(untuk seseorang yang sungguh sangat menginspirasi)
Tulisan itu kubuat sebagai ganti atas janji yang tertunda. Terkadang, waktu begitu berharga bagiku.
Seorang teman pernah bilang, "Jika ingin meraih kesuksesan dalam segala hal, kamu jangan pernah mau kalah dengan Betara Kala!"
Betapa terkejutnya aku waktu itu. Aku pikir, Betara Kala itu hanya ada dalam cerita rakyat turun-temurun ketika terjadi gerahana matahari. Orang-orang tua bilang, sang surya sedang ditelan raksasa bernama Batara Kala. Untuk itu, mereka meminta anak-anaknya untuk tidak keluar rumah. Memanjatkan doa dan laku tapa.
Ternyata sang raksasa itu kembali menyentuh daun telingaku. Namun, tidak dalam rupa yang mengerikan seperti gambaranku waktu aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Saat itu, aku membayangkan Betara Kala ibarat Buta Ijo. Matanya merah dan sangat lebar. Telinganya bak daun pohon jati. Rambutnya yang panjang beromabak tergerai tak karuan, menutupi seluruh punggung dan sebagian dadanya. Badannya berwarna hiaju. Yang paling mengerikan adalah mulutnya. Dengan taringnya yang tajam, lidah yang menjulur-julur berlumuran darah serta mampu menelan matahari.
Batara Kala yang ditawarkan temanku sudah bisa kurasionalisasikan bentuknya. Ia adalah sebuah analogi. Betara Kala ditujukan untuk mengganti kata WAKTU.
Dalam hidup pada zaman kini, sepertinya kita memang harus bisa mengalahkan gulungan lidah sang waktu. Banyak profesional mengatakan, displin. Mengatur waktu, bukan diatur olehnya. Kunci kesuksesan, kata temanku adalah manajemen WAKTU. Benarkah?
Dalam hidup pada zaman kini, sepertinya kita memang harus bisa mengalahkan gulungan lidah sang waktu. Banyak profesional mengatakan, displin. Mengatur waktu, bukan diatur olehnya. Kunci kesuksesan, kata temanku adalah manajemen WAKTU. Benarkah?
Sedangkan aku sendiri tidak tahu apa kesuksesan. Bagaimana dengan urusan mengatur-atur waktu? Yang kutahu hanya warisan pelajaran hidup dari kedua orangtuaku. Bahwa hidup harus memiliki keberartian.
Seringkali memang aku justru melihat banyak orang di sana sungguh diatur oleh waktu. Padahal, orang-orang itu yang paling vokal menyuarakan kedisiplinan. Kebanyakan mereka berdasi dan memiliki kantor pencakar langit yang terletak di jantung Metropolitan. Mereka sungguh tampak gagah. Tapi, bagiku tidak. Mereka sungguh sangat rapuh. Mereka untuk satu kata profesionalisme, mereka harus masuk kantor bersamaan. Sehingga mereka harus berdesak-desakkan di jalan raya. Mencari celah supaya mobilnya dapat meliuk-liuk bak jet daratnya Michael Schumacher. Mereka sungguh taat dengan waktu. Jam 9.00 masuk kerja, jam 12.00 sampai jam 13.00 makan siang dan jam 17.00 mereka harus pulang. Kalau masih di kantor berarti lembur. Dan waktu lembur dihitung berdasar nominal-nominal rupiah. Berapa sih harga sang waktu?
Sungguh mengkin pengusaha-pengusaha kelas kakap yang mampu menjebak para profesional itu dalam waktu-waktu kerja yang mereka punyai lewat perantaraan modalnya, adalah Tuhannya sang waktu. Mereka bisa saja ibarat pedagasng di pinggir-pinggir jalan yang berkoar, "Waktu-waktu..waktu-waktu... murah koq, cuma sepuluh ribu tiga." Dan, orang-orang berbondong-bondong menyerbu dan menunggu obaralan-obralan lain untuk mencari discount-nya si pengusaha waktu itu.
Seperti biasa, riakan-riakan ini hanya sekadar ungkapan nurani yang hendak mau bebas dari tipuan-tipuan dunia zaman mutakhir. Tapi, hal ini bukan aku tidak setuju untuk hal ini kawan, disiplin!
Seringkali memang aku justru melihat banyak orang di sana sungguh diatur oleh waktu. Padahal, orang-orang itu yang paling vokal menyuarakan kedisiplinan. Kebanyakan mereka berdasi dan memiliki kantor pencakar langit yang terletak di jantung Metropolitan. Mereka sungguh tampak gagah. Tapi, bagiku tidak. Mereka sungguh sangat rapuh. Mereka untuk satu kata profesionalisme, mereka harus masuk kantor bersamaan. Sehingga mereka harus berdesak-desakkan di jalan raya. Mencari celah supaya mobilnya dapat meliuk-liuk bak jet daratnya Michael Schumacher. Mereka sungguh taat dengan waktu. Jam 9.00 masuk kerja, jam 12.00 sampai jam 13.00 makan siang dan jam 17.00 mereka harus pulang. Kalau masih di kantor berarti lembur. Dan waktu lembur dihitung berdasar nominal-nominal rupiah. Berapa sih harga sang waktu?
Sungguh mengkin pengusaha-pengusaha kelas kakap yang mampu menjebak para profesional itu dalam waktu-waktu kerja yang mereka punyai lewat perantaraan modalnya, adalah Tuhannya sang waktu. Mereka bisa saja ibarat pedagasng di pinggir-pinggir jalan yang berkoar, "Waktu-waktu..waktu-waktu... murah koq, cuma sepuluh ribu tiga." Dan, orang-orang berbondong-bondong menyerbu dan menunggu obaralan-obralan lain untuk mencari discount-nya si pengusaha waktu itu.
Seperti biasa, riakan-riakan ini hanya sekadar ungkapan nurani yang hendak mau bebas dari tipuan-tipuan dunia zaman mutakhir. Tapi, hal ini bukan aku tidak setuju untuk hal ini kawan, disiplin!
No comments:
Post a Comment