Monday, March 15, 2010
Gus Dur Ajak Orang Muda Katolik Berani
[Tulisan ini dibuat pada 3 Agustus 2008, selepas Gus Dur tampil sebagai pembicara dalam Kongkow Bareng Gus Dur di Paroki BHK, Kemakmuran. Tuliasan ini pernah dimuat di Majalah HIDUP. Kini (3/1/2010), tulisan ini diunggah ulang selain sebagai kenang-kenangan persentuhan personal penulis dengan Gus Dur, juga sebagai ungkapan Selamat Jalan atas kepergian Gus Dur, Sang Pahlawan]
Gus Dur mengajak orangmuda Katolik untuk keluar dari zona amannya mengusahakan kehiduapn bersama yang lebih baik di Indonesia. Hal ini dikatakan Mantan Presiden ke-4 RI Abdurahman Wahid dalam kongkow bersama Gus Dur dengan tema, “Orang muda berbicara tentang kebebasan, dan demokrasi dalam menciptakan kerukunan umat beragama di Indonesia” yang digelar di Aula Paroki Bunda Hati Kudus (BHK), Kemakmuran, Jakarta, Minggu (3/8/2008).
“Saya datang ke sini, bukan karena apa-apa. Wong, orang muda Katolik juga khan orang muda Indonesia. Saya datang ke sini itu karena diundang Guntur Romli. Rombongan liar,” ujar Gus Dur ringan sambil tertawa terkekeh menjawab pertanyaan moderator mengenai pandangannya terhadap orang muda Katolik.
Gus Dur mengajak semua saja (tidak sekadar orang Katolik, red) untuk keluar dari zona aman dan bersama-sama membangun Indonesia. Karena, menurutnya pemimpin-pemimpin sekarang tidak memiliki keberanian dan tidak ada pula yang memikirkan rakyatnya. Modalnya, lanjut Gus Dur adalah keberanian. “Berani ini penting sekali,” katanya.
Gus Dur tetaplah Gus Dur yang berani. Gaya bicaranya lugas tanpa tedeng aling-aling. Hal inilah yang kerap menuai kontroversi dan menyakiti elit politik negeri ini. Tak tanggung-tanggung, dalam kesempatan tersebut dia terang-terangan mengaku kecewa dengan sejumlah nama seperti Cak Imin, Ali Maskur Musa, bahkan, anaknya sendiri, Yeni. “Masalahnya tidak lagi ada kejujuran. Itu… Saya koq selalu terlambat mengenal mereka. Semua itu terjadi baru setelah mereka duduk. Nggak tahu saya,” sesal Gus Dur.
Kecak Lele
Namun, bukan Gus Dur juga kalau tidak doyan melucu. Kalau pada awal tahun 2008 ini ada guyonon politik di mana Megawati mengkritik keras kebijakan Presiden SBY tak ubahnya seperti menari Poco-poco, yang maju satu langkah, mundur satu langkah. Maju dua langkah, mundur dua langkah. Tak pelak, guyonan itu langtsung dibalas oleh kubu SBY dengan mengatakan pada zaman pemerintahannya Megawati justru pemerintah ibarat undur-undur, yang mundur terus.
Gus Dur tentu punya istilah tersendiri mengkritisi kepemimpinan SBY. “Kalau saya sih melihat itu seperti Kecak Lele. Muter kemana-mana. Akhirnya balik ke situ-situ juga,” disusul tawa terbahak-bahak audiens.
Semua audiens hanyut dalam sebuah momen yang dikatakan Romo Susilo (tuan rumah) sebagai sebuah bentuk kebahagiaan tersendiri. Setiap perkataan Gus Dur disimaknya penuh. Sepenuh ungkapan dan ucapan selamat ulang yang dinyanyikan riuh menyambut ulang tahun Gus Dur yang ke-68, yang tepatnya jatuh pada 4 Agustus, sehari setelah acara itu.
Tidak hanya Gus Dur, diundang pula dalam kongkow-kongkow itu sebagai pembicara antara lain Guntur Romli, aktivis kebebasan dan demokrasi di tanah air, Sekjen ICRP JN. Hariyanto, SJ., seorang pendidik, aktivis yang memiliki integritas tinggi dalam banyak hal. Serta seorang pejuang akar rumput yang selalu setia menjaga keharmonisan di daerah Petojo, Haji Rusli.
Senada dengan Gus Dur, Romo Hariyanto SJ justru menantang orang muda Katolik untuk berani mengambil bagian dalam menggereja di tengah-tengah masyarakat. “Sense of nation hanya didapat ketika hidup bersama bersama orang lain,” katanya.
Mengutip mendiang Pastor Van Lith, Romo Hariyanto berbagi makna, “Seandainya, orang-orang Belanda diusir ke laut maka kami (para misionaris, -red) berpihak pada orang Jawa. Dengan catatan ucapan itu dikatakannya pada saat tahun 1927 di mana konsep keindonesiaan belum ada,” paparnya. Romo Hariyanto berharap, orang muda Katolik seharusnya dapat mengusahakan apa pesan moral Sugiyopranoto SJ, "Katolik 100 persen - Indonesia 100 persen!"
Sementara, Guntur Romli mengurai berbagai persoalan yang muncul pasca reformasi. Di mana, angin demokrasi yang seharusnya mampu memecahkan berbagai persolan kebangsaan, justru memasuki titik kritis yang membingungkan publik. Tampaknya, kata Guntur, proses demokratisasi bangsa baru sebatas dimaknai sebagai kebebasan dari represi politik, belum sampai pada bagaimana menghargai pendapat dan menerima perbedaan. Makanya dia tidak heran jika ada kasus seperti Tragedi Monas Berdarah, 1 Juni 2008.
*Daniel Awigra, Moderator Kongkow-kongkow.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment