Ada sepasang kekasih. Laki-laki dan perempuan. Suatu hari, lelaki itu menghadapi sebuah ujian akademis. Tampak lelaki itu gugup, tidak merasa siap. Kekasihnya pun larut dalam suasana tegang itu. Perempuan itu izin dari tempatnya bekerja. Ia memilih untuk menemani dan menyemangati lelakinya.
Beberapa hari sebelumnya, lelaki itu sudah berniat untuk tidak menghadiri ujian. Ia ingin menghidari kenyataan. Tahu bahwa kekasihnya sedang berada dalam masa-masa susah yang sangat menentukan, perempuan ini sudah bertekad membantu sekuat tenaga untuk menembuhkan kepercayaan diri dari lelakinya. Ia mencoba melibatkan diri meski ia sebenarnya tiada menguasai. Ia paksa dengan segala macam cara. Tujuan satu; lelakinya berani menghadapi kenyataan dan tidak melarikan diri.
Dengan modal dukungan perempuan itu, lelaki itu belajar mencoba sesuatu yang baru. Belajar berjuang. Bisa jadi berani menghadapi ujian saja sudah menjadi lompatan terbesar dalam hidupnya. Tapi, ia tahu, bahwa hal itu harus dicobanya. Sama seperti ia mencoba sesuatu yang digemarinya. Ujian akademis ini ingin ia hindarkan sejauh ia bisa. Karena ia sudah menyadari ini bukan bidang keterlibatannya. Tiada tampak kecintaan pada studi yang sudah ia lewati dua setengah tahun ini. Namun, hari penentuan itu datanglah. Ia sudah didukung mati-matian oleh perempuannya. Meski ia tahu, ia tiada mampu.
Mimpi buruknya tiba siang hari di sebuah ruangan 4 x 8 meter itu. Namanya dipanggil oleh para penguji. Ia sudah mencoba membuat catatan sebisanya untuk melengkapi penjelasan-penjelasannya. Argumentasi-argumentasi disusunnya dalam sebuah buku kecil. Sebuah handuk untuk menyeka keringat menemaninya. Perempuan kekasihnya tiada sampai hati melihat kekasihnya perlahan memasuki ruang persidangan. Ia tiada berani masuk, hanya doa barangkali yang ia bacakan di luar ruangan sembari mondar-mandir mengintip lewat jendela kaca.
Di dalam ruangan penentuan itu, lelaki itu menjelaskan sebisanya. Dewan penguji kecewa. Tiada runtutan logika yang bisa diikuti, argumentasinya lemah, tiada analisa yang bisa ditemukan untuk menjelaskan permasalahan yang lelaki itu sampaikan. Data-datanya berantakan, dan tiada kesesuaian antar bagian-bagiannya.
Dicecar habis-habisan oleh dewan penguji, ia hanya bisa tertunduk dan menyeka keringat dingin yang mengucuri mukanya. Kalimat yang bisa keluar dari mulutnya hanyalah sebuah pengakuan. Pengakuan atas jerih payah usahanya. Pengakuan bahwa karyanya juga dibantu pengerjaannya oleh orang lain sehingga tampak tiada kesesuaian. Pengakuan tentang maksud apa yang sebenarnya akan ia kerjakan meski hasilnya berbeda dari maksudnya. Pengakuan jujur itulah yang barangkali membuat rasa iba insane manusia yang masih memiliki hati nurani berbicara.
Lelaki itu dan kawan-kawan yang menemaninya dipersilahkan keluar ruang sidang. Dewan penguji akan menyampaikan maklumat penilaiannya. Lelaki itu keluar diiringi diam. Sunyi. Tiada seorang pun yang berani memulai. Pasrah? Barangkali. Kecewa? Mungkin. Tapi apa daya, penghakiman akan segera datang, dalam beberapa menit ke depan.
Namanya kembali dipanggil. Si perempuan kekasihnya tak kuasa memendam Tanya tentang apa yang sesungguhnya terjadi di dalam ruang penghakiman itu. Seorang menceritakan secara umum apa yang baru saja terjadi. Ia sudah mengetahui sebelumnya. Ini tidak mudah baginya dan terutama bagi kekasihnya. Teman yang memberinya kabar menyarankan untuk bisa memberi rasa pengharapan, apa pun hasilnya. Karena apa pun hasilnya, tidak menjadi hal yang terpenting lagi. Keberanian lelaki itu mencoba jauh-jauh lebih penting dari segala-galanya. Perempuan itu sudah tahu benar. Memen ini adalah momentum penentuan bagi keberanian lelakinya menghadapi kenyataan.
Lelaki itu kembali keluar dari ruang tempat sidang agung dijalankan. Ia tetap terunduk. Suasanya sunyi kembali menyergap. Tubuhnya ia lemparkan ke sofa tempat perempuannya duduk. Kawan-kawannya tiada sabar menanti keputusan apa yang diberikan dengan hasil sidangnya yang berjalan penuh cercaan. Hati telah bersiap, dan ungkapan untuk membesarkan hati lelaki itu sudah siap meluncur dari orang-orang yang ada di sekelilingnya.
“Aku lulus kok….” kata lelaki itu. Dipeluk dan diciuminya wajah lelaki itu oleh keasihnya. Air mata mereka berdua bercucuran. Kawan-kawannya bersorak riang. Kepalanya menjadi bulan-bulanan teman-temannya yang tidak tau lagi bagaimana harus mengungkap rasa syukur. Haru bercampur bahagia meraja.
Kekasihnya yang perempuan tahu persis kelemahan lelakinya. Tapi, ia setia di sisinya. Ia mendukung dengan cara apa pun. Cinta perempuan itulah yang menjadi kekuatan lelakinya. Ia maju meski tiada mampu.
[tulisan ini terinspirasi oleh kekuatan seorang perempuan muda yang tetap cinta pada kekurangan kekasihnya]
[tulisan ini terinspirasi oleh kekuatan seorang perempuan muda yang tetap cinta pada kekurangan kekasihnya]
1 comment:
bagus..... cerita yang menarik hanya ada kurangnya....
kenapa tidak berani menyebutkan nama lelaki, perempuan dan teman-temannya
Post a Comment