Pages

Monday, March 15, 2010

PERAN INTELEKTUAL DALAM MEMBELA KERAGAMAN


Saya menyambut gembira undangan mengahadiri acara ini dari Bung Towik dan Bung Ridho saudara saya aktivis JARIK yang selama ini aktif bersama-sama dengan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) ikut mengkampanyekan isu kebebasan beragama dan berkeyakinan di tengah-tengah carut-marutnya hampir seluruh aspek kehiduapan bersama dalam sebuah negara bernama Indonesia.
Perkenankan saya dalam fórum konsolidasi nasional JARIK yang meambil tema “PROMOTING RELIGIOUS FREEDOM DALAM MENDORONG GAIRAH INTELEKTUALISME KAUM MUDA MUSLIM INDONESIA” ikut menyuarakan apa yang menjadi keprihatinan saya selama ini bersama dengan ANBTI.
Dalam makalah yang singkat ini, penulis ingin membatasi pembahasannya pada bagaimana penulis melihat tegangan persoalan kemerdekaan beragama dan berkeyakinan di Indonesia dikaitkan dengan semanagat intelektual kaum muda, persis seperti tema konsolidasi ini.

Situasi Aktual
Sepuluh tahun sudah reformasi. Angin demokrasi yang seharusnya mampu memecahkan berbagai persolan kebangsaan, malah justru memasuki titik kritis dan titik balik yang membingungkan publik. Tampaknya, proses demokratisasi bangsa baru sebatas dimaknai sebagai kebebasan dari represi politik, belum sampai pada bagaimana menghargai pendapat dan menerima perbedaan.

Pancasila yang seharusnya menjadi kekuatan pemersatu (integrating force) semakin sulit posisinya. Karena, Pancasila terlanjur tercemar pada masa rezim Soeharto dimana Pancasila dipakai sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Selain itu, pada masa pemerintahan BJ Habibie terjadi liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah faktor otonomi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika diantisipasi bisa menimbulkan local-nationalism yang dapat tumpang tindih dengan ethno-nationalism. Dalam posisi ini, Pancasila baik secara sengaja maupun by-implication kian kehilangan posisi sentralnya (Azra: 2006).

Dalam posisi seperti ini, bangkitnya ideologi-ideologi lain termasuk ideologi keagamaan sudah tak dapat terhindarkan. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya penerimaan religious-based ideologies ini merupakan salahsatu tendensi yang terlihat jelas di Indonesia pasca-Soeharto. Kini, bayang-bayang religious based-ideology (ies) diwujudkan antara lain dengan menetapkan dan memberlakukan UU, Perda yang dalam satu dan lain hal ‘bernuansa Syari’ah’ yang jumlahnya lebih dari 200 yang tersebar di seluruh Indonesia.

Parahnya masyarakat kini cenderung lebih mudah terprovokasi dan dengan mudah menjadi hakim atas sesamanya sendiri. Korban pun jatuh sudah. Kekerasan atas nama agama meningkat fluktuasinya dan memuncak pada tragedi monas berdarah 1 Juni 2008. Sebelumnya, kekerasan juga terjadi terhadap warga Ahmadiyah di Manis Lor Kab. Kuningan Jawa Barat dan Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, Al Qiyadah Al Islamiyah di Padang, Sejumlah Gereja di Kab. Bandung Jawa Barat, dan Sy’iah di Bangil Jawa Timur merupakan contoh kekerasan itu.

Belum lagi jika permaslaahan ini sedikit diperluas menyangkut kebebasan berkeyakinan dari masyarakat adat di seluruh nusantara. Di sanalah sebenarnya problem diskriminasi paling kontras bisa terlihat. Masyarakat adat yang sudah ada sejak cikal bakal geografis Indonesia terbentuk dan sudah mendiami nusantara ini ribuan tahun lamanya kini seakan-akan menjadi tamu di dalam rumahnya sendiri.

Mereka digerogoti hak-haknya, mulai dari keyakinan mereka akan kemanunggalan manusia dengan alam sekitarnya, keterikatan mereka atas tanah dan air yang menjadi lumbung penghidupan mereka sehari-hari, dan bahkan hingga pencibiran mereka sebagai orang-orang yang terkebelakang, kafir, sesat, dan irasional.

Diskriminasi terhadap masyarakat adat khususnya penganut kepercayaan lokal terus saja terjadi. Parahnya, diskriminasi ini dilakukan secara sistematis, karena Negara kerap membuat berbagai kebijakan publik dalam bentuk UU yang terus mendiskriminasi masyarakat adat

Munculnya UU Adminduk (Administrasi dan Kependudukan) yang pengesahannya dipaksakan pada tanggal 8 Desember 2006, di tengah penolakan dari sejumlah fraksi di DPR RI, merupakan “duri dalam daging” karena isinya masih sarat dengan diskriminasi dan melanggengkan label “agama resmi dan tidak resmi” dari pemerintah yang memarjinalkan kelompok masyarakat di luar 6 agama yang difasilitasi oleh negara (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan, yang baru diresmikan, Khonghucu).

Konsekuensi pelabelan tersebut telah berimplikasi pada pengabaian hak-hak sipil dan politik terhadap mereka yang selama ini selalu kesulitan dalam mengakses masalah pencatatan kependudukan (KK dan KTP). Mereka tidak leluasa mengisi kolom agama sesuai keyakinan yang mereka anut, kesulitan ini kemudian berimplikasi pada hak pencatatan pernikahan, kelahiran anak serta urusan hak sipil dan politik lainnya, termasuk juga administrasi hukum pada umumnya seperti pembukaan rekening, bank, sekolah, SIM dan seterusnya..

Realitas di masyarakat, jika ingin memperoleh kemudahan maka bisa ditempuh cara untuk “terpaksa/dipaksa/berpura-pura” mengakui/menganut salah satu dari 6 agama resmi tersebut. Sebuah cara yang dianggap pintas/mudah namun mengoyak perasaan dan hak asasi mereka yang seharusnya sudah dijamin dalam konstitusi dan dilindungi oleh undang-undang. Ironisnya, dalam sejarah bangsa Indonesia, 6 agama resmi tersebut merupakan “produk import” sementara ratusan kepercayaan justru merupakan identitas asli dari jati diri bangsa Indonesia karena berasal dari akar budaya masyarakat Indonesia asli.

Posisi mahasiswa
Mahasiswa sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat menempati posisi penting sebagai kaum intelektual. Meminjam pemikiran Edward Said dalam bukunya The Representation of Intellectuals, disana disebutkan, “Orang intelektual adalah pencipta sebuah bahasa yang mengutarakan yang benar kepada yang berkuasa. Seorang intelektual mengatakan apa yang dianggapnya benar, entah sesuai atau tidak dengan pikiran-pikiran penguasa. Karena itu ia cenderung ke oposisi ipada ke akomodasi. Dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi menghindari mengatakannya. Ia hendaknya jangan sekali-kali mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa ”.

Sejalan dengan itu, mahasiswa adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah entitas bernama perguran tinggi. Di mana setiap perguruan tinggi memiliki tugas menjalankan tri dharma perguran tinggi. Yang secara sederhana dapat disebutkan sebagai fungsi pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Dengan demikian menjadi jelaslah posisi mahasiswa dalam situasi hidup bersama dalam sebuah negara adalah sebagai agen perubahan yang selalu mengemban amanat dari setiap amanat penderitaan rakyat.

Masalahnya, saat ini gerakan mahasiswa masih tidak jelas orientasinya. Dalam menyikapi isu mereka cenderung reaktif dan sporadis. Gerakan mahasiswa kini menjadi tidak lagi fokus dalam satu isu bersama. Gerakannya tersebar dan tidak lagi menjadi sebuah kekuatan nasional yang solid. Konsolidasi di antara mereka menghadapi hampatan yang cukup serius. Padahal, ruang publik sudah terbuka lebar.

Penutup
Jika kini kawan-kawan JARIK peduli terhadap permaslahan kebebasan beragama seperti singkat diuraikan di atas, hal itu merupakan sesuatu yang patut dipresiasi. Walau di sana menghadang tantangan yang luar biasa besarnya,
Pertama, isu keberagaman memang saat ini memang masih menjadi isu elit yang seolah-olah dampaknya tidak langsung dirasakan oleh rakyat miskin. Bandingkan dengan isu kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, lingkungan dan lain-lain. Sementara, di lapangan realitas masyarakat (silence majority) yang mulai apatis dan apolitis bisa ditemui di mana saja.

Namun, bahayanya jika isu ini tidak diperhatikan secara serius, maka disintegrasi bangsa bukan sekadar wacana lagi. Karena, usaha-usaha untuk mengganti konstitusi dengan satu paham agama tertentu semakin gencar dilakukan melalui jalur parlementer.

Belum lagi isu nasionalisme di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda juga sudah mulai luntur. Meminjam istilah mereka sendiri, membicarakan nasionalisme adalah sesuatu yang sudah basi. Padahal, jika kita ingin terus-menerus menghargai perbedaan, maka Pancasila, dan konstitusi adalah solusi final. Sementara, saat ini semakin menguat dukungan banyak pihak yang ingin mengganti konstitusi dengan tafsir filosofi agama tertentu.

Terakhir, menutup makalah singkat ini, saya ingin berbagi semangat dengan mengutip apa yang menjadi refeleksi Edward Said menantang Anda sebagai seorang intelektual, “Jika Anda mau membela keadilan manusiawi dasar, Anda harus melakukannya bagi siapa saja, bukan hanya selektif bagi mereka yang didukung oleh orang-orang di pihak Anda, di budaya Anda, di Bangsa Anda”.


Gus Dur Ajak Orang Muda Katolik Berani


[Tulisan ini dibuat pada 3 Agustus 2008, selepas Gus Dur tampil sebagai pembicara dalam Kongkow Bareng Gus Dur di Paroki BHK, Kemakmuran. Tuliasan ini pernah dimuat di Majalah HIDUP. Kini (3/1/2010), tulisan ini diunggah ulang selain sebagai kenang-kenangan persentuhan personal penulis dengan Gus Dur, juga sebagai ungkapan Selamat Jalan atas kepergian Gus Dur, Sang Pahlawan]

Gus Dur mengajak orangmuda Katolik untuk keluar dari zona amannya mengusahakan kehiduapn bersama yang lebih baik di Indonesia. Hal ini dikatakan Mantan Presiden ke-4 RI Abdurahman Wahid dalam kongkow bersama Gus Dur dengan tema, “Orang muda berbicara tentang kebebasan, dan demokrasi dalam menciptakan kerukunan umat beragama di Indonesia” yang digelar di Aula Paroki Bunda Hati Kudus (BHK), Kemakmuran, Jakarta, Minggu (3/8/2008).

“Saya datang ke sini, bukan karena apa-apa. Wong, orang muda Katolik juga khan orang muda Indonesia. Saya datang ke sini itu karena diundang Guntur Romli. Rombongan liar,” ujar Gus Dur ringan sambil tertawa terkekeh menjawab pertanyaan moderator mengenai pandangannya terhadap orang muda Katolik.

Gus Dur mengajak semua saja (tidak sekadar orang Katolik, red) untuk keluar dari zona aman dan bersama-sama membangun Indonesia. Karena, menurutnya pemimpin-pemimpin sekarang tidak memiliki keberanian dan tidak ada pula yang memikirkan rakyatnya. Modalnya, lanjut Gus Dur adalah keberanian. “Berani ini penting sekali,” katanya.

Gus Dur tetaplah Gus Dur yang berani. Gaya bicaranya lugas tanpa tedeng aling-aling. Hal inilah yang kerap menuai kontroversi dan menyakiti elit politik negeri ini. Tak tanggung-tanggung, dalam kesempatan tersebut dia terang-terangan mengaku kecewa dengan sejumlah nama seperti Cak Imin, Ali Maskur Musa, bahkan, anaknya sendiri, Yeni. “Masalahnya tidak lagi ada kejujuran. Itu… Saya koq selalu terlambat mengenal mereka. Semua itu terjadi baru setelah mereka duduk. Nggak tahu saya,” sesal Gus Dur.

Kecak Lele
Namun, bukan Gus Dur juga kalau tidak doyan melucu. Kalau pada awal tahun 2008 ini ada guyonon politik di mana Megawati mengkritik keras kebijakan Presiden SBY tak ubahnya seperti menari Poco-poco, yang maju satu langkah, mundur satu langkah. Maju dua langkah, mundur dua langkah. Tak pelak, guyonan itu langtsung dibalas oleh kubu SBY dengan mengatakan pada zaman pemerintahannya Megawati justru pemerintah ibarat undur-undur, yang mundur terus.

Gus Dur tentu punya istilah tersendiri mengkritisi kepemimpinan SBY. “Kalau saya sih melihat itu seperti Kecak Lele. Muter kemana-mana. Akhirnya balik ke situ-situ juga,” disusul tawa terbahak-bahak audiens.

Semua audiens hanyut dalam sebuah momen yang dikatakan Romo Susilo (tuan rumah) sebagai sebuah bentuk kebahagiaan tersendiri. Setiap perkataan Gus Dur disimaknya penuh. Sepenuh ungkapan dan ucapan selamat ulang yang dinyanyikan riuh menyambut ulang tahun Gus Dur yang ke-68, yang tepatnya jatuh pada 4 Agustus, sehari setelah acara itu.

Tidak hanya Gus Dur, diundang pula dalam kongkow-kongkow itu sebagai pembicara antara lain Guntur Romli, aktivis kebebasan dan demokrasi di tanah air, Sekjen ICRP JN. Hariyanto, SJ., seorang pendidik, aktivis yang memiliki integritas tinggi dalam banyak hal. Serta seorang pejuang akar rumput yang selalu setia menjaga keharmonisan di daerah Petojo, Haji Rusli.

Senada dengan Gus Dur, Romo Hariyanto SJ justru menantang orang muda Katolik untuk berani mengambil bagian dalam menggereja di tengah-tengah masyarakat. “Sense of nation hanya didapat ketika hidup bersama bersama orang lain,” katanya.

Mengutip mendiang Pastor Van Lith, Romo Hariyanto berbagi makna, “Seandainya, orang-orang Belanda diusir ke laut maka kami (para misionaris, -red) berpihak pada orang Jawa. Dengan catatan ucapan itu dikatakannya pada saat tahun 1927 di mana konsep keindonesiaan belum ada,” paparnya. Romo Hariyanto berharap, orang muda Katolik seharusnya dapat mengusahakan apa pesan moral Sugiyopranoto SJ, "Katolik 100 persen - Indonesia 100 persen!"

Sementara, Guntur Romli mengurai berbagai persoalan yang muncul pasca reformasi. Di mana, angin demokrasi yang seharusnya mampu memecahkan berbagai persolan kebangsaan, justru memasuki titik kritis yang membingungkan publik. Tampaknya, kata Guntur, proses demokratisasi bangsa baru sebatas dimaknai sebagai kebebasan dari represi politik, belum sampai pada bagaimana menghargai pendapat dan menerima perbedaan. Makanya dia tidak heran jika ada kasus seperti Tragedi Monas Berdarah, 1 Juni 2008.

*Daniel Awigra, Moderator Kongkow-kongkow.


BANGKIT DI ATAS PUING-PUING BEIRUT

Oleh Awigra dan Ahmad Almaududy Amri

Hari-hari ini Lebanon terus menata diri untuk menjadi Negara yang kuat dan berwibwa. Hal ini disadari penuh oleh seluruh rakyat Lebanon yang selama kurang lebih 40 tahun hidup dalam bayang-bayang ancaman tetangganya di selatan, Israel. Untuk mengembalikan Lebanon sebagai negeri yang kuat, yang mampu membela diri, diperlukan rekonsiliasi di dalam negeri. Dengan ide pluralisme pada kabinet persatuan nasional yang sekarang dalam pembentukan, artinya semua sekte di Lebanon punya kekuatan yang seimbang. Tidak ada satu kelompok yang bisa mengklaim diri paling utama .

Perbedaan yang terjadi di Lebanon bukanlah perbedaan agama, melainkan politik. Karena perbedaan pada hakikatnya perbedaan politik, perbedaan itu bisa diselesaikan secara baik. ”Perlu dialog, dan kami (Hizbullah) siap bekerja sama dengan siapa saja,” kata Kepala Biro Hubungan Internasional Hizbullah, Ammar Mousawy .

Kepercayaan diri rakyat Lebanon yang bangkit tercermin melalui pernyataan sikap Pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah yang bertekad untuk membalas setiap serangan Israel terhadap Lebanon, termasuk menghancurkan bandar udara negara zionis itu.

"Saya sampaikan kepada orang-orang Israel: Jika Anda menyerang Bandar Udara Rafiq Hariri, kami akan menyerang Bandara Ben Gurion di Tel Aviv," katanya .

Hal ini jelas menjadi pertanda mulai pulihnya kekuatan Lebanon setelah perang 34 hari pada Juli 2006. Dalam perang Israel-Hizbullah itu, sekitar 3.000 orang tewas, sebagian besar warga sipil yang menjadi korban dari serangan udara militer Israel di desa-desa di pinggiran Lebanon selatan .
Resolusi 1701 PBB mengakhiri perang 34 hari antara Israel dan kelompok Syiah yang bersenjata, Hizbullah, pada 2006, dan memperkuat Pasukan Sementara PBB di Lebanon (UNIFIL) untuk melaksanakan misi pemelihara perdamaian di Lebanon selatan.

Resolusi PBB itu menuntut perlucutan senjata anggota Hizbullah. Namun, Hizbullah, yang memiliki anggota yang terlatih dan peralatan yang baik, telah menjelaskan senjatanya tak perlu diperdebatkan. Meski demikian, laporan dari Kementerian Luar Negeri Lebanon itu menekankan bahwa penting bagi kementerian tersebut untuk meminta perhatian bahwa tantangan terbesar terhadap Resolusi 1701 datang dari Israel sendiri karena Israel telah melanggaran resolusi itu lebih dari 6.000 kali sejak 2006 .

Sejatinya, PBB melalui United Nations Interim Forces in Lebanon (UNIFIL) pertama kali menginjakkan kakinya di Lebanon sejak 23 Maret 1978. Ketegangan Israel—Lebanon meningkat ekskalasinya sejak tahun 1970. Namun pada 11 Maret 1978, sebuah serangan komando ke wilayah Israel telah menyebabkan banyak korban tewas dan luka-luka di pihak penduduk Israel; dan Organisasi Pembebasan Palestina atau yang dikenal dengan Palestine Liberation Organization (PLO) menyatakan bertanggung jawan atas serangan tersebut. Sebagai respons terhadap serangan PLO tersebut, pasukan Israel melakukan invasi ke wilayah Lebanon pada malam tanggal 14/15 Maret, dan dalam beberapa hari telah melakukan okupasi seluruh kawasan selatan negara Lebanon, kecuali kota Tyre dan kawasan sekitarnya .

Pada 15 Maret 1978, Pemerintah Lebanon menyatakan protes keras kepada Dewan Keamanan PBB atas serangan pasukan Israel tersebut, dan menyatakan pihak Pemerintah Lebanon tidak memiliki hubungan dengan operasi yang dilakukan oleh Palestinian commando. Tanggal 19 Maret, Dewan Keamanan PBB memutuskan resolusi 425 (1978) dan 426 (1978), yang menghimbau Israel agar segera menghentikan serangan militernya dan menarik mundur pasukannya dari seluruh wilayah Lebanon. Resolusi DK PBB 425 (1978) menetapkan dua hal, yaitu: pertama, DK PBB menghimbau agar dihormatinya integritas wilayah, kedaulatan dan independensi politik Lebanon dalam perbatasan wilayahnya yang telah diakui secara internasional. Kedua, DK PBB meminta Israel segera menghentikan serangan militernya terhadap integritas wilayah Lebanon dan menarik mundur pasukannya dari seluruh wilayah Lebanon .

Dewan Keamanan PBB juga memutuskan sesuai permintaan Pemerintah Lebanon, untuk segera membentuk United Nations Interim Force di Lebanon selatan. Pasukan penjaga perdamaian PBB ini dibentuk dengan tiga tujuan utama, yaitu: Menjamin penarikan mundur pasukan Israel, memulihkan keamanan dan perdamaian internasional dan membantu Pemerintah Lebanon dalam menjamin kembalinya otoritas efektifnya di wilayah Lebanon .

Bangkit di atas puing-puing Beirut ingin membahas peran UNIFIL di Lebanon dalam ikut menjaga perdamaian di sana. Kontribusi apa yang diberikan UNIFIL sampai warga Lebanon hari-hari ini mulai bangkit kepercayaan dirinya, seperti terfragmen dalam ucapan Pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah dimana dirinya siap membalas serangan Isreal kapan saja.

Peacekeeping
Beberapa halaman berikut, banyak penulis pati sarikan dari buku karya Agus Gunaedy Pribadi, dkk, “Memenuhi amanah Bangsa”.

Definisi resmi “Peacekeeping” adalah ”suatu operasi yang melibatkan personel militer, namun tanpa kekuataan paksaan (enforcement powers), dilaksanakan oleh PBB untuk membantu mempertahankan dan memulihkan keamanan dan perdamaian internasional di daerah konflik” (Blue Helmets) .

Peacekeeping adalah sebuah fungsi dari PBB, tetapi ada kalanya juga dilakukan oleh organisasi regional dan internasional. Dasar dari peacekeeping dapat dilihat dalam operasi sejak terbentuknya PBB tahun 1945. Contohnya setelah Perang Dunia I, organisasi militer multinasional (Liga Bangsa Bangsa/ LBB) dibentuk untuk menentukan dan menangani batas baru Eropa melalui perjanjian damai setelah berakhirnya perang. Pada masa itu, Liga Bangsa Bangsa juga melaksanakan kegiatan yang sebanding dengan peacekeeping saat ini.

Namun sejak tahun 1945, peacekeeping telah menjadi teknik yang paling sering digunakan atau diasosiasikan dengan PBB untuk mengakhiri konflik dan mewujudkan perdamaian sehingga organisasi ini kemudian dianugerahi hadiah Nobel tahun 1988 atas berbagai aktivitas peacekeeping-nya.

Peacekeeping tidak disebutkan secara eksplisit dalam Piagam PBB (United Nations Charter), namun dijelaskan di antara Chapter VI dan Chapter VII. Operasi peacekeeping dideskripsikan olen mantan Sekretaris Jenderal PBB Dag Hammarskjöld sebagai ”Chapter 6 ½ initiatives”. Chapter VI menunjukkan pihak-pihak yang berkonflik ”harus pertama kali mengupayakan penyelesaian melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian hukum, atau cara-cara damai lainnya atas pilihan mereka”. Chapter VI menunjukkan bahwa ”Dewan Keamanan PBB, apabila dipandang perlu, harus menghimbau pihak-pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan masalahnya”.

Sementara itu, Chapter VII juga memberikan kekuasaan atau wewenang pada DK PBB untuk memaksakan keputusannya, termasuk menggunakan kekuatan militer jika diperlukan, untuk menjaga dan memulihkan keamanan dan perdamaian internasional. Article 99 memberikan Sekjen PBB kekuasaan untuk melaksanakan ”good offices missions”, termasuk pencarian fakta dan mendesak kelompok yang bertikai untuk mencari negosiasi penyelesaian konfliknya.

PBB pertama kali terlibat dalam peacekeeping tahun 1948, namun yang secara eksplisit disebut sebasgai misi perdamaian pertama kalinya adalah United Nations Emergency Force (UNEF I), yang digelar tahun 1956 sebagai respons terhadap Krisis Suez, setelah militer Inggris dan Perancis melakukan invasi ke Mesir. UNEF I kemudian menjadi preseden untuk misi-misi yang sama selanjutnya.

Pengiriman UNEF meletakkan dasar-dasar prinsip yang menjadi esensi dari peacekeeping. Prinsip-prinsip peacekeeping pertama kali diletakkan oleh Sekjen PBB Dag Hammarskjöld dan Lester B. Pearson (Presiden Majelis Umum dari Kanada tahun 1952-1953). Prinsip-prinsip tersebut adalah :

1. Prinsip persetujuan (consent) dari pihak-pihak yang berkonflik untuk membentuk misi peacekeeping PBB;
2. Prinsip tidak menggunakan kekuatan militer (non-use of force), kecuali untuk membela diri;
3. Prinsip kontribusi sukarela (voluntary contributions)dari kontingen yang berpartisipasi dalam Pasukan PBB;
4. Prinsip ketidakberpihakan / netral (impartiality);
5. Prinsip pengawasan/pengendalian operasi peacekeeping oleh Sekjen PBB.

Prinsip-prinsip ini telah dikritisi, terutama dalam debat efisiensi peacekeeping dalan konflik pasca perang dingin. Namun demikian, prinsip ini terbukti cukup bertahan lebih dari 30 tahun untuk disebut sebagai dokumen yang ”masterpiece konsep dalam bidang yang benar-benar baru, blue print untuk operasi militer internasional tanpa kekerasan”.

Konflik baru
Kembali kepada UNIFIL. Setelah terjadinya perang Juli-Agustus 2006, Dewan Keamanan PBB memperkuat pasukan penjaga perdamaian PBB dan memutuskan selain mandat awalnya, pasukan PBB memiliki mandat tambahan, antara lain mengawasi jalannya penghentian permusuhan atau gencatan senjata (cessation of hostilities); mendukung tentara Lebanon (Lebanese armed forces/LAF) saat tentara LAF digelar di seluruh wilayah Lebanon selatan; dan memperluas bantuannya untuk menjamin akses bantuan kemanusiaan (humanitarian access) kepada penduduk sipil dan kembalinya para pengungsi (displaced persons) secara sukarela dan aman.

Terjadinya aksi kekerasan baru di perbatasan Israel-Lebanon yang dimulai tanggal 12 Juli 2006 ketika kelompok Hizbullah meluncurkan beberapa roket Katyusha dari wilayah Lebanon melewati Blue Line menuju posisi-posisi IDF dekat pantai dan kota Israel di Zarit. Bersamaan dengan peristiwa tersebut, para pejuang Hizbullah menyeberangi Blue Line menuju Israel, menyerang sebuah patroli Israel dan menangkap dua tentara Israel (Ehud Goldwasser and Eldad Regev), membunuh tiga orang lainnya dan melukai lebih dari dua prajurit. Kedua tentara yang ditangkap dibawa Hizbullah ke Lebanon.

Setelah terjadinya serangan terhadap patroli Israel tersebut, kontak senjata yang hebat terjadi di sekitar Blue Line antara Hizbullah dan pasukan IDF. Kontak senjata terjadi di sepanjang Blue Line, dan yang terberat di kawasan Bint Jubayl dan Shebaa farms. Hizbullah melakukan penyerangan dengan sasaran posisi-posisi IDF dan kota-kota Israel di selatan Blue Line. Pihak Israel melakukan pembalasan dengan serangan darat, udara dan laut. Sebagai tambahan terhadap serangan udara ke posisi-posisi Hizbullah, IDF juga melakukan serangan terhadap sejumlah jalan-jalan dan jembatan-jembatan di Lebanon selatan, baik di dalam maupun di luar area operasi UNIFIL.

Dalam laporan Sekjen PBB bulan Juli mengenai UNIFIL, mencakup periode 21 Januari s/d 18 Juli 2006, dilaporkan bahwa situasi di area operasi UNIFIL masih tegang dan rawan konflik, walaupun secara umum situasi tenang dalam periode pelaporan tersebut. Namun, awal dari aksi kekerasan baru tanggal 12 Juli benar-benar telah “radically changed the context” dimana misi PBB sedang beroperasi. Menurut Sekjen PBB : “In the current environment, circumstances conducive to United Nations do not exist”. Selain itu Sekjen PBB menyatakan bahwa pasukan UNIFIL dibatasi dalam melakukan kegiatan apapun bahkan termasuk aktivitas mendasar (basic activities), seperti melakukan resuplai posisinya dan untuk melakukan operasi “search and rescue” untuk kepentingan personelnya. Dengan mandat UNIFIL yang berakhir tanggal 31 Juli 2006, Sekjen PBB merekomendasikan agar DK PBB memperpanjang mandat UNIFIL satu bulan lagi dengan pertimbangan untuk pengaturan lebih lanjut di Lebanon selatan.

DK PBB menyetujui rekomendasi Sekjen PBB dan dengan Resolusi 1697 tanggal 31 Juli, memperpanjang mandat UNIFIL sampai dengan 31 Agustus 2006. DK PBB juga menyatakan keprihatinannya yang mendalam terhadap eskalasi aksi kekerasan di Lebanon dan Israel sejak tanggal 12 Juli, mendesak semua pihak yang terkait untuk mencegah aksi apapun yang dapat membahayakan personel PBB, dan mengimbau agar mengijinkan pasukan UNIFIL melakukan resuplai terhadap posisinya, melakukan search and rescue operations untuk kepentingan personel PBB dan melakukan tindakan lainnya yang diperlukan untuk menjamin keamanan personel PBB.

Konflik baru tersebut, dinilai oleh beberapa pihak sebagai berikut;

1. Penilaian koalisi “14 Maret”
Sikap koalisi “14 Maret” dapat ditilik tatkala kelompok ini mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan “Deklarasi Bristol” (penamaan ini muncul dari nama sebuah hotel yang dijadikan tempat pertemuan koalisi anti Syria ini) : “Semua kekuatan bersenjata yang bukan bagian dari negara tak dapat dianggap sebagai pertahanan terhadap agresi Israel. Lebanon telah menjadi arena exploitasi Iran untuk memperkuat posisinya vis a vis masyarakat internasional menyangkut peran regionalnya. Syria juga menggunakan Lebanon untuk mengembalikan hegemoninya atas negara ini dan menghindari konsekuensi adanya keterlibatan dalam kasus pembunuhan mantan PM Rafik Hariri.”

Statement juga menyerukan dilaksanakannya seluruh Resolusi PBB menyangkut Lebanon , terutama 1701 soal senjata Hizbullah dan resolusi-resolusi sebelumnya. Pertemuan menekankan bahwa kini saatnya mengakhiri dualisme senjata dan menandaskan bahwa hanya angkatan Bersenjata dan institusi legal lain yang berhak membela negara.

Seruan tersebut tidak secara aklamasi. Sebagian anggota koalisi “14 Maret” mengakui bahwa pemerintah underestimated kekuatan Hizbullah dan memandang gencatan senjata sebagai kemenangan diplomatik pemerintah. Mengusulkan pelucutan senjata Hizbullah setelah terjadi gencatan senjata adalah sebuah kesalahan besar. Sementara sebagian yang lain menilai Hizbullah tidak dapat diyakinkan dalam masalah senjata. Sesudah perang, posisi koalisi “14 Maret” menjadi non-negotiable: negara harus memonopoli kekuatan bersenjata.

2. Pandangan Hizbullah
Memproklamirkan kemenangan dalam perang dibarengi keyakinan bahwa Israel juga memandang sama. Hizbullah tetap berpegang teguh bahwa sikapnya adalah benar: resistance adalah kebutuhan (buktinya adalah agresi Israel) dan sangat efektif (terbukti pada hasil perang). Dengan demikian menolak semua bentuk tuntutan untuk melucuti senjatanya atau kebebasan bermanuver. Hizbullah menyetujui Resolusi 1701 dan secara substansial memperkokoh keamanan di wilayah kekuasaanya, Lebanon selatan. Meski demikian tetap menolak merubah status quo militer. Untuk menjaga militansi dan resistensinya terhadap agresi Israel, Hizbullah harus mempersiapkan arsenal dan tetap menjadi aktor militer otonomis. Setidaknya selama Lebanon tidak mampu membela diri.

Dari sudut pandang ini, Hizbullah mengakui bahwa mereka menderita, tetapi Israel akan berpikir panjang dan bekerja keras sebelum kembali menyerang Lebanon. Otonomi militer Hizbullah penting selama ia membela negara. Resistance adalah pelengkap dari proses perundingan. Israel sekarang tahu bahwa mereka tak mungkin mencapai keinginannya dengan cara militer. Mereka tahu harus memberi peluang pada upaya diplomatik, sebagaimana diyakini. Resistance dalam hal ini akan memaksimalkan posisi Lebanon. Hal ini dalah pelajaran bagi negara-negara Arab lainnya.

Hizbullah menafsirkan Resolusi DK PBB 1701 secara modest dan pasif. Pelucutan senjata bukan prioritas utama, tapi hanya dapat terjadi jika Israel mundur dari Shebaa Farms, membebaskan seluruh tawanan Lebanon, dan tegaknya Lebanon sebagai sebuah negara yang kuat dan mampu membela diri. Resolusi DK PBB 1701 cukup membingungkan karena membiarkan “a kind of accomodation with the requirements of the resistance”. Hizbullah mencoba menemukan implementasi Resolusi DK PBB 1701 dalam masalah perlucutan senjata disamping tetap menjaga status militer di bagian selatan Sungai Litani yang sekarang ditempati oleh LAF dan UNIFIL, tanpa harus meletakkan atau menyerahkan senjata. Hizbullah untuk sementara membekukan suasana, para gerilyawannya kembali ke rumah dan senjata tetap di tangan.

Dalam berkonfrontasi dengan Israel, Hizbullah berupaya bertahan sembari menerapkan sebuah strategi berimbang. Mereka tidak melakukan konfrontasi senjata secara terbuka dan berkepanjangan. Tujuannya hanya mempertahankan Lebanon. Karena itulah mereka puas berada di kawasan perbatasan. Mereka tidak bermasalah dengan kekuatan militer apapun yang ditempatkan di kawasan itu.

Dalam konteks pandangan seperti ini, pembagian kerja yang diterapkan sebelum perang masih efektif. LAF beroperasi sebagai polisi; resistance mempertahankan perbatasan dengan cara membendung serangan Israel; dan suatu kekuatan asing yang lemah dan dipaksakan mengawasi gencatan senjata yang rapuh. Sebenarnya situasi seperti ini sudah berlangsung sejak dulu. Tidak ada yang berubah selama Shebaa Farms belum dikembalikan ke Lebanon, semua tawanan dibebaskan, dan negara merasa aman. Hizbullah tahu bahwa masyarakat internasional menolak kondisi seperti ini, tetapi situasi ini akan langgeng karena tidak ada jalan untuk menekan organisasi militan ini. Pecahnya perang baru tidak diyakini dan kepungan internasional terhadap Hizbullah adalah cerita lama yang sudah diantisipasi secara baik.

3. Pandangan Pihak Ketiga
Aktor regional dan internasional mempunyai perspektif yang amat berbeda dalam menilai perang musim panas lalu. Iran dan Syria sejak dini sudah merayakan penampilan Hizbullah. Keduanya menyadari sikap ini tidak diterima oleh semua orang. Iran mengandalkan arsenal Hizbullah untuk mencegah AS menyerang fasilitas nuklirnya. Bertambahnya otoritas UNIFIL telah mengurangi resuplai senjata Hizbullah. Sementara Resolusi DK PBB 1701 relatif merupakan setback bagi Syria. Resistensi Hizbullah merupakan capaian positif bagi Teheran dalam berkompetisi dengan AS. Selain itu, popularitas Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah semakin mencolok - terutama di kalangan Sunni - lebih jauh, merupakan ideological inroad di dunia Arab.

Damaskus puas dengan sekutunya di Lebanon telah menunjukkan kekuatan. Bagi Syria, perang ini telah mengubah peta politik Lebanon, Hizbullah menang dan koalisi “14 Maret” terbenam dan semestinya pemerintah merefleksikan kenyataan yang ada.

Sebaliknya, AS dan sekutunya memanfaatkan Resolusi DK PBB 1701 untuk mengajukan prioritasnya. Tidak dilucutinya senjata Hizbullah tidak dapat lagi ditolerir sebagai kenyataan. Washington berharap kemenangan Israel belum terealisir selama Hizbullah belum dibubarkan. Namun outcome perang ternyata negatif. Resolusi DK PBB 1701 merupakan prinsip dasar yang sudah ditekankan oleh Amerika Serikat agar segera terealisir. Sasarannya adalah melucuti senjata Hizbullah dan menegaskan wilayah antara Sungai Litani sampai ke perbatasan adalah kekuasaan UNIFIL dan LAF.

Kesimpulan
Implementasi Resolusi DK PBB 1701 masih merupakan barometer dari itikad masyarakat internasional dan pihak-pihak yang bertikai di lapangan untuk bergerak maju menuju perdamaian. Seperti dinyatakan oleh Sekjen PBB, komitmen baru ini harus didukung dengan bantuan tidak hanya bagi Lebanon dan Israel, namun bagi kawasan Timur Tengah yang lebih luas.

Meskipun UNIFIL dibatasi dalam menjalankan mandatnya, pasukan UNIFIL menggunakan upaya terbaiknya untuk membatasi konflik yang terjadi, memberikan kontribusi bagi terwujudnya stabilitas di kawasan dan melindungi penduduk di kawasan dari dampak buruk terjadinya kekerasan. Meskipun menghadapi situasi dan kondisi tersebut, Dewan Keamanan PBB telah berulang kali memperpanjang mandat UNIFIL berdasarkan permintaan dari Pemerintah Lebanon dan rekomendasi dari Sekretaris Jenderal PBB.

Meski demikian, banyak tuduhan dilayangkan kepada UNIFIL sebagai perpanjangan tangan AS di Lebanon dengan menghendaki pelucutan senjata bagi tentara Hizbullah.

Terlepas dari berbagai komentar mengenai keberadaan UNIFIL di Lebanon, ternayata keberadaannya ampuh menstabilkan keamanan untuk jangka waktu yang cukup lama. Pasukan Israel beberapa kali sudah menarik diri dari Lebanon, namun ketika ketegangan meningkat, kawasan Lebanon menjadi ajang pertempuran pihak-pihak yang memiliki kepentingan di negeri penghasil minyak zaitun tersebut.



Fungsi Nuklir Itu Sendiri Dalam Krisis Misil Kuba


Pada 22 Oktober 1962, John F Kennedy tampil di televisi nasional mengumumkan bahwa Soviet telah menempatkan nuklir di Kuba. Dengan nada yang dramatis, berdasar foto pengintaian dari CIA tentang peletakan nuklir. Duta besar Adlai Stevenson kemudian mempresentasikan hal ini ke PBB, telah datang di tengah-tengah masa 13 hari paling berbahaya dalam sejarah dunia. Kennedy mengumumkan sebuah blokade laut dari pulau dan memperingatkan konsekuensi dari perang nuklir di seluruh dunia yang bahkan buah-buah kemenangan akan menjadi abu di mulut kita .



Setelah invasi teluk Babi, Castro menjadi semakin yakin kalau AS tidak akan menghentikan usahanya menghancurkan revolusinya. Khrushchev, untuk bagiannya, menginginkan untuk mencobai keberanian Kennedy dan menyiapkan sebuah serangan psikologi dan strategi penyeimbangan untuk penggelaran rudal AS ditujukan pada Rusia dari pangkalan-pangkalan Amerika di Turki dan Italia. Untuk mengulur-ulur waktu untukmencapai kesepakatan, AS memblokade perairan Kuba untuk mencegah pengiriman material lebih lanjut dari Soviet. Meski pihak berwenang Kuba menilai pergerakan ini sebagai sebuah tindakan perang oleh Imperialis AS, banyak lagi yang dipertaruhkan daripada nasib sebuah pulau kecil. Antara 22-28 Oktober, gedung Putih dan Kremelin memainkan kartu startegis. Militer kedua Negara melakukan agitasi untuk memancing terjadinya serangan, pihak AS di udara, dan Soviet di darat. Di titik ini, Castro yakin serangan yang massif sudah dekat, dia menulis surat kepada Khrushchev bahwa harus dibuat sebuah tindakan pendahuluan untuk membuat AS menyerang Soviet, satu langkah yang mungkin adalah Soviet mendahului dengan menembakkan rudal pertama.

Ketegangan mencapai puncaknya ketika Soviets menembak jatuh pesawat pengintai U-2 yang terbang mengelilingi Kuba pada 26 Oktober, ini adalah hari paling berbahaya dalam krisis ini .

Makalah ini khusus menjawab bagaimana peran senjata nuklir itu sendiri dalam krisis misil Kuba? Apakah dia digunakan sebagai alat untuk meraih kemenangan dalam perang nuklir antara dua blok? Ataukah nuklir hanya sekadar media untuk tujuan-tujuan lain? Apa saja kepentingan di balik krisis misil Kuba ini?

Realisme Klasik
Dalam makalah ini, penulis akan menggunakan paradigma neorealis untuk menganalisis kasus ini. Karena, pada saat terjadinya krisis misil Kuba, sistem dunia adalah bipolar, sebuah sistem yang diyakini oleh kaum neorealis sebagai sistem keamanan internasional paling ideal. Namun, untuk memahami filosofi dasarnya, penulis sengaja menyertakan pemikiran realism klasik sebagai fondasi dasar neorealisme.

Pendekatan Realis adalah pendekatan yang dominan berkembang pada masa perang dingin. Realis menggambarkan hubungan internasional sebagai pergumulan untuk meraih kekuasaan di antara kepentingan nasional negara-negara dan digeneralisasikan sebagai pendekatan yang pesimistik dalam menghapuskan konflik dan perang.

Pendekatan ini mendominasi pada masa perang dingin karena realis memberikan penjelasan yang simpel, tetapi dengan penjelasan yang powerful tentang perang, aliansi, imperalisme, rintangan dalam berkerjasama dan fenomena masalah internasional lainnya. Dan dikarenakan untuk memberikan penekanan terhadap kompetisi. Realis secara konsisten terus menyoroti perseteruan antara AS dan Uni Soviet .

Pendekatan Realis klasik yang dipelopori oleh Hans Morgenthau dan Reinhold Niebuhr, percaya bahwa negara seperti halnya manusia, memiliki sifat dasar untuk mendominasi satu sama lain, yang akhirnya berujung pada perang. Morgenthau menarik kesimpulan bahwa sistem dunia multipolar merupakan bentuk terbaik dari balance of power suatu sistem, sedangkan rivalitas antar dua kekuatan (bipolar) merupakan suatu sistem yang berbahaya.

Realisme klasik memandang sifat negara tak ubahnya sifat dasar manusia yang pada dasarnya mau menang sendiri (selfish) dan serakah. Realisme klasik melihat individu (pria dan wanita) secara alami adalah binatang politik. Mereka dilahirkan untuk mengejar kekuasaan dan untuk memperoleh hasil dari kekuasaan. Manusia adalah animus dominandi (haus akan kekuasan), demikian kata Morgenthau .

Bagi kaum realis, negara (state) adalah aktor utama dalam hubungan internasional, sekaligus menekankan pada hubungan antarnegara (interstate relations). Negara dalam konteks ini diasumsikan sebagai entitas yang bersifat tunggal (unitary) dan rasional. Maksudnya adalah bahwa dalam tataran negara, perbedaan pandangan politis telah diselesaikan hingga menghasilkan satu suara, sedangkan negara dianggap rasional karena mampu mengkalkulasikan bagaimana cara mencapai kepentingan agar mendapat hasil yang maksimal .

Pemikiran realisme klasik ini mendapat tantangan dari seorang bernama Neal Kenneth Waltz (lahir 1924) dari Columbia University. Waltz menