Tawaran untuk menjadi salahsatu pengisi acara “Jambore Orang Muda Katolik Keuskupan Banjarmasin (JOMKA) 2009” penulis terima dari Agus, wartawan HIDUP yang dikenal ketika penulis sedang mengikuti sebuah acara di pegunungan Meratus Loksado, Kalsel awal Mei lalu.
Tawaran ini sejujurnya menyulitkan dari segi waktu karena bertepatan dengan hari libur Lebaran, namun mengingat mendesaknya kebutuhan konsolidasi di antara orang muda Katolik melihat, mendengar dan merasakan sitasi aktual hidup bernegara yang sering dikatakan banyak pihak sebagai krisis multi dimensi mendorong penulis untuk menerima tawaran ini sebagai sebuah ruang untuk berbagi keprihatinan serta menggali masukan guna bersama-sama mengusahakan kehidupan bersama yang lebih baik, seturut teladan Yesus Kristus Sang Pembabas kita. Untuk itu, kepada seluruh panitia, penulis ingin mengucapkan terima kasih atas kesempatan dan kepercayaannya untuk dapat berpartisipasi dalam acara ini.
Menangkap apa yang digulirkan dalam kerangka acuan yang penulis terima, yang kurang lebih ingin meneruskan pemikiran Mgr. Soegijapranata SJ, di awal kemerdekaan, bahwa seorang umat Katolik Indonesia seyogianya “100 persen Katolik, 100 persen Indonesia”. Maka, hal itu menurut penulis hanya bisa diwujudkan ketika kekatolikan dimaknai sama dengan keindonesiaan. Artinya, menjadi katolik yang tidak bisa lepas dari kompleksitas masalah sosial ekonomi, politik, dan sosial budaya di Indonesia.
Maka dari itu, makalah singkat ini pertama-tama akan mengungkap sedikit persoalan sosial di Indonesia, posisi orang muda dan pada akhir bagian akan menawarkan sejumlah gagasan dan meminta sejumlah masukan untuk bisa didiskusikan bersama.
Situasi Aktual
Sebelas tahun sudah lewat reformasi. Angin demokrasi yang seharusnya mampu memecahkan berbagai persolan kebangsaan, malah justru memasuki titik kritis dan titik balik yang membingungkan publik. Tampaknya, proses demokratisasi bangsa baru sebatas dimaknai sebagai kebebasan dari represi politik, belum sampai pada bagaimana menghargai pendapat dan menerima perbedaan.
Dalam bidang politik, Negara tak kunjung berhasil mengarahkan kualitas kehidupan bangsa menuju cita-cita kemerdekaan (bdk. Pembukaan UUD 1945) dan amanat transformasi sosial (yang sering dikenal dengan “reformasi”) 1998. Situasi itu dilatarbelakangi oleh semakin merebaknya praktik korupsi kekuasaan dan ekonomi para pemimpin maupun lembaga Negara demi meraih kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok masing-masing.
Dalam bidang ekonomi, penguasaan hajat hidup orang banyak oleh Negara ternyata tidak dilaksanakan demi kepentingan rakyat, melainkan demi kepentingan penguasa modal, tak terkecuali pemodal asing. Akibatnya, derajat kehidupan ekonomi rakyat turun drastis, kemiskinan merebak, kelaparan dan kondisi serba tidak terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat semakin tak terpenuhi.
Dalam bidang budaya, kehidupan bangsa semakin kehilangan kharakter kulturalnya. Pancasila yang sejak awal kemerdekaan disepakati oleh para pendiri bangsa dan negara Indonesia sebagai filosofi dan pedoman dasar hidup, kini tak lagi ditempatkan sebagaimana mestinya, dan terancam oleh berkembang kuatnya ideologi-ideologi lain berbasis agama atau kepentingan politik dan ekonomi tertentu.
Pancasila yang seharusnya menjadi kekuatan pemersatu (integrating force) semakin sulit posisinya. Karena, Pancasila terlanjur tercemar pada masa rezim Soeharto dimana Pancasila dipakai sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Selain itu, pada masa pemerintahan BJ Habibie terjadi liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah faktor otonomi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika diantisipasi bisa menimbulkan local-nationalism yang dapat tumpang tindih dengan ethno-nationalism. Dalam posisi ini, Pancasila baik secara sengaja maupun by-implication kian kehilangan posisi sentralnya (Azra: 2006).
Dalam posisi seperti ini, bangkitnya ideologi-ideologi lain termasuk ideologi keagamaan sudah tak dapat terhindarkan. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya penerimaan religious-based ideologies ini merupakan salahsatu tendensi yang terlihat jelas di Indonesia pasca-Soeharto. Kini, bayang-bayang religious based-ideology (ies) diwujudkan antara lain dengan menetapkan dan memberlakukan UU, Perda yang dalam satu dan lain hal ‘bernuansa Syari’ah’ yang jumlahnya lebih dari 200 yang tersebar di seluruh Indonesia.
Parahnya masyarakat kini cenderung lebih mudah terprovokasi dan dengan mudah menjadi hakim atas sesamanya sendiri. Korban pun jatuh sudah. Kekerasan atas nama agama meningkat fluktuasinya dan memuncak pada tragedi monas berdarah 1 Juni 2008. Sebelumnya, kekerasan juga terjadi terhadap warga Ahmadiyah di Manis Lor Kab. Kuningan Jawa Barat dan Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, Al Qiyadah Al Islamiyah di Padang, Sejumlah Gereja di Kab. Bandung Jawa Barat, dan Sy’iah di Bangil Jawa Timur merupakan contoh kekerasan itu.
Hasil pemilu legislatif 2009 yang lalu juga mencerminakan bagimana peta kekuatan politik berbasis agama yang dalam perjuangannya terus berusaha melakukan formalisasi agama di ruang publik patut diperhatiakan secara serius. Memang, partai-partai berbasis agama tidak mendapatkan banyak kursi di parlemen, tapi hal itu bukan berarti mengurangi kekuatan politik di level parlemen.
Yang jelas, pemerintahan ke depan akan menjadi pemerintahan yang kuat karena didukung oleh 56% suara partai Demokrat di DPRRI. Selain itu, partai pendukungnya sebagian besar berbasis agama, termasuk PKS. Perlu digarisbawahi, PKS selain menjadi pemenang kedua di DKI Jakarta, PKS juga menjadi pemenenag ketiga pemilu legislatif di 6 propinsi (NAD, Kepri, Banten, NTB, Sultra, dan Kalsel).
Mengutip hasil penelitian Ali Maschan Moesa –mantan ketua PWNU Jatim, disimpulkan memang telah muncul “gerakan radikal” yang bertujuan mengformalkan syari’at Islam dan menghendaki supaya syari’at Islam menjadi landasan berbagsa-bernegara. Target mereka adalah pencantuman kembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945. Tetapi target tersebut hanyalah tujuan antara, sebab yang mereka inginkan adalah berdirinya Negara Syari’ah atau Negara Khilafah sebagai nama lain dari Negara Islam.
Masih menurut Moesa, adapun organisasi yang bisa digolongkan ke dalam gerakan ini adalah MMI (Majlis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljama’ah, KAMMI (Kesatuan Aksi mahasiswa Muslim Indonesia), FPIS (Front Pemuda Islam), Jama’ah Muslim (Hisbullah), FPI (Front Pembela Islam), Laskar Jihad Ahlussunnah Waljama’ah), HAMMAS, Ikhwanul Muslimin, KISDI (Komite Indonesia Untuk Solidaritas Dunia Islam), dan PPMI ( Persatuan Pekerja Muslim Indonesia).
Belum lagi jika permaslaahan ini sedikit diperluas menyangkut kebebasan berkeyakinan dari masyarakat adat di seluruh nusantara. Di sanalah sebenarnya problem diskriminasi paling kontras bisa terlihat. Masyarakat adat yang sudah ada sejak cikal bakal geografis Indonesia terbentuk dan sudah mendiami nusantara ini ribuan tahun lamanya kini seakan-akan menjadi tamu di dalam rumahnya sendiri.
Mereka digerogoti hak-haknya, mulai dari keyakinan mereka akan kemanunggalan manusia dengan alam sekitarnya, keterikatan mereka atas tanah dan air yang menjadi lumbung penghidupan mereka sehari-hari, dan bahkan hingga pencibiran mereka sebagai orang-orang yang terkebelakang, kafir, sesat, dan irasional.Diskriminasi terhadap masyarakat adat khususnya penganut kepercayaan lokal terus saja terjadi. Parahnya, diskriminasi ini dilakukan secara sistematis, karena Negara kerap membuat berbagai kebijakan publik dalam bentuk UU yang terus mendiskriminasi masyarakat adat.
Wajah OMK dan Gereja Indonesia
Mengutip Ismartono, SJ dalam kata sambutannya di buku Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, bahwa Gereja Indonesia lebih merupakan penampilan ibadat dari pada penampilan gerakan sosial . Lebih lanjut dijelaskan, kalau pun ada penampilan gerakan sosial, itu pun masih bersifat sosial karitatip. Hal ini yang menurut saya patut mendapat penekanan lebih dalam forum ini. Sehingga, dengan diskusi ini, bisa mempengaruhi cara beriman kita.
Kedua, kita saat ini hidup dalam suasana umum yang tidak menentu menyangkut struktur-struktur sosial misalnya keluarga, tata perekonomian, politik, yang menjadi ajang pertempuran tanpa tapal batas anatara sains, irasionalisme ideologis dan agama .
Ketiga, sebagai orang orang muda yang juga bagian tak terpisahkan dari Gereja dan masyarakat, kita dituntut untuk mewujudkan Kerjaan Allah di dunia. Kerajaan Allah di sini saya maksudkan adalah suatu kondisi yang kita usahakan dengan upaya mewujudkan atau menciptakan tata sosial, ekonomi, politik dan budaya yang identik dengan ciri-ciri Kerajaan Allah sendiri, yaitu perwujudan dari tegaknya nilai keadilan, perdamaian dengan dilandasi iman, semangat cinta kasih dan harapan. Sehingga sebagai orang muda kita tidak diam diri dan pasif. Karena, sekali lagi kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari Gereja dan masyarakat.
Penutup
OMK sebagai bagian tak terpisahkan dari Gereja dan masyarakat, hendaknya mengambil peran penting dalam mengisi dan menempati posisi penting sebagai kaum intelektual. Meminjam pemikiran Edward Said dalam bukunya The Representation of Intellectuals, disana disebutkan, “Orang intelektual adalah pencipta sebuah bahasa yang mengutarakan yang benar kepada yang berkuasa. Seorang intelektual mengatakan apa yang dianggapnya benar, entah sesuai atau tidak dengan pikiran-pikiran penguasa. Karena itu ia cenderung ke oposisi ipada ke akomodasi. Dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi menghindari mengatakannya. Ia hendaknya jangan sekali-kali mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa ”.
Masalahnya, saat ini OMK masih tidak jelas orientasinya. Dalam menyikapi isu mereka cenderung reaktif dan sporadis. OMK kini menjadi tidak lagi fokus dalam pada satu isu bersama. Minim sekali gerakan sosial yang berorientasi pada perubahan. Kalau pun ada, sifatnya masih tersebar dan tidak lagi menjadi sebuah kekuatan nasional yang solid. Konsolidasi di antara mereka menghadapi hampatan yang cukup serius.
Harapan penulis, OMK ke depan lebih melebur dalam setiap aktivitas dan pengambilan keputusan di masyarakat, mengambil peran dalam mengawasi jalannya pemerintahan, mencari celah untuk pemberdayaan ekonomi dan mencarikan akses modal bagi pengusaha kecil, menjadi garda terdepan bagi penyelamatan lingkungan dari ancaman industrialisasi dan penambangan, serta siap menjadi agen perubahan. Karena sejarah Indonesia berbagi makna, sejak zaman pergerakan nasional awal, Proklamasi, sampai Reformasi, selalu saja orang mudalah pelaku utamanya. Maka tak salah jika orang muda adalah pemilik dan penentu hari depan.
Untuk itu, gagasan penulis dalam forum yang berbahagia ini adalah penyiapan sebuah kader orangmuda yang kritis, punya kemampuan survival menghadapi tantangan berat hidup di tengah masyarakat, punya dan mampu memanfaatkan jaringan kerja sama yang handal, kreatif secara luas dalam mengekspresikan dirinya, punya jiwa kepemimpinan di lingkungan manapun yang dilibatinya, punya daya solidaritas kepada sesama, yang meluap dari keunggulan-keunggulan kapasitas dirinya serta menghayati perutusannya sebagai sahabat Yesus: merintis kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat di sekitarnya adalah menjadi sebuah prioritas utama yang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi.
No comments:
Post a Comment