Oleh Awigra dan Ahmad Almaududy Amri
Hari-hari ini Lebanon terus menata diri untuk menjadi Negara yang kuat dan berwibwa. Hal ini disadari penuh oleh seluruh rakyat Lebanon yang selama kurang lebih 40 tahun hidup dalam bayang-bayang ancaman tetangganya di selatan, Israel. Untuk mengembalikan Lebanon sebagai negeri yang kuat, yang mampu membela diri, diperlukan rekonsiliasi di dalam negeri. Dengan ide pluralisme pada kabinet persatuan nasional yang sekarang dalam pembentukan, artinya semua sekte di Lebanon punya kekuatan yang seimbang. Tidak ada satu kelompok yang bisa mengklaim diri paling utama .
Perbedaan yang terjadi di Lebanon bukanlah perbedaan agama, melainkan politik. Karena perbedaan pada hakikatnya perbedaan politik, perbedaan itu bisa diselesaikan secara baik. ”Perlu dialog, dan kami (Hizbullah) siap bekerja sama dengan siapa saja,” kata Kepala Biro Hubungan Internasional Hizbullah, Ammar Mousawy .
Kepercayaan diri rakyat Lebanon yang bangkit tercermin melalui pernyataan sikap Pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah yang bertekad untuk membalas setiap serangan Israel terhadap Lebanon, termasuk menghancurkan bandar udara negara zionis itu.
"Saya sampaikan kepada orang-orang Israel: Jika Anda menyerang Bandar Udara Rafiq Hariri, kami akan menyerang Bandara Ben Gurion di Tel Aviv," katanya .
Hal ini jelas menjadi pertanda mulai pulihnya kekuatan Lebanon setelah perang 34 hari pada Juli 2006. Dalam perang Israel-Hizbullah itu, sekitar 3.000 orang tewas, sebagian besar warga sipil yang menjadi korban dari serangan udara militer Israel di desa-desa di pinggiran Lebanon selatan .
Resolusi 1701 PBB mengakhiri perang 34 hari antara Israel dan kelompok Syiah yang bersenjata, Hizbullah, pada 2006, dan memperkuat Pasukan Sementara PBB di Lebanon (UNIFIL) untuk melaksanakan misi pemelihara perdamaian di Lebanon selatan.
Resolusi PBB itu menuntut perlucutan senjata anggota Hizbullah. Namun, Hizbullah, yang memiliki anggota yang terlatih dan peralatan yang baik, telah menjelaskan senjatanya tak perlu diperdebatkan. Meski demikian, laporan dari Kementerian Luar Negeri Lebanon itu menekankan bahwa penting bagi kementerian tersebut untuk meminta perhatian bahwa tantangan terbesar terhadap Resolusi 1701 datang dari Israel sendiri karena Israel telah melanggaran resolusi itu lebih dari 6.000 kali sejak 2006 .
Sejatinya, PBB melalui United Nations Interim Forces in Lebanon (UNIFIL) pertama kali menginjakkan kakinya di Lebanon sejak 23 Maret 1978. Ketegangan Israel—Lebanon meningkat ekskalasinya sejak tahun 1970. Namun pada 11 Maret 1978, sebuah serangan komando ke wilayah Israel telah menyebabkan banyak korban tewas dan luka-luka di pihak penduduk Israel; dan Organisasi Pembebasan Palestina atau yang dikenal dengan Palestine Liberation Organization (PLO) menyatakan bertanggung jawan atas serangan tersebut. Sebagai respons terhadap serangan PLO tersebut, pasukan Israel melakukan invasi ke wilayah Lebanon pada malam tanggal 14/15 Maret, dan dalam beberapa hari telah melakukan okupasi seluruh kawasan selatan negara Lebanon, kecuali kota Tyre dan kawasan sekitarnya .
Pada 15 Maret 1978, Pemerintah Lebanon menyatakan protes keras kepada Dewan Keamanan PBB atas serangan pasukan Israel tersebut, dan menyatakan pihak Pemerintah Lebanon tidak memiliki hubungan dengan operasi yang dilakukan oleh Palestinian commando. Tanggal 19 Maret, Dewan Keamanan PBB memutuskan resolusi 425 (1978) dan 426 (1978), yang menghimbau Israel agar segera menghentikan serangan militernya dan menarik mundur pasukannya dari seluruh wilayah Lebanon. Resolusi DK PBB 425 (1978) menetapkan dua hal, yaitu: pertama, DK PBB menghimbau agar dihormatinya integritas wilayah, kedaulatan dan independensi politik Lebanon dalam perbatasan wilayahnya yang telah diakui secara internasional. Kedua, DK PBB meminta Israel segera menghentikan serangan militernya terhadap integritas wilayah Lebanon dan menarik mundur pasukannya dari seluruh wilayah Lebanon .
Dewan Keamanan PBB juga memutuskan sesuai permintaan Pemerintah Lebanon, untuk segera membentuk United Nations Interim Force di Lebanon selatan. Pasukan penjaga perdamaian PBB ini dibentuk dengan tiga tujuan utama, yaitu: Menjamin penarikan mundur pasukan Israel, memulihkan keamanan dan perdamaian internasional dan membantu Pemerintah Lebanon dalam menjamin kembalinya otoritas efektifnya di wilayah Lebanon .
Bangkit di atas puing-puing Beirut ingin membahas peran UNIFIL di Lebanon dalam ikut menjaga perdamaian di sana. Kontribusi apa yang diberikan UNIFIL sampai warga Lebanon hari-hari ini mulai bangkit kepercayaan dirinya, seperti terfragmen dalam ucapan Pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah dimana dirinya siap membalas serangan Isreal kapan saja.
Peacekeeping
Beberapa halaman berikut, banyak penulis pati sarikan dari buku karya Agus Gunaedy Pribadi, dkk, “Memenuhi amanah Bangsa”.
Definisi resmi “Peacekeeping” adalah ”suatu operasi yang melibatkan personel militer, namun tanpa kekuataan paksaan (enforcement powers), dilaksanakan oleh PBB untuk membantu mempertahankan dan memulihkan keamanan dan perdamaian internasional di daerah konflik” (Blue Helmets) .
Peacekeeping adalah sebuah fungsi dari PBB, tetapi ada kalanya juga dilakukan oleh organisasi regional dan internasional. Dasar dari peacekeeping dapat dilihat dalam operasi sejak terbentuknya PBB tahun 1945. Contohnya setelah Perang Dunia I, organisasi militer multinasional (Liga Bangsa Bangsa/ LBB) dibentuk untuk menentukan dan menangani batas baru Eropa melalui perjanjian damai setelah berakhirnya perang. Pada masa itu, Liga Bangsa Bangsa juga melaksanakan kegiatan yang sebanding dengan peacekeeping saat ini.
Namun sejak tahun 1945, peacekeeping telah menjadi teknik yang paling sering digunakan atau diasosiasikan dengan PBB untuk mengakhiri konflik dan mewujudkan perdamaian sehingga organisasi ini kemudian dianugerahi hadiah Nobel tahun 1988 atas berbagai aktivitas peacekeeping-nya.
Peacekeeping tidak disebutkan secara eksplisit dalam Piagam PBB (United Nations Charter), namun dijelaskan di antara Chapter VI dan Chapter VII. Operasi peacekeeping dideskripsikan olen mantan Sekretaris Jenderal PBB Dag Hammarskjöld sebagai ”Chapter 6 ½ initiatives”. Chapter VI menunjukkan pihak-pihak yang berkonflik ”harus pertama kali mengupayakan penyelesaian melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian hukum, atau cara-cara damai lainnya atas pilihan mereka”. Chapter VI menunjukkan bahwa ”Dewan Keamanan PBB, apabila dipandang perlu, harus menghimbau pihak-pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan masalahnya”.
