Tata kelola ekonomi dunia ke depan diprediksi akan jauh lebih terbuka pasca 20 negara sepakat membentuk G-20 di Pittsburg, AS akhir September 2009. Di satu sisi banyak pihak menggadang-gadang lahirnya G-20 akan membawa kebangkitan dunia perdagangan dan investasi untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi global . Sementara di sisi lain, kelahirannya juga merupakan pengakuan atas kegagalan tata kelola ekonomi dunia di bawah G-8 (yang akan tetap eksis walau fokusnya ke depan non ekonomi).
G-20 akan menggantikan peran ekonomi G-8, menyumbang 90 persen terhadap produk domestik bruto dunia, sekitar 60 triliun dollar AS. Terdiri dari AS, EU27, Jepang, China, Jerman, Prancis, Inggris, Italia, Brazil, Kanada, India, Rusia, Meksiko, Australia, Korea, Turki, Indonesia, Argentia, Arab Saudi, dan Afrika Selatan, G-20 diharapkan akan mengubah elite dunia, yang sebelumnya didominasi negara-negara kaya menjadi kelompok elite dengan kombinasi negara kaya dan negara berkembang dengan prospek cerah serta egara-negara kaya. Diharapkan banyak pihak, G-20 mampu mendorong peluncuran sebuah kebijakan multilateral.
Berbagai kalangan yang menyambut positif lahirnya G-20 didasari oleh argumen di mana negara berkembang kini bisa langsung menyuarakan kepentingannya di forum informal dan tidak mengikat ini. Hal ini tentunya jauh berbeda jika dibandingkan dengan apa yang terjadi selama ini dimana negara berkembang sekadar menjadi penonton dan objek dari negara-negara kaya di G-8. Komunike pemimpin G-20 (sebuah organisasi informal baru menggantikan G-8) juga berharap, G-20 akan melawan proteksionisme bersama-sama. Karena, gejala ini menguat akhir-akhir ini di Uni Eropa dengan kian terbatasnya akses pasar ke AS dan negara lain .
Keputusan mengganti G-8 dengan G-20 merupakan keberhasilan diplomasi Obama yang menginginkan pembagian beban dalam tata kelola ekonomi internasional di tengah keterpurukan ekonomi AS. Ini sekaligus merupakan cara Obama mengimbangi Uni Eropa, khususnya Jerman dan Perancis, yang terus menekan AS agar lebih memperketat regulasi di sektor finansial, dengan membatasi bonus bagi para bankir dan eksekutif perusahaan dana cegah resiko.
Sejarahnya sendiri G-20 digagas ketika AS mengalami kemerosotan ekonomi karena dua faktor utama. Pertama, beban sebagai polisi dunia dan perang teror yang mengakibatkan pengeluaran nonproduktif sangat besar. Kedua, sektor produktif manufaktur telah kehilangan daya saing secara signifikan. Karena itu, elite sektor finansial Wall Street menciptakan produk derivatif yang nilainya 684 triliun dollar AS atau 11 kali total PDB dunia yang 60 triliun dollar AS. Industri derivatif itu bertiwikrama menjadi monster predator yang menelan sektor keuangan dan perbankan konvensional dengan aset bermasalah dan beracun. Monster inilah yang ingin dijinakkan oleh elite global G-20 .
Pendekatan-pendekatan HI
Penulis dalam bagian ini akan merangkum secara singkat pendekatan-pendekatan ilmu Hubungan Interasional. Pendekatan-pendekatan ini akan digunakan pada bab selanjutnya sebagai pisau analisis melihat fenomena baru G-20. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah realis, liberalis, dan struktural atau radikal. Dalam bagian kedua ini, penulis hanya menerjemahkan ulang serta merangkum pokok-pokok pemikiran Kenneth Waltz dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “International Relations: One World Many Theories”.
Realisme
Pendekatan Realis adalah pendekatan yang dominan berkembang pada masa perang dingin. Realis menggambarkan hubungan internasional sebagai pergumulan untuk meraih kekuasaan di antara kepentingan nasional negara-negara dan digeneralisasikan sebagai pendekatan yang pesimistik dalam penghapusan konflik dan perang. Pendekatan ini mendominasi pada masa perang dingin karena Realis memberikan penjelasan yang simpel, tetapi dengan penjelasan yang kuat mengenai perang, aliansi, imperalisme, rintangan dalam berkerjasama dan fenomena masalah internasional lainnya. Dan dikarenakan untuk memberikan penekanan terhadap kompetisi. Realis secara konsisten terus menyoroti perseteruan antara AS dan Uni Soviet.
Pendekatan Realis klasik yang dipelopori oleh Hans Morgenthau dan Reinhold Niebuhr, percaya bahwa negara seperti halnya manusia, memiliki sifat dasar untuk mendominasi satu sama lain, yang akhirnya berujung pada perang. Morgenthau menarik kesimpulan bahwa sistem dunia multipolar merupakan bentuk terbaik dari balance of power suatu sistem, sedangkan rivalitas antar dua kekuatan (bipolar) merupakan suatu sistem yang berbahaya.
Perbedaannya dengan teori “neorealis” yang dipelopori oleh Kenneth Waltz, neorealis mengabaikan sifat alami manusia dan berfokus kepada efek dari sistem internasional. Bagi Waltz, sistem internasional terdiri dari sejumlah kekuatan besar, setiap kekuatan itu mencari cara untuk tetap hidup. Dikarenakan sistem internasional bersifat anarki (tidak ada otoritas sentral yang melindungi suatu negara dari negara lain), setiap negara harus tetap survive dengan caranya masing-masing. Waltz beragumen bahwa kondisi ini akan menjadikan negara yang lebih lemah menjadi kekuatan penyeimbang (tidak hanya sekedar mengikuti negara yang kuat saja) bagi negara rival yang lebih kuat. Bertentangan dengan asumsi Morgenthau, Waltz mengklaim bahwa sistem bipolar lebih stabil daripada multipolar.
Liberalisme
Tantangan terbesar Realisme datang dari teori Liberalisme. Teori dari Liberalis berargumen bahwa ketergantungan ekonomi antar negara akan menghalangi negara tersebut melakukan perang melawan negara lain, sebab peperangan akan mengancam kemakmuran negara masing-masing.
Preisden Woodrow Wilson sebagai salah satu pendukung teori Liberalis (pada saat itu dinamakan teori idealis), melihat bahwa kunci kedamaian dunia adalah penyebaran dari demokrasi (spread of democracy). Ia mengklaim bahwa negara yang demokrasi secara otomatis akan lebih damai (peaceful) daripada negara yang otoriter.
Teori Liberalis juga berargumen bahwa kemunculan institusi internasional seperti International Atomic Energy Agency dan International Monetary Fund, mampu menolong dunia untuk mengatasi negara-negara yang memiliki pola tingkah laku yang egois, dengan mendorong negara tersebut untuk membatalkan pendapatan terhadap kepentingan nasional mereka, demi keuntungan yang lebih besar, yaitu menciptakan kerjasama yang lebih tahan lama (enduring cooperation).
Meskipun kaum Liberalis menegaskan bahwa aktor transnasional (new transnational actors), seperti Multinational Corporation/MNC, secara perlahan akan melampaui batas kekuatan negara; Liberalis masih menganggap bahwa negara menjadi aktor kunci di dalam hubungan internasional.
Pendekatan Radikal/Struktural
Sampai pada dekade 1980-an, terori Marxisme masih merupakan teori alternatif jika dibandingkan dengan teori Realis dan Liberalis. Ketika Realisme dan Liberalisme melihat bahwa negara dan sistem negara merupakan kunci dari hubungan internasional, Marxisme menawarkan penjelasan yang berbeda terhadap konflik internasional dan kerangka (blueprint) untuk menganalis transformasi fundamental ketertiban dunia.
Di dalam teori Marxis ortodox/klasik, negara kapitalisme memerangi satu sama lain sebagai konsekuensi terhadap pergumulan terus-menerus untuk mendapatkan profit dan memerangi negara sosialis karena negara ini merupakan bibit/awal dari kehancuran kapitalisme.
Sebaliknya, teori “ketergantungan” Neo-Marxis berfokus pada hubungan antara kekuatan kapitalis modern/maju dengan negara berkembang, dan beragumen bahwa negara kapitalis menolong kelas/elit yang berkuasa di negara berkembang tersebut (komprador), sehingga negara kapitalis akan mendapatkan kekayaan dengan mengeksploitasi negara berkembang tersebut. Oleh sebab itu solusinya adalah menggulingkan elit parasit tersebut dan melantik pemerintahan baru revolusioner yang berkomitmen untuk membangun pemerintahan yang mandiri.
Kedua teori ini secara langsung di-deskriditkan pada saat perang dingin berlangsung. Alasannya, sejarah membuktikan bahwa kapitalisme tidak secara langsung menyebabkan konflik. Di samping itu, perpecahan yang dialami negara komunisme menunjukkan bahwa sosialisme/komunisme tidak selalu menciptakan keharmonisan. Kemunduran teori ketegantungan (Marxisme) menandakan bahwa; Pertama, Partisipasi aktif dalam dunia ekonomi merupakan jalan yang lebih baik untuk mencapai kemakmuran, ketimbang pembangunan sosialis yang otonom/mandiri; Kedua, Banyak negara berkembang membuktikan dirinya cukup mampu dan terbukti berhasil dalam melakukan tawar-menawar dengan MNC ataupun institusi kapitalis lainnya.
Analisis G-20 dari 3 Pendekatan HI
Realis –lebih tepatnya neorealis, yang selalu melihat konstalasi dunia dalam kacamata kapablitas (dalam hal ini negara-negara kaya), G-20 juga adalah gambaran dari bergesernya konstalasi kekuatan ekonomi dunia yang diempu oleh negara-negara kaya yang kini sedang ambruk akibat krisis global.
AS ingin kepentingan nasionalnya diperjuangkan dalam forum ini demi kembalinya stabilitas pertumbuhan ekonomi dan laju investasinya. AS melihat BRIC dan beberapa negara lain termasuk Indonesia, sebagai ‘solusi’ untuk menyelesaikan persoalan ini. Uni Europa 27, Jepang, Prancis, Jerman juga sepakat dengan jalan ini. Sepakat dengan analsis Syamsul Hadi dalam Kompas (29/9), UE adalah pihak yang menelan dampak paling pahit krisis finansial AS. Ancaman proteksionisme yang menguat akhir-akhir ini memperburuk ekonomi Eropa dengan terbatasnya akses pasar ke AS.
UE ‘menggunakan’ forum ini untuk meneruskan kepentingan nasionalnya. Hasilnya tercemin dalam beberapa butir kesepakatan KTT G-20 yaitu mengakhiri kompensasi berlebihan bagi para eksekutif di sektor perbankan, karena mereka meyakini hal inilah yang menjadi biang keladi resesi global. Sementara, ‘keuntungan’ dari negara-negara berkembang –yang dilibatkan, diberi konpensasi 5 persen dari suara pada Dana Moneter Internasional (IMF).
G-20 yang sebentar lagi akan menjadi rejim baru ekonomi dunia, dalam perspektif realis dipandang dalam kapasitasnya dengan relative gains. Rejim ekonomi baru ini diyakini kaum realis tak lain dipandang sebagai ajang konflik antar negara-negara yang memiliki kapabilitas untuk memeperebutkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi kepentingan nasionalnya. Realis rakial seperti Susan Strange bahkan menolak prinsip-prinsip pembangunan rejim yang dia yakini hanya alat untuk menipu dalam kaitannya negara hegemon yang ingin mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri.
Maka, bagi negara berkembang seperti Indonesia, jika hanya memandang –bakal– rejim baru ini sebatas ruang bagi para elit dunia yang menentukan tata ekonomi dunia ke depan adalah ruang untuk mencari efisiensi dan bukan berpegang pada prinsip non diskriminasi, maka penulis yakin Indonesia akan menjadi korban dari pertarungan para raksasa ekonomi dalam ruang yang disebut G-20. Negara-negara berkembang, seharusnya berani bersuara lantang dengan menjadikan rejim ini adalah ruang untuk memperebutkan keadilan dan redistribusi.
G-20 tentu akan menjadi berbeda jika dilihat dari kacamata liberal. G-20 diyakini mampu menolong dunia untuk mengatasi negara-negara yang memiliki pola tingkah laku yang egois, dengan mendorong negara tersebut untuk membatalkan pendapatan terhadap kepentingan nasional mereka, demi keuntungan yang lebih besar, yaitu menciptakan kerjasama yang lebih tahan lama (enduring cooperation).
Proteksionisme AS terhadap sektor ekonominya, dikecam oleh Liberalis karena menghalangi pasar barang dan jasa mereka –khususnya– UE ke AS. Mereka memang mengkritik sistem Anglo-Saxon yang diterapkan di AS terlalu memberi peluang bagi para spekulan ekonomi meraih keuntungan di sector finansial secara instan. Maka, salahsatu butir kesepakatan hasil G-20 di Pittsburg kemarin adalah pemerintah harus menghilangkan praktik pemberian fasilitas bebas pajak (tax havens) pada Maret 2010 atau Negara-negara yang mempertahankan fasilitas itu menghadapi konsekuensi internasional. Pengurang stimulus ekonomi juga diupayakan guna mengembalikan pertumbuhan dunia menjadi tinggi, berkelanjutan, dan seimbang.
Dari G-20 kaum liberalis meyakini ada keuntungan luar biasa yang akan dihasilkan dari forum ekonomi informal ini. Begaimanapun, rejim dalam perspektif liberal ditempatkan dalam posisinya dengan absolute gains. Yaitu, jika tidak ada keuntungan absolute yang bisa diambil dari forum ini, G-8 pasti tidak akan digantikan. Maka, keyakinan kaum liberalis ini sekaligus adalah bentuk pengakuan ‘kegagalan’ terhadap sistem pasar bebas (Anglo-Saxon). Ketika self interest mereka (anggota G-8) tidak bisa memenuhi kebutuhannya dan memerlukan bantuan –khususnya dari BRIC dan negara-negara berkembang berpotensi lainnya, maka G-8 segera mengubah prinsip, norma, aturan, dan proses pengambilan keputusan yang hal itu semua adalah syarat mutlak pembentukan rejim. Maka, dengan mengubah keempat hal tersebut di atas dan ditambahnya jumlah anggota, berarti juga mereka telah mengganti rejim.
Terakhir, penulis ingin mengaitkan G-20 dari perspektif struktural. G-20 adalah ruang antara kekuatan kapitalis dengan negara berkembang. Strukturalis beragumen bahwa negara kapitalis hanya akan ‘menolong’ kelas elit yang berkuasa di negara berkembang tersebut untuk menjadi komprador. Sehingga negara kapitalis akan mendapatkan kekayaan dengan mengeksploitasi negara berkembang tersebut. Yang terjadi adalah jika menggunakan cara pandang ini, krisis ekonomi dunia yang disebabkan oleh gagalnya sistem kapital di AS yang menyebabkan kebangrutan ekonomi negaranya, oleh segelintir orang yang mengambil peluang spekulasi juga harus ditanggung akibatnya oleh negara berkembang seperti Indonesia.
Dengan kata lain, keterlibatan Negara berkembang dalam forum seperti G-20 hanya akan memfasilitasi kepentingan Negara kaya untuk lebih mengeksploitasi sumber daya milik negara berkembang. G-20 adalah ruang kooptasi para elite negara berkembang. Model grotian lebih jauh akan menjelaskan lebih jelas soal ini. Di mana, kehadirannya harus dianaisis sejalan dengan dimensi sosial dan regional yang melingkupinya, proses yang mengawalinya, dan interaksi antar unitnya. Jika hal itu ditelan mentah-mentah saja, karena di dalamnya terdapat bagian paling esensi dari seluruh pola hubungan antar manusia termasuk prilaku dari sistem internasioanal.
Groation, menerima rejim dengan catatan cukup tegas yakni sebuah lesson learn. Misalnya bagaimana PBB dibangun atas dasar pelajaran dari LBB. Begitu juga analogi ini bisa dipakai di sini. G-20 berdiri atas hasil pembelajaran panjang G-8 yang telah dinilai gagal.
Manufer Super Canggih
G-20 yang baru saja ditelurkan lewat KTT di Pittsburg, adalah forum informal untuk tata kelola ekonomi global masa depan. Mengkritisi lahirnya G-20 dari tiga perspektif ilmu HI, akan memberikan gambaran yang lebih komprehensif. Khusus bagi negara berkembang yang masuk G-20, mengambil manufer yang sangat canggih untuk ‘memanfaatkan’ G-20 bisa dilihat seperti dua sisi mata uang, apakah ini sebagai peluang atau ancaman.
Tanpa manufer super canggih, negara berkembang dalam G-20 harus siap dengan resiko terburuk yakni ikut menderita dari sesuatu yang tidak dia perbuat.
1 comment:
G-20 meeting is as interesting as the earth's gravity objects down, then the world gold price had come down significantly because of the influence of G-20 meeting this or I will term the G-20 Effect. Two things that I think the clear relation between the G-20 is the decline in world gold prices.
for complete article you can see on
http://outlet-dinar.blogspot.com/2010/12/g-20-effect.html
Post a Comment