“Seratus orang tak berpendidikan akan menimbulkan pemberontakan, satu orang berpendidikan merupakan awal dari munculnya suatu gerakan”. (Chico Mendes)
Budaya lokal seolah-olah terstigma -mendapat pelabelan negatif- bahwa budaya itu terbelakang, udik, kuno, tidak rasional, dan lain-lain. Ada upaya sistematis yang menggiring siapa saja untuk meninggalkan budaya lokal itu.
Bisa jadi, itu adalah salah satu cara kerja kapitalis untuk masuk dan menghisap seluruh kekayaan alam Indonesia termasuk hutannya. Kerusakan hutan akibat pemabalakan dan ke(pem)bakaran hutan, saat ini menjadi isu yang santer dibicarakan di banyak media massa lokal, nasional maupun internasional.
Seorang ahli waris sekaligus saksi hidup dari kejadian-kejadian tragis yang menimpa hutan Indonesia (khususnya di Riau) menceritakan kepada penulis (April, 2007) bagaimana duduk persoalan paling mendasar yang terjadi pada hutan-hutan itu. Dialah, M. Yunus, salah seorang anggota DPRD Pelalawan.
Yunus berkesimpulan, persoalan rusaknya hutan-hutan di Riau tak lepas dari kisah panjang perjalanan regulasi pemerintah menyangkut keberadaan hutan, potensi-potensi yang dikandungnya serta hasil hutan yang dihasilkannya. Lebih dari itu, analisis Yunus sampai menyentuh level struktural di mana ada upaya sistematis pemerintah pusat lewat penyeragaman sistem tata kemasyarakatan daerah di seluruh Indoensia.
Perjalanan reguliasi itu, kata Yunus dimulai dari sejak Orde Baru mulai menancapkan kukunya. Sebuah UU Pokok Kehutanan diterbitkan. Tepatnya, tahun 1967. UU yang sarat penyeimbangan kepentingan keluarga Soeharto, militer dan konglomerat. Namun, sangat melanggar hak-hak tanah masyarakat adat (ulayat). Karena, dalam UU tersebut, hutan menjadi milik dan dikuasai oleh negara. Padahal, masyarakat adat yang menguasai hutan sebelumnya menganggap bahwa kepemilikan hutan bersifat komunal.
Hal ini, menurut Yunus bertentangan dengan semangat UUD 1945. Di sana, mengakui bahwa di Indonesia, selain ada hukum tertulis, juga ada hukum yang sifatnya tak tertulis atau konvensi. Hukum adat masyarakat Petalangan di Kabupaten Pelalawan, Propinsi Riau, adalah hukum tak tertulis. Namun, dengan UU Pokok Kehutanan tahun 1967, hak-hak masyarakat diabaikan begitu saja. UU Pokok Pertambangan yakni UU Nomor 11 tahun 1967 juga lahir pada tahun yang sama .
Ketika potensi di dalam hutan diketahui, baik yang dihasilkan oleh hutan itu sendiri maupun di dalam tanah yang dikandungnya, muncul lagi regulasi-regulasi yang pro-kapitalis dan penguasa. Tahun 1970-an lahir regulasi yang mengatur Hak Pengelolaan Hutan (HPH), tahun 1980-an lahir regulasi Hak Guna Usaha (HGU), pada 1990-an lahir Hutan Tanaman Induestri (HTI), dan pada 2000-an, lahir regulasi yang mengatur Hak Penggunaan Hutan Tanaman Campuran (HPHTC). Belum lagi yang mengatur soal transmigrasi.
Sejak keluarnya regulasi HGU, 6,4 juta hekatar hutan di Riau tahun 1982 sudah diplot oleh perusahaan-perusahaan pengelola hutan. Masalahnya, mereka beroperasi di atas tanah hutan ulayat. Penghancuran hak komunal tambah parah ketika keluar UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Struktur sosial kemasyarakatan oleh Orba diseragamkan dari Merauke sampai Sabang.
Dalam masyarakat hukum adat Petalangan, papar Yunus, struktur pemangku adatnya terdiri dari 29 batin ditambah 8 penghulu (setingkat batin). Masing-masing mempunyai hutan tanah ulayat yang bersifat otonom. Di bawahnya ada ketiapan, atau pembantu batin dan dibawahnya lagi ada tungkat, yang juga pembantu batin. Karakteristik unik ini dirusak lewat kehadiran sistem administrasi desa. Sehingga peran batin dan penghulu banyak diambil alih oleh kepala desa atau lurah. Terlebih urusan masalah pertanahan.
Persoalan banyaknya regulasi yang mengatur hutan ditambah penggantian struktur masayarakat itulah yang menjadi akar utama penghancuran hutan (khsuusnya di Riau). Lewat regulasi-regulasi itu perusahaan pemegang HPH, bebas menumbangkan pohon-pohon dengan chainsaw-nya.
Kearifan Lokal
Budaya dan pelestarian alam Orang-orang seperti Yunus, selalu diajari oleh para leluhurnya untuk senantiasa menjaga kelestarian alam. Bahkan, masyarakat hukum adat Petalangan memiliki sangsi/amar yang begitu keras pada para perusak hutan.
Yunus mencontohkan, jika seseorang merusak pohon kepungan sialang -tempat lebah dan anak-anaknya menimbun madu, ia sama prinsipnya dengan merusak diri kita sendiri. Maka, ia akan dikenai sangsi atau amar berupa hukuman mengkavani pohon kepungan sialang dari akar sampai rantingnya.
"Itu artinya, kita selalu diajari untuk melindungi dan melestarikan alam," kata Yunus.
Yunus bersaksi, seblum tahun 1980-an hutan di Riau sangat asri dan masih perawan. Sejak keluarnya regulasi-regulasi itulah, hutan Riau satu-persatu gundul. Yang menjadi geram Yunus adalah, terbesit banyak tuduhan kalau orang-orang kampunglah yang merusak hutan-hutan itu. "Itu sama sekali tidak benar!" bela Yunus dengan nada tinggi.
"Konsep adat kami mengapa hutan itu penting adalah, karena satu saja komunitas (tanaman) itu hilang, ratusan karya budaya Petalangan ikut musnah," lanjut Yunus. Secara sederhana, Yunus merumuskan, pada perinsipnya, merusak hutan sama saja merusak diri sendiri.
Yunus, adalah salah satu pewaris adat yang mau menghayati nilai-nilai mulia leluhurnya. Ia berontak ketika dicap bahwa masyarakat adat tidak punya aturan. Yunus juga marah dan tak tinggal diam ketika hutan warisan leluhurnya satu-persatu menghilang.
Kemarahannya ia salurkan lewat perjuangannya di DPRD untuk mengusahakan suapaya hak masyarakat adat ulayat bisa di-Perda-kan. Ia berkiblat dari keberhasilannya di Kabupaten Kampar. Yakni menelorkan Perda Ulayat Kabupaten Kampar, sebagai kabupaten induk Pelalawan.
No comments:
Post a Comment