Dia membiarkan saja tanganku merajai jemarinya. Aliran darahku menghantarkan kehangatan perasaan yang ada di dalam hatiku. Dari sana harapan kulayangkan. Berjuta kasih kucurahkan. Dan sejumput benih cinta kusemai.
Dia tetap saja diam. Hanya tersenyum, tanpa berbicara. Kemudian, dia memberiku ide untuk meniup nyala lilin cair yang menghasi satu-satunya meja perayaan ulangtahunku. Aku menurut saja. Kutiup saja api yang seharusnya menjadi dekorasi itu. Sepotong harapan yang seharusnya kulayangkan sebelum meniup nyala lilin cair itu tidak sempat terucap. Dia tampak senang, aku pun demikian.
Dua buah ice cream kupesan. Menunggu kedatangannya, kupecahkan keheningan dengan menceritakan persoalan-persolan yang sedang menyumbat keceriaanku.
“Setidaknya ada dua masalah yang sedang menimpa aku saat ini. Pada saat aku genap 27 tahun,” kataku memulai. Aku sengaja tidak mencertakan detail persolannya. Aku buat beberapa analogi-analogi. Tidak gamblang benar. Tapi setidaknya, sedikit demi sedikit mulai kubuang cendawan masalah itu.
Dia mendengarkan dengan penuh. Beberapa kali saja dia tampak tersenyum sembari mungkin sedang menggambar masalahku dalam benaknya. Aku lanjutkan kembali ceritaku sampai ketika pelayan itu datang membawa gelas-gelas berisi ice cream yang terhias dengan strawbery, biskuit, dan coklat.
Cerita mulai tersapu begitu saja oleh dinginnya ice cream yang perlahan-lahan turun melewati celah kerongkongan dan mulai menyusup seluruh saluran makanku. Apalagi, ketika dia berbicara dan meyakinkan aku tentang pentingnya memberikan penghargaan kepada diriku sendiri, khusus hari ini. Beban masalahku seketika saja meleleh dan mencair bersama ice cream itu. Kugenggam kembali jemarinya lalu kukecup punggung tangannya.
Dia tidak mau menyebut memen ini sebagai kencan. Dia lebih suka menyebut ini sebagai sebuah jalan. Entah mengapa. Sudah sekitar satu bulan terakhir ini aku mulai bermain dengan perasaannya. Dia pun aku rasa demikian. Perjumpaanku dengannya tidaklah sekadar pertemuan. Aku yakin sekali ini adalah sebuah persentuhan (baca: persen Tuhan) terindah pada saat ulangtahunku dari Sang Pembebas yang tidak menginginkan aku merasa kesepian di dalam keramian-keramaianku.
Kulihat jam tanganku melewati angka tujuh. Aku membiarkan saja batas waktu yang dia tetapakan sendiri lewat begitu saja. Aku tidak yakin apakah dia sadar atau tidak. Namun, aku tidak ingin menghancurkan momen ini begitu saja. Bahkan sempat aku mematikan handphone-ku hanya agar momentum ini tidak terganggu oleh siapa pun.
Kuajak dia berpindah tempat duduk. Tidak lagi duduk berhadap-hadapan seperti layaknya kencan-kencan di sinetron-sinetron televisi. Kita duduk bersamping-sampingan. Dia pun menurut saja. Kembali kuraih dan kugenggam tangannya yang masih saja dingin. Kutanyai perasaannya. Dia hanya bilang biasa-biasa saja. Tapi aku tidak yakin itu perasaan yang sesungguhnya dia rasakan. Bisa saja hatinya berkata lain.
Perpindahan posisi duduknya menjadi di samping kananku, juga memindah kehangatan suasana dan isi percakapan antara aku dan dia. Canda tawa bersemi. Sesekali kupekuk dan kubelai rambutnya. Dia tetap saja diam. Ketika kutanyai apakah dia keberatan, dia menggelengkan kepala. Mi Diamante (Espanol; permataku), aku bahagia.
***
Tulisan ini kubuat pada saat aku mulai (kembali) menyeberang sungai perasaanku.
Jakarta, 28 Juli 2008
4 comments:
Its very impressive. I think its ok if we repost this blog.
bridge loan
cieeeeeeeeee,,,awiii
pegi sama sapa tuh...
hahahaha
kok serem sih kayaknya Wi,,,
hahahaha.. ^^
nice story,,u made it more romantic than the reality, i guess..
(^.^)
ehem... ehem... seems like I know d person ;)
Good Luck pal, all d best.......
Setahun berlalu sudah dari cerita ini ditulis. Mungkinkah tahun ini masih ada cerita?
Post a Comment