Aku sudah memulai sebuah pendakian. Tapak-tapak kakiku pun sudah berceceran di belakangku. Namun, tapal batas jalan baru menunjukkan angka 26. Entah sampai berapa patok-patok angka itu selesai berhitung dan menyapaku.
Saat ini, adalah hari ke-26, bulan ke 7 tahun masehi. Aku memutuskan berhenti agak lama. Selain beratnya kaki untuk diajak -kembali- melanjutkan langkah, aku juga masih ingin bergelut dengan angan dan rasaku sendiri.
Bersandar pada punggung bebatuan ditemani semilir angin pegunungan, dahaga di kerongkonganku berlahan muali sirna.
Perhentian demi perhentian memang telah aku lalui satu per satu. Namun, perhentianku saat ini sedikit berbeda. Selain musim dan tempat peristirahatannya yang berbeda, tanda-tanda disekelilingku pun jika kuperhatikan cukup unik.
Aku sesungguhnya tidak tahu kapan aku pertama kali memulai perjalanan ini. Seseorang beberapa kali memberi tahuku kapan aku memulai perjalanan ini. Walau aku tidak tahu sama sekali kapan aku mulai perjalanan ini, namun aku sungguh percaya kepada orang itu. Dan
ingin kukabarkan kepada dunia, aku sungguh mencitai orang-orang itu. Dan hidupku kupersembahkan untuknya. Dia yang telah berperang dengan hidupnya sendiri demi aku. taruhannya, hidupnya sendiri.
Dia bilang, ketika itu fajar belum juga menampakkan dirinya, ayam jantan pun masih terlelap di ujung mimpinya. Kala itu musim panas. Dan waktu itu, orang masih lebih percaya takhayul dari pada ilmu pengetahuan.
Sama seperti hari ini, perjalananku juga dimulai pada hari ke-26 pada bulan ketujuh tahun masehi.
Dalam perhentian ini, aku tidak ingin sekedar melepas lelah. Aku mencoba membalikkan badan. Aku melihat sisa-sisa tapak kakiku. Dan kulihat jejaknya. Karena, hanya itu yang tersisa. Bayanganku pun sudah berada di bawahku. Mungkin sebenatar lagi, dia akan mendahuluiku.
Jejak-jejak itu mulai kuhidupkan kembali lewat memori dan rasa yang masih tersisa. Mencoba mengenang setiap jejak, seperti melihat diriku dalam sebuah rumah kaca yang sudah mulai buram.
Tak apalah, biarlah itu menjadi cermin dirku sendiri yang utuh. Aku harus bisa menerima siapa diriku sesungguhnya, dalam kacamataku sendiri. Aku ingat waktu baru saja meninggalkan perhentian ke-25, asaku bangkit untuk menghalau semua keraguan dalam dada.
Aku memaknai pal 25 sebagai titik yang paling kritis. Aku menyambungkan angka 25 dengan matematika sederhana. 2 + 5 = 7. Dalam mitologi Jawa, angka 7 adalah simbol dari kematian. Artinya dalam 25 terkandung unsur yang bagi banyak orang menjadi hantu tersendiri. Dan 25 adalah titik pertengahan menuju 30. Dan pertengahan berarti juga ada keseimbangan. Aku percaya kala itu, ketika aku bermain-main dengan di 25, maka kematian resikonya.
Nah, dalam saat itu juga aku mulai merancang -dalam angan- seperti apa wujud kematianku nanti. Aku berharap dalam hidupku tidak usah banyak merepotkan orang-orang di sekelilingku. Kalaupun diizinkan, biarlah aku mati dalam sebuah perjuangan. Dengan tangan yang masih mengepal. Dan senyum yang terkembang. Gelora asa perjuangan itu yang akan kutitipkan dalam upacara kematianku.
Memulai hidup dari membayangkan sebuah kematian yang aku idam-idamkan, menjadi energi positif yang sungguh laur biasa. Aku tidak mau hanya sekadar numpang lewat atau hidup dengan tak memiliki keberartian. Aku ingin menjalani hidup untuk sebuah kematian yang berharga. Dari sana, kutrarik apa-apa saja yang mesti kulakukan selama menjalani hidup ini ke depan.
Kini aku berada di titik ke-26. Aku tidak mau lagi mengulang dan membatalkan apa yang sudah aku mulai. Aku mau melanjutkan perjalanan dan perziarahanku. Tentu saja, dengan banyak tambal-sulam di sana-sini. Aku sungguh sangat yakin dengan langkah-langkahku ke depan. Walaupun jalan ityu tidaklah selalu mulus dan rata. Kadang aku harus berputar dan memanjat tebing. Artinya aku sudah mantap dengan jalan hidupku yang mendaki, berkelok dan tak rata ini. Jatuh ke jurang dan terantuk karang terjal pun aku sudah siap.
Kali ini, aku ingin mencapai puncak gunung ini bersama-sama dengan banyak orang. Aku yakin, sudah banyak orang yang merintis perziarahan semacam ini. Mungkin mereka memilih jalan yang lain dari jalan yang kupilih. Tapi tak apalah. Justru siapa tahu, dari pengalaman yang mereka dapat aku bisa belajar dari mereka. Sekarang yang penting bagiku adalah mencari di mana mereka berada. Akan kubangun sebuah tenda kecil untuk berbagi.
Kekuatan-kekuatan baru
Dalam kesadaran ini, asa akan kutambatkan kembali. Bagaimana pun, ia laksana layar dalam sebuah penjelajahan samudra. Semakin banyak layar yang akan terkembang, semakin cepat pula bahtera itu mencapai benua. Namun, semakin berat pula menggerakkan roda navigasi. Salah-salah ingin segera menambatkan jangkar, justru aku khawatir kita salah jalur dan akhirnya terjebak dalam pusaran hujan badai.
Anganku sedang mengarungi samudra raya dalam sebuah bahtera yang dihantam ombak dan ditimang-timang sang bayu. Jauh... jauh dari tempatku berpijak saat ini. Ngeri aku melihat.
Perasaan takut tiba-tiba menyeruak begitu saja. Gelap gulita di sekelilingku. Aku seperti kehilangan arah... Mata angin pergi bersembunyi ditutup mega-mega langit. Bintang pari penunjuk arah selatan, berubah menjadi kilat-kilat petir.
Tapi di saat-saat seperti ini aku ditantang sebagai seorang lelaki. Apakah intuisi kebenaran yang sudah berkompromi dengan rasio dan logika berani berhadap-hadapan dengan ketakuatan yang bisa saja menjadi nyata.
Sejumput kasih yang pernah mengalir dari air susu Ibunda, masih memberikan sebuah pesan akan kepercayaan untuk menjalani hidup untuk tidak pernah takut akan apa pun yang ada di muka bumi ini. Apalgi, bergumul dalam keraguan. Keberanianku mengambil resiko, adalah pilihan dewasa yang tak dapat disesali di kemudian hari.
Dua puluh enam, selamat tinggal. Aku akan kembali melangkah. Aku akan kembali menggendong tas dan memegang tongkat wasiat warisan leluhur. Akan kujalani hidup baru dalam semangat yang berkobar-kobar!!!
No comments:
Post a Comment