Pages

Wednesday, February 15, 2012

Di Balik Operasi Djakarta

Sejak berdirinya negara, Amerika Serikat (AS) telah memiliki filosofi untuk mendedikasikan dirinya mendukung demokarasi liberal dan penegakan hukum. Komitmen ini dapat ditemukan dalam beberapa dokumen penting termasuk deklarasi kemerdekaan (Declaration of Independence) 1776 –di mana di sana disebutkan bahwa kehidupan, kebebasan, dan meraih kebahagiaan adalah hak semua orang dan tidak dapat dihilangkan– Konstitusi, dan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Mulai dari George Washington sampai Barack Obama terus mengaku dirinya bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) selama menjalankan pemerintahan, baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam sejarah kebijakan luar negerinya, AS merupakan negara yang aktif melakukan ekspansi teritorial, ekonomi dan persebaran kultur negaranya. Akibatnya, sering terjadi konflik antara keinginannya mempromosikan demokrasi dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip HAM dengan tujuannya mengejar kepentingan nasionalnya dalam hal keamanan, maupun dalam memajukan ekonomi negaranya.[1]

Realitas yang menunjukkan sikap ganda ini menimbulkan akibat-akibat yang saling bertentangan. Pada waktu tertentu sikap ini berarti tidak melibatkan diri dalam urusan dalam negeri negara lain, untuk tidak mengatakan campur tangan, pada kesempatan lain, sikap ini berarti internasionalisme dan melibatkan diri dengan aktif dalam politik dunia.[2] 
Kebijakan luar negeri AS adalah hasil dari pertarungan kekuasaan baik hasil dari konflik maupun kerjasama di antara para pembuat kebijakan luar negeri. Di sana terdapat tarik-menarik kepentingan, ideologi (realis yang menekankan kepentingan nasional maupun idealis yang lebih mengedepankan nilai-nilai AS) di antara para para pembuat kebijakan.
Masih menurut Baehr, secara singkat politik luar negeri AS ditandai oleh pemikiran dari sudut baik dan jahat, dari sudut moralisme, yang terwujud dalam sosok negarawan seperti Woodrow Wilson, John Foster Dulles, dan Jimmy Carter. Bersamaan dengan itu, ada sentuhan realisme yang kuat, yang didasarkan pada sejumlah alasan untuk kepentingan negara, yang terwujud dalam sosok mantan diplomat George Kennan dan mantan Menteri Luar Negeri Henry Kissinger. Kissinger, dengan tegas menolak HAM dimasukkan menjadi bagian dari tujuan politik luar negeri.[3]
Kedua garis pemikiran ini –moralisme dan kepentingan nasional– dijumpai dalam politik luar negeri AS, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Di satu pihak, tekanan kuat pada HAM mengandung kadar moral yang kuat seperti terlihat dalam politik luar negeri Presiden Jimmy Carter. Di pihak lain, politik luar negeri AS juga mengandung ciri instrumen yang kuat: dengan menekankan HAM, maka tujuan politik luar negeri lainnya yang lebih utama dapat dicapai, seperti dalam pemerintahan Reagan dan Bush.
Dukungan AS terhadap rezim-rezim anti demokrasi dan pelanggar HAM diuraikan oleh David F. Schmitz dalam bukunya yang berjudul The United States and Right-Wing Dictatorships, 1965-1989” di mana ia menyimpulkan, melewati hampir seluruh abad ke-20, AS mendukung kediktatoran sayap kanan atas nama stabilitas, perdagangan, dan anti komunis. Sementara rezim-rezim diktator yang didukung berjanji untuk melaksanakan dan menjaga order, mencegah revolusi, dan menjaga investasi AS serta menjamin akses ke pasar.[4] 
Fakta dukungan AS terhadap rezim-rezim anti demokrasi dan pelanggar HAM juga dipertegas oleh Naomi Klein dalam bukunya “Shock Doctrine”.[5] Klein membongkar berbagai pengabaian persoalan HAM dengan menggunakan dalih pembendungan terhadap ancaman komunisme dalam kebijakan luar negeri AS. Peran AS mendukung rezim-rezim pelanggar HAM dan anti demokrasi, terjadi di Amerika Selatan, Asia, Eropa dan Afrika.
Dukungan AS terhadap rezim diktator anti demokrasi ini, menurut Klein, dimulai dari era Dwight Eisenhower dari Partai Republik, yang berhasil menangkap fenomena developmentalism, berikut gagasan untuk memeranginya. Proyek ini diinisiasi oleh serangkaian kejadian di Iran dan Indonesia ketika Mohammad Mossadegh dan Soekarno melakukan berbagai proyek nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan minyak. Melalui serangkaian operasi, Central Intelligence Agency (CIA) sukses menggeser kekuasaan Mossadegh di Iran dan mendukung coup d’etat di Guatemala tahun 1953 dan 1954.
Kesuksesan di Guatemala menuai tantangan yang lebih berat ketika memasuki  belahan Selatan benua Amerika, di mana developmentalism memiliki akar ideologi dan massa yang kuat. Usaha ini dimulai ketika di Chile bertemu dua orang AS yaitu Albion Patterson, Direktur U.S International Cooperation Administration –badan ini kini menjadi USAID– dengan Theodore W. Schultz ketua program Departemen Ekonomi Universitas Chicago. Schultz berpendapat;
“What we need to do is to change the formation of the men, to influence the education, which is very bad”. [6]

Banyak bukti menunjukkan bahwa CIA berperan serta aktif dalam mendukung sejumlah pihak di Chile untuk mengkudeta[7] pemerintahan Salvador Allende. Budiarto Shambazy dalam pengantar buku Membongkar Kegagalan CIA yang ditulis oleh wartawan The New York Times, Tim Weiner, menggambarkan peran CIA dalam kudeta Allende meneruskan model kesuksesan CIA di Indonesia yang mendukung Soeharto mengkudeta pemerintahan Soekarno.
Saking suksesnya CIA memakai metode ini untuk menunggangi Jendral Augusto Pinochet menggulingkan pemerintahan Chile yang dipimpin Presiden Gustavo Allende yang pro-komunis tahun 1973. Nama covert operation itu “Operasi Djakarta.”[8]
Apa yang terjadi di Amerika Selatan sebelumnya terjadi di Benua Afrika. Pada pertengahan 1950-an Afrika Selatan memasuki babak paling kelam dengan pemerintahan apartheid. Nelson Mandela yang waktu itu adalah pemuda progresif yang tergabung dalam African Nationalist Congress (ANC) harus mengubur impiannya mewujudkan Afrika Selatan yang berdaulat dengan menjalankan Freedom Charter-nya. Politik apartheid yang dijalankan pemerintah tidak sekadar membagi kekuasaan politik termasuk hak suara bagi kulit putih, melainkan apartheid adalah satu bentuk sistem ekonomi yang menggunakan rasisme untuk menekan sejumlah perjanjian yang seluruhnya menguntungkan jumlah penduduk kulit putih, meski mereka sedikit jumlahnya.[9] F.W de Klerk adalah pemimpin Partai Nasional yang didukung oleh kepentingan modal asing untuk menghalangi usaha Mandela dan kawan-kawannya menjalankan Freedom Charter. Keterlibatan AS dalam mendukung rezim apartheid ini sejak pertengahan tahun 1950-an menjadi tanda tanya besar bagi kebijakan politik luar negeri AS, terutama menyangkut persoalan HAM dan demokrasi.
Dalam masa pemerintahan Lyndon B. Johnson dari Partai Demokrat, AS banyak terlibat aktif melalui CIA-nya dalam kudeta militer di Indonesia yang dipimpin Soeharto tahun 1965. Kudeta militer tersebut diikuti dengan pembunuhan massal (massacre) dan penghilangan kader maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta pemenjaraan orang-orang yang dituduh komunis dengan maupun tanpa proses pengadilan. Klein mencatat, dalam sekitar satu bulan, setengah juta dan mungkin sampai satu juta orang dibunuh.[10]
Tentu saja, perilaku politik Amerika seperti ini banyak menuai kecaman dari negara-negara lain karena Amerika sering membanggakan dirinya sebagai kampiun dan garda demokrasi, dengan tradisi demokrasi yang kuat sejak deklarasi kemerdekaannya 4 Juli 1776 hingga kini. [11] Hal ini dipertegas dengan doktrin Carter (1980) yang berusaha mengaitkan masalah HAM dalam kebijakan luar negeri AS terhadap negara lain. Presiden Carter setidaknya menyampaikan tiga kategori hak yang hendak disampaikan AS ke seluruh penjuru dunia, di antaranya;
the rights to be free from governmental violation of integrity of the person; the right to enjoy civil and political liberties; and the right to such vital needs as food, shelter, health care, and education”.[12]   
Kebijakan luar negeri HAM AS ini, mendapat tantangan serius ketika kepentingan strategis, ekonomi, dan keamanan AS terancam di negera lain. Persoalan ini kemudian menjadi pertarungan sengit di antara para pembuat kebijakan luar negeri AS dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya.
Di Chile bahkan, AS pun berani mengubah tradisi demokrasi negara itu yang sudah berlangsung sejak tahun 1930-an, karena merasa kepentingan nasionalnya terganggu. Semasa pemerintahan Richard M. Nixon dari Partai Republik, CIA dan pejabat tinggi pemerintahan AS terlibat aktif dalam mendukung kudeta militer Augusto Pinochet, dalam menggulingkan pemerintahan Allende yang mendapat mandat sah dari pemilu yang demokratis. Setelah kudeta berlangsung, Direktur CIA William Colby mengkonfirmasi dan membenarkan dukungan ekonomi dengan jumlah US$ 6.476.166 kepada partai politik di Chile, media, dan organisasi sektor privat di Chile yang menentang Salvador Allende.[13] Padahal, selama Pinochet[14] berkuasa, dia memimpin mejadi rezim pelanggar HAM dan anti demokrasi.
Menurut Darren Hawkins dalam Encyclopedia of Human Rights,[15] pemerintahan junta militer dipimpin oleh empat orang yaitu; Augusto Pinochet untuk Angkatan Darat, Jose Merino untuk Angkatan Laut, Gustavo Leigh untuk Angkatan Udara, dan untuk Kepolisian Cesar Mendoza. Angkatan Darat secara tradisional menjadi paling berpengaruh dan sejak Desember 1974, Pinochet diangkat sebagai Presiden. Di bawah Pinochet, pemerintahan Chile memiliki tiga misi utama: mengeliminasi Marxisme, membangun ulang ekonomi, dan stabilisasi sistem politik baru.[16] Dirección de Inteligencia Nacional (DINA) atau dinas intelijen nasional di bawah kepemimpinan Manuel Contreras[17] adalah badan yang paling bertanggung jawab terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM selama 1973-1977 sebagai akibat dari politik eliminasi Marxis.
Membangun ulang ekonomi dapat diartikan sebagai mengadopsi secara cepat prinsip-prisip ekonomi neoliberal. Prinsip-prinsip ini berfokus pada pengurangan peran pemerintahan dalam sektor ekonomi, terutama dengan memotong sejumlah anggaran subsidi; menurunkan pajak impor; dan menjual perusahaan milik negera. Stabilitas politik berarti pemerintahan akan dipimpin oleh junta militer selama beberapa waktu, karena demokrasi dan konstitusi tidak dapat berdiri bersama Marxisme. Otoritas resmi sering membuat klaim hanya militerlah yang mampu membasmi kangker Marxisme dari tubuh sistem politik Chile.[18]
Meski jumlah komprehensif pelanggaran HAM selama pemerintahan junta belum pernah terpublikasi[19] secara utuh, tahun 1990 pemerintahan demokratik baru di bawah Presiden Aylwin membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi  itulah yang pada 1991 menerbitkan laporan tentang jumlah korban meninggal dunia dan orang yang dihilangkan di Chile. National Corporation of Reparation and Reconciliation mencatat ada 1.792 orang mati akibat pelanggaran HAM oleh pemerintahan Pinochet, selama periode September-Desember 1973.
Organisasi di bawah otoritas Gereja Katolik banyak mencatat detail persoalan orang hilang dan korban di bawah kepemimpinan junta militer. Adalah Committee of Cooperation for Peace (COPACHI) yang kemudian menjelma menjadi organisasi bernama Vicariate of Solidarity (Solidaritas Korban). COPACHI bekerja sama dengan jaringan di luar Chile dan mampu melakukan advokasi internasional dengan mengirimkan laporan tersebut kepada Amnesti International, International Committee of the Red Cross (ICRC), American Watch, the International Commission of Jursits, PBB, Organization of American State (OAS), dan lain-lain.
Akibat laporan ini, untuk pertama kali Majelis Umum PBB mengutuk pemerintahan Chile pada bulan Desember 1974. Dan, untuk pertama kalinya, penyalahgunaan wewenang negara dengan pelanggaran HAM dikritisi, meski tanpa menghubungkan persoalan ini dengan masalah keamanan internasional. Inggris lantas menghentikan penjualan senjata ke Chili 1974, dan AS, berdasarkan tekanan yang dilakukan oleh Senator Edward Kennedy dan lain-lain, mengurangi bantuan ekonomi ke Chile. AS akhirnya menghentikan bantuan militer, namun tidak menghentikan penjualan senjata.[20]
Hal-hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip HAM yang diyakini pemerintah dan warga AS. Di titik inilah politik luar negeri AS kerap menjadi bertolak belakang terhadap nilai-nilai yang diyakini AS, yaitu dukungan terhadap demokrasi dan pemajuan HAM. Pertanyaannya kemudian, mengapa hal itu bisa terjadi? Di mana posisi nilai-nilai tersebut dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri? 

Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian tesis ini adalah apa makna HAM dan demokrasi dalam politik luar negeri Amerika Serikat –yang memiliki iklim demokrasi di dalam negerinya? Bagaimana relevansi dukungan AS pada rezim yang anti demokrasi dan HAM terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM yang dianut oleh AS? Dan mengapa politik luar negeri AS di Chile, sejak masa pemerintahan Richard Nixon sampai George H.W. Bush, mendukung rezim Augusto Pinochet? Padahal, Pinochet dikenal sebagai presiden yang anti demokrasi dan telah banyak melakukan berbagai pelanggaran HAM, dan hal ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai AS seperti pemajuan demokrasi dan penghormatan serta perlindungan terhadap HAM.
[Jika kawan-kawan tertarik menyimak lebih lanjut jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Tesis penelitian ini adalah sebuah konsep yang penulis sebut sebagai “capital securitizing”. Konsep capital securitizing merupakan definisi operasional yang ingin menjelaskan bagaimana cara kerja dari proses pembuatan kebijakan luar negeri AS yang tidak sejalan dengan nilai-nilai ideal politiknya. Silahkan hubungi saya untuk mendapatkan versi lengkap pdf-nya, di awigra@gmail.com]

Berikut dua endorsement dari Baskara T. Wardaya dan Robert Bala setelah membaca tesis saya, berikut petikannya:

"Secara geografis boleh saja dikatakan bahwa negara Chile itu sangat jauh dari Indonesia. Namun demikian kasus-kasus yang dialami Chile dalam hal pengaruh Perang Dingin, cengkeraman modal asing serta ambiguitas pelaksanaan demokrasi sangat mirip dengan Indonesia. Dengan jeli buku ini menggambarkan semuanya itu dan kita bisa belajar banyak darinya."

Baskara T. Wardaya
, penulis buku Cold War Shadow: United States Policy toward Indonesia 1953-1963.

Studi kasus Cile yang dibuat Daniel Awigra, menunjukkan bahwa idealisme demokrasi begitu kontradiktif di lapangan. Jaminan modal ternyata lebih kuat ketimbang idealisme demokrasi. Kasus yang sama akan terus melukai sejarah karena kata dan laku, idealisme dan praksis tidak hadir secara sinkron.

Robert Bala, Pemerhati Amerika Latin

[1] David F. Schmitz, The United States and Right-Wing Dictatorships, 1965-1989, Cambridge University Press, 2006, hal. 1
[2] Peter R. Baehr, Hak-hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri, Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal.87
[3] Ibid., hal. 89
[4] David F. Schmitz, Op.Cit., hal. 241
[5] Naomi Klein, Shock Doctrine, Penguin Books, 2008, hal. 57-59 
[6] Ibid., hal. 59
[7] Grace Livingstone, America’s Backyard: The United States and Latin America from the Manroe Doctrine to the War on Teror, Zed Books Ltd, 2009, hal. 58,  militer AS berkomunikasi sampai saat kudeta berlangsung, dan terus berkomunikasi mendukung junta militer. Dari dokumen yang telah dipublikasikan, AS tidak secara langsung mendukung kudeta, namun hanya menciptakan suasana yang tepat untuk melaksanakan kudeta. Tahun 1975, rapat senat mempertanyakan apakah AS secara langsung terlibat dalam kudeta? Komite menemukan tidak memiliki bukti untuk hal tersebut. Militer Chile dan stafnya yang melaksanakan kudeta. Sampai sekarang cerita utuh tentang kudeta Allende belum bisa dikatakan. Banyak dokumen AS yang telah dipublikasikan, disensor habis-habisan.
[8] Tim Weiner, Membongkar Kegagalan CIA, Spionase Amatiran Sebuah Negara Adidaya, Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. xv
[9] Klein, Op.Cit., hal. 196
[10] Ibid., hal. 67
[11] James Baker dalam Mevelin I. Urofsky, Basic Readings in US Democracy, United States Information Agancy, Washington DC, 1994, hal. 354-355  
[12] Ibid.
[13] Jeremi Suri, Henry Kissinger and the American Century, The Belknap Press of Harvard University Press, 2007, hal. 239
[14] Augusto José Ramón Pinochet Ugarte (Valparaíso, 25 November 1915–Providencia, 10 Desember 2006). Menurut Oppenheim, Lois Hecth, Politics In Chile: Democracy, Authoritarianism, and the Search for Development, Second Edition, Westview Press, 1999, Komisi HAM Chile melaporkan sebanyak 2.279 orang dibunuh selama pemerintahan Pinochet, 17,8 persennya berasal dari partai sosialis, 16,9 berasal dari MIR, dan 15,5 berasal dari komunis militan.
[15] David P. Forsythe (ed), Encyclopedia of Human Rights, on the article “Chile in the Pinochet Era” by Darren Hawkins, Oxford, 2009, hal. 309-319
[16] Ibid.
[17] Adalah Kolonel Manuel Contreras, Kepala Dinas Intelijen di bawah Pinochet yang mengaku bertanggung jawab atas berbagai pembunuhan dan penyiksaan kejam tersebut. Dia menjadi agen bayaran CIA dan bertemu dengan petinggi CIA di Virginia dua tahun setelah kudeta. Contreras akhirnya dipenjara selama 7 tahun setelah rezim Pinochet yang berkuasa selama 17 tahun tumbang, Tim Weiner, Op.Cit., hal. 403-404.
[18] Forsythe (ed), Op.Cit., hal. 310-311
[20] Ibid., hal. 311-312

6 comments:

Setepen Anderi said...

Mau PDF-nya dong Mas Awi..

Unknown said...

ini siapa?

via said...

keren mas awi tesisnya...kontradiksi antara politik dalam negeri AS yang mengagungkan kebebeasan n menghormati HAM..tp politik luar negerinya tidak begitu kalau kepentingan ekonominya terancam...sama kaya dulu di Indonsia yang memakai PKI as kambing hitam untuk menggolkan penerapan ekonomi neolibnya amrik. ternyata di chili juga begitu.. akhirnya lagi-lagi demi pengamanan kepentingan ekonominya AMerika lebih memilih melindungi kaum kapitalisnya...:( dan mengenai sandi OPERasi Jakarta , makin jelaslah kalo peristiwa 65 AS dibaliknya..:(...mau nanya mas awi..kalau dalam kasus seperti ini ada rakat satu negara yang dikorbankan sudah jelas ini mengenai kepentingan ekonomi AS didukung oleh pemerintahannya..tidak adakah lembaga yang bisa memberi hukuman or apapun itu bentuknya..selain kesadaran dr rakyat chile or Indonesia or negara lain untuk sadar bahwa negaranya sedang digerus untuk kepentingan ekonomi amerika atau rakyat AS yang lebih peduli menekan pemerintahnya agar lebih idealis mengutamakan HAM drpd kepentingan kapitalis...

Unknown said...

lembaga yang bisa menjerat penjahat HAM itu ya International Criminal Court (ICC). Dan AS tidak mau masuk dalam lembaga ini. Jadi, hubungan internasional itu sifatnya anarkhi. Tidak ada pemerintahan internasional. Jika ada satu regime yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional suatu negara, karena posisi tiap negara berdaulat, maka bisa jadi mereka ngga mau ikut regime itu... Semoga menjawab Via...

via said...

ya mas Awi...baru selesai baca bab IInya...aku pernah dengar istilah anarki horisontal dr mas Ananta wkatu sesi nasum modul sospol lalu...kalo seperti itu berarti yg dilakukan negara semacam AS itu sah karena pemerintah negara yang bersangkutan * Chile memuluskan jalannya...apa bedanya kasus dengan pelanggaran ham yang nyata terlihat (genoside) yg dilakukan suatu pemerintahan kepada warganya..atau ke warga negara lain kaya di Boznia,or Irak yg bisa dibawa ke pengadilan HAM internasional?

Unknown said...

ICC bisa menuntut 4 kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) seperti : crimes against humanity, crimes against war, the crime of genocide dan the crimes of aggression. Nah, ICC ini seperti badan dunia lain di PBB yang bisa menjerat negara yang telah meratifikasi konvensi...