Tersingkirnya Indonesia dari ajang Piala Asia 2007, memberi sebuah pelajaran berharga. Segala sesuatu tidak bisa didaptkan dengan cara instan. Semua harus berproses.
Tim Garuda dalam bahasaku hanya bermodal semangatjuang 45. Kemampuan individu dan tim masih kalah jauh dari lawan-lawannya di Grup D itu. Bayangkan saja, Bahrain adalah juara 4 Piala Asia 2004. Korea Selatan langganan Piala Dunia, dan pada tahun 2002, mereka menjadi Semifinalis di bawah asuhan tangan dingin Gus Hidink. Sedangkan Arab, seperti singa padang pasir. Mereka memiliki kecepatan, kekuatan, serta postur tubuh yang jauh dari rata-rata pemaian Indonesia. Sama seperti Korsel, Arab juga langganan Piala Dunia.
Modal semangat yang dimiliki Tim Indonesia didukungoleh penonton yang lebih dari 80 ribu orang. Mereka berasal dari berbagai tempat dan dengan berbagai problematikanya datang mendukung Indonesia untuk satu kata: MENANG.
Para pemain sudah mengeluarkan lebih dari apa yangmereka punya. Pelatih Ivan Kolev dalam jumpa persnya menyebut, "...Saya salut kepada anak-anak, karena mereka sudah siap mati di lapangan. Dan saya belumpernah melihat ini di tim manapun".
Bagiku, bukan faktor keberuntungan yang belum kunjung hadir. Namun benar apa yang dikatakan oleh salah seorang temanku, yakni keseriusan para official PSSI yang tidak layak didukung.
Kita lihat saja; Nurdin Halid, ketua PSSI tersangka kasus korupsi Minyak Goreng yang merugikan keuangan negara sampai 160 miliar. Masih syukur dia orangGolkar. Sehingga, persoalan hukum selesai lewat tawar-menawar politik. Sudah menjadi rahasia umum, pengadilan di sini belum bisa menjadi benteng terakhir untuk mencari dan menemukan keadilan.
Kemudian sistem kompetisi liga di Indonesia yang saben tahun berganti. Musim lalu sistemnya disatukan. Di mana tidak dipisah antara Indonesia barat dan Timur. Tahun sebelumnya ada pembagian regio barat-timur. Hal ini jelas sangat berpengaruh dengan konsentrasi pelatih, pemain dan sistem manajemen tim secara keseluruhan.
Indonesia tahun lalu juga urung memperkuat penyisihan Liga Champion Asia, karena keterlambatan official PSSI mendaftarkan timnya. Waktu itu, Arema Malang dan Persipura yang menjadi korbannya. Dengan enteng Sekjen PSSI Nugraha Besoes bilang, "... ini masalah internal, dan kami seang membahasnya didalam". Asumsinya, orang di luar PSSI tidak berhak bersuara atas kebijakan PSSI. Padahal, Nurdin Halid, dan teman-temannya itu dibayar oleh duit rakyat setiap bulannya.
Pengalaman bertanding di kancah Asia yang harusnya didapat oleh Arema dan Persipura dikorupsi olehpunggawa PSSI.
Tak puas menzolimi tim-tim yang harusnya berlaga di Liga Champion Asia, mereka juga mezolimi setiap orang yang ingin menonton langsung Piala Asia. Aku tidak pernah habis pikir, mengapa tiket selalu habis ketika loket paling baru buka beberapa jam. Kontan saja, massa antrian yang sudah tumpah ruah di jalan raya menjadi kehilangan kesabaran lantaran para calo dengan bebas menjual tiket itu di depan loket dengan harga minimal 3 kali lipat.
Hal ini juga bukan barang baru di sini. Kerjasama apik antara calo dan staf bagian tiket tidak saja terjadi di stadion. Di stasiun kereta pun terjadi hal seperti itu. Tempat duduk yang seharusnya menjadi hak penumpang, tidak diberikan. Namun ketika penumpang menanyakan kepada calo yang berkeliaran di area loket, mereka bisa mendapatkan tempat duduknya dengan tambahan uang (minimal Rp 20.000, ini sering terjadisaat mau menumpang kelas bisnis dari Jakarta ke Jogja,Solo, dsb).
Malangnya, hal ini selalu menimpa masyarakat kelas bawah. Tiket yang seharusnya senilai Rp 15.000 menjadiRp 50.000. Bahkan, partai melawan Korsel mencapai Rp 75.000. Dan ketika aku sampai pada jendela loket, iseng-iseng kutanya apakah masih ada tiket VIP? Jawabannya, .."tiket VIP harganya Rp 200.000 masih banyak,".
Menjadi wajar ketika jelang partai Indonesia vs Korsel, di depanku terlihat orang-orang murka dan akhirnya membakar loket II. Kembali, seolah-olah mereka -penonton Indonesia- yang mendapat label negatif. Mereka dicap tidak dewasa, dan selalu disalahkan.
Di sisi lain, orang-orang yang sanggup membeli tiket VIP biasanya mereka adalah orang-orang yang ogah mengantri. Aku tahu cerita ini dari kakakku yang bosnya selalu membelikannya tiket VIP. Sebagian dari mereka juga tinggal melakukan transaksi via on-line atau di mal-mal yang ditunjuk sebagai official partner. Mereka yang membeli VIP tidak pernah berhadap-hadapan langsung dengan calo. Dan dengan mengenakan baju atau yang dikenal jearsey original -Merah-Putih- mereka datang lengkap dengan harum parfum, duduk di tempat tak jauh dari Presiden SBY.
Menonton pertempuran pasukan Merah-Putih di lapangan hijau dan mengaitkannya dengan persoalan riil di masyarakat, adalah sisi lain dari sekadar menonton sepak bola. Di sana, muncul semacam fragmentasi kehidupan nyata di Indonesia.
Kekalahan Indonesia kemarin di ajang Piala Asia aku analogikan seperti orang yang terkena demam. Demam biasanya bukan penyakit sesungguhnya. Penyakit sesungguhnya tidaklah tampak, dan (memang) tidak (mau) menampakkan dirinya. Sehingga, menyalahkan mereka yang berjuang di lapangan hijau bagiku adalah tindakan yang -sama sekali- tidak adil.
Aku ingat betul ada sebuah media nasional yang menurunkan pemberitaannya seolah-olah menyalahkan salahsatu pemain Timnas saat laga Indonesia vs ArabSaudi. Waktu itu, Indonesia ditekuk Arab 1-2. Kuranglebih isi beritanya seperti ini; kekalahan Indonesia itu gara-gara Ivan Kolev mengganti Budi Sudarsono dan memasukkan Ismet Sofyan. Ismet yang baru saja turun, mengganjal pemain Arab dan wasit memberikan tendangan bebas yang akhirnya berbuah gol.
Ismet menjadi kambing hitam kekalahan Merah-Putih. Ditambah, prilaku wasit yang tidak adil, dan dikaitkan dengan asal wasit itu yang juga berasal dari jazirah Arab. Tak tanggung-tanggung, Presiden SBY juga terjebak dengan analisis sempit yang (dengan cepat menyalahkan wasitnya). Padahal, harusnya SBY melihat dulu siapa orang-orang dibalik 'seragamMerah-Putih' . Orang-orang itulah yang dalam bahasaku penyakit Timnas sesungguhnya dan musuh bangsa yang utama. Orang macam Nurdin Halid, Nugraha Besoes, dsb. Ketika semua ingin maju dan menang, justru birokrasi mengacaukan semuanya. Mereka korup dan hanya memikirkan diri sendiri, tanpa mau berjuangsungguh-sungguh bekerja untuk rakyatnya. Mereka lupa dibayar oleh siapa.
Begitu juga dalam peta politik. Di Jakarta misalnya, rakyat ingin Jakarta memiliki pemimpin yang baik. Tapi partai politik memberikan dua pilihan pasangan calon yang sama-sama bobrok. Partai politik tidak menjalankan fungsinya. Mereka bukannya mencalonkan kader terbaik dari paratainya masing-masing, eh malah mengajukan calon yang berasal dari luar yang merekahanya bermodal duit saja.
Dan aku rasa di aras keidupan lain, hal itu kurang lebih sama. Semoga saja tidak demikian ke depan!
No comments:
Post a Comment