Michael Jackson memang luar biasa. Kematiannya tak sedikitpun menyurutkan antusiasme publik untuk mengenal lebih jauh tentang siapa raja pop dunia ini. Media terus saja mengeruk keuntungan dengan memberitakan hampir semua hal tentang Jacko. Berita seputar kontroversi sebab kematiannya, berapa jumlah anaknya, konser Madonna khusus mengenang Jacko, kontroversi mahalnya biaya pemakaman yang menghabiskan dana triliunan rupiah yang membuat berang pemerintah Los Angeles, dan sebagainya.
Bali masih pagi. Dengan Opel Blazer warna abu-abu saya bersama dua orang kawan berangkat dari Tabanan menuju Ubud. Ada sesuatu yang tampak beda dari hari-hari biasanya. Yang tak lazim itu adalah kesibukan polisi merazia hampir setiap kendaraan. Keamanan di Bali diperketat pasca teror bom yang mengguncang lagi. Rakyat Bali, jelas masih memiliki taruma dengan aksi terorisme. Tragedi bom yang meluluhlantakkan Legian dan untuk beberapa saat mematikan sektor pariwisara yang merupakan urat nadi perekonomian Bali masih menyisakan luka.
Entah mengapa, kendaraan yang kami tumpangi tidak diperiksa. Aparat keamanan hanya melambaikan satu tangannya pertanda kami diperbolehkan meneruskan perjalanan. Tak lama, tibalah kami di Campuan, Ubud dan langsung menuju sebuah musem milik maestro lukisan Antonio Blanco (1911-1999). Seorang aktor serba bisa dari Spanyol yang memilih tinggal di Bali dan mendedikasikan seluruh hidupnya demi sebuah pencapaian seni tertinggi.
Antonio Blanco pun menggapainya. Gelar “Don” yang mendahului namanya adalah bukti pengakuan dunia atas dirinya. “Don” adalah gelar khas Spanyol untuk orang-orang yang sangat berjasa di bidangnya. Don Quijote misalnya (diambil dari sebuah judul karya sastra garapan Miguel del Cervantes), Don Juan, dan sebagainya. Istilah Don, mirip dengan pemakian gelar “Sir” di Inggris.
Setelah membayar tiket masuk (Rp 30.000,- untuk tiket masuk tiap pengunjung lokal dan Rp 50.000,- untuk tiap turis asing) kami pun disambut dengan bunga kuning tanda selamat datang yang diharapkan akan diselipkan di salahsatu daun telinga. Pengunjung sebelum kami semuanya adalah warga asing. Turis Australia, Jerman, Prancis dan Spanyol. Tepat di atas pintu masuk museum, tepahat tulisan, “Through Over Portals Pass The Most Beautiful People In Bali”. Ketika memasuki pintu itu, kami justru berada di halaman rumah kerja Don Antonio Blanco. Beberapa kakaktua, rangkong, dan nuri menyambut dengan ramah. Mereka juga jinak untuk sekadar diajak foto bersama. Pintu masuk sesungguhnya museum itu adalah sebuah gapura yang tak lain adalah rancang bangun dari tanda tangan Antonio Blanco sendiri.
Karya Blanco
Memasuki ruang pameran, terdapat sebuah foto di mana di sana terlihat Micahael Jackson sedang menandatangani sebuah lukisan karya Blanco yang tak lain adalah gambar dirinya. Di sana, Jacko terlihat akrab dengan Blanco.
“Ini di Singapura dalam sebuah pameran lukisan,” kata seorang gadis pemandu kepada kami memberi keterangan.
Perlahan, satu demi satu karya Blanco saya cermati. Kebanyakan adalah lukisan perempuan telanjang. Yang dijadikan modelnya seorang penari Bali yang tak lain adalah istrinya sendiri, Ni Ronji. Eksotisme Bali terfragmen sempurna dalam tubuh telanjang perempuan.
Uniknya, semua dibingkai berbeda-beda. Ini adalah salahsatu ciri khas Blanco. Bingkai lukisan tak terpisahkan dari lukisan itu sendiri. Ada satu kesatuan yang utuh. Ciri khas lain dari lukisan Blanco adalah tidak adanya tanggal yang tertera di sana. Ini dimaksudkan Blanco agar karyanya abadi. Tiada awal dan akhir.
Dari banyaknya lukisan yang ada di sana, tak satu pun menurut Blanco menjadi karya agungnya. Semua dianggap sama nilainya. Setara. Namun, bagi saya, sebagai orang awam dalam dunia seni lukis, saya sangat mengagumi dan dapat menikmati beberapa saja. Satu di anataranya adalah karyanya tentang dosa asal. Tertutup dalam sebuah bingkai persegi berukirkan gambar lambang tanda cinta warna coklat yang terkoyak, karya itu seolah tersembunyi dan menjadi sebuah misteri. Ternyata, ukiran itu bisa dibuka persis seperti sebuah pintu gerbang. Ketika hiasan dinding berbentuk ukiran itu dibuka, tersibaklah misteri itu. Gambar senggama antara Adam dan Hawa yang memegang sesuatu mirip buah apel.
Misteri Jacko
Langkah saya tertahan lama di dalam ruang kerja Blanco. Karena, masih juga saya jumpai kenangannya bersama The King of Pop itu. Bisa jadi pertemuan Blanco dan Jacko adalah momentum yang sangat membekas bagi keduanya. Perjumpaan itu jelas bukan sekadar pertemuan, namun juga persentuhan (baca: persen tuhan). Ada persentuhan spiritual dari dua orang maestro.
Dalam karya berjudul Black or White, Jacko tergambar di sebuah sisi pada saat dia masih berkulit hitam dan di sisi yang lain ketika dia sudah berkulit putih. Seluruh dunia pun tahu akan hal ini. Namun, sebagai seorang maestro lukis, Blanco memiliki sebuah kejelian. Dia menanyakan hal yang mungkin tidak pernah disadari Jacko sebelumnya.
“What is the colour of your penis?” begitu gadis pemandu itu menuturkan ulang kepada saya pertanyaan Blanco kepada Jacko.
Jawaban Jacko juga mungkin tidak pernah disangka oleh Blanco. Katanya, “Not black, or white, or brown, or zebra…”
“So?” tanya saya kepada gadis pemandu penuh penasaran.
Gadis itu tak segera menjawab. Dia malah mendekati bingkai atas lukisan yang di sana terdapat topi khas Jacko, topi mirip para pesulap. Bedanya, topi itu lebih berukuran mini.
“Saya adalah seorang vegetarian. Jadi, warnanya adalah carrot,” katanya menirukan Jacko dengan nada menggoda tepat pada saat gadis itu membuka topi yang menjadi tutup sebuah wortel berwarna oranye.
Ups….
***
Ubud, 21 Juli 2009
No comments:
Post a Comment