Pulang dengan wajah sedih, Ali menceritakan kepada Zahra apa yang terjadi. Zahra begitu sedih mendengar sepatunya hilang.
Sebagai bentuk pertanggungjawabannya, Ali meminjamkan sepatunya kepada Zahra untuk dipakainya bersekolah. Mereka selalu bergantian sepatu di sebuah gang. Zahra yang baru duduk di kelas 1 sekolah dasar, masuk pagi. Dan ia selalau terburu-buru untuk pulang supaya kakaknya tidak terlambat sekolah.
Mulai dari sini Ali yang cerdas mulai dilanda masalah di sekolahnya. Ia selalu datang terlambat.
Kesempatan bagi Ali untuk dapat mengganti sepatu Zahra tiba ketika ia melihat ada sebuah pengumuman perlombaan lari jarak jauh antar pelajar.
Namun malang bagi Ali, ia terlambat mendaftar. Ia membujuk guru olahraganya. Tetap saja, izin mengikuti lomba itu tidak diberikan. Seperti umumnya anak-anak Ali pun meneteskan air mata. Sambil menangis, ia berjanji akan menjadi juara.
Kesempatan pun tidak ia sia-siakan. Walaupun ia menjuarai lomba, tetap saja, ia tak bisa mengganti sepatu adiknya yang hilang. Karena ia menjadi juara pertama. Padahal hadiah sepatu diberikan kepada juara ketiga. Kebahagiaan sebagai juara pertama samasekali tidak diharapkan Ali. Satu-satunya kebahagiaan baginya adalah mampu menggantikan sepatu Zahra.
Pesan persaudaraan dan pesan berbagi dalam Children of heaven, bukan saja dimaksudkan -melulu- untuk saling memberi dan menerima sesama orang menderita. Namun, bagi siapa saja di muka bumi ini yang masih punya nurani.
Ali telah memberikan semua yang ia miliki demi melihat adiknya bisa bersekolah. Dan Zahra, walaupun dia baru saja di kelas 1 sekolah dasar, mampu memahami perasaan ibunya yang sedang sakit dan bapaknya yang tidak punya cukup uang untuk membelikannya sepatu baru. Maka, Majid Maijidi tepat sekali memberi judul film itu; Children of Heaven atau anak-anak sorga.
Kisah Ali dan Zahra bagiku bukan kisah yang mengada-ada. Itu sungguh-sungguh nyata. Aku adalah saksi hidup atas cerita-cerita semacam itu. Aku dilahirkan dan dibesarkan dalam situasi umum -kampung halaman- di mana kemiskinan hampir menghantui setiap keluraga.
Seolah-olah, siapa yang bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan semacam itu, dia ibarat mendapatkan mukjizat zaman ini.
Padahal, jika kita mau jujur, permasalahan kemiskinan di muka bumi ini bukan disebabkan oleh kesalahan si-miskin yang bodoh, dan malas. Namun, ketika kita melihat bumi di sebelah 'utara'
1 comment:
Ali dan Zahra...adalah potret realita kehidupan yang diangkat dalam film yang ditata dengan apik dan cerita yang menyentuh siapapun...
Tidak banyak orang mampu berefleksi dari kisah film ini. tapi Awi cukup jeli mencoba memaknainya. kapankah para pejabat yang duduk ongkang2 mampu merefleksikannya juga ?
kemiskinan bukan kodrat tapi adalah muslihat yang dikondisikan oleh pejabat yang tidak punya niat mengangkat orang melarat, tapi hanya dengan dengan modal nekat(d) bersikap gila hormat, gila pangkat dan martabat meski harus dengan "menjilat". lebih mulia mereka yang melarat menjilat keringatnya sendiri daripada para pejabat yang laknat menjolat keringat kaum melarat..
bangkitlah Indonesia rayaku dari kemiskinan hati, budi dan moral para kaum pejabatnya..(tapi kapan ya?)
Post a Comment