Sementara itu, Chapter VII juga memberikan kekuasaan atau wewenang pada DK PBB untuk memaksakan keputusannya, termasuk menggunakan kekuatan militer jika diperlukan, untuk menjaga dan memulihkan keamanan dan perdamaian internasional. Article 99 memberikan Sekjen PBB kekuasaan untuk melaksanakan ”good offices missions”, termasuk pencarian fakta dan mendesak kelompok yang bertikai untuk mencari negosiasi penyelesaian konfliknya.
PBB pertama kali terlibat dalam peacekeeping tahun 1948, namun yang secara eksplisit disebut sebasgai misi perdamaian pertama kalinya adalah United Nations Emergency Force (UNEF I), yang digelar tahun 1956 sebagai respons terhadap Krisis Suez, setelah militer Inggris dan Perancis melakukan invasi ke Mesir. UNEF I kemudian menjadi preseden untuk misi-misi yang sama selanjutnya.
Pengiriman UNEF meletakkan dasar-dasar prinsip yang menjadi esensi dari peacekeeping. Prinsip-prinsip peacekeeping pertama kali diletakkan oleh Sekjen PBB Dag Hammarskjöld dan Lester B. Pearson (Presiden Majelis Umum dari Kanada tahun 1952-1953). Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1. Prinsip persetujuan (consent) dari pihak-pihak yang berkonflik untuk membentuk misi peacekeeping PBB;
2. Prinsip tidak menggunakan kekuatan militer (non-use of force), kecuali untuk membela diri;
3. Prinsip kontribusi sukarela (voluntary contributions)dari kontingen yang berpartisipasi dalam Pasukan PBB;
4. Prinsip ketidakberpihakan / netral (impartiality);
5. Prinsip pengawasan/pengendalian operasi peacekeeping oleh Sekjen PBB.
Prinsip-prinsip ini telah dikritisi, terutama dalam debat efisiensi peacekeeping dalan konflik pasca perang dingin. Namun demikian, prinsip ini terbukti cukup bertahan lebih dari 30 tahun untuk disebut sebagai dokumen yang ”masterpiece konsep dalam bidang yang benar-benar baru, blue print untuk operasi militer internasional tanpa kekerasan”.
Konflik baru
Kembali kepada UNIFIL. Setelah terjadinya perang Juli-Agustus 2006, Dewan Keamanan PBB memperkuat pasukan penjaga perdamaian PBB dan memutuskan selain mandat awalnya, pasukan PBB memiliki mandat tambahan, antara lain mengawasi jalannya penghentian permusuhan atau gencatan senjata (cessation of hostilities); mendukung tentara Lebanon (Lebanese armed forces/LAF) saat tentara LAF digelar di seluruh wilayah Lebanon selatan; dan memperluas bantuannya untuk menjamin akses bantuan kemanusiaan (humanitarian access) kepada penduduk sipil dan kembalinya para pengungsi (displaced persons) secara sukarela dan aman.
Terjadinya aksi kekerasan baru di perbatasan Israel-Lebanon yang dimulai tanggal 12 Juli 2006 ketika kelompok Hizbullah meluncurkan beberapa roket Katyusha dari wilayah Lebanon melewati Blue Line menuju posisi-posisi IDF dekat pantai dan kota Israel di Zarit. Bersamaan dengan peristiwa tersebut, para pejuang Hizbullah menyeberangi Blue Line menuju Israel, menyerang sebuah patroli Israel dan menangkap dua tentara Israel (Ehud Goldwasser and Eldad Regev), membunuh tiga orang lainnya dan melukai lebih dari dua prajurit. Kedua tentara yang ditangkap dibawa Hizbullah ke Lebanon.
Setelah terjadinya serangan terhadap patroli Israel tersebut, kontak senjata yang hebat terjadi di sekitar Blue Line antara Hizbullah dan pasukan IDF. Kontak senjata terjadi di sepanjang Blue Line, dan yang terberat di kawasan Bint Jubayl dan Shebaa farms. Hizbullah melakukan penyerangan dengan sasaran posisi-posisi IDF dan kota-kota Israel di selatan Blue Line. Pihak Israel melakukan pembalasan dengan serangan darat, udara dan laut. Sebagai tambahan terhadap serangan udara ke posisi-posisi Hizbullah, IDF juga melakukan serangan terhadap sejumlah jalan-jalan dan jembatan-jembatan di Lebanon selatan, baik di dalam maupun di luar area operasi UNIFIL.
Dalam laporan Sekjen PBB bulan Juli mengenai UNIFIL, mencakup periode 21 Januari s/d 18 Juli 2006, dilaporkan bahwa situasi di area operasi UNIFIL masih tegang dan rawan konflik, walaupun secara umum situasi tenang dalam periode pelaporan tersebut. Namun, awal dari aksi kekerasan baru tanggal 12 Juli benar-benar telah “radically changed the context” dimana misi PBB sedang beroperasi. Menurut Sekjen PBB : “In the current environment, circumstances conducive to United Nations do not exist”. Selain itu Sekjen PBB menyatakan bahwa pasukan UNIFIL dibatasi dalam melakukan kegiatan apapun bahkan termasuk aktivitas mendasar (basic activities), seperti melakukan resuplai posisinya dan untuk melakukan operasi “search and rescue” untuk kepentingan personelnya. Dengan mandat UNIFIL yang berakhir tanggal 31 Juli 2006, Sekjen PBB merekomendasikan agar DK PBB memperpanjang mandat UNIFIL satu bulan lagi dengan pertimbangan untuk pengaturan lebih lanjut di Lebanon selatan.
DK PBB menyetujui rekomendasi Sekjen PBB dan dengan Resolusi 1697 tanggal 31 Juli, memperpanjang mandat UNIFIL sampai dengan 31 Agustus 2006. DK PBB juga menyatakan keprihatinannya yang mendalam terhadap eskalasi aksi kekerasan di Lebanon dan Israel sejak tanggal 12 Juli, mendesak semua pihak yang terkait untuk mencegah aksi apapun yang dapat membahayakan personel PBB, dan mengimbau agar mengijinkan pasukan UNIFIL melakukan resuplai terhadap posisinya, melakukan search and rescue operations untuk kepentingan personel PBB dan melakukan tindakan lainnya yang diperlukan untuk menjamin keamanan personel PBB.
Konflik baru tersebut, dinilai oleh beberapa pihak sebagai berikut;
1. Penilaian koalisi “14 Maret”
Sikap koalisi “14 Maret” dapat ditilik tatkala kelompok ini mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan “Deklarasi Bristol” (penamaan ini muncul dari nama sebuah hotel yang dijadikan tempat pertemuan koalisi anti Syria ini) : “Semua kekuatan bersenjata yang bukan bagian dari negara tak dapat dianggap sebagai pertahanan terhadap agresi Israel. Lebanon telah menjadi arena exploitasi Iran untuk memperkuat posisinya vis a vis masyarakat internasional menyangkut peran regionalnya. Syria juga menggunakan Lebanon untuk mengembalikan hegemoninya atas negara ini dan menghindari konsekuensi adanya keterlibatan dalam kasus pembunuhan mantan PM Rafik Hariri.”
Statement juga menyerukan dilaksanakannya seluruh Resolusi PBB menyangkut Lebanon , terutama 1701 soal senjata Hizbullah dan resolusi-resolusi sebelumnya. Pertemuan menekankan bahwa kini saatnya mengakhiri dualisme senjata dan menandaskan bahwa hanya angkatan Bersenjata dan institusi legal lain yang berhak membela negara.
Seruan tersebut tidak secara aklamasi. Sebagian anggota koalisi “14 Maret” mengakui bahwa pemerintah underestimated kekuatan Hizbullah dan memandang gencatan senjata sebagai kemenangan diplomatik pemerintah. Mengusulkan pelucutan senjata Hizbullah setelah terjadi gencatan senjata adalah sebuah kesalahan besar. Sementara sebagian yang lain menilai Hizbullah tidak dapat diyakinkan dalam masalah senjata. Sesudah perang, posisi koalisi “14 Maret” menjadi non-negotiable: negara harus memonopoli kekuatan bersenjata.
2. Pandangan Hizbullah
Memproklamirkan kemenangan dalam perang dibarengi keyakinan bahwa Israel juga memandang sama. Hizbullah tetap berpegang teguh bahwa sikapnya adalah benar: resistance adalah kebutuhan (buktinya adalah agresi Israel) dan sangat efektif (terbukti pada hasil perang). Dengan demikian menolak semua bentuk tuntutan untuk melucuti senjatanya atau kebebasan bermanuver. Hizbullah menyetujui Resolusi 1701 dan secara substansial memperkokoh keamanan di wilayah kekuasaanya, Lebanon selatan. Meski demikian tetap menolak merubah status quo militer. Untuk menjaga militansi dan resistensinya terhadap agresi Israel, Hizbullah harus mempersiapkan arsenal dan tetap menjadi aktor militer otonomis. Setidaknya selama Lebanon tidak mampu membela diri.
Dari sudut pandang ini, Hizbullah mengakui bahwa mereka menderita, tetapi Israel akan berpikir panjang dan bekerja keras sebelum kembali menyerang Lebanon. Otonomi militer Hizbullah penting selama ia membela negara. Resistance adalah pelengkap dari proses perundingan. Israel sekarang tahu bahwa mereka tak mungkin mencapai keinginannya dengan cara militer. Mereka tahu harus memberi peluang pada upaya diplomatik, sebagaimana diyakini. Resistance dalam hal ini akan memaksimalkan posisi Lebanon. Hal ini dalah pelajaran bagi negara-negara Arab lainnya.
Hizbullah menafsirkan Resolusi DK PBB 1701 secara modest dan pasif. Pelucutan senjata bukan prioritas utama, tapi hanya dapat terjadi jika Israel mundur dari Shebaa Farms, membebaskan seluruh tawanan Lebanon, dan tegaknya Lebanon sebagai sebuah negara yang kuat dan mampu membela diri. Resolusi DK PBB 1701 cukup membingungkan karena membiarkan “a kind of accomodation with the requirements of the resistance”. Hizbullah mencoba menemukan implementasi Resolusi DK PBB 1701 dalam masalah perlucutan senjata disamping tetap menjaga status militer di bagian selatan Sungai Litani yang sekarang ditempati oleh LAF dan UNIFIL, tanpa harus meletakkan atau menyerahkan senjata. Hizbullah untuk sementara membekukan suasana, para gerilyawannya kembali ke rumah dan senjata tetap di tangan.
Dalam berkonfrontasi dengan Israel, Hizbullah berupaya bertahan sembari menerapkan sebuah strategi berimbang. Mereka tidak melakukan konfrontasi senjata secara terbuka dan berkepanjangan. Tujuannya hanya mempertahankan Lebanon. Karena itulah mereka puas berada di kawasan perbatasan. Mereka tidak bermasalah dengan kekuatan militer apapun yang ditempatkan di kawasan itu.
Dalam konteks pandangan seperti ini, pembagian kerja yang diterapkan sebelum perang masih efektif. LAF beroperasi sebagai polisi; resistance mempertahankan perbatasan dengan cara membendung serangan Israel; dan suatu kekuatan asing yang lemah dan dipaksakan mengawasi gencatan senjata yang rapuh. Sebenarnya situasi seperti ini sudah berlangsung sejak dulu. Tidak ada yang berubah selama Shebaa Farms belum dikembalikan ke Lebanon, semua tawanan dibebaskan, dan negara merasa aman. Hizbullah tahu bahwa masyarakat internasional menolak kondisi seperti ini, tetapi situasi ini akan langgeng karena tidak ada jalan untuk menekan organisasi militan ini. Pecahnya perang baru tidak diyakini dan kepungan internasional terhadap Hizbullah adalah cerita lama yang sudah diantisipasi secara baik.
3. Pandangan Pihak Ketiga
Aktor regional dan internasional mempunyai perspektif yang amat berbeda dalam menilai perang musim panas lalu. Iran dan Syria sejak dini sudah merayakan penampilan Hizbullah. Keduanya menyadari sikap ini tidak diterima oleh semua orang. Iran mengandalkan arsenal Hizbullah untuk mencegah AS menyerang fasilitas nuklirnya. Bertambahnya otoritas UNIFIL telah mengurangi resuplai senjata Hizbullah. Sementara Resolusi DK PBB 1701 relatif merupakan setback bagi Syria. Resistensi Hizbullah merupakan capaian positif bagi Teheran dalam berkompetisi dengan AS. Selain itu, popularitas Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah semakin mencolok - terutama di kalangan Sunni - lebih jauh, merupakan ideological inroad di dunia Arab.
Damaskus puas dengan sekutunya di Lebanon telah menunjukkan kekuatan. Bagi Syria, perang ini telah mengubah peta politik Lebanon, Hizbullah menang dan koalisi “14 Maret” terbenam dan semestinya pemerintah merefleksikan kenyataan yang ada.
Sebaliknya, AS dan sekutunya memanfaatkan Resolusi DK PBB 1701 untuk mengajukan prioritasnya. Tidak dilucutinya senjata Hizbullah tidak dapat lagi ditolerir sebagai kenyataan. Washington berharap kemenangan Israel belum terealisir selama Hizbullah belum dibubarkan. Namun outcome perang ternyata negatif. Resolusi DK PBB 1701 merupakan prinsip dasar yang sudah ditekankan oleh Amerika Serikat agar segera terealisir. Sasarannya adalah melucuti senjata Hizbullah dan menegaskan wilayah antara Sungai Litani sampai ke perbatasan adalah kekuasaan UNIFIL dan LAF.
Kesimpulan
Implementasi Resolusi DK PBB 1701 masih merupakan barometer dari itikad masyarakat internasional dan pihak-pihak yang bertikai di lapangan untuk bergerak maju menuju perdamaian. Seperti dinyatakan oleh Sekjen PBB, komitmen baru ini harus didukung dengan bantuan tidak hanya bagi Lebanon dan Israel, namun bagi kawasan Timur Tengah yang lebih luas.
Meskipun UNIFIL dibatasi dalam menjalankan mandatnya, pasukan UNIFIL menggunakan upaya terbaiknya untuk membatasi konflik yang terjadi, memberikan kontribusi bagi terwujudnya stabilitas di kawasan dan melindungi penduduk di kawasan dari dampak buruk terjadinya kekerasan. Meskipun menghadapi situasi dan kondisi tersebut, Dewan Keamanan PBB telah berulang kali memperpanjang mandat UNIFIL berdasarkan permintaan dari Pemerintah Lebanon dan rekomendasi dari Sekretaris Jenderal PBB.
Meski demikian, banyak tuduhan dilayangkan kepada UNIFIL sebagai perpanjangan tangan AS di Lebanon dengan menghendaki pelucutan senjata bagi tentara Hizbullah.
Terlepas dari berbagai komentar mengenai keberadaan UNIFIL di Lebanon, ternayata keberadaannya ampuh menstabilkan keamanan untuk jangka waktu yang cukup lama. Pasukan Israel beberapa kali sudah menarik diri dari Lebanon, namun ketika ketegangan meningkat, kawasan Lebanon menjadi ajang pertempuran pihak-pihak yang memiliki kepentingan di negeri penghasil minyak zaitun tersebut.
No comments:
Post a Comment