Pages

Friday, April 2, 2010

Dilema Keamanan Baru Hubungan AS-Rusia

Oleh Awigra, Lia Fauziah, dan Sabriana

Adigium yang abadi dalam politik adalah tidak ada kawan atau lawan abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan. Hal ini juga berlaku dalam politik antarnegara. Paska perang dingin, ketika Pakta Warsawa membubarkan diri, eksistensi NATO seolah menemui tantangan baru. Aliansi strategis militer yang dibangunnya seolah menemui jalan buntu. NATO, terus memperbaharui dirinya. Ia perlahan-lahan mulai menarik simpati dari bekas “lawan-lawannya”.

NATO, bab baru dimulai, bab kedua dari Aliansi; sebuah bab yang bisa saja berjudul "konsolidasi Eropa". NATO mengulurkan tangan untuk Eropa Tengah dan Timur, melalui kebijakan kemitraan dan dengan membuka pintu NATO bagi anggota baru . Aliansi juga memainkan peran utama dalam melibatkan Rusia dalam peran barunya di Eropa. Amerika Serikat yang sangat menguasai NATO, memanfaatkan hal tersebut dalam beberapa kepentingan nasionalnya.

Menurut Barry Buzan dalam People, States and Fear: an Agenda for International Security Studies in the Post Cold War Era bahwa penerapan strategi keamanan suatu negara selalu memperhitungkan aspek-aspek threat (ancaman) dan vulnerability (kerentanan) negara tersebut. Selain itu, ancaman dan kerentanan merupakan dua konsep yang berbeda namun memiliki keterkaitan yang erat di dalam perwujudan keamanan nasional. Suatu ancaman terhadap keamanan nasional yang dapat dicegah akan mengurangi derajat kerentanan suatu negara pada keamanan nasionalnya. Kedua aspek dari keamanan nasional tersebut sangat ditentukan oleh kapabilitas yang dimiliki negara tersebut.

AS dan Rusia sebagai contohnya, beragam upaya yang dilakukan dari kedua pihak demi terciptanya kepercayaan untuk mengurangi timbulnya konflik mengalami jalan yang rumit. Hal tersebut dikarenakan adanya faktor sejarah yang kurang harmonis di antara kedua negara ini. Sehingga, apapun yang dilakukan oleh masing-masing pihak, diperlukan keterbukaan atau transparansi yang jelas. Dalam makalah ini, penulis akan mengangkat isu kerjasama yang diupayakan AS dengan former Pakta Warsawa yaitu Polandia, dimana AS berencana menempatkan 10 penangkal rudal di Polandia serta radar pembimbing di Ceko dengan alasan sebagai bentuk antisipasi serangan rudal dari Iran dan Korea Utara, akan tetapi hal tersebut dipandang beda oleh Rusia karena dianggap mengancam keamanan negaranya. Isu ini merupakan segelintir isu yang acap kali menghambat diplomasi pertahanan AS dan Rusia.

Apa masalahnya?
Kasus penempatan sistem penangkal Misil AS di Polandia yang membuat geram pihak Rusia, dibahas dalam makalah ini dalam perspektif diplomasi pertahanan. Meliputi bagaimana strategic engagement bekerja? Apa tujuan dan kepentingan yang akan dicapai pihak AS maupun Polandia melalui kerjasama ini? Jenis-jenis kerjasama apa saja yang disepakati oleh kedua negara? Dan bagaimana respon Rusia melihat kerjasama ini?

Strategic Engagement
Secara sederhana, pengertian strategic engagement adalah kerjasama dan bantuan militer dipergunakan untuk membangun hubungan kerjasama dengan bekas musuh atau pihak yang berpotensi menjadi musuh , yang bertujuan sebagai bentuk usaha kerjasama strategis seperti bantuan militer yang mencakup pembelian alutsista, pembangunan pangkalan militer, dan pemberian security umbrella (dari satu pihak/kedua belah pihak). Selain itu juga bentuk kerja sama yang berlangsung dalam bentuk long-term relationship dan dapat berbentuk apa saja seperti diplomasi contohnya.

Strategic engagement sendiri sejarahnya tak lepas dari revolusi persenjataan atau yang sering dikenal Revolution in Military Affairs (RMA). Gagasan revolusi militer tumbuh dari Soviet sekitar 1970-an dan 1980-an, khususnya ketika dirilis serangkaian makalah yang ditulis oleh Marsekal NV Ogarkov menganalisis potensi teknologi revolusioner militer baru. Sebagai Marxis, dan Ogarkov rekannya merasa nyaman dengan ide bahwa sejarah didorong oleh revolusi. Studi-studi awal berbicara tentang "revolusi teknis militer" (MTR).

Tapi analis ini dengan cepat menemukan kekurangannya ketika terlalu membatasi pada urusan teknis dan kemudian berkembang menjadi konsep lebih holistik yaitu RMA. Seperti yang bisa diharapkan dengan ide baru, analis dari RMA belum sepenuhnya setuju pada maknanya. Futuris Alvin dan Heidi Toffler, menggunakan definisi membatasi didasarkan pada tingkat makro struktur perekonomian. Mereka menulis, “sebuah revolusi militer, dalam arti sepenuhnya, terjadi hanya ketika sebuah peradaban baru muncul untuk menantang peradaban yang lama, ketika seluruh masyarakat mentransformasikan dirinya, memaksa para angkatan bersenjata untuk mengubah pada setiap tingkat secara bersamaan-dari teknologi dan budaya untuk organisasi, strategi, taktik, pelatihan, doktrin, dan logistik. Ketika ini terjadi, hubungan militer terhadap perekonomian dan masyarakat adalah dan mengubah keseimbangan kekuatan militer di bumi .

RMA telah mengubah cara pandang banyak pakar kemiliteran mengenai peran militer dewasa ini. Hasil dari pesatnya perkembangan RMA juga dimanfaatkan oleh negara-negara core melalaui strategic engagement dengan negara periphery untuk memperluas pengaruh dan untuk mencapai kepentingan nasionalnya secara lebih luas. Sementara bagi negara periphery, strategic engagement dimanfaatkan untuk memperkuat kapabilitas pertahanan sambil memanfaatkan hubungan strategis yang terjalin, serta memperkuat kapabilitas pertahanan negara secara material. Selain membuktikan bahwa dalam politik tidak ada lawan atau kawan abadi, dan yang abadi hanyalah kepentingan, hal ini sekaligus menunjukkan bahwa dunia tidak pernah sepi dari sistemnya yang anarki.

Konflik
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, negara akan terus berupaya untuk menjamin keamanan negaranya melalui hubungan kerjasama dengan negara lain seperti memberikan bantuan militer kepada suatu negara, diplomasi untuk pembelian senjata sebagai bentuk usaha pengembangan kekuatan pertahanan, dan sebagainya. Dalam penulisan makalah ini, penulis menitik beratkan hubungan kerjasama antar dua negara sebagai bentuk upaya memperkuat kapabilitas negara tersebut, yakni AS sebagai negara adidaya yang terus berusaha untuk mengembangkan pengaruh hegemoninya dibeberapa negara eks- Uni Soviet (Polandia) dengan membangun pangkalan pertahanan rudal AS di Polandia serta radar pembimbing di Republik Ceko dengan tujuan melalui sistem tersebut akan melindungi AS dan negara-negara sekutu di Eropa dari serangan sistem kerja rudal yang diluncurkan oleh Iran dan Korea Utara.

Demikian sebaliknya, bentuk dari kerjasama AS dengan bantuan NATO yang bekerjasama dengan Polandia dan Republik Ceko ini menimbulkan kekhawatiran yang sama dari pihak Rusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa kerjasama dalam bidak militer masih dianggap sensitive issue oleh beberapa kalangan karena dapat menimbulkan ketegangan maupun dilemma.

Tidak dapat dipungkiri bahwasannya setiap tindakan yang dilakukan oleh suatu negara baik dalam bentuk kerja sama dalam sektor pertahanan dengan negara lain, dapat memicu kekhawatiran pihak ketiga, apalagi pihak tersebut memiliki latar belakang yang kurang baik dengan pihak pertama. Sebagai contoh, Rusia yang bekerjasama dengan India dalam pembuatan Jet Siluman dengan sandi T-50 yang diperkirakan akan siap untuk dipakai pada tahun 2015 , memicu kekhawatiran Pakistan, serta saingan regional India yaitu China. Walaupun kerjasama tersebut belum ditentukan kapan penandatanganan kedua negara direalisasikan, akan tetapi dampak yang ada sudah diprediksi.

Upaya Diplomasi AS dalam melakukan pendekatan ke Polandia
Dikutip dari harian Polandia Gazeta Wyborcza mengatakan bahwa di awal 1990an, Amerika Serikat dan Polandia memiliki kepentingan sama, yaitu ingin menancapkan demokrasi di Eropa Tengah, sekaligus menggiring bagian timur benua ini ke dalam struktur politik dan ekonomi Eropa Barat . Polandia yang secara resmi bergabung dengan NATO di akhir tahun 1990-an, berharap agar dengan aliansi tersebut dapat memperkuat sistem kapabilitas pertahanan negaranya yang merupakan negara bekas Pakta Warsawa. Dijelaskan oleh Cottey and Forster bahwa diplomasi pertahanan merupakan bentuk dari kerjasama pada masa damai dengan menggunakan armed forces sebagai bentuk kebijakan luar negeri dan pertahanan.

Selain itu, Pemerintah AS juga sudah lama merencanakan pembangunan sistem pertahanan misil di Polandia . Perundingan yang ada selama ini terbilang cukup alot, sampai akhirnya pada tahun 2008, Polandia sepakat untuk menerima AS membangun pangkalan pertahanan rudal di negaranya dengan imbalan berupa peningkatan pertahanan udara Polandia oleh AS. Selain itu, Polandia berpandangan bahwa dengan menyetujui pembangunan ini, akan menciptakan keamanan regional. Sedangkan dari pandangan AS, AS memiliki kekhawatiran terhadap rudal Iran dan Korea yang berpotensi nuklir dapat membahayakan sistem keamanan negaranya serta negara-negara sekutu yang berada di Eropa. Pro dan kontra dari perencanaan ini memang cukup menarik perhatian pengamat politik. Polandia pun ikut dikecam telah memprovokatori goyangnya hubungan AS dan Rusia, dimana kedua negara tersebut memiliki masa lalu yang kurang harmonis.

Dari kubu Pemerintahan Ceko pun sangat antusias dalam perencanaan ini karena hal tersebut dianggap sebagai langkah penting dalam usaha mereka untuk melindungi bangsanya sebagaimana dicerminkan dalam pernyataan berikut: “This agreement is an important step in our efforts to protect our nations and our NATO allies from the growing threat posed by the proliferation of ballistic missiles and weapons of mass destruction.”

Menurut AS, dengan ditempatkannya penangkal Rudal tersebut akan melindungi AS dari kemungkinan ancaman bahaya yang ditimbulkan oleh negara-negara di kawasan Timur Eropa maupun negara-negara utara. Penempatan Rudal AS di Polandia pada hakekatnya ditujukan untuk menangkis serangan rudal dari Korea Utara dan Iran. AS juga mengantisipasi dari dampak yang mungkin ditimbukan dari pengembangan Rudal Shihab 3 Iran di kawasan Timur-Tengah. Sebagaimana yang diketahui, Iran yang dalam pandangan AS menjadi bagian dari negara-negara utara, terus meningkatkan kapabilitas pertahanannya khususnya di bidang nuklir. Rudal Shihab Iran sendiri merupakan rudal darat yang memiliki jarak tembak sejauh 1.300 km dengan kemampuan lainnya yaitu membawa sekitar 1.000 kilogram bahan peledak . Dalam contoh kasus inilah AS berusaha mengawasi perkembangan pertahanan negara lain dengan salah satunya menempatkan rudalnya di Polandia tersebut.

Walaupun demikian, diplomasi AS ini dianggap Rusia mengancam keamanan Rusia. Hal tersebut dikarenakan kerjasama ini dianggap sebagai adalah langkah strategis untuk proses cari perluasan NATO ke arah timur serta memperkuat NATO dalam mengawasi serta mengontrol penempatan dan pengerahan tentara Rusia.

Dampak Penempatan Rudal AS di Polandia
Keberatan dengan Hubungan Rusia—AS yang pasang surut sejak Uni Soviet masih berdiri sampai keruntuhannya di tahun 1990-an, memberikan dampak ketegangan baru di kawasan Eropa Timur. Dalam rangka memperluas hegemoninya, AS telah mencapai kesepakatan dengan Polandia dan Republik Ceko dalam rangka menempatkan sistem pertahanan rudalnya di kawasan tersebut. Menteri Luar Negeri AS saat itu—Condoleeza Rize—dengan Menteri Luar Negeri Polandia—Radek Sikorski—akhirnya menandatangani kesepakatan penempatan rudal tersebut.

Dampak yang dapat dipastikan dalam kesepakatan ini tentu saja mengarah kepada Rusia, yang memang sejak awal negosiasi tersebut berlangsung, merasa keberatan. Rusia merasa penempatan Rudal AS di negara eks-pakta Warsawa karena menurut Rusia, AS bertujuan memata-matai gerak-gerik Rusia dan negara di kawasan Timur lainnya khususnya dalam segi pertahanan keamanan yang dapat juga dilihat sebagai keparanoidah AS terhadap peningkatan kapabilitas pertahanan dalam persenjataan . Selain itu, dilihat dari lokasi penempatan rudal di Polandia ini juga menjadi ancaman tersendiri bagi Rusia yang dirasakan AS sedang mengepung blokade Timur terlebih Rusia sendiri karena jarak yang dekat antara Rusia dengan Polandia.

Ancaman yang lebih teknis bagi Rusia juga dikarenakan rudal tersebut dapat mengunci posisi rudal Rusia. Sebelum kesepakatan AS-Polandia ini dibuat, Rusia sebenarnya telah menawarkan AS dalam penggunaan pangkalan radar Rusia yang terletak di Azerbaijan. Pangkalan rudal ini merupakan sebuha instalasi radar peringatan dini (early warning radar). Pangkalan radar ini dapat menjangkau Iran, Turki, India, Irak dan beberapa negara lainnya. Namun AS menolak tawaran tersebut karena memiliki tujuan yang berbeda.

Tujuan yang berbeda ini direalisasikan AS dengan penempatan Rudalnya di Polandia dan hal ini menjadi jawaban AS atas tawaran Rusia tersebut. AS lebih khawatir atas kapabilitas pertahanan Rusia dan oleh sebab itu merasa “bertanggung jawab” untuk terus memantau aktivitas pertahanan di Rusia maupun di negara-negara sekitar. Kecurigaan Rusia bahwa sebenarnya penempatan Rudal AS di Polandia dan Ceko dimaksudkan untuk mengunci rudal Rusia semakin kuat karena beberapa solusi yang ditawarkannya tidak digubris oleh AS. Sejak awal, Rusia telah menawarkan pengggunaan bersama pangkalan radar milik Rusia yang ada di Azerbaijan. Pangkalan tersebut merupakan sebuah instalasi radar peringatan dini (early warning radar). Stasiun radar yang ada di pangkalan ini memiliki jangkauan 6000 km. Jangkauan tersebut mencakup Iran, Turki, India Irak dan seluruh Timur Tengah. Dengan fakta itu maka penolakan AS untuk menggunakan pangkalan tersebut telah menegaskan maksud AS yang sesungguhnya untuk memperluas hegemoninya.

Dalam kasus penempatan Rudal ini, terlihat dampaknya terhadap Rusia maupun AS sendiri yang berpontensi memunculkan “Perang Dingin jilid II”, karena pada kenyataan ketegangan hubungan antara AS dengan Rusia sendiri sangatlah berfluktuatif. Ketika Rusia mengetahui rencana AS tersebut akan direalisasikan pada tahun 2011, Vladimir Putin memberikan pengumuman kepada masyarakat dunia bahwa Rusia akan menyebar rudal-rudal di perbatasan Kaliningrad di laut Baltik yang dekat dengan Polandia. Hal tersebut dipertimbangkan oleh Barack Obama, untuk melanjutkan misi former AS president atau mengambil jalur lain. Niat baik yang dilontarkan oleh Obama dalam isu ini yaitu membatalkan perjanjian ini, demi menjaga hubungan dengan Rusia. Sehingga Rusia pun mau mencabut kembali rudal-rudal yang telah dipersiapkan diperbatasan Polandia. Oleh karena itu, Putin pada April 2007 telah mengancam akan terjadinya perang dingin baru jika Amerika tetap berkeras menyebarkan penangkal rudal di Eropa Tengah. Sebagai tambahan, sebagai reaksi atas berbagai ancaman Amerika, Putin mengancam akan menarik diri dari Perjanjian Kekuatan Nuklir (NFT-Nuclear Forces Treaty) yang ditandatangani dengan Amerika pada tahun 1987.

Selanjutnya, perbedaan yang terlihat antara Perang dingin di era Soviet dengan kasus ini adalah bagaimana Rusia terlihat lebih smooth dalam permainan diplomasinya dengan AS. Pada akhirnya pun penempatan Rudal AS tersebut telah disetujui Polandia dan Rusia tidak memiliki otoritas terhadap Polandia karena sudah bukan lagi menjadi bagian dari Uni Soviet, Namun hal ini bukan berarti tidak ada implementasi nyata yang sangat tegang dari hasil kerjasama AS—Polandia. Dampaknya menjadi menyebar kemana-mana bahkan sampai isu geo-polotik Rusia dengan Georgia dimana AS membela Georgia. Rusia namun tetap bersikap defensive tanpa meninggalkan karakter diplomasi pertahanannya yang cenderung koersif. AS pun terlihat tetap dalam posisi dibelakang layar dalam memanasnya konstelasi politik yang ditimbulkan dari penempatan rudal AS tersebut.

Pada November 2008 duta besar Rusia untuk NATO Dmitry Rogozin mengatakan “Rudal Amerika di Polandia bisa menghujani Moskow hanya dalam waktu empat detik. Dan untuk mengeluarkan Amerika dan membongkar kepalsuan klaim Amerika bahwa fasilitas rudal di Polandia dan Ceko itu untuk menangkal Iran, Rusia menawarkan kepada Amerika untuk menyebar radarnya disamping radar Rusia di pangkalan radar Rusia di Gabala, Azerbaijan dan itu lebih dekat ke Iran dari pada Polandia dan Ceko, jika memang targetnya adalah Iran” Amerika tidak menyetujuinya karena target Amerika adalah menancapkan pangkalan di Eropa Timur untuk mengancam Rusia. Dan Amerika tidak ingin Rusia ikut berkontribusi di pangkalannya sehingga pangkalan Amerika akan berada dalam pengamatan Rusia, selama targetnya adalah Rusia itu sendiri.

Kerjasama NATO dan Rusia mencakup partisipasi kapal perang Rusia dalam patroli penangkalan terorisme di Laut Mediterania dengan saling menukar keahlian memerangi penyelundupan heroin keluar Afganistan.

Georgia
Dari konflik yang ditenggarai keinginan AS dalam menempatkan rudalnya di Polandia ini eksesnya menjadi terbawa pada konflik politik antara Georgia dengan Rusia dalam memperebutkan Ossetia selatan dan wilayah Abkhazia. Sebelumnya dalam aspek historis, Rusia memang telah besitegang dengan Georgia terkait dengan masalah kemerdekaan dari Pengaruh Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet dan keinginan Georgia sendiri untuk bergabung dengan NATO.

Secara otonomi, Rusia masih memiliki pengaruhnya di kawasan Georgia terkait dengan Ossetia selatan dan wilayah Abkhazia yang terletak tidak jauh dari desa Tsitelubani. Desa tersebut disinyalir sebagai tempat dimana pesawat-pesawat tempur Rusia mematai-matai kedua wilayah itu. Di Ossetia selatan dan di wilayah Abkhazia sendiri sejak 1990 memang telah terjadi konflik otonomi terkait berdasarkan etnik suku. Ditambah dengan kejadian tahun 2007 ketika dua pesawat tempur Rusia jenis SU-24 yang tertangkap radar Georgia sedang terbang di atas permukaan wilayah Georgia sendiri menambah konflik yang memang telah ada sejak Uni Soviet masih berdiri.

Dalam memandang Ossetia selatan dan wilayah Abkhazia, masing-masing dari Georgia dan Rusia memiliki pandangannya sendiri. Georgia menganggap konflik ini lebih menekankan pada sisi politiknya dengan Rusia sedangkan Rusia sendiri memandang bahwa masalah ini adalah konflik antar-wilayah. Presiden Georgia—Mikhail Saakashvilii—mencoba berdiplomasi dengan Rusia untuk mencari solusi atas konflik tersebut. Presiden Rusia, yang dijabat Vladimir Putin saat itu, menyatakaan bahwa sebenarnya Rusia tidak menginginkan kedua daerah itu karena wilayah Rusia sendidi sudah sangat luas. Namun realita yang terjadi adalah bahwa Amerika ada mencamuri konflik ini dengan mendukung Georgia. Hal ini dapat memunculkan “war by proxy” dimana Amerika menjadi dalang atas memanasnya konflik tersebut.

Dari gambaran ekses yang terjadi di atas antara Georgia—Rusia, tidak heranlah ketika Amerika berencana menaruh Rudalnya di Polandia mengakibatkan dampak yang meluas yang tidak dapat dipungkiri menjadi pelebaran konflik antara dua negara hegemoni ini. Selain itu masalah pipa gas Rusia yang banyak menyumbangkan kehidupan di Eropa Barat juga menjadi salah satu faktor yang akhirnya membatalkan rencana Amerika di balik label NATO untuk meletakkan rudalnya di Polandia tersebut.

Kesimpulan
Strategic engagement bisa terwujud jika ada terjalin CBMs serta transparansi yang jelas bagi semua pihak yang terlibat dalam bentuk kerjasama, terutama yang menyangkut dengan militer dan persenjataan. Diplomasi pertahanan sebagai bentuk dari strategic engagement pun dianggap penting bagi para aktor (states) dikarenakan keamanan dan ancaman yang ada di era globalisasi sudah berubah total dan sulit untuk diprediksi. Sehingga, jika sebuah negara menginginkan kestabilan dalam sektor pertahanan dan keamanan negaranya, negara tersebut harus mampu menjamin negaranya jauh dari ancaman baik eksternal maupun internal. Tantangan yang ada dalam strategic engagement berupa kekhawatiran akan adanya kecurangan yang akan dilakukan oleh pihak lain, masih terus diperdebatkan. Karena tidak dapat dielak lagi jika ada sebuah negara mampu mengancam (threat) negara lain, maka negara tersebut sudah mampu mempertahankan kapabilitas pertahanan negaranya.

Strategic engagement antara AS-Rusia dalam konteks pembangunan pangkalan pertahanan rudal AS di Polandia serta radar pembimbing di Republik Ceko dengan tujuan melalui sistem tersebut akan melindungi AS dan negara-negara sekutu di Eropa dari serangan sistem kerja rudal yang diluncurkan oleh Iran dan Korea Utara, membuat dilema keamanan baru hubungan AS-Rusia pasca Perang Dingin. Dilema itu muncul ketika AS ingin memperluas pengaruhanya di kawasan Eropa Tengah dan Timur dengan memberi paket bantun militer ke Ceko dan Polandia dengan imbalan dibangunnya pangkalan rudal AS. Hal ini membuat Rusia tidak bisa tinggal diam karena dengan rencana tersebut keamanan dan kepentingan nasionalnya terancam di Eropa Tengah dan Timur. Meski Rusia tidak memiliki otoritas langsung untuk mengintervensi pilihan Ceko dan Polandia menerima paket bantua AS, tetap saja Rusia memiliki cara untuk melakukan diplomasi meski harus menggunakan unsur pemaksaan (coercive). Nuklir kembali membuktikan dirinya sebagai alat diplomasi ampuh. Ancaman Perang Dingin Jilid II dilayangkan jika rencana ini diteruskan.

Dengan pergantian presiden dari Bush ke Obama yang lebih defensive, perjanjian itu akhirnya dibatalkan dengan pertimbangan smart power yang AS usung sebagai politik luar negerinya yang lebih bersahabat dan diharapkan dapat menjangkau semua pihak bahkan yang dianggap musuh sekalipun.

gambar: http://www.opfblog.com/wp-content/uploads/2009/07/OABAMA-RUSSIA-3.jpg

Sunday, March 28, 2010

Hirarki atau Anarki?

Menyoal perlukah kekuatan hegemonik hadir guna menciptakan kesetabilan sistem internasional, tak lepas dari debat hirarki atau anarki dalam sistem internasioal. Hirarki yang dimaksudkan di sini adalah terdapat semacam pemerintahan dunia. Sementara anarki, adalah sistem internasional dianalogikan ibarat rimba raya. Setiap negara memiliki kedaulatanya masing-masing.

Kekuatan hegemonik seperti Amerika Serikat misalnya, memang mampu bertindak sebagai pengganti pemerintahan internasional, meski tanpa harus melanggar asumsi dasarnya yaitu egoisme yang rasional ; AS menjalankan peran ini karena kepentingannya untuk melakukan hal ini .

Kekutan hegemonik jelas diperlukan dalam kapasitasnya yang mampu menciptakan keadaan yang memungkinkan sistem bekerja dalam kondisi fair play – dalam konteks rejim perdagangan, untuk membuka batas-batas untuk mengimpor dan untuk menjauhkan prilaku ‘kreatif’ yang dapat merusak aturan dalam sistem. Meski demikian, negara pesaing yang ada di dalam sistem tersebut bukanlah aktor yang bodoh. Mereka memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari akses pasar yang dibuka oleh kekuatan hegemmonik. Namun, pada saat yang sama mereka berharap kekuatan hegemonik tidak beraksi berlebihan terhadap manufernya. Secara bertahap, kekuatan hegemonik akan tergoda untuk memaksakan kehendaknya dan lepas dari norma-norma bersama yang aturan mainnya seharusnya dikendalikan oleh Negara yang memiliki kekuatan hegemonik. Pada akhirnya, situasi ini disadari oleh negara-negara yang berada dalam sistem tersebut sebagai persoalan eksistensi dari pemilik kekuatan hegemonik. Tindakan kekutan hegemonik kemudian dinilai sekadar memenuhi kepentingannya sendiri daripada mengusahakan kepentingan bersama . Hal tersebut di atas –kurang lebih– adalah sebuah gambaran bagaimana Amerika Serikat (AS) sebagai kekuatan hegemonik melaksanakan hegemoni ekonomi selama lebih dari 50 tahun terakhir. AS tergoda pada pilihan kebijakan jangka pendek seperti membiayai Perang Vietnam, misalnya.

Sejak tahun 1941, Majalah Times sudah mengumumkan kedatangan dari “American Century”. Dunia yang pada abad-abad sebelumnya dikuasi oleh imperium Eropa, kini masa depannya tenggelam dalam bayang-bayang AS. Argumentasi tersebut mudah saja dicarikan buktinya. Tahun 1945, AS melaju sendiri sebagai Negara industri yang tidak pernah hancur akibat perang –sudah diperkirakan sebelumnya bahwa AS menguasai separo dari total produksi dunia. Dalam merespon Nazi dan mengatasi agrasi militer Jepang, AS telah berbalik arah dari peningkatan kapasitas produksi ke dalam revolusi teknologi militer yang canggih, dengan dukungan Angkatan Laut dan Udara paling hebat sedunia, tentara yang high tech, dan satu-satunya negara yang memiliki nuklir .

Secara singkat, AS pada tahun 1945 meiliki kelimpahan ekonomi dan bentuk-bentuk kekuasaan tradisional akibat dominasinya di seluruh dunia, sebuah konsep yang nantinya menjadi cikal bakal pengertian “soft” power . Namun, “American Century” atau abad Amerika gagal terwujud. Alasannya, pertama, meskipun kekuatan militer besar dimiliki oleh AS, namun posisi Uni Soviet yang lebih dekat dengan Eropa Barat dan Tengah, sebuah pintu masuk yang diharapkan AS untuk menjadi gerbang demokarasi dan liberalismenya memberikan keuntungan potensial bagi Soviet untuk mengerahkan kekuatannya seperti yang dilakukannya selama tahun 1941-5. Hal ini membuat para pengamat Barat menjadi ngeri. Apalagi, ketika pada akhirnya Uni Soviet berhasil mengembangkan nuklirnya sendiri . Dari sanalah, Soviet percaya diri dan menantang kubu AS siap untuk ‘bermitra’ dalam “balance of power ”. Kedua, dalam strategi pada masa Perang Dingin, AS memberikan hibah kepada Negara-negara Eropa Barat dan Jepang dengan imbalan subsidi militer dan dengan stimulasi ekonomi di mana investasi bebas masuk ke negara-negara penerima Marshall Plan. Hasilnya adalah, pada satu tingkat, sangat memuaskan; dalam waktu sangat singkat, Ekonomi Eropa telah dibangun kembali dan mereka melampaui tingkat kemakmuran masa sebelum perang. - di bawah kepemimpinan Amerika dua puluh tahun dari awal 1950-an hingga awal 1970-an, belum pernah terjadi peningkatan kekayaan global terbesar sepanjang sejarah umat manusia. Tapi, mudah bisa ditebak cerita selanjutanya, negara-negara yang baru sukses secara ekonomi dalam iklim kapitalis mulai untuk bersaing sukses dengan AS, dan Negara patner AS seperti mereka menjadi lebih kaya dan lebih powerful, dengan keengganan yang tinggi mengikuti kemauan AS dalam memimpin agenda-agendanya. Lambat laun akhirnya, “soft power” AS mulai memudar setelah periode perrang berakhir. Kepercayaan diri melalui kultur Eropa Barat terbangun kembali seiring dengan meningkatnya kekayaan mereka. Sementara, AS yang mengambil alih peran Inggris di Eropa, justru terjebak dalam perang dingin dengan Uni Soviet yang malah membangkitkan sentiment anti AS, khususnya di Prancis dan Italia, di aman Partai Komunis subur berkembang . Pada tahun 1950an Rock and Roll menjadi pop culture di AS, yang diikuti oleh anak-anak muda di Inggris tahun 1960-an yang justru memiliki aliran anti kemapanan dan berada di balik gerakan sipil melawan kebijakan AS menyerang Vietnam.

Semua berkata, pada awal 1970-an Amerika jelas negara yang paling kuat di dunia, tetapi bicara tentang abad Amerika telah menjadi sangat ketinggalan zaman. Untuk semua intensi dan tujuan, AS sudah dikalahkan di Vietnam, dan militernya sangat amoral dan tidak bekerja efektif; sebuah simbol kegagalan yang sempurna.

Meski demikian, kekuatan hegemonik tidaklah selamanya mutlak dibutuhkan untuk menjaga kesetabilan sistem internasional. Adalah Robert Keohane dalam After Hegemony memberi inspirasi yang berbeda. Rejim –dalam sebuah sistem internasional, bisa saja terus eksis meski telah memasuki masa “aftrer hegemony”. Hal itu disebabkan karena proses pembangunan rejim telah selesai. Dan pada akhirnya, tugas yang tersisa jauh lebih mudah karena sistem telah bekerja .

AS kini
Awal abad 21, ditandai oleh serangan kilat 2 jam yang merobohkan menara kembar WTC di New York, Washington, DC, dan di lapangan Pennsylvania. AS bingung harus memulai dari mana mengawali abad baru ini. Satu-satunya jalan adalah terus berjalan dan dengan penuh keyakinan seperti pendahulunya bahwa jalannya ditemukan saat berjalan . Dengan kejadian 9/11, AS seolah disadarkan bahwa globalisasi yang digerakkan oleh kapitalisme global yang sebagaian besar berdomisili di AS. Pesannya sangat jelas. Serangan itu menusuk ke jantung pertahanan kapitalisme global yakni WTC. Yang menarik, reaksi dari ungkapan kesedihan atas tragedi tersebut datang terutama dari Eropa Barat, dan minim sekali simpati dan hampir terkesan membisu yang datang dari dunia selatan atau yang sering disebut dunia Muslim.

Tidak mengherankan, pasca 9 / 11 seluruh rakyat Amerika, dan Presiden Bush mendeklarasikan 'War on Terror' langsung disambut secara luas di Amerika Serikat, dan di banyak negara lain di dunia - walaupun beberapa berpendapat bahwa penggunaan istilah 'perang' adalah tidak bijaksana; para teroris itu bukan tentara, dan terlebih lagi, perang adalah peristiwa terpisah sedangkan kampanye melawan Al-Qaeda itu tidak akan memiliki akhir yang menentukan. Namun, awal reaksi internasional tentang gagasan perang melawan teror cukup positif, dan hubungan AS dengan Rusia, Cina dan India ditingkatkan dalam waktu semalam -masing-masing Negara ini telah mereka menyambut gerakan antiteroris pada level domestik .

Peristiwa 9 / 11 mendorong AS untuk bertindak, tapi itu penentuan dengan siapa AS akan bertindak, apakah sendirian atau dengan sekutu yang paling dekat, sesama liberal, demokrasi kapitalis di Eropa Barat? Respon awal pasca 9/11 menjadi kembali ambigu. Ambivalensi hubungan AS-Eropa menjadi ciri karakter periodesasi selanjutanya; kadang dekat dan kadang jauh. Perang Irak tahun 2003 misalnya, menggambarkan peta politik hubungan AS-Eropa, di mana Perancis, Jerman dan Rusia memainkan peran yang sangat aktif dalam upaya menggagalkan tercapainya suatu Resolusi PBB untuk mengesahkan tindakan tersebut. Perang ini diperjuangkan oleh koalisi lain yang mau, sekali lagi termasuk Inggris dan Australia, tetapi juga dengan kontribusi dari Polandia dan sejumlah negara Eropa Timur lainnya meskipun tanpa
dukungan PBB secara eksplisit.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Apakah saat ini sudah terjadi keretakkan hubungan antara AS dan Eropa Barat? Meski agak tidak masuk akal mengingat hubungan ekonomi dan hubungan kesejarahan AS dan Eropa Barat seolah mustahil bakal retak.

Kerajaan Amerika abad 21 memang harus dilihat dengan cara yang berbeda ketika melihat kerajaan pada abad 19. Meski AS masih menjadi kekutan hegemonik dengan kekuatan militernya yang mustahil ditandingi oleh siapapun, namun hegemoni AS kini lebih dilihat dalam lanskap ekonomi. Kritik dari kukuasaan AS secara umum mengabaikan isu-isu yang sifatnya alternatif. Namun, bayangkan jika hari ini tidak ada lagi kekuatan hegemonik AS? Setidaknya hal ini untuk mengkritisi bagaimana jika AS terjebak masuk dalam isolationism. Meski demikian, Banyak promotor masyarakat sipil global dan gerakan progresif kiri tampaknya berpikir bahwa dengan kekuatan Amerika yang keluar dari jalan, PBB akan demokratis, kapitalisme dunia akan
dijinakkan, terorisme global akan menghilang, singa akan berbaring bersama domba di Tengah dan di Timur Jauh, dan orang-orang di dunia akan mengabdikan diri untuk menciptakan Kerajaan Surga di Bumi, mungkin dengan semacam korps perdamaian global untuk membawa kekayaan lingkungan suara untuk yang miskin dan yang tidak bersenjata dan kepolisian berfungsi untuk menjamin bahwa tidak aka ada pelanggaran hak asasi manusia dihormati di mana-mana.

Monday, March 15, 2010

Hantu Mayoritarianisme

Apa yang pernah didebatkan James Madison dengan Thomas Jeferson dalam the Federalist Papers sepertinya sedang terjadi di sini yaitu bahaya mayoritarianisme dalam demokrasi. Tak bisa disangkal bahwa demokrasi memberikan ruang istimewa bagi mayoritas. Salah satu contoh operasinaliasasinya adalah pemilu. Daerah mana yang memiliki dapil (daerah pemilihan) paling banyak? Tentu saja Jawa, yang notabene memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia.
Apa jadinya jika hal ini terjadi pada daerah-daerah yang secara teritori luas dan kaya akan sumber mineral sementara sedikit dalam arti jumlah penduduk? Situasi inilah yang menimpa berbagai kawasan khususnya di Indonesia bagian Timur dan tengah. Buktinya adalah tingginya angka kemiskinan dan kematian. Negara seharusnya bertanggungjawab atas sitasi ini (lihat konstitusi).

Persoalan ketidakadilan di berbagai aras kehidupan adalah salahsatu pangkal sebab dari berbagai turbulensi sosial-politik, ekonomi, dan budaya di tanah air. Ketika banyak daerah di Indonesia bagian Timur dan Tengah mulai merasa tereksploitasi secara sumber daya alam, tapi tidak dipertimbangkan secara proporsional dalam penentuan kebijakan politik, hukum, dan pembangunan, rasa terdiskriminasi itu menguat. Ketika orang-orang ingin menuntut haknya, pemerintah justru mendekati mereka dengan cara-cara militeristik yang menghalalkan kekerasan. Bahkan, cap sparatis dan ingin berbuat maker dilekatkan kepada mereka. Beberapa daerah mulai berani mengangkat panji-panji wilayahnya dan bahkan ingin melepaskan diri dari Indonesia.

Sementara, yang terjadi di tingkat elit nasional adalah wabah mayoritarianisme dalam bentuk-bentuknya yang ingin mencari menangnya sendiri. Spirit kebebasan yang dihirup setelah reformasi, dirayakan baru sebatas bebas dari represi politik Orba. Belum sampai bagaimana memberikan penghargaan terhadap yang berbeda pendapat. Ada kelompok yang mengaku merasa dirinya mayoritas berhak meyerang kelompok yang diniali sesat, menyimpang, dan sebagainya. Di sana sudah terjadi banyak sekali korban baik harta benda maupun nyawa.

Meski reformasi sudah membangun sistem pelibatan publik dalam setiap pengambilan keputusan, namun tetap saja bahaya tirani mayoritas diisi oleh parpol-parpol besar. Celakanya, parpol saat ini hanya bekerja mengatasnamakan kepentingan rakyat. Belum sepenuhnya berjuang demi kepentingan rakyat. Parpol belum melaksanakan fungsinya dengan benar. Malah, menjadi sumber persoalan akut di mana tradisi korupsi merajalela di sana.

Umum diketahui, jika mau menjadi calon legislatif melalui parpol besar, seseorang sudah harus menyerahkan sejumlah uang dalam sekala besar kepada parpol tersebut, belum lagi sitem pendaftarannya di KPU sudah banyak pihak sebut sangat korup. Sehingga, siapa yang bisa menjadi representasi rakyat adalah bukan orang-orang yang berasal dari rakyat miskin dan terpinggirkan. Mereka adalah orang-orang kaya yang karena kekuatan akses modal dan jaringannya terhadap penguasalah yang selalu menduduki posisi-posisi penting tersebut. Bagaimana mereka bisa menyuarakan kepentingan rakyat miskin? Bagaimana mereka bisa menyuarakan kepentingan rakyat di daerah-daerah miskin di perbatasan? Rasanya itu mustahil. Yang ada di benak wakil-wakil rakyat itu kemungkinan adalah bagaimana mereka dapat mengembalikan modalnya selama masa kampanye!

Pada akhirnya, bagaimana cara mereka membuat keputusan? Membuat agenda kerja? membuat prioritas program? Dan bagaimana menyusun struktur anggaran?
Fragmentasi ketidaksensitifan elit penguasa dalam membuat kebijakan publik telanjang disaksikan baru-baru ini melalui pembelian mobil-mobil dinas baru para pejabat dari tingkat pusat sampai daerah. Bagaimana perlindungan pemerintah justru kepada pemilik modal seperti Lapindo!

Belum lagi soal pelarangan buku yang notabene adalah cara-cara rezim otoriter. Memang betul bahwa alasan yang dikemukakan adalah untuk menjaga kepentingan mayoritas (ketertiban umum). Tetapi persis karena alasan mayoritarianisme itulah yang menjadi titik kisruh. Pertanyaan utamanya adalah apakah alasan mayoritarian cukup menjadi dasar bagi sebuah pencekalan dan pelarangan sebuah karya dan kreatifitas.

Demokratisasi yang digadai dengan model mayoritarianisme seperti inilah yang seharusnya dijungkirbalikkan! Tapi hal ini bukan dengan kembali kepada rezim otoritarianisme, sentralistik, dan militeristik a la Soeharto.

Menurut John Rawls, ketidaksama¬rataan dalam hal kekuasaan, kekayaan dan status hanya dapat dibenarkan sejauh semuanya itu sangat menguntungkan anggota masyarakat yang paling terbelakang, apalagi sejauh posisi atau jabatan yang membawa ketidaksamarataan dalam hal kekuasaan, kekayaan dan status, itu juga benar-benar terbuka bagi semua orang (ketidakmerataan fungsional). Asas keadilan sosial menegaskan perlunya pembagian kekayaan dan kekuasaan demi keuntungan anggota masyarakat yang paling kurang diuntungkan. Dengan kata lain fokus utama dari asas keadilan adalah nasib anggota masyarakat yang paling kurang diun-tungkan.

Bagaimana keadilan itu bisa berujung pertama-tama kepada yang miskin dan terpinggirkan baik secara kualitas, kuantitas maupun akses. Hal itu hanya mungkin terjadi ketika orang miskin dan terpinggirkan bisa masuk, terlibat dan mempengaruhi setiap keputusan public didorong oleh gerakan masyarakat sipil pro demokrasi yang dapat memanfaatkan celah untuk ikut berpartisipasi aktif dalam setiap pembuatan peraturan perundang-undangan (Bdk. Pasal 53 UU Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Kekuasaan juga harus dikontrol dengan baik oleh media massa yang sehat.

Mayoritarianisme dalam pengertian ini harus dihapuskan. Demokrasi seharusnya memberi peluang yang sama derajatnya untuk siapa saja di depan hukum dan keadilan.


TRIPs Surat Perintah Hukuman Mati untuk Negara Miskin

Globalisasi yang membuat dunia tampil nyaris tanpa batas membuat sisi baru dalam perdagangan internasional. Arus barang dan jasa, serta modal dengan skala mundial bergerak melewati batas-batas negara terjadi setiap saat. Persoalan pengaturan perdangan internasional menjadi isu utama studi Ekonomi Politik Internasional. Lembaga seperti World Trade Organization (WTO) menjadi ajang pertarungan kepentingan bisnis antarnegara.
 

Tidak cukup dengan mengatur tarif dan pajak, WTO terus merangsek ke sektor yang masih kontroversial yakni persoalan kepemilikan, penemuan baru, dan inovasi. WTO memaksakan membuat aturan hak paten, merek dagang dan hak cipta yang kini banyak digugat oleh ilmuan dan aktivis sosial dari berbagai penjuru bumi.

Di Indonesia, persoalan hak paten telah memakan korban. Made Desak Suarti digugat di pengadilan AS oleh Lois Hill, seorang desainer perhiasan dari New York. Menurut Hill, pemilik Ancient Modern Art, Suarti telah mencuri enam desain perhiasan ciptaannya, yang terdiri atas desain tiga anting-anting, dua gelang dan satu kalung.

Menurut Hill, kasus penjiplakan itu telah mengakibatkan perusahaannya merugi sebesar 600 ribu dollar AS. Suarti, pemilik Balinese Inc., menolak tuduhan tersebut karena menurutnya apa yang diciptakannya merupakan desain yang sudah diwariskan turun temurun. Misalnya desain kalung yang dikatakan mencuri desain Hill merupakan desain dengan corak Borobudur .

Padahal, Balinese Inc. yang memasuki pasar AS sejak 1973, sekarang menjadi pemimpin pasar untuk produk perhiasan perak di negara tersebut. Menurut suami Suarti, gugatan yang sekarang didaftarkan di Pengadilan Distrik bagian Utara New York lebih merupakan persaingan dagang karena perusahaannya mampu menjual perhiasan perak dengan harga terendah yaitu 65 sen (dollar AS) per gram. Sementara, perusahaan milik Hill menjual dengan harga 1,2 dollar AS per gram dan bahkan desainer lain menjualnya dengan 3 dollar AS per gram. Bagi Bali, kasus tersebut dapat mengancam kelangsungan creator lokal di bidang perhiasan perak dan juga nilai devisa yang dapat diperoleh, arena ekspor kerajinan perak Bali pada 1988 mencapai 29 juta dollar AS .

Makalah ini mencoba mengurai jalin-tundan persoalan hak paten sebagai turunan dari ratifikasi oleh pemerintah Indonesia atas persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs) yang merupakan perjanjian multilateral dalam rezim WTO pada April 1994.

Pertanyaan dasarnya adalah, bagaimana posisi hak paten dilihat dari perspektif ekonomi politik internasional dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional menggunakan tiga prespektif; liberalisme, merkantilisme, dan strukturalisme? Apa implikasinya bagi Indonesia sebagai negara berkembang yang terlanjur telah meratifikasinya? Dan bagaimana mencari solusi atas situasi yang sudah terjadi ini?

Sejarah HaKI di Indonesia
Perdebatan mengenai paten sebenarnya sudah masuk dalam ranah intellectual property right (IPR) atau hak atas kekayaan intelektual (HaKI). Awalnya, persoalan ini bermula dari ‘keberanian’ pemerintah Indonesia pada era Soeharto masuk dalam rezim perdagangan World Trade Organization (WTO). Hampir semua negara menolak kesepakatan yang hendak dijejalkan dalam keputusan WTO itu. Seluruh negara Eropa tak ada yang tanda tangan. Begitupun negara ASEAN. Bahkan Menteri Industri Malaysia sempat menyindir "keberanian" Indonesia masuk kerangka penuh jebakan itu. Asal tahu saja, selain Jepang dan Amerika sebagai penggagas, hanya empat negara lain yang setuju kala itu: Kanada, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan, yang satelit kepentingan AS .

Dalam kerangka perjanjian multilateral GATT (saat ini menjadi WTO), pada bulan April 1994 di Marakesh, Maroko, telah berhasil disepakati satu paket hasil perundingan perdagangan yang paling lengkap yang pernah dihasilkan oleh GATT. Perundingan yang telah dimulai sejak tahun 1986 di Punta del Este, Uruguay, yang dikenal dengan Puataran Uruguai antara lain memuat persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs).

Persetujuan TRIPs memuat norma-norma dan standar perlindungan bagi karya intelektual manusia dan menempatkan perjanjian internasional di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) sebagai dasar. Di samping itu, persetujuan tersebut mengatur pula aturan pelaksanaan penegakan hukum di bidang HaKI secara ketat .

HaKI pada dasarnya merupakan hak yang diberikan oleh negara kepada penemu atau pencipta baik itu di bidang IPTEK, dagang, maupun karya sastra untuk melarang pihak lain tanpa seijinnya meniru atau mencontoh hasil karya atau ciptaannya tersebut.

Terdapat lima bidang HAKI di Indonesia hasil ratifikasi terhdap rezim WTO, yaitu hak paten yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001; hak cipta diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002; hak merek diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001; Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diatur dalam UU No. 32 Tahun 2000; Desain Industri diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000; dan Rahasia Dagang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2000.

Pasal 1 Undang-Undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten mengatakan paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

HaKI dalam arti ini, pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan insentif kepada pencipta atau penemu untuk mengeksploitasi hasil ciptaan atau penemuannya tersebut secara ekonomis .

Tiga perspektif HI melihat HaKI
Dalam buku Introduction to International Political Economy, David N. Balaam dan Michael Veseth melihat persoalan HaKI dapat dianalisis menggunakan tiga perspektif. Dalam kacamata liberal, hak atas kepemilikan barang adalah dasar untuk menjalankan mekanisme pasar. Hak tersebut membuat sebuah insentif tinggi dalam menggunakan sumber daya secara efisien. Property rights mendirikan secara langsung hubungan antara usaha dan imbalan. Sementara hak atas kekayaan intelektual atau intellectual property rights –paten, trademarks, and copyright (paten, merek dagang, dan hak cipta) membuat hubungan antara usaha dan imbalan.

Invensi dan inovasi (komersialisasi dari invensi) termasuk penciptaan dari pengetahuan. Dan pengetahuan, secara alamiah, adalah nonrival. Untuk itu, pengetahuan satu perusahaan bisa digunakan oleh perusahaan-perusahaan lain. (secara kontras, baja satu perusahaan tidak dapat digunakan oleh perusahaan karena baja adalah baranbg rival). Pengetahuan yang oleh satu perusahaan kembangkan dalam keraqngka untuk produksi dan proses inovasinya juga dapat dibuat oleh perusahaan-perusahaan lainnya. Kensekuensinya, tanpa pengaturan secara legal meniadakan kegunaan temuan pengetahuan baru kepada perusahaan lain, tumbuhnya produk imitasi akan mengeliminasi keuntungan dari pentingnya melakukan inovasi. Hasil dari pengtingnya melkukan inovasi di bidang teknologi tidak mendapatkan imbalan. Tanpa HaKI, ketidakcukupan sumberdaya akan dikhususkan untuk riset dan pengembangan, dan dalam jangka panjang, konsumen tidak akan mendapatkan barang yang murah.

Dari pandangan liberal, aturan internasional dari HaKI adalah sangat esensial jika pasar ekonomi dunia menginginkan keuntungan luar biasa dari perkembangan teknologi baru. Konvensi internasional untuk HaKI perlu dikuatkan dalam menggaransi sebagai proteksi efektif dari temuan teknologi. Pemenang dari proses ini terakhir adalah konsumen dunia yang akan mendapatakan pilihan yang beragam atas produk-produk baru.

Merkantilis melihat, proses inovasi teknologi dalam banyak segi. Pengetahuan adalah sumberdaya untuk kesejahteraan dan kekuatan nasional. Maka produktivitas, bukan konsumsi, adalah hal yang krusial dalam kepentingan nasional. Kemampuan untuk menciptakan adalah alat ukur dari kemajuan dan kekuatan sebuah bangsa. Teknologi, kemudian pengetahuan produksi, secara luas menentukan posisi Negara di dunia. Negara harus mengembangkan kemudian menjaga secara rapat-rapat teknologinya, dan teknologi dikendalikan oleh Negara lain harus diterima. Ketergantungan teknologi harus dihindari.

Proteksi HaKI untuk perusahaan-perusahaan domenstik sangat jelas sesuai dalam kaitannya untuk membesarkan inovasi teknologi diomestik. Proteksi yang sama dari teknologi yang dimiliki perusahaan asing, suka tidak suka akan menjadi kepentingan nasional. Agaknya, kebijakan pemerintah dalam bidang ini seharusnya memfasdilitasi akuisisi dari kepemilikan teknologi luar negeri dalam biaya semurah mungkin.

Ditingkatkannya proteksi dari HaKI adalah lalu tidak penting dalam kepentingan nasional. Perlindungan kekayaan intelektual dari perusahaan nasional dalam area domestic maupun pasar luar negeri adalah sesuai, tetapi timbal-balik proteksi untuk perusahaan dari luar negeri dalam pasar domestik seharusnya dibatasi. Perdaganagan dalam arti ini adalah sebuah zero-sum game. Satu negara akan mendapatkan market share internasional datang pada pengeluartan dari Negara-negara lain yang kalah.

Pertarungan pasar akan dimenangkan oleh Negara ang dapat mengeksploitasi keunggulan teknologinya. Dengan kata lain, proteksi terhadap kekayaan intelektual akan menguntungkan Negara-negara yang memiliki keunggulan kapasitas teknologi.

Strukturalis melihat HaKI akan meningkatkan ketergantungan dari negara periphery terhadap core. HaKI adalah alat yang menyebabkan ketergantungan. Negara maju menggunakan HaKI untuk mengelola keunggulan teknologi mereka terhadap Negara dunia ketiga. Paten, trademarks, dan copyrights digunakan untuk memonopoli pasar dunia ketiga, mendatangkan keuntungan, dan memperdalam dan melegalkan ketergantungan.

Dari sudut pandang ini, pemenang dari pemberlakuan HaKI adalah jelas Negara-negara maju dengan perusahaan-perusahaannya. Yang kalah adalah orang-orang di dunia ketiga yang membayar monopli harga-harga untuk produk barang dan jasa dan siapa yang menerima keuntungan dari transfer teknologi dalam kerangka untuk didikte oleh perusahaan dari negara maju.

Sehingga, perdebatan mengenai HaKI tak bisa dilepaskan begitu saja dari debat antara kepentingan negera-negara utara melawan negara-negara selatan.

Analisis
Yang terjadi terhadap Suarti adalah bukti bagaimana rezim perdagangan ini telah bekerja. Siapa yang lebih dahulu mempatenkan produk, dialah pemilik yang diakui secara legal formal terhadap produk itu. Meski Suarti mengaku telah menjadi pengrajin perak menuruni warisan leluhurnya, yang entah siapa pertamakali membuat desain itu, entah diciptakan oleh seorang atau dikerjakan bersama. Tetap saja, Suarti harus berurusan di meja hijau.

Yang paling berbahaya dalam perjanjian TRIPs adalah tiadanya pengakuan tentang hak milik komunal/masyarakat. Alinea 4 halaman 320 perjanjian ini mengakui secara eksplisit bahwa "hak kekayaan intelektual adalah hak milik pribadi" ("Recognizing that intellectual property rights are private rights"). Akibatnya, bukan aspek kesejarahan yang penting di sini namun siapa yang paling cepat dan paling banyak punya modal untuk mendaftarkan haknya. Filosofi dasar TRIPs ini memungkinkan sebuah perusahaan/perorangan mengklaim paten atas suatu pengetahuan yang bersifat komunal.

Kasus ini, juga bisa menjadi pintu masuk mempelajari bagaimana kerjasama ekonomi yang tidak adil seperti ini bisa terjadi? Menurut Keohane dalam After Hegemony, dia membedakan antara kerjasama, harmoni dan discord (perselisihan). Kondisi harmoni adalah ketika masing-masing aktor sosial dengan mengejar kepentingannya sendiri-sendiri tanpa memedulikan pihak lain dengan sendirinya akan memfasilitasi pihak-pihak lain mencapai kepentingannya. Dalam situasi seperti ini, justru tidak butuh kerjasama. Sebaliknya, kerjasama dibutuhkan pada saat terjadi situasi tidak harmoni atau disharmoni. Aktor-aktor (negara-negara yang sedang tidak harmoni) akan diarahkan pada situasi kecocokan melalui proses negosiasi atau koordinasi kebijakan.

Paten dilihat serta dianalisis menggunakan pendekatan liberalisme dan cara pandangnya terhadap kerjasama seperti yang dijelaskan Keohane adalah dimulai ketika terjadi kondisi disharmoni yakni ancaman terhadap maraknya pembajakan ketika terjadi perdagangan bebas antarnegara. Namun, situasi disharmoni ini diterjemahkan menurut siapa? Tentu saja, aktor-aktor utama WTO yang merasa dirugikan dengan situasi ini.

Perusahaan-perusahaan di AS memainkan peran utama dalam mengevaluasi perlindungan atas kekayaan intelektual untuk menjadikan isu utama dari kebijakan luar negeri AS. Intellectual Property Committee adalah badan ad hoc yang terdiri dari 12 perusahaan utama AS yang merepresentasikan berbagai bidang industry telah dibangun sejak 1986 dengan tujuan untuk meningkatkan proteksi internasional terhadap HaKI . US Intellectual Property Committee menyebut kerugian akibat pelanggaran tidak adanya proteksi HaKI anatar US$ 43-61 milyar dalam tahun 1986 .

Rezim WTO khususnya menyangkut hak paten dan hak cipta adalah sebuah mekanisme kerjasama yang pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan insentif kepada pencipta atau penemu untuk mengeksploitasi hasil ciptaan atau penemuannya tersebut secara ekonomis. Semangatnya, dengan adanya perlindungan hak dari hukum tersebut diharapkan masyarakat akan lebih kreatif untuk mencipta maupun menemukan inovasi-inovasi baru lagi .

Pada dasarnya hak kekayaan intelektual dibagi menjadi dua macam yaitu hak cipta dan hak kekayaan industri. Hak cipta terkait di dalamnya hak atas karya ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Pada perkembangannya termasuk dalam hak cipta adalah program komputer. Sementara itu yang masuk dalam kelompok hak kekayaan industri adalah hak paten, hak merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang dan varitas tanaman.

Masuknya program komputer ke dalam kelompok ciptaan yang dilindungi dengan hak cipta atau copy rights merupakan keberhasilan dari negara-negara industri maju dalam melakukan loby pada saat pembahasan perjanjian TRIPs yang merupakan pedoman dalam menyusun hukum Intellectual Property Rights di negara-negara anggota WTO. Hal ini, sesuai dengan prinsip rezim dalam kacamata neoliberal yaitu fokus pada absolute gains. Keuntungan yang diambil dari sini adalah korporasi-korporasi dari AS seperti Microsoft adalah dengan mendapatkan royalti atas produk-produk software yang dijual ke negara-negara lain. Dan jika individu atau perusahaan di suatu negara yang terikat dalam perjanjian WTO soal HKI ini melakukan pembajakan, maka Microsoft seharusnya bisa menuntut individu atau perusahaan di Negara itu di pengadilan. Karena mereka sudah merativikasinya dalam bentuk UU.

Perlawanan atas rezim ini biasanya didasarkan pada pemikiran strukturalis dalam mengkritisi bagaimana rezim perdagangan ini menciptakan ketergantungan, dan melegitimasi monopoli atas temuan teknologi. terhadap dominasi perusahaan-perusahaan tersebut dilakukan dengan membentuk sebuah gerakan yang kerap disebut sebagai copyleft movement dan open source. Spritnya adalah melindungi hak konsumen untuk bebas membagi, memodifikasi, dan melipatgandakan.

Kesimpulan
HaKI sebagai instrumen turunan dari rezim WTO dibuat dalam situasi dunia yang dalam bahasa Keohane sedang mengalamai disharmoni. Walau, situasi disharmoni ini ditentukan dalam kacamata Negara maju seperti AS, yang menjadi aktor utama WTO, sehingga jika dilihat dari kacamata merkantilsme adalah ajang unjuk kekuatan AS di sana. Maraknya pembajakan software dinilai sebagai situasi yang merugikan dan mengancam industry teknologi AS. Indonesia pun dituding sebagai surge para maling software.

Ketika situasi ini diterjemahkan dalam bentuk aturan berupa HaKI, terdapat banyak sekali kekuarangan dan mebuat perdagangan dunia semakin buas. Salah satu kelemahan utamanya adalah basis atas HaKI adalah hak milik pribadi. Peraih Nobel Ekonomi tahun 2001 Joseph Stiglitz yang merupakan menilai Hak atas Kekayaan Intelektual dan TRIPs yang disepakati pada 15 April 1994 menilai, “… tidak disadari sebagai surat perintah hukuman mati bagi ribuan manusia di negara-negara miskin di dunia.”

Pemerintah harus melakukan kaji ulang atas isi dan pelaksanaan TRIPs di Indonesia, terutama berkaitan dengan perundangan di bidang hak paten. Proses kaji ulang ini harus melibatkan semua sektor masyarakat mengingat kompleksitas dan luasnya obyek perlindungan HaKI. Proses tersebut dapat berupa penelitian partisipatif yang diikuti dengan konsultasi nasional, untuk menganalisis: dampak positif dan negatif dari TRIPs bagi masyarakat kebanyakan terutama berkaitan dengan hak cipta, paten.

Langkah berani yang ditawarkan Ronny Agustinus dalam tulisannya berjudul Sebuah Esai Tanpa hak Cipta juga bisa ditempuh melihat seriusnya ancaman dari rezim paten ini adalah walaupun berdasarkan 60 kesepakatan dan perjanjian setebal 550 halaman yang diteken bulan April 1994 itu, masalah HaKI sebenarnya cuma dibahas sepanjang 33 halaman dalam annex 1C (hal 319-351), namun dampaknya ternyata sungguh luar biasa dalam hidup kita sekarang dan masa depan. Persoalannya: biarpun perjanjian itu sudah diteken, buat apa kita harus mematuhinya? Alasan untuk itu jelas: Putaran Uruguay dan perjanjian-perjanjian WTO lainnya diikuti dan disetujui oleh Indonesia semasa rezim pemerintahan korup-diktatorial yang tidak dipilih rakyat, sehingga keabsahannya harus diragukan dan sebisa mungkin dibatalkan.



Daftar Pustaka
• Peter Jaszi, Kebudayaan Tradisional, LSPP, 2009
• David N. Balaam dan Michael Vaseth, Introduction to International Political Economy, Prentice Hall, 1996
• Mardiharto Tjokrowasito, Peraturan Perundang-Undangan yang Mendukung Pembangunan Ekonomi yang Berbasis IPTEK
• Maria Hartiningsih, Kompas, 20 Januari 2003
• Stephen D. Krasner, Structural causes and regime consequences: regime as intervening variables
• Oran R. Young, “International Regimes: Problems of Concept Formation,” World Politics 32, 1980
• Friedrich Kratochwil dan John Gerard Rugie, International Organization: A State of the Art on Art of the State
• “The Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations”, the Legal Text, the WTO, Switzerland


PERAN OMK MENGHADAPI KOMLEKSITAS MASALAH BANGSA

Tawaran untuk menjadi salahsatu pengisi acara “Jambore Orang Muda Katolik Keuskupan Banjarmasin (JOMKA) 2009” penulis terima dari Agus, wartawan HIDUP yang dikenal ketika penulis sedang mengikuti sebuah acara di pegunungan Meratus Loksado, Kalsel awal Mei lalu.
Tawaran ini sejujurnya menyulitkan dari segi waktu karena bertepatan dengan hari libur Lebaran, namun mengingat mendesaknya kebutuhan konsolidasi di antara orang muda Katolik melihat, mendengar dan merasakan sitasi aktual hidup bernegara yang sering dikatakan banyak pihak sebagai krisis multi dimensi mendorong penulis untuk menerima tawaran ini sebagai sebuah ruang untuk berbagi keprihatinan serta menggali masukan guna bersama-sama mengusahakan kehidupan bersama yang lebih baik, seturut teladan Yesus Kristus Sang Pembabas kita. Untuk itu, kepada seluruh panitia, penulis ingin mengucapkan terima kasih atas kesempatan dan kepercayaannya untuk dapat berpartisipasi dalam acara ini.

Menangkap apa yang digulirkan dalam kerangka acuan yang penulis terima, yang kurang lebih ingin meneruskan pemikiran Mgr. Soegijapranata SJ, di awal kemerdekaan, bahwa seorang umat Katolik Indonesia seyogianya “100 persen Katolik, 100 persen Indonesia”. Maka, hal itu menurut penulis hanya bisa diwujudkan ketika kekatolikan dimaknai sama dengan keindonesiaan. Artinya, menjadi katolik yang tidak bisa lepas dari kompleksitas masalah sosial ekonomi, politik, dan sosial budaya di Indonesia.

Maka dari itu, makalah singkat ini pertama-tama akan mengungkap sedikit persoalan sosial di Indonesia, posisi orang muda dan pada akhir bagian akan menawarkan sejumlah gagasan dan meminta sejumlah masukan untuk bisa didiskusikan bersama.

Situasi Aktual
Sebelas tahun sudah lewat reformasi. Angin demokrasi yang seharusnya mampu memecahkan berbagai persolan kebangsaan, malah justru memasuki titik kritis dan titik balik yang membingungkan publik. Tampaknya, proses demokratisasi bangsa baru sebatas dimaknai sebagai kebebasan dari represi politik, belum sampai pada bagaimana menghargai pendapat dan menerima perbedaan.

Dalam bidang politik, Negara tak kunjung berhasil mengarahkan kualitas kehidupan bangsa menuju cita-cita kemerdekaan (bdk. Pembukaan UUD 1945) dan amanat transformasi sosial (yang sering dikenal dengan “reformasi”) 1998. Situasi itu dilatarbelakangi oleh semakin merebaknya praktik korupsi kekuasaan dan ekonomi para pemimpin maupun lembaga Negara demi meraih kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok masing-masing.

Dalam bidang ekonomi, penguasaan hajat hidup orang banyak oleh Negara ternyata tidak dilaksanakan demi kepentingan rakyat, melainkan demi kepentingan penguasa modal, tak terkecuali pemodal asing. Akibatnya, derajat kehidupan ekonomi rakyat turun drastis, kemiskinan merebak, kelaparan dan kondisi serba tidak terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat semakin tak terpenuhi.

Dalam bidang budaya, kehidupan bangsa semakin kehilangan kharakter kulturalnya. Pancasila yang sejak awal kemerdekaan disepakati oleh para pendiri bangsa dan negara Indonesia sebagai filosofi dan pedoman dasar hidup, kini tak lagi ditempatkan sebagaimana mestinya, dan terancam oleh berkembang kuatnya ideologi-ideologi lain berbasis agama atau kepentingan politik dan ekonomi tertentu.

Pancasila yang seharusnya menjadi kekuatan pemersatu (integrating force) semakin sulit posisinya. Karena, Pancasila terlanjur tercemar pada masa rezim Soeharto dimana Pancasila dipakai sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Selain itu, pada masa pemerintahan BJ Habibie terjadi liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah faktor otonomi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika diantisipasi bisa menimbulkan local-nationalism yang dapat tumpang tindih dengan ethno-nationalism. Dalam posisi ini, Pancasila baik secara sengaja maupun by-implication kian kehilangan posisi sentralnya (Azra: 2006).

Dalam posisi seperti ini, bangkitnya ideologi-ideologi lain termasuk ideologi keagamaan sudah tak dapat terhindarkan. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya penerimaan religious-based ideologies ini merupakan salahsatu tendensi yang terlihat jelas di Indonesia pasca-Soeharto. Kini, bayang-bayang religious based-ideology (ies) diwujudkan antara lain dengan menetapkan dan memberlakukan UU, Perda yang dalam satu dan lain hal ‘bernuansa Syari’ah’ yang jumlahnya lebih dari 200 yang tersebar di seluruh Indonesia.

Parahnya masyarakat kini cenderung lebih mudah terprovokasi dan dengan mudah menjadi hakim atas sesamanya sendiri. Korban pun jatuh sudah. Kekerasan atas nama agama meningkat fluktuasinya dan memuncak pada tragedi monas berdarah 1 Juni 2008. Sebelumnya, kekerasan juga terjadi terhadap warga Ahmadiyah di Manis Lor Kab. Kuningan Jawa Barat dan Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, Al Qiyadah Al Islamiyah di Padang, Sejumlah Gereja di Kab. Bandung Jawa Barat, dan Sy’iah di Bangil Jawa Timur merupakan contoh kekerasan itu.

Hasil pemilu legislatif 2009 yang lalu juga mencerminakan bagimana peta kekuatan politik berbasis agama yang dalam perjuangannya terus berusaha melakukan formalisasi agama di ruang publik patut diperhatiakan secara serius. Memang, partai-partai berbasis agama tidak mendapatkan banyak kursi di parlemen, tapi hal itu bukan berarti mengurangi kekuatan politik di level parlemen.

Yang jelas, pemerintahan ke depan akan menjadi pemerintahan yang kuat karena didukung oleh 56% suara partai Demokrat di DPRRI. Selain itu, partai pendukungnya sebagian besar berbasis agama, termasuk PKS. Perlu digarisbawahi, PKS selain menjadi pemenang kedua di DKI Jakarta, PKS juga menjadi pemenenag ketiga pemilu legislatif di 6 propinsi (NAD, Kepri, Banten, NTB, Sultra, dan Kalsel).

Mengutip hasil penelitian Ali Maschan Moesa –mantan ketua PWNU Jatim, disimpulkan memang telah muncul “gerakan radikal” yang bertujuan mengformalkan syari’at Islam dan menghendaki supaya syari’at Islam menjadi landasan berbagsa-bernegara. Target mereka adalah pencantuman kembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945. Tetapi target tersebut hanyalah tujuan antara, sebab yang mereka inginkan adalah berdirinya Negara Syari’ah atau Negara Khilafah sebagai nama lain dari Negara Islam.

Masih menurut Moesa, adapun organisasi yang bisa digolongkan ke dalam gerakan ini adalah MMI (Majlis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljama’ah, KAMMI (Kesatuan Aksi mahasiswa Muslim Indonesia), FPIS (Front Pemuda Islam), Jama’ah Muslim (Hisbullah), FPI (Front Pembela Islam), Laskar Jihad Ahlussunnah Waljama’ah), HAMMAS, Ikhwanul Muslimin, KISDI (Komite Indonesia Untuk Solidaritas Dunia Islam), dan PPMI ( Persatuan Pekerja Muslim Indonesia).

Belum lagi jika permaslaahan ini sedikit diperluas menyangkut kebebasan berkeyakinan dari masyarakat adat di seluruh nusantara. Di sanalah sebenarnya problem diskriminasi paling kontras bisa terlihat. Masyarakat adat yang sudah ada sejak cikal bakal geografis Indonesia terbentuk dan sudah mendiami nusantara ini ribuan tahun lamanya kini seakan-akan menjadi tamu di dalam rumahnya sendiri.

Mereka digerogoti hak-haknya, mulai dari keyakinan mereka akan kemanunggalan manusia dengan alam sekitarnya, keterikatan mereka atas tanah dan air yang menjadi lumbung penghidupan mereka sehari-hari, dan bahkan hingga pencibiran mereka sebagai orang-orang yang terkebelakang, kafir, sesat, dan irasional.Diskriminasi terhadap masyarakat adat khususnya penganut kepercayaan lokal terus saja terjadi. Parahnya, diskriminasi ini dilakukan secara sistematis, karena Negara kerap membuat berbagai kebijakan publik dalam bentuk UU yang terus mendiskriminasi masyarakat adat.

Wajah OMK dan Gereja Indonesia
Mengutip Ismartono, SJ dalam kata sambutannya di buku Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, bahwa Gereja Indonesia lebih merupakan penampilan ibadat dari pada penampilan gerakan sosial . Lebih lanjut dijelaskan, kalau pun ada penampilan gerakan sosial, itu pun masih bersifat sosial karitatip. Hal ini yang menurut saya patut mendapat penekanan lebih dalam forum ini. Sehingga, dengan diskusi ini, bisa mempengaruhi cara beriman kita.

Kedua, kita saat ini hidup dalam suasana umum yang tidak menentu menyangkut struktur-struktur sosial misalnya keluarga, tata perekonomian, politik, yang menjadi ajang pertempuran tanpa tapal batas anatara sains, irasionalisme ideologis dan agama .

Ketiga, sebagai orang orang muda yang juga bagian tak terpisahkan dari Gereja dan masyarakat, kita dituntut untuk mewujudkan Kerjaan Allah di dunia. Kerajaan Allah di sini saya maksudkan adalah suatu kondisi yang kita usahakan dengan upaya mewujudkan atau menciptakan tata sosial, ekonomi, politik dan budaya yang identik dengan ciri-ciri Kerajaan Allah sendiri, yaitu perwujudan dari tegaknya nilai keadilan, perdamaian dengan dilandasi iman, semangat cinta kasih dan harapan. Sehingga sebagai orang muda kita tidak diam diri dan pasif. Karena, sekali lagi kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari Gereja dan masyarakat.

Penutup
OMK sebagai bagian tak terpisahkan dari Gereja dan masyarakat, hendaknya mengambil peran penting dalam mengisi dan menempati posisi penting sebagai kaum intelektual. Meminjam pemikiran Edward Said dalam bukunya The Representation of Intellectuals, disana disebutkan, “Orang intelektual adalah pencipta sebuah bahasa yang mengutarakan yang benar kepada yang berkuasa. Seorang intelektual mengatakan apa yang dianggapnya benar, entah sesuai atau tidak dengan pikiran-pikiran penguasa. Karena itu ia cenderung ke oposisi ipada ke akomodasi. Dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi menghindari mengatakannya. Ia hendaknya jangan sekali-kali mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa ”.

Masalahnya, saat ini OMK masih tidak jelas orientasinya. Dalam menyikapi isu mereka cenderung reaktif dan sporadis. OMK kini menjadi tidak lagi fokus dalam pada satu isu bersama. Minim sekali gerakan sosial yang berorientasi pada perubahan. Kalau pun ada, sifatnya masih tersebar dan tidak lagi menjadi sebuah kekuatan nasional yang solid. Konsolidasi di antara mereka menghadapi hampatan yang cukup serius.
Harapan penulis, OMK ke depan lebih melebur dalam setiap aktivitas dan pengambilan keputusan di masyarakat, mengambil peran dalam mengawasi jalannya pemerintahan, mencari celah untuk pemberdayaan ekonomi dan mencarikan akses modal bagi pengusaha kecil, menjadi garda terdepan bagi penyelamatan lingkungan dari ancaman industrialisasi dan penambangan, serta siap menjadi agen perubahan. Karena sejarah Indonesia berbagi makna, sejak zaman pergerakan nasional awal, Proklamasi, sampai Reformasi, selalu saja orang mudalah pelaku utamanya. Maka tak salah jika orang muda adalah pemilik dan penentu hari depan.

Untuk itu, gagasan penulis dalam forum yang berbahagia ini adalah penyiapan sebuah kader orangmuda yang kritis, punya kemampuan survival menghadapi tantangan berat hidup di tengah masyarakat, punya dan mampu memanfaatkan jaringan kerja sama yang handal, kreatif secara luas dalam mengekspresikan dirinya, punya jiwa kepemimpinan di lingkungan manapun yang dilibatinya, punya daya solidaritas kepada sesama, yang meluap dari keunggulan-keunggulan kapasitas dirinya serta menghayati perutusannya sebagai sahabat Yesus: merintis kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat di sekitarnya adalah menjadi sebuah prioritas utama yang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi.