Pages

Friday, November 16, 2007

Sebuah Tanya

"Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa... Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui. Apakah kau masih selembut dahulu memintaku meminum susu dan tidur yang lelap sambil membenarkan letak kerah kemejaku...

....Apakah kau masih akan berkata,
kudengar derap jantungmu.
Kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta".

(“Sebuah Tanya”, Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 1 April 1969
)

Gie begitu peka. Desah napas dan aliran darah mampu ia ungkapkan dalam kata-kata. "Sebuah Tanya" masih tetap aktual. Perasaannya ketika membuat puisi itu, menerobos lorong-lorong waktu. Dengan begitu, ia tetap hidup. Bersemayam di Lembah Mandalawangi, tempat lahirnya untaian kalimat-kalimat itu.

Jauh sesudah itu, di tempat yang berbeda, nampaklah wajah-wajah muda. Sama seperti Gie, mereka juga lahir dan tumbuh di bumi Indonesia. Tanah yang (sangat) subur bagi tumbuhnya setiap benih-benih masalah. Bahkan, masih ada masalah yang lahir di zamannya Gie, sekarang sudah berubah menjadi pohon tua yang angker.

Salah satu pohon tua angker itu adalah peristiwa kelam akhir tahun 1965. Di mana jutaan orang kader dan simpatisan Partai Komunis Indonesia dibunuh dan dipenjara tanpa pernah melalui proses peradilan. Sampai sekarang, pohon itu belum bisa ditumbangkan dan masalah itu belum (untuk tidak mengatakan tidak) terungkap. Walaupun, kebenaran telah meraung-raung lewat caranya sendiri.

Dalam kesumpekan berbagai masalah, mereka (anak-anak muda itu) mengambil jarak dari rutinitas. Mencoba menjauh dari keseharian demi menemukan semangat baru untuk mendaki gunung-gunung kehidupan. Menerobos alang-alang waktu dan mencari puncak kebahagiaan. Tiada kata gentar dibenak mereka. Semakin kusut jalin-tundan masalah kehidupan yang (akan dan telah) mereka hadapi, semakin tertantang mereka.

Raut muka mereka menyala. Sorot mata, pancaran air muka, senyum yang terkembang serta hati yang berkobar-kobar menjadi pertanda mereka menyimpan berbagai ambisi. Mereka dipertemukan dalam dimensi ruang dan waktu yang sama. Mereka pun berdialektika.

Dan kehidupan layaknya judul puisinya Gie yang memberi sebuah tanya. Untuk apa hidup ini dijalani? Dan berbagai jawaban pun lahir. Mereka (jawaban-jawaban itu) mengada lewat sikap dan prilaku orang-0rang, disadari atau tidak.

Kitab-kitab kehidupan pun lahir di mana-mana. Mencoba mengungkap dan menyibak tabir rahasia jawaban dari pertanyaan itu.

Pancaran sorot mata anak-anak muda itu memberi sebuah keyakinan bahwa jawaban-jawaban itu akan ditemukan. Dan hidup itu sungguh sangat berharga dan patut dirayakan. Karena, jika saja tidak ada kehidupan baru, sorot mata baru, generasi baru, semangat baru, untuk apa hidup ini harus dijalani?

Dan orang muda di Indonesia masih saja setia menjalani hidup. Mereka menangis dan tertawa bersama. Semakin karut-marut, mereka semakin tekun. Mereka, sungguh menyanginya kehidupan itu sendiri. Mereka sungguh mencintai kampung halamannya, nenek moyangnya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Fajar pun menyingsing. Satu di antara mereka berkata, "Tanpa persoalan-persoalan itu, di manakah kata pembebasan itu berada?"

Sesungguhnya, semangat Gie telah mewaris. Semangat untuk menjalani hidup itu sendiri dengan segala peluh-peluhnya. Namun, Gie tetap saja orang muda. Gie yang punya cinta.

"Terima kasih Gie. Karena kamu menulis, matimu tidak sia-sia". [ ]

____________________________________________________________________
Kupersembahkan untuk A-18 'Escribir Para Siempre' (dari bahasa Spanyol yang artinya; menulis selamanya).

2 comments:

Anonymous said...
This comment has been removed by the author.
Anonymous said...

Awi,
gw senang membacanya.. Apalagi tulisan ini muncul karena hasil olah batin setelah ber-Jambore..

Bagi gw, walau ga ada kisah gw di sana, atau kisah anak lain di sana, itu dah merupakan pujian tersendiri. Dan gw hanyut dalam buaian.

Gie tidak mati! Yg mati hanya raganya! Jiwanya masih membakar gw tiap pagi! Kadang berbisik lembut tentang kematian yg datang mengintip...