Pages

Friday, April 9, 2010

Revolusi yang Ironi

Revolusi persenjataan mengalami sebuah ironi makna pada masa pasca Perang Dunia II. Masa itu kerap disebut sebagai Perang Dingin (1947-1989). Apa yang membuat revolusi ini menjadi sebuah ironi adalah ketika senjata bukan lagi dibuat untuk tujuan berperang atau menaklukan musuh. Titik balik inilah yang mengubah pandangan umum tentang tujuan dibuatnya senjata. Nuklir telah menjadikan revolusi senjata menjadi ironi.

Nuklir adalah ciri utama Perang Dingin. Dia tidak sekadar hanya mempengaruhi karakteristik Perang Dingin. Menurut Joseph S. Nye dalam bukunya Understanding International Conflict menjelaskan apa yang membuat Perang Dingin menjadi begitu luar biasa adalah bahwa ada periode ketegangan yang berlarut-larut dan tidak berakhir dalam perang antara dua negara superpower (Amerika Serikat dan Uni Soviet). Perang terjadi beberapa kali di negara-negara periphery kedua superpower itu. Puncak Perang Dingin terjadi pada 1947-1963 ketika ada ketegangan negosiasi antara AS dan Uni Soviet.

Karakter utama perang dalam masa perang dingin antara lain; Pertama, Perang Dingin ditandai oleh sikap dan perasaan saling tidak percaya, kecurigaan, dan kesalahpahaman oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet, dan sekutu-sekutunya. Kondisi ini meningkatkan kemungkinan terjadinya perang dunia ketiga, yang dianggap secara luas mungkin meningkat menjadi perang nuklir . Tidak berhenti sampai sana, kedua belah pihak melakukan propaganda. Amerika Serikat menuduh Uni Soviet menyebarluaskan komunisme di seluruh dunia. Sementara Soviet, menuduh Amerika Serikat dengan mempraktekkan imperialisme baru dan mencoba untuk menghentikan aktivitas revolusioner di Negara-negara lain. Perang urat syaraf terjadi terus menerus antara dua kubu. Uni Soviet, mengikuti Marx dan Lenin mengajarkan bahwa koeksistensi antara Kapitalisme dan Komunisme mustahil, karena kapitalisme itu tidak bermoral dan pasti akan runtuh, sementara kapitalis Barat melihat Uni Soviet dalam kata-kata Presiden Reagan sebagai 'kekaisaran jahat'.

Kedua, Perang Dingin membagi dunia dalam sistem bipolar. Pada dasarnya setiap konflik antarnegara dalam sistem bipolar melibatkan dua blok besar yang selalu muncul untuk menentukan di mana posisi mereka. Apakah bagian dari blok barat atau timur? Pengikut ideologi liberalis atau sosialis? Memiliki aliran politik “kiri” atau “kanan”? Dengan demikian, Perang Dingin terus menyebar ke Timur Tengah, Asia, Afrika dan Amerika Selatan.

Ketiga, adanya perlombaan senjata (arm race) oleh kedua negara adidaya. Uniknya, produksi senjata oleh negara superpower tidak digunakan olehnya sendiri. Melainkan, senjata-senjata ini justru lebih digunakan oleh pihak ketiga dan bahakan di sanalah peperangan sesungguhnya terjadi .

Alat Negosiasi
Nuklir dikembangkan dan ditransformasikan fungsinya dari sekadar senjata pemusnah massal yang ampuh menjadi alat manjur untuk melakukan diplomasi pertahanan dengan cara pemaksaan (coercive). Hal ini dilakukan oleh superpower kepada negara periphery untuk memperluas pengaruh dan memaksakan sistem dengan jaminan kemanan sebagai imbalannya. Meski diketahui nuklir telah membawa ‘bencana’ kemanusiaan luar biasa saat penemuan dan percobaan nuklir pada puncak Perang Dunia II, namun tak sedikit pun menyurutkan keinginan negara superpower untuk tidak mengembangkan teknologi tersebut.

Krisis misil Kuba adalah puncak dari ketegangan akibat pengiriman nuklir dari Soviet ke Kuba pada Oktober 1962. Krisis ini bermuara pada negosiasi kepentingan AS dan Soviet. Negosiasi dalam bentuk kerjasama arm control adalah fragmentasi dari kesepakatan kedua superpower untuk menghidari adanya perang dunia. AS dan Soviet sama-sama mengklaim kemenangan atas krisis misil Kuba. 


Menurut John Mueller dalam tulisannya Deterrence, Nuclear Weapons, Morality, and War, dia mempopulerkan istilah deterrence by reward atau positive deterrence . Apa yang terjadi selama krisis misil Kuba, nuklir kedua belah pihak digunakan untuk mendapatkan reward dari masing-masing pihak. Kepentingan AS adalah menyingkirkan misil-misil dari Kuba yang jaraknya hanya 90 mil dengan Miami. Sementara, hal yang sama juga terjadi di pihak Soviet, pengiriman nuklirnya ke Kuba mendatangkan berkah melimpah, yaitu dilucutinya nuklir AS di Turki, dibebaskannya Kuba dari invasi militer dan AS tidak diperkenankan mencampuri lagi urusan rumah tangga Kuba.

Bagaimana dengan negara non adidaya?

Banyak negara tetap memilih mengembangkan teknologi nuklir pasca Perang Dunia II tentu saja pertama-tama ditujukan untuk kepentingan penangkalan (detterence). Konteks sosial-politik pada masa perang dingin adalah dunia terbelah dalam dua kubu besar, AS dan Uni Soviet. Sistem bipolar menjadi sesuatu yang terus dihidupi oleh negara-negara. Nuklir, oleh negara superpower dikembangkan dan digunakan sebagai simbol kekuatan yang dapat memberi jaminan keamanan bagi negara periphery ketika menjadi anggota aliansi militer yang dibangun negara core. Nuklir terus dikembangkan untuk menjaga sphare of influence negara core.

Karena fungsinya yang sudah bertransformasi dari senjata menjadi alat diplomasi yang ampuh, Negara-negara lain juga tertarik mengembangkan teknologi nuklir. Korea Utara misalnya, motif regime survival adalah alasan pertama pengembangan nuklirnya. Meski perang Korea telah berakhir sejak tahun 1953, namun, secara teknis perang belum berakhir mengingat perang orea mereda sejak ditandatanganinya perjanjian gencatan senjata, bukan perjanjian damai. Korea Utara masih merasa terancam dengan penempatan 27.000 pasukan AS di Korea Selatan, dtambah 47.000 tentara AS lainnya di Jepang. China sendiri, mengalami 3 kali ancaman perang nuklir dari AS pada dekade 1950-an. Dengan berhasilnya uji coba nuklir China tahun 1964, Presiden AS, Richard Nixon melakukan kunjungan ke Beijing untuk melakukan normalisasi hubungan AS-China. 


Korea Utara juga mengembangkan nuklirnya untuk tujuan ekonomi. Peningkatan posisi tawar dengan memiliki nuklir, dimanfaatkan Korea Utara untuk memeras negara tetangganya untuk memberi bantuan ekonomi. Hal ini pernah berhasil ketika Korea Utara sempat mengehntikan proyek nuklirnya dengan barter bantuan bahan makanan dan bahan bakar dari China dan Korea Selatan.

Motif lainnya adalah mengangkat status Korea Utara di mata dunia. Korea Utara selalu ingin melakukan negosiasi langsung dengan AS dan bukannya Korea Selatan yang dianggapnya hanya sekadar negara boneka AS.

Kapan Terjadinya Revolusi Persenjataan?
Dalam monograph-nya yang berjudul Recognizing and Understanding Revolutionary Change in Warfare: The Sovereignity of Context , Colin S. Gray mendebatkan persoalan aktual Revolution in Military Affairs (RMA), di mana dia ingin meyakinkan publik bahwa hal paling krusial dalam urusan perang adalah konteksnya. Dia mengingatkan, transformasi yang sangat cepat hanya terjadi pada beberapa kasus yang sifatnya strategis saja. Gray juga mengatakan, catatan sejarah menunjukkan sangat jelas di mana setiap perubahan yang sifatnya revolusioner dalam perang pada akhirnya –kurang atau lebih– ternetralisir oleh penangkal-penangkal yang satu atau lainnya (political, strategic, operational, tactical, and technological).
 

Gray mengingatkan efektivitas milter dalam proses perubahan yang sifatnya revolusioner dalam sebuah “way of war” hanya dapat dinilai dengan percobaan perang. Perang menurutnya adalah sebuah kondisi yang tercipta akibat ketidakpastian. Jadi, siapa saja yang ingin menawarkan nasehat startegis harus melakukan hal terbaik dengan informasi yang sempurna dan menghilangkan bias-bias yang diakibatkan oleh perbedaan konteks (ruang dan waktu) saat terjadinya perang dan saat menulis.

Berbicara menganai warfare (atau secara sederhana diartikan sebagai perang, peperangan dan bagaimana perang diselenggarakan) adalah berbicara mengenai konteks. Konteks politik adalah ruang yang menyediakan makna untuk perang dan bagaimana dia diselenggarakan. Pembahasannya jauh lebih kompleks dari sekadar pentingnya kecanggihan militer atau apa yang oleh Clausewitz dinamakan ‘grammar of war”. Gray dalam tulisan ini ingin menggali aturan main dari 6 konteks prinsip dari warfare. Meski keenamnya terpisah satu sama lain, namun semuanya saling mempengaruhi. Keenam konteks di bawah ini, dapat membawa perubahan dalam dalam cara penyelenggaraan perang.

1. The political context. Jika tidak ada konteks politik, di sana tidak ada perang. Karena, kekutan militer dalam Negara, tidak bisa diceraikan dari pengaruh sosial dan politik. Perang terjadi bukan karena perubahan pada tubuh militer atau terjadi revolusi. Seperti ketika mengubah konteks politik, insentif untuk inovasi militer juga akan berubah.

2. The strategic context. Seperti dalam konteks politik, konteks strategis menunjukkan hubungan anatara permintaan politik dan penawaran militer. Hanya dengan posisi yang tak pasti konsep strategic context bisa dimengerti. Strategi adalah jembatan antara tujuan politik atau kebijakan politik dan instrument militer. Di sini, Gray menjelaskan strategic context sebagai tugas atau misi untuk mengerahkan pasukan dengan sebuah kebijakan.

3. The social-cultural context. Warfare (bagaimana perang diciptakan) memiliki banyak dimensi. Dan strategic study harus dibuat secara holistik. Sosio-kultural seperti membuktikan dengan lebih menampakkan pada tahap awal prospek untuk perubahan secara revolututif dalam warfare melebihi tes rudal, kontrak pertahanan, manufer militer, dan sebagainya.

4. The economic context. Jarang perang atas dasar alasan ekonomi. Tetapi, warfare adalah prilaku ekonomi, dan hanya karena itu harus juga menjadi prilaku pemenuhan logistik. Perubahan yang sifatnya revolutif dalam warfare tidak membutuhkan kemampuan revolusi ekonomi. Karena sejarah strategi dan politik adalah sejarah ekonomi juga.

5. The technological context. Warfare selalu memiliki sebuah konteks teknologi, tetapi konteks ini tidak selalu menjadi hal paling prinsip dalam perubahan yang sifatnya revolutif. Scholars menggarisbawahi hal ini ketika belajar memisahkan antara Military Technical Revolution (MTR) dan RMA.

6. The geographical context. Tidak ada studi tentang bagaimana perang diciptakan mengabaikan konteks geografi.



No comments: