Monday, March 15, 2010
PERAN INTELEKTUAL DALAM MEMBELA KERAGAMAN
Saya menyambut gembira undangan mengahadiri acara ini dari Bung Towik dan Bung Ridho saudara saya aktivis JARIK yang selama ini aktif bersama-sama dengan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) ikut mengkampanyekan isu kebebasan beragama dan berkeyakinan di tengah-tengah carut-marutnya hampir seluruh aspek kehiduapan bersama dalam sebuah negara bernama Indonesia.
Perkenankan saya dalam fórum konsolidasi nasional JARIK yang meambil tema “PROMOTING RELIGIOUS FREEDOM DALAM MENDORONG GAIRAH INTELEKTUALISME KAUM MUDA MUSLIM INDONESIA” ikut menyuarakan apa yang menjadi keprihatinan saya selama ini bersama dengan ANBTI.
Dalam makalah yang singkat ini, penulis ingin membatasi pembahasannya pada bagaimana penulis melihat tegangan persoalan kemerdekaan beragama dan berkeyakinan di Indonesia dikaitkan dengan semanagat intelektual kaum muda, persis seperti tema konsolidasi ini.
Situasi Aktual
Sepuluh tahun sudah reformasi. Angin demokrasi yang seharusnya mampu memecahkan berbagai persolan kebangsaan, malah justru memasuki titik kritis dan titik balik yang membingungkan publik. Tampaknya, proses demokratisasi bangsa baru sebatas dimaknai sebagai kebebasan dari represi politik, belum sampai pada bagaimana menghargai pendapat dan menerima perbedaan.
Pancasila yang seharusnya menjadi kekuatan pemersatu (integrating force) semakin sulit posisinya. Karena, Pancasila terlanjur tercemar pada masa rezim Soeharto dimana Pancasila dipakai sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Selain itu, pada masa pemerintahan BJ Habibie terjadi liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah faktor otonomi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika diantisipasi bisa menimbulkan local-nationalism yang dapat tumpang tindih dengan ethno-nationalism. Dalam posisi ini, Pancasila baik secara sengaja maupun by-implication kian kehilangan posisi sentralnya (Azra: 2006).
Dalam posisi seperti ini, bangkitnya ideologi-ideologi lain termasuk ideologi keagamaan sudah tak dapat terhindarkan. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya penerimaan religious-based ideologies ini merupakan salahsatu tendensi yang terlihat jelas di Indonesia pasca-Soeharto. Kini, bayang-bayang religious based-ideology (ies) diwujudkan antara lain dengan menetapkan dan memberlakukan UU, Perda yang dalam satu dan lain hal ‘bernuansa Syari’ah’ yang jumlahnya lebih dari 200 yang tersebar di seluruh Indonesia.
Parahnya masyarakat kini cenderung lebih mudah terprovokasi dan dengan mudah menjadi hakim atas sesamanya sendiri. Korban pun jatuh sudah. Kekerasan atas nama agama meningkat fluktuasinya dan memuncak pada tragedi monas berdarah 1 Juni 2008. Sebelumnya, kekerasan juga terjadi terhadap warga Ahmadiyah di Manis Lor Kab. Kuningan Jawa Barat dan Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, Al Qiyadah Al Islamiyah di Padang, Sejumlah Gereja di Kab. Bandung Jawa Barat, dan Sy’iah di Bangil Jawa Timur merupakan contoh kekerasan itu.
Belum lagi jika permaslaahan ini sedikit diperluas menyangkut kebebasan berkeyakinan dari masyarakat adat di seluruh nusantara. Di sanalah sebenarnya problem diskriminasi paling kontras bisa terlihat. Masyarakat adat yang sudah ada sejak cikal bakal geografis Indonesia terbentuk dan sudah mendiami nusantara ini ribuan tahun lamanya kini seakan-akan menjadi tamu di dalam rumahnya sendiri.
Mereka digerogoti hak-haknya, mulai dari keyakinan mereka akan kemanunggalan manusia dengan alam sekitarnya, keterikatan mereka atas tanah dan air yang menjadi lumbung penghidupan mereka sehari-hari, dan bahkan hingga pencibiran mereka sebagai orang-orang yang terkebelakang, kafir, sesat, dan irasional.
Diskriminasi terhadap masyarakat adat khususnya penganut kepercayaan lokal terus saja terjadi. Parahnya, diskriminasi ini dilakukan secara sistematis, karena Negara kerap membuat berbagai kebijakan publik dalam bentuk UU yang terus mendiskriminasi masyarakat adat
Munculnya UU Adminduk (Administrasi dan Kependudukan) yang pengesahannya dipaksakan pada tanggal 8 Desember 2006, di tengah penolakan dari sejumlah fraksi di DPR RI, merupakan “duri dalam daging” karena isinya masih sarat dengan diskriminasi dan melanggengkan label “agama resmi dan tidak resmi” dari pemerintah yang memarjinalkan kelompok masyarakat di luar 6 agama yang difasilitasi oleh negara (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan, yang baru diresmikan, Khonghucu).
Konsekuensi pelabelan tersebut telah berimplikasi pada pengabaian hak-hak sipil dan politik terhadap mereka yang selama ini selalu kesulitan dalam mengakses masalah pencatatan kependudukan (KK dan KTP). Mereka tidak leluasa mengisi kolom agama sesuai keyakinan yang mereka anut, kesulitan ini kemudian berimplikasi pada hak pencatatan pernikahan, kelahiran anak serta urusan hak sipil dan politik lainnya, termasuk juga administrasi hukum pada umumnya seperti pembukaan rekening, bank, sekolah, SIM dan seterusnya..
Realitas di masyarakat, jika ingin memperoleh kemudahan maka bisa ditempuh cara untuk “terpaksa/dipaksa/berpura-pura” mengakui/menganut salah satu dari 6 agama resmi tersebut. Sebuah cara yang dianggap pintas/mudah namun mengoyak perasaan dan hak asasi mereka yang seharusnya sudah dijamin dalam konstitusi dan dilindungi oleh undang-undang. Ironisnya, dalam sejarah bangsa Indonesia, 6 agama resmi tersebut merupakan “produk import” sementara ratusan kepercayaan justru merupakan identitas asli dari jati diri bangsa Indonesia karena berasal dari akar budaya masyarakat Indonesia asli.
Posisi mahasiswa
Mahasiswa sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat menempati posisi penting sebagai kaum intelektual. Meminjam pemikiran Edward Said dalam bukunya The Representation of Intellectuals, disana disebutkan, “Orang intelektual adalah pencipta sebuah bahasa yang mengutarakan yang benar kepada yang berkuasa. Seorang intelektual mengatakan apa yang dianggapnya benar, entah sesuai atau tidak dengan pikiran-pikiran penguasa. Karena itu ia cenderung ke oposisi ipada ke akomodasi. Dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi menghindari mengatakannya. Ia hendaknya jangan sekali-kali mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa ”.
Sejalan dengan itu, mahasiswa adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah entitas bernama perguran tinggi. Di mana setiap perguruan tinggi memiliki tugas menjalankan tri dharma perguran tinggi. Yang secara sederhana dapat disebutkan sebagai fungsi pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Dengan demikian menjadi jelaslah posisi mahasiswa dalam situasi hidup bersama dalam sebuah negara adalah sebagai agen perubahan yang selalu mengemban amanat dari setiap amanat penderitaan rakyat.
Masalahnya, saat ini gerakan mahasiswa masih tidak jelas orientasinya. Dalam menyikapi isu mereka cenderung reaktif dan sporadis. Gerakan mahasiswa kini menjadi tidak lagi fokus dalam satu isu bersama. Gerakannya tersebar dan tidak lagi menjadi sebuah kekuatan nasional yang solid. Konsolidasi di antara mereka menghadapi hampatan yang cukup serius. Padahal, ruang publik sudah terbuka lebar.
Penutup
Jika kini kawan-kawan JARIK peduli terhadap permaslahan kebebasan beragama seperti singkat diuraikan di atas, hal itu merupakan sesuatu yang patut dipresiasi. Walau di sana menghadang tantangan yang luar biasa besarnya,
Pertama, isu keberagaman memang saat ini memang masih menjadi isu elit yang seolah-olah dampaknya tidak langsung dirasakan oleh rakyat miskin. Bandingkan dengan isu kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, lingkungan dan lain-lain. Sementara, di lapangan realitas masyarakat (silence majority) yang mulai apatis dan apolitis bisa ditemui di mana saja.
Namun, bahayanya jika isu ini tidak diperhatikan secara serius, maka disintegrasi bangsa bukan sekadar wacana lagi. Karena, usaha-usaha untuk mengganti konstitusi dengan satu paham agama tertentu semakin gencar dilakukan melalui jalur parlementer.
Belum lagi isu nasionalisme di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda juga sudah mulai luntur. Meminjam istilah mereka sendiri, membicarakan nasionalisme adalah sesuatu yang sudah basi. Padahal, jika kita ingin terus-menerus menghargai perbedaan, maka Pancasila, dan konstitusi adalah solusi final. Sementara, saat ini semakin menguat dukungan banyak pihak yang ingin mengganti konstitusi dengan tafsir filosofi agama tertentu.
Terakhir, menutup makalah singkat ini, saya ingin berbagi semangat dengan mengutip apa yang menjadi refeleksi Edward Said menantang Anda sebagai seorang intelektual, “Jika Anda mau membela keadilan manusiawi dasar, Anda harus melakukannya bagi siapa saja, bukan hanya selektif bagi mereka yang didukung oleh orang-orang di pihak Anda, di budaya Anda, di Bangsa Anda”.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment