Globalisasi yang membuat dunia tampil nyaris tanpa batas membuat sisi baru dalam perdagangan internasional. Arus barang dan jasa, serta modal dengan skala mundial bergerak melewati batas-batas negara terjadi setiap saat. Persoalan pengaturan perdangan internasional menjadi isu utama studi Ekonomi Politik Internasional. Lembaga seperti World Trade Organization (WTO) menjadi ajang pertarungan kepentingan bisnis antarnegara.
Tidak cukup dengan mengatur tarif dan pajak, WTO terus merangsek ke sektor yang masih kontroversial yakni persoalan kepemilikan, penemuan baru, dan inovasi. WTO memaksakan membuat aturan hak paten, merek dagang dan hak cipta yang kini banyak digugat oleh ilmuan dan aktivis sosial dari berbagai penjuru bumi.
Di Indonesia, persoalan hak paten telah memakan korban. Made Desak Suarti digugat di pengadilan AS oleh Lois Hill, seorang desainer perhiasan dari New York. Menurut Hill, pemilik Ancient Modern Art, Suarti telah mencuri enam desain perhiasan ciptaannya, yang terdiri atas desain tiga anting-anting, dua gelang dan satu kalung.
Menurut Hill, kasus penjiplakan itu telah mengakibatkan perusahaannya merugi sebesar 600 ribu dollar AS. Suarti, pemilik Balinese Inc., menolak tuduhan tersebut karena menurutnya apa yang diciptakannya merupakan desain yang sudah diwariskan turun temurun. Misalnya desain kalung yang dikatakan mencuri desain Hill merupakan desain dengan corak Borobudur .
Padahal, Balinese Inc. yang memasuki pasar AS sejak 1973, sekarang menjadi pemimpin pasar untuk produk perhiasan perak di negara tersebut. Menurut suami Suarti, gugatan yang sekarang didaftarkan di Pengadilan Distrik bagian Utara New York lebih merupakan persaingan dagang karena perusahaannya mampu menjual perhiasan perak dengan harga terendah yaitu 65 sen (dollar AS) per gram. Sementara, perusahaan milik Hill menjual dengan harga 1,2 dollar AS per gram dan bahkan desainer lain menjualnya dengan 3 dollar AS per gram. Bagi Bali, kasus tersebut dapat mengancam kelangsungan creator lokal di bidang perhiasan perak dan juga nilai devisa yang dapat diperoleh, arena ekspor kerajinan perak Bali pada 1988 mencapai 29 juta dollar AS .
Makalah ini mencoba mengurai jalin-tundan persoalan hak paten sebagai turunan dari ratifikasi oleh pemerintah Indonesia atas persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs) yang merupakan perjanjian multilateral dalam rezim WTO pada April 1994.
Pertanyaan dasarnya adalah, bagaimana posisi hak paten dilihat dari perspektif ekonomi politik internasional dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional menggunakan tiga prespektif; liberalisme, merkantilisme, dan strukturalisme? Apa implikasinya bagi Indonesia sebagai negara berkembang yang terlanjur telah meratifikasinya? Dan bagaimana mencari solusi atas situasi yang sudah terjadi ini?
Sejarah HaKI di Indonesia
Perdebatan mengenai paten sebenarnya sudah masuk dalam ranah intellectual property right (IPR) atau hak atas kekayaan intelektual (HaKI). Awalnya, persoalan ini bermula dari ‘keberanian’ pemerintah Indonesia pada era Soeharto masuk dalam rezim perdagangan World Trade Organization (WTO). Hampir semua negara menolak kesepakatan yang hendak dijejalkan dalam keputusan WTO itu. Seluruh negara Eropa tak ada yang tanda tangan. Begitupun negara ASEAN. Bahkan Menteri Industri Malaysia sempat menyindir "keberanian" Indonesia masuk kerangka penuh jebakan itu. Asal tahu saja, selain Jepang dan Amerika sebagai penggagas, hanya empat negara lain yang setuju kala itu: Kanada, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan, yang satelit kepentingan AS .
Dalam kerangka perjanjian multilateral GATT (saat ini menjadi WTO), pada bulan April 1994 di Marakesh, Maroko, telah berhasil disepakati satu paket hasil perundingan perdagangan yang paling lengkap yang pernah dihasilkan oleh GATT. Perundingan yang telah dimulai sejak tahun 1986 di Punta del Este, Uruguay, yang dikenal dengan Puataran Uruguai antara lain memuat persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related aspects of Intellectual Property Rights/TRIPs).
Persetujuan TRIPs memuat norma-norma dan standar perlindungan bagi karya intelektual manusia dan menempatkan perjanjian internasional di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) sebagai dasar. Di samping itu, persetujuan tersebut mengatur pula aturan pelaksanaan penegakan hukum di bidang HaKI secara ketat .
HaKI pada dasarnya merupakan hak yang diberikan oleh negara kepada penemu atau pencipta baik itu di bidang IPTEK, dagang, maupun karya sastra untuk melarang pihak lain tanpa seijinnya meniru atau mencontoh hasil karya atau ciptaannya tersebut.
Terdapat lima bidang HAKI di Indonesia hasil ratifikasi terhdap rezim WTO, yaitu hak paten yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001; hak cipta diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002; hak merek diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001; Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diatur dalam UU No. 32 Tahun 2000; Desain Industri diatur dalam UU No. 31 Tahun 2000; dan Rahasia Dagang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2000.
Pasal 1 Undang-Undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten mengatakan paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
HaKI dalam arti ini, pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan insentif kepada pencipta atau penemu untuk mengeksploitasi hasil ciptaan atau penemuannya tersebut secara ekonomis .
Tiga perspektif HI melihat HaKI
Dalam buku Introduction to International Political Economy, David N. Balaam dan Michael Veseth melihat persoalan HaKI dapat dianalisis menggunakan tiga perspektif. Dalam kacamata liberal, hak atas kepemilikan barang adalah dasar untuk menjalankan mekanisme pasar. Hak tersebut membuat sebuah insentif tinggi dalam menggunakan sumber daya secara efisien. Property rights mendirikan secara langsung hubungan antara usaha dan imbalan. Sementara hak atas kekayaan intelektual atau intellectual property rights –paten, trademarks, and copyright (paten, merek dagang, dan hak cipta) membuat hubungan antara usaha dan imbalan.
Invensi dan inovasi (komersialisasi dari invensi) termasuk penciptaan dari pengetahuan. Dan pengetahuan, secara alamiah, adalah nonrival. Untuk itu, pengetahuan satu perusahaan bisa digunakan oleh perusahaan-perusahaan lain. (secara kontras, baja satu perusahaan tidak dapat digunakan oleh perusahaan karena baja adalah baranbg rival). Pengetahuan yang oleh satu perusahaan kembangkan dalam keraqngka untuk produksi dan proses inovasinya juga dapat dibuat oleh perusahaan-perusahaan lainnya. Kensekuensinya, tanpa pengaturan secara legal meniadakan kegunaan temuan pengetahuan baru kepada perusahaan lain, tumbuhnya produk imitasi akan mengeliminasi keuntungan dari pentingnya melakukan inovasi. Hasil dari pengtingnya melkukan inovasi di bidang teknologi tidak mendapatkan imbalan. Tanpa HaKI, ketidakcukupan sumberdaya akan dikhususkan untuk riset dan pengembangan, dan dalam jangka panjang, konsumen tidak akan mendapatkan barang yang murah.
Dari pandangan liberal, aturan internasional dari HaKI adalah sangat esensial jika pasar ekonomi dunia menginginkan keuntungan luar biasa dari perkembangan teknologi baru. Konvensi internasional untuk HaKI perlu dikuatkan dalam menggaransi sebagai proteksi efektif dari temuan teknologi. Pemenang dari proses ini terakhir adalah konsumen dunia yang akan mendapatakan pilihan yang beragam atas produk-produk baru.
Merkantilis melihat, proses inovasi teknologi dalam banyak segi. Pengetahuan adalah sumberdaya untuk kesejahteraan dan kekuatan nasional. Maka produktivitas, bukan konsumsi, adalah hal yang krusial dalam kepentingan nasional. Kemampuan untuk menciptakan adalah alat ukur dari kemajuan dan kekuatan sebuah bangsa. Teknologi, kemudian pengetahuan produksi, secara luas menentukan posisi Negara di dunia. Negara harus mengembangkan kemudian menjaga secara rapat-rapat teknologinya, dan teknologi dikendalikan oleh Negara lain harus diterima. Ketergantungan teknologi harus dihindari.
Proteksi HaKI untuk perusahaan-perusahaan domenstik sangat jelas sesuai dalam kaitannya untuk membesarkan inovasi teknologi diomestik. Proteksi yang sama dari teknologi yang dimiliki perusahaan asing, suka tidak suka akan menjadi kepentingan nasional. Agaknya, kebijakan pemerintah dalam bidang ini seharusnya memfasdilitasi akuisisi dari kepemilikan teknologi luar negeri dalam biaya semurah mungkin.
Ditingkatkannya proteksi dari HaKI adalah lalu tidak penting dalam kepentingan nasional. Perlindungan kekayaan intelektual dari perusahaan nasional dalam area domestic maupun pasar luar negeri adalah sesuai, tetapi timbal-balik proteksi untuk perusahaan dari luar negeri dalam pasar domestik seharusnya dibatasi. Perdaganagan dalam arti ini adalah sebuah zero-sum game. Satu negara akan mendapatkan market share internasional datang pada pengeluartan dari Negara-negara lain yang kalah.
Pertarungan pasar akan dimenangkan oleh Negara ang dapat mengeksploitasi keunggulan teknologinya. Dengan kata lain, proteksi terhadap kekayaan intelektual akan menguntungkan Negara-negara yang memiliki keunggulan kapasitas teknologi.
Strukturalis melihat HaKI akan meningkatkan ketergantungan dari negara periphery terhadap core. HaKI adalah alat yang menyebabkan ketergantungan. Negara maju menggunakan HaKI untuk mengelola keunggulan teknologi mereka terhadap Negara dunia ketiga. Paten, trademarks, dan copyrights digunakan untuk memonopoli pasar dunia ketiga, mendatangkan keuntungan, dan memperdalam dan melegalkan ketergantungan.
Dari sudut pandang ini, pemenang dari pemberlakuan HaKI adalah jelas Negara-negara maju dengan perusahaan-perusahaannya. Yang kalah adalah orang-orang di dunia ketiga yang membayar monopli harga-harga untuk produk barang dan jasa dan siapa yang menerima keuntungan dari transfer teknologi dalam kerangka untuk didikte oleh perusahaan dari negara maju.
Sehingga, perdebatan mengenai HaKI tak bisa dilepaskan begitu saja dari debat antara kepentingan negera-negara utara melawan negara-negara selatan.
Analisis
Yang terjadi terhadap Suarti adalah bukti bagaimana rezim perdagangan ini telah bekerja. Siapa yang lebih dahulu mempatenkan produk, dialah pemilik yang diakui secara legal formal terhadap produk itu. Meski Suarti mengaku telah menjadi pengrajin perak menuruni warisan leluhurnya, yang entah siapa pertamakali membuat desain itu, entah diciptakan oleh seorang atau dikerjakan bersama. Tetap saja, Suarti harus berurusan di meja hijau.
Yang paling berbahaya dalam perjanjian TRIPs adalah tiadanya pengakuan tentang hak milik komunal/masyarakat. Alinea 4 halaman 320 perjanjian ini mengakui secara eksplisit bahwa "hak kekayaan intelektual adalah hak milik pribadi" ("Recognizing that intellectual property rights are private rights"). Akibatnya, bukan aspek kesejarahan yang penting di sini namun siapa yang paling cepat dan paling banyak punya modal untuk mendaftarkan haknya. Filosofi dasar TRIPs ini memungkinkan sebuah perusahaan/perorangan mengklaim paten atas suatu pengetahuan yang bersifat komunal.
Kasus ini, juga bisa menjadi pintu masuk mempelajari bagaimana kerjasama ekonomi yang tidak adil seperti ini bisa terjadi? Menurut Keohane dalam After Hegemony, dia membedakan antara kerjasama, harmoni dan discord (perselisihan). Kondisi harmoni adalah ketika masing-masing aktor sosial dengan mengejar kepentingannya sendiri-sendiri tanpa memedulikan pihak lain dengan sendirinya akan memfasilitasi pihak-pihak lain mencapai kepentingannya. Dalam situasi seperti ini, justru tidak butuh kerjasama. Sebaliknya, kerjasama dibutuhkan pada saat terjadi situasi tidak harmoni atau disharmoni. Aktor-aktor (negara-negara yang sedang tidak harmoni) akan diarahkan pada situasi kecocokan melalui proses negosiasi atau koordinasi kebijakan.
Paten dilihat serta dianalisis menggunakan pendekatan liberalisme dan cara pandangnya terhadap kerjasama seperti yang dijelaskan Keohane adalah dimulai ketika terjadi kondisi disharmoni yakni ancaman terhadap maraknya pembajakan ketika terjadi perdagangan bebas antarnegara. Namun, situasi disharmoni ini diterjemahkan menurut siapa? Tentu saja, aktor-aktor utama WTO yang merasa dirugikan dengan situasi ini.
Perusahaan-perusahaan di AS memainkan peran utama dalam mengevaluasi perlindungan atas kekayaan intelektual untuk menjadikan isu utama dari kebijakan luar negeri AS. Intellectual Property Committee adalah badan ad hoc yang terdiri dari 12 perusahaan utama AS yang merepresentasikan berbagai bidang industry telah dibangun sejak 1986 dengan tujuan untuk meningkatkan proteksi internasional terhadap HaKI . US Intellectual Property Committee menyebut kerugian akibat pelanggaran tidak adanya proteksi HaKI anatar US$ 43-61 milyar dalam tahun 1986 .
Rezim WTO khususnya menyangkut hak paten dan hak cipta adalah sebuah mekanisme kerjasama yang pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan insentif kepada pencipta atau penemu untuk mengeksploitasi hasil ciptaan atau penemuannya tersebut secara ekonomis. Semangatnya, dengan adanya perlindungan hak dari hukum tersebut diharapkan masyarakat akan lebih kreatif untuk mencipta maupun menemukan inovasi-inovasi baru lagi .
Pada dasarnya hak kekayaan intelektual dibagi menjadi dua macam yaitu hak cipta dan hak kekayaan industri. Hak cipta terkait di dalamnya hak atas karya ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Pada perkembangannya termasuk dalam hak cipta adalah program komputer. Sementara itu yang masuk dalam kelompok hak kekayaan industri adalah hak paten, hak merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang dan varitas tanaman.
Masuknya program komputer ke dalam kelompok ciptaan yang dilindungi dengan hak cipta atau copy rights merupakan keberhasilan dari negara-negara industri maju dalam melakukan loby pada saat pembahasan perjanjian TRIPs yang merupakan pedoman dalam menyusun hukum Intellectual Property Rights di negara-negara anggota WTO. Hal ini, sesuai dengan prinsip rezim dalam kacamata neoliberal yaitu fokus pada absolute gains. Keuntungan yang diambil dari sini adalah korporasi-korporasi dari AS seperti Microsoft adalah dengan mendapatkan royalti atas produk-produk software yang dijual ke negara-negara lain. Dan jika individu atau perusahaan di suatu negara yang terikat dalam perjanjian WTO soal HKI ini melakukan pembajakan, maka Microsoft seharusnya bisa menuntut individu atau perusahaan di Negara itu di pengadilan. Karena mereka sudah merativikasinya dalam bentuk UU.
Perlawanan atas rezim ini biasanya didasarkan pada pemikiran strukturalis dalam mengkritisi bagaimana rezim perdagangan ini menciptakan ketergantungan, dan melegitimasi monopoli atas temuan teknologi. terhadap dominasi perusahaan-perusahaan tersebut dilakukan dengan membentuk sebuah gerakan yang kerap disebut sebagai copyleft movement dan open source. Spritnya adalah melindungi hak konsumen untuk bebas membagi, memodifikasi, dan melipatgandakan.
Kesimpulan
HaKI sebagai instrumen turunan dari rezim WTO dibuat dalam situasi dunia yang dalam bahasa Keohane sedang mengalamai disharmoni. Walau, situasi disharmoni ini ditentukan dalam kacamata Negara maju seperti AS, yang menjadi aktor utama WTO, sehingga jika dilihat dari kacamata merkantilsme adalah ajang unjuk kekuatan AS di sana. Maraknya pembajakan software dinilai sebagai situasi yang merugikan dan mengancam industry teknologi AS. Indonesia pun dituding sebagai surge para maling software.
Ketika situasi ini diterjemahkan dalam bentuk aturan berupa HaKI, terdapat banyak sekali kekuarangan dan mebuat perdagangan dunia semakin buas. Salah satu kelemahan utamanya adalah basis atas HaKI adalah hak milik pribadi. Peraih Nobel Ekonomi tahun 2001 Joseph Stiglitz yang merupakan menilai Hak atas Kekayaan Intelektual dan TRIPs yang disepakati pada 15 April 1994 menilai, “… tidak disadari sebagai surat perintah hukuman mati bagi ribuan manusia di negara-negara miskin di dunia.”
Pemerintah harus melakukan kaji ulang atas isi dan pelaksanaan TRIPs di Indonesia, terutama berkaitan dengan perundangan di bidang hak paten. Proses kaji ulang ini harus melibatkan semua sektor masyarakat mengingat kompleksitas dan luasnya obyek perlindungan HaKI. Proses tersebut dapat berupa penelitian partisipatif yang diikuti dengan konsultasi nasional, untuk menganalisis: dampak positif dan negatif dari TRIPs bagi masyarakat kebanyakan terutama berkaitan dengan hak cipta, paten.
Langkah berani yang ditawarkan Ronny Agustinus dalam tulisannya berjudul Sebuah Esai Tanpa hak Cipta juga bisa ditempuh melihat seriusnya ancaman dari rezim paten ini adalah walaupun berdasarkan 60 kesepakatan dan perjanjian setebal 550 halaman yang diteken bulan April 1994 itu, masalah HaKI sebenarnya cuma dibahas sepanjang 33 halaman dalam annex 1C (hal 319-351), namun dampaknya ternyata sungguh luar biasa dalam hidup kita sekarang dan masa depan. Persoalannya: biarpun perjanjian itu sudah diteken, buat apa kita harus mematuhinya? Alasan untuk itu jelas: Putaran Uruguay dan perjanjian-perjanjian WTO lainnya diikuti dan disetujui oleh Indonesia semasa rezim pemerintahan korup-diktatorial yang tidak dipilih rakyat, sehingga keabsahannya harus diragukan dan sebisa mungkin dibatalkan.
Daftar Pustaka
• Peter Jaszi, Kebudayaan Tradisional, LSPP, 2009
• David N. Balaam dan Michael Vaseth, Introduction to International Political Economy, Prentice Hall, 1996
• Mardiharto Tjokrowasito, Peraturan Perundang-Undangan yang Mendukung Pembangunan Ekonomi yang Berbasis IPTEK
• Maria Hartiningsih, Kompas, 20 Januari 2003
• Stephen D. Krasner, Structural causes and regime consequences: regime as intervening variables
• Oran R. Young, “International Regimes: Problems of Concept Formation,” World Politics 32, 1980
• Friedrich Kratochwil dan John Gerard Rugie, International Organization: A State of the Art on Art of the State
• “The Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations”, the Legal Text, the WTO, Switzerland
No comments:
Post a Comment