Pages

Monday, December 17, 2007

Kaleidoskop

Bola-bola dunia terus berputar pada porosnya. Dari perputarannya, fajar di timur dan senja di barat menjadi sebuah komedi putar. Mempertontonkan panggung dunia dalam segala dialektikanya.

Aku pun berada di sana ikut berputar-putar. Waktu menjadi salah satu penanadanya. Sudah berapa kali putaran, berapa jam, dan sebagainya. Tapi bukan itu masalahnya. Bukan soal berapa lama.

Pengalaman Rousseau yang kehilangan arlojinya cukup jelas menggambarkan kesalahkaprahan pemahaman soal waktu. "Ah, untunglah," katanya, "Sekarang aku tak perlu melihat jam lagi hingga juga tak perlu menghitung waktu pula."

Mungkin Martin Heidegger ketika menuliskan Sein und Zeit merasakan hal yang sama. Di mana waktu begitu berarti baginya. Waktu bukan seperti ketika orang menyebut jam berapa, hari apa, dan tahun berapa. Tapi kemewaktuan. Di mana, perasaan ketika sedang mengada di dunia. Dalam kegalauan yang teramat sangat, kata-kata Heidegger tidak sekadar menjadi sabda, benar-benar mampu dirasakan.

Rene Descartes juga pernah menyadari tentang kemewaktuan dan kemengadaannya, dia berkata, "aku berpikir, maka aku ada".

Namun seorang kawan pernah mengkritik Descrates, di mana dia dia mengatakan tesis Descrates keliru, menurutnya, "aku menulis maka aku ada". Dan dengan cepat-cepat juga dia merujuk kata-kata Pramoedya Ananta Toer diambil dari Anak Semua Bangsa, "Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari".

Kesadaran akan kemewaktuan yang bukan ditunjukkan oleh angka-angka pendada di arloji dan kesadaran menuliskan kemengadaan itulah yang akan berbicara dalam kaleidoksop ini. Tapi, tiangnya adalah kata-kata Descrates, berpikir.

Hanya dengan kesadaran itu, detik sungguh bisa dirasakan begitu lambat dan nyaris berhenti. Dari sanalah keberadaan hidup dipertanyakan, digugat dan dikunyah-kunyah. Sampai semuanya menjadi jelas dan terpilah-pilah. Gambalang!

Ketika direntangkan, kita seolah-olah berada di tengah-tengah masa lalu dan masa depan. Sejarah menjelaskan bagian-bagian dari masa lalu. Namun, masa depan tetap menjadi misteri. Celakanya, dunia terus saja berputar, bukan berjalan maju. Dan sejarah seolah hanya berulang-ulang. Kehidupan dan kematian berganti dengan lakon yang berbeda, dengan permasalahan yang sama namun dengan kompleksitas yang berbeda. Permasalahan soal makan dan memakan. Hidup dan mati. Maju dan mundur. Utara dan selatan, dan sebagainya. Di sana, muncul keyakinan di mana barang siapa menguasai sejarah, mereka akan menguasai masa depan.

Setelah kemengadaanku kupertanyakan dalam sebuah konsep kemewaktuan, memang banyak hal yang terjadi hanya berulang-ulang. Jatuh dalam dosa, suka cita dalam keberhasilan, pertemuan, perpisahan, kekosongan, kebersamaan, pertentangan, perdamaian, kiri dan kanan serta awal dan akhir.

Drama kehidupan, puncak dan palungnya, pahit getirnya pernah dikisahkan dalam Romeo and Juliet-nya William Shakespeare. Intrik dan masalahnya pernah diguratkan oleh Leo Tolstoy dalam Anna Karenina. Seratus Tahun Kesunyian-nya Gabriel Garcia Marques telah menelanjangi setiap babaknya. Bahkan, lebih tegas Zahir-nya Paolo Coelho pernah menihilkan semuanya. Katanya dengan bahasaku sendiri, seolah-olah kita telah berarti buat dunia dengan berbuat ini dan itu. Padahal semuanya biasa-biasa saja, yang itu-itu juga.

Menjadi geli akhirnya ketika melihat banyak orang-orang di dunia ini berdebat, berkonflik dan bahkan melakukan gencatan senjata. Seoalah-olah dirinya sendiri adalah pemilik kebenaran. Masalah perang saudara seperti Kain dan Habel belum juga selesai. Masalah Jacob dan Esau tentang hak kesulungan dan soal siapa yang pertama dan terakhir masih juga berulang. Dan masih banyak lagi. Begitu bodohnya manusia-manusia, termasuk aku. Padahal, milyaran buku terbit setiap tahunnya. Jutaan profesor dan sarjana terus diwisuda setiap semesternya. Setiap bulan dibuka kelas-kelas baru. Dan setiap minggu dikumandangkan khotbah-khotbah. Apa arti semuanya? Apa yang mereka cari sebenarnya? Di mana para dewa-dewa?

Menjadi benar apa kata Seno Gumira Ajidharma, dunia ini sudah penuh kata tanpa makna. Maka di sana, ajaran orang-orang Dayak Losarang sungguh menjadi berarti. Di mana mereka menempatkan dirinya sebagai yang salah ketika semua orang menganggap dirinya benar.

Tapi biar bagaimana pun juga, selamanya di dunia ini pemenangnya adalah pemberani-pemberani.

Kaleidoskop kemewaktuanku telah mencatat sebuah tujuan dalam mimpi-mimpi yang telah tersulut ambisi. Dan biarlah menyatu.... Sebanarnya, harapanku hanya satu di dunia melihat kembali mamaku tersenyum bangga dan melihat anak cucunya tumbuh bahagia.

2 comments:

HuN_hUn said...

Wi..huhuhuh...setelah kubaca 3 kali..mungkin aku belom terlalu nangkep. Tapi ada satu hal yang aku bisa garisbawahi mungkin.. keberadaan manusia di dunia. Bagaimana manusia bisa memaknai keberadaannya, waktu bukan lagi masalah detik yang berjalan tetapi keberadaan hidup. (sekali lagi ini versi HuN..heheh)

anyway..gaya tulisanmu sebenernya jauh dari gayaku nulis ya wi. Karna mungkin aku ga tralu ngerti bahasa yang belibet..huhuhu intelegensia ga nyampe.. Tapi apapun..aku suka soulnya..dan temanya..^^

Menulis adalah bagian dari ekspresi..entah bagaimana walau i dunt really sure about its words tapi sedikit banyak aku nangkep apa yang ingin kamu katakan..

Terus nulis wi!!

SMANGAAAAAAAAAAD!!

Paris Turnip said...

wah, suatu kebetulan, ketemu om Descartes lagi. kemarin saya baru saja mengomentari blog seorang teman yang bertema 'Dosa terbesar dalam hidupmu'.

Komentar saya berbunyi demikian 'Aku berdosa maka aku ada' [pisss om Des] hahahaha. hanya secuil pikiran iseng dari otak saya.


Salam kenal