Pages

Monday, August 27, 2007

Mi Habitacion

Mi habitacion es mi favorito lugar en el mundo. Es muy comoda. Realmente, mi habitacion solo es un dormitorio. Esta en el segundo piso de mi cassa.

Delante de la puerta, hay una esclara. Al entrar a mi habitacion puedes mirar muchas fotografas de fubolistas en la pared. A lado de la puerta, hay una ventana. A traves de la ventana puedes mirar el mercado de Tanahabang.

Tiene una cama y una messa y una silla yt una estanteria y un armario. En mi cama, yo siempre descanso mientras escuchar la musica y leer un libro despues de volver de la oficina. Para el, hay muchos libros encima del suelo. Por que mi estanteria ya osta llena con muchos libros tambien. Me gusta tener estanteria nueva. Pero, no hay mas lugar en mi habitacion. Estoy melanolico. Tener una bastante grande es mi sueno.

En mi habitacion, yo no solo descanso, pero trabajo tambien. Mis pasatiempos son leer y escribir. En la messa, a la derecha de la puerta yo siempre escribo un ensayo y una poesia. Creo que con escribir, puedo vivir la vida en el mundo para siempre.

Antes y despues de duermo, siento en la silla para rezar cada una dia y noche. Muchas gracias!

Wednesday, August 22, 2007

DILEMA

Satu minggu ini, aku lebih melankolis dari biasanya. Ada perasaan berat di antara sum-sum tulang-tulang tubuhku. Lemas. Mataku sayu. Perut sering kubiarkan kosong. Wajahku semakin kumal. Senyum menjadi barang langka.

Perasaanku sedang merajai raga ini. Tak kuasa aku bisa menahannya. Seketika dia membawaku dalam romantisme bahagia, dan sekietika pula dia membawaku dalam suasana sedih nesatapa. Air matapun menitik. Itu pun kubiarkan. Kehangatannya menyapa kulit mukaku.

Dilema. Begitulah judulnya. Semuanya menjadi gamang. Semuanya ragu. Mataku ke mana, hatiku di mana. Ragaku ada, jiwaku tiada. Nafasku nyata, tapi tidak dengan rasaku. Seorang berkata, lupakan saja, dan yang lain ngomong sebaliknya. Aku sendiri, diam. Kosong.

Aku tahu masalahnya. Tapi tak kuasa aku menyelesaikannya. Nalar ini sangat anti terhadap kata 'nasib' namun hati saat ini ingin mengatakan, baiarkan saja mengalir. Aku lunglai. Tak punya pegangan.

Masalahnya adalah masalah cinta. Masalah rasa. Maka biarlah rasa itu sendiri yang menyelesaikan urusannya. Karena, tubuhku adalah ruang bebas bagi setiap anggotanya. Dan perasaanku, sekarang sedang menjadi lakon.

Dalam dilema, aku masih sempat berharap. Aku hanya berharap, penyelesiannya tidak lama lagi. Karena, aku sudah merindukan sinar mentari semangatku.

Sudahlah. Hidup hanya sekali, take it easy.... Wi!!!

Tuesday, July 31, 2007

Singa Mesopotamia Mengukir Sejarah

"Singa Mesopotamia" Iraq mengukir sejarah. Mereka tampil perkasa menumbangkan "Rajawali Hijau" Arab Saudi, dalam final Piala Asia 2007, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (29/7). Lewat sundulan kapten Iraq, Younis M. Khallef, Arab digulung, 1-0 (0-0).

"Kemenangan ini kami persembahkan untuk rakyat Iraq yang menderita akibat perang," ujar Younis usai pertandingan. Dia juga menambahkan, kemenangain ini juga ditujukan bagi pengorbanan seorang ibu yang kehilangan anaknya usia 12 tahun, dalam insiden bom di Baghdad yang menewaskan 50 orang beberapa hari yang lalu usai Iraq memastikan diri lolos ke final dengan menundukan Kesatria Teaguk, Korea Selatan lewat drama adu pinalti.

Sementara pelatih Iraq, Jorvan Vieira berpendapat, harusnya timnya bisa mencetak gol lebih banyak. Tapi dia juga mengaku sangat bangga melihat anak asuhnya dan orang-orang Iraq yang disebutnya pekerja-pekerja keras. Pelatih Arab Saudi Helio dos Anjos, juga mengakui kehebatan lawannya.

Dengan ini, Iraq untuk pertama kali menjuarai ajang sepak bola paling bergengsi di Asia, asekligus mematahkan ambisi Arab menyabet gelar keempatnya di Pila Asia. Timnas dari ‘negeri seribu satu malam’ ini berhasil memberikan senyum dan kebahagiaan kepada rakyat yang sedang menderita akibat invasi Amerika Serikat.

Tanggung jawab yang sangat besar untuk membuat rakyat Irak tersenyum lewat sepak bola, ditunjukkan dengan konsentrasi tinggi dan perjuangan sangat gigih Younis dan kawan-kawan.

Pertarungan dua raksasa Asia Barat kemarin sungguh sangat luar biasa. Dendam kesumat untuk saling mengalahkan sangat membara. Pada Piala Asia 1996, Arab Saudi unggul tipis 1-0. Kemudian pada 26 Juli 2004, "Singa Mesopotamia" mengalahkan Arab Saudi di penyisihan Grup C Piala Asia di Stadion Sichuan Longquanyi, Chengdu, China. Di Jakarta, Iraq kembali
menunjukkan keperkasaannya.

Satu-satunya gol yang menghantar Iraq menjadi kampiun Asia adalah lewat sundulan Younis memanfaatkan umpan Hawar Taher dari sepak pojok pada menit ke 70. Bola dari kiri lapangan Arab gagal dihalau oleh kiper Yasser Al Mosailem. Tanpa mengalami banyak kesulitan penjagaan, Younis dengan cermat menjemput bola dengan tandukan kepalanya.

Tampil sangat dominan, Arab dibuat kuwalahan dan hanya bisa bertahan dan sesekali melakukan serangan balik. Dari pengamatan penulis, Yasser Al Qathani yang dikawal ketat tiga pemain bertahan Iraq hanya mampu menghasilkan satu peluang emas pada menit ke-44 babak pertama. Sisanya, Yasser tak mampu banyak berkutik. Supply bola dari pemain tengah Arab kepadanya selalu kandas oleh pemain-pemain bertahan Iraq.

Malek Alhawsawi yang pada laga semifinal melawan Jepang menjadi pahlawan Arab, malam itu juga praktis hanya mendapatkan satu peluang pada menit ke-67. Selebihnya, lini pertahanan Arab digempur habis-habisan.

Masih bersyukur Al Mosailem tampil baik hanya kebobolan satu gol. Padahal, Iraq berhasil melakukan 11 shoot on goal yang menusuk hampir saja mengoyak jaring Arab.

Pemain Iraq pemilik nomor punggung 11, Hawar M. Taher tampil gilang-gemilang. Ia mampu memenangkan duel dan menjadi inspirator serangan Iraq.

Dihadapan lebih dari 50 ribu pasang mata yang menyaksiskan langsung serta puluhan juta pasang mata di seluruh dunia, Iraq akhirnya menjadi juara Asia. Dan Jakarta yang malam itu diterangi purnama, menjadi saksi sejarah yang akan selalu membekas bagi warga Iraq khsusnya.

Pemain Terbaik
Younis M. Khallef striker yang kini bermain di Liga Qatar bersama klub
Al Gharafa menjadi pahlawan Iraq. Selain menjadi Pemain terbaik Piala Asia 2007, ia juga mampu menyamai ketajaman Yasser Al Qathani dengan sama-sama mengoleksi 4 gol.

ANAK-ANAK SORGA

Suatu hari, Ali Mandengar sulung dari seorang keluarga miskin sedang berbelanja di sebuah warung penjual sayur-mayur. Ia baru saja pulang dari mengambil sepatu Zahra -adiknya- yang baru saja diperbaiki. Namun, malang bagi Ali, sepatu Zahra diambil orang.
Pulang dengan wajah sedih, Ali menceritakan kepada Zahra apa yang terjadi. Zahra begitu sedih mendengar sepatunya hilang.
Sebagai bentuk pertanggungjawabannya, Ali meminjamkan sepatunya kepada Zahra untuk dipakainya bersekolah. Mereka selalu bergantian sepatu di sebuah gang. Zahra yang baru duduk di kelas 1 sekolah dasar, masuk pagi. Dan ia selalau terburu-buru untuk pulang supaya kakaknya tidak terlambat sekolah.
Mulai dari sini Ali yang cerdas mulai dilanda masalah di sekolahnya. Ia selalu datang terlambat.
Kesempatan bagi Ali untuk dapat mengganti sepatu Zahra tiba ketika ia melihat ada sebuah pengumuman perlombaan lari jarak jauh antar pelajar.
Namun malang bagi Ali, ia terlambat mendaftar. Ia membujuk guru olahraganya. Tetap saja, izin mengikuti lomba itu tidak diberikan. Seperti umumnya anak-anak Ali pun meneteskan air mata. Sambil menangis, ia berjanji akan menjadi juara.
Kesempatan pun tidak ia sia-siakan. Walaupun ia menjuarai lomba, tetap saja, ia tak bisa mengganti sepatu adiknya yang hilang. Karena ia menjadi juara pertama. Padahal hadiah sepatu diberikan kepada juara ketiga. Kebahagiaan sebagai juara pertama samasekali tidak diharapkan Ali. Satu-satunya kebahagiaan baginya adalah mampu menggantikan sepatu Zahra.
Pesan persaudaraan dan pesan berbagi dalam Children of heaven, bukan saja dimaksudkan -melulu- untuk saling memberi dan menerima sesama orang menderita. Namun, bagi siapa saja di muka bumi ini yang masih punya nurani.
Ali telah memberikan semua yang ia miliki demi melihat adiknya bisa bersekolah. Dan Zahra, walaupun dia baru saja di kelas 1 sekolah dasar, mampu memahami perasaan ibunya yang sedang sakit dan bapaknya yang tidak punya cukup uang untuk membelikannya sepatu baru. Maka, Majid Maijidi tepat sekali memberi judul film itu; Children of Heaven atau anak-anak sorga.
Kisah Ali dan Zahra bagiku bukan kisah yang mengada-ada. Itu sungguh-sungguh nyata. Aku adalah saksi hidup atas cerita-cerita semacam itu. Aku dilahirkan dan dibesarkan dalam situasi umum -kampung halaman- di mana kemiskinan hampir menghantui setiap keluraga.
Seolah-olah, siapa yang bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan semacam itu, dia ibarat mendapatkan mukjizat zaman ini.
Padahal, jika kita mau jujur, permasalahan kemiskinan di muka bumi ini bukan disebabkan oleh kesalahan si-miskin yang bodoh, dan malas. Namun, ketika kita melihat bumi di sebelah 'utara' sana, dan ketika setiap orang rela berbagi sedikit saja apa yang menjadi kelimpahannya, tidak akan terjadi apa itu kelaparan di 'selatan'

Monday, July 30, 2007

MENYUSUR KAWASAN PECINAN LAMA, MENGUAK POLITIK ADU DOMBA

Menyusuri jalan-jalan sempit dan pengap di kawasan Pecinan Lama - Glodok, Jakarta Barat pada suatu siang bolong di hari Minggu, sama juga seperti menyusuri lika-liku serta panas teriknya kehidupan etnis tionghoa di Indonesia.
Sikap penguasa negeri ini terhadap etnis berkulit kuning, ikut menentukan pasang-surutnya gelombang kehidupan mereka.
Bersama dengan teman-teman Komunitas Agenda 18, sampailah kami pada sebuah klenteng berusia lebih dari 350 tahun di Jalan Kemenangan III. Kim Tek Ie, itulah nama yang diberikan oleh pendirinya, Kapitein Oei Tjhie.
Dalam bahasa Indonesia kata Kim Tek Ie berarti; Kelenteng Kebajikan Emas. Hal itu dimaksudkan untuk mengingatkan manusia agar tidak hanya mementingkan kehidupan materialisme tetapi lebih mementingkan kebajikan antar manusia.
Etnis Tionghoa di Jakarta
Sejak zaman dulu, wilayah yang saat ini disebut Jakarta sudah dikenal sebagai kota perdagangan. Banyak orang dari berbagai penjuru dunia mengadu nasib di sini. Tentu saja, Jakarta menjadi kota yang kaya akan etnis dan bahasa.
Fa Hien (seorang misionaris Buddha asal Cina, sekitar tahun 414 masehi) mencatat, dalam berita Cina, mereka sudah menjalin hubungan dengan kerajaan To Lo Mo (Taruma Negara). Ia juga mencatat, telah ada penganut agama Buddha di pulau Jawa, walaupun masih dalam jumlah yang tidak banyak.
Baru, pada abad ke-12 sampai abad ke-16 perdagangan di pelabuhan Kalapa menjadi sangat ramai. Orang-orang Cina yang menjadi pedagang dan tinggal di Kalapa mendapat jaminan perlindungan dari Kaisar Ming.
Semasa kedudukan VOC, mereka mendesain Jayakarta menjadi BataviaJakarta tempo dulu – sebagai kota heterogen. Jan Pieterzoon Coen mengajak Siauw Beng Kong salah seorang tokoh Cina di Banten, pada Oktober 1619 beberapa bulan setelah Coen menguasai Jayakarta (30 Mei 1619) membangun Batavia. Maka, Siauw Beng Kong diangkat sebagai Kapiten Der Chinese.
Bersama orang-orangnya, Siauw Beng Kong mendapat hak khusus untuk menempati perkampungan khusus etnis tionghoa di Glodok.
Komunitas Cina ditempatkan pada sebelah Selatan kasteel yang kini dikenal dengan kawasan Pecinan Glodok, Toko Tiga Seberang, Patekoan atau Jalan Perniagaan, Pasar Pagi Lama, Pancoran dan Petak Sembilan. Mereka bebas melakukan ritual keagamaan dan meneruskan tradisinya. Seperti perayaan Imlek, Cap Go Meh, Peh Cun, Barongsai dan Liong. Arsitektur rumah-rumahnya pun dibolehkan memuat gaya Mandarin.
Dibolehkannya komunitas Cina melakukan ritual keagamaan, maka dibuatlah klenteng (rumah ibadat penganut Budha). Satu di antaranya adalah klenteng Kim Tek Ie.
Tragedi 1740
Sejarawan Betawi Alwi Shahab (69), dalam bukunya “Robin Hood Betawi”, tragedi ini bermula dari isu pada bulan September 1740. Di mana, ratusan –mungkin lebih– orang Cina yang di deportasi Belanda ke Sri Lanka (waktu itu menjadi jajahan Belanda) dilempar ke laut. Mendengar berita ini, orang-orang etnis tionghoa di Batavia menjadi marah. Aksi balas dendam pun dirancang.
Awal Oktober 1740, dengan dilengkapi senjata hasil rampasan tentara Belanda, orang-orang Cina bergerak menyerang kekuatan kecil Belanda di Meesteer Cornelis (kini Jatinegara) dan Tanah Abang. Serangan itu menewaskan lima puluh tentara kompeni.
Kemudian, di bawah pimpinan Jendral Van Imhoff, tentara Belanda melakukan operasi pembersihan. Dengan kekuatan utuh, pertumpahan darah menjadi tak terelakkan lagi.
Pagi-pagi buta, tanggal 9 Oktober 1740, seperti ditulikan Willard A Hanna dalam buku Hikayat Jakarta, “Tiba-tiba, secara tidak terduga, seketika itu juga terdengar jeritan ketakutan bergema di seluruh kota. Dan terjadilah pemandangan paling memilukan dan perampokan di segala sudut kota.”
Gamabaran horor pembantaian itu dipertegas lagi oleh Hanna, “Semua orang Cina tanpa kecuali! Pria, wanita, dan anak-anak diserang. Baik wanita hamil maupun bayi yang sedang menyusu tak luput dari pembantaian yang tak mengenal prikemanusiaan. Ratusan tahanan yang dibelenggu, disembelih seperti menyembelih domba.”
Tragedi itu menewaskan sekitar sepuluh ribu etnis Cina di Glodok. Menurut cerita salah seorang yang tinggal di sekitar klenteng itu, orang-orang yang berhasil lolos dari tragedi itu, mereka lari ke benteng para pejuang Indonesia di Tangerang. Makanya, kata dia, sekarang banyak orang etnis Tionghoa di Tangerang yang disebut Cina Benteng.
Kim Tek Ie juga musnah terbakar dalam tragedi pembantaian Angke. Satu-satunya yang menjadi saksi bisu adalah sebuah altar (meja sembahyang) yang bertuliskan angka 1724.
Roda sejarah
Roda sejarah terus berputar. Siang berganti malam. Rembulan tersenyum dan menghilang. Tahun demi tahun menggelinding begitu saja. Namun, negeri ini tidak juga bisa menyelesaikan persoalan diskriminasi baik atas dasar warna kulit, agama, persepesi politik dan lain-lain.
Pelabelan sepihak kepada satu golongan masyarakat terus dipelihara sebagai investasi politik adu-domba demi tujuan tertentu.
Mei 1998 -kembali- etnis tionghoa menjadi korban kerusuhan yang tak kalah tragisnya dengan apa yang terjadi pada 1740.
Menurut catatan Wilkipedia, isu itu dimulai dari benih kecemburuan yang sengaja diciptakan oleh kelompok-kelompok militer dengan dibantu aktivis-aktivis sesat (geng, Pemuda Pancasila, dll) termasuk kelompok yang meyalah gunakan agama Islam, terus menerus dalam usahanya untuk mempertahankan kekuasaan dengan segala cara.
Pemerkosaan massal, pembakaran, dan perampasan paksa yang terjadi pada tanggal 12 dan 13 Mei 1998 adalah salah satu puncaknya, di mana rakyat jelata (sebagian besar kaum pribumi miskin) diprovokasi oleh tim militer dibawah pimpinan Prabowo Subianto untuk melakukan aksi pengrusakan dan pembakaran di Jakarta dan Solo, menyusul insiden sebelumnya di Medan. Ironisnya, bukan saja kaum keturunan Cina yang menjadi korban dari tragedi ini, namun juga kaum pribumi jelata yang tewas mencapai ribuan karena terpanggang dan aksi brutal polisi.
Pemerkosaan dan pembunuhan massal terhadap perempuan-perempuan keturuan Cina yang meskipun hingga kini oleh politisi/militer dan terutama oleh golongan yang mengaku dirinya pembela Islam, terus menerus disangkal. Padahal, bukti-bukti menunjukkan insiden tersebut benar-benar telah terjadi dan memakan ribuan jiwa.
Pengusutan terhadap tragedi ini, menjadi hanya gincu politik yang tak pernah serius diungkap. Karena, mengungkap tragedi ini ibarat menunjukkan aib dari para penguasa yang sedang memimpin sekarang. Aib tetaplah aib. Seberpa pun rapatnya penguasa menyimpan rapi di almari besinya, tetap saja kebenaran akan tetap berteriak-teriak.

Meminjam kata-kata Seno Gumira Ajidarma, kebenaran itu dapat diungkap salah satunya dengan karya sastra. Karena akar sastra adalah kebenaran. Ketika jurnalisik yang bekerja mengungkap fakta dibungkam oleh penguasa, dibantu oleh para politikus yang menurut Seno kerjanya hanya menutupi fakta. Maka fakta bisa saja tidak terungkap. Namun tidak bagi sebuah kebenaran. Dari situ Seno menulis sebuah buku yang berjudul, “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”.
Akhir Juli 2007
Daniel Awigra