terpanggang. Aku pun, ikut-ikutan menikmati sunset itu. Tak lama kemudian, aku langsung hanyut dalam alur cerita Sepotong Senja Untuk Pacarku-nya Seno Gumira Ajidharma. Sama seperti Sukab, aku juga ingin memberikan kado terbaik untuk perempuan yang paling kucintai di dunia.

Dalam cerita itu, Sukab memberi potongan senja lengkap dengan debur ombak, semburat sinar jingga, kuning dan ungu yang dikerat dan dimasukan dalam amplop. Sukab ingin Alina (calon pacarnya) melihat dan merasakan apa yang dia anggap sebagai sebuah bentuk kesempurnaan. Untuk itu Sukab harus menanggung resiko terjebak dalam urusan-urusan pelik dunia. Dia dikejar-kejar semua orang yang sedang melihat sunset karena sunsetnya bolong sebesar kartu pos, berusrusan dengan polisi dan terjebak dalam lorong-lorong senja itu sendiri.

Untuk Alinaku, tidak mungkin lagi aku memberikan potongan senja. Tak tega pula aku melihatnya menjadi bolong-bolong. Bisa jadi, jika hal itu kulakukan sama seperti Sukab, Kuta menjadi sepi pengunjung. Dan sunset bukan menjadi sesuatu yang punya nilai ekonomi tinggi. Bisa jadi, sunset Kuta banyak dijajajakan di pasar-pasar pagi. "Sunset Kuta-sunset Kuta, murah koq bang, cuma seribu tiga," nyanyi seoraang penajaja sunset.

Terus apa yang akan kuberikan pada Alinaku sayang? Apakah hanya sepotong cinta lengkap dengan segala bujuk-rayuku? Hmmm, cintaku sendiri itu sudah terkoyak-koyak dan terpotong-potong seperti layaknya kain perca. Bagaimana mungkin yah aku berikan itu untuk Alinaku... Ah, apa bedanya aku dengan si penjaja sunset itu di pasar pagi nantinya. Hanya yang kutawarkan cuma sepotong cinta.

"Mbel, gombal..." cemooh seorang gadis berambut pirang kepadaku. "Mana cukup Mas, bermodal cinta zaman sekarang?" ejek temannya yang lain. "Emang nantinya anakmu mau dikasih makan cinta apa? Cinta-cinta.. Pergi sana dengan cintamu itu. Sontoloyo kamu!" timpal si kaki jenjang. Hihihi..

Tapi tak apalah, akan kujait lagi potongan-potongan cintaku. Menjadi semacam mozaik. Mozaik cinta, hehehehe.... Siapa tahu menjadi barang antik. Dan mungkin justru malah menjadi mahal harganya. Walau tambal-menambal, setidaknya bahannya asli semua. Dan bukankah selera setiap orang berbeda-beda? Siapa tahu, Alina adalah jenis perempuan yang berbeda itu. Semoga!

_________________________________
Tulisan ini untuk 'Alina'. Yang kepadanya tidak hanya potongan senja yang akan kuhadiahkan, tapi cungkilan mataku lengkap dengan pemandangan-pemadangan di seluruh penjuru dunia rela aku berikan buat kado ulang tahunnya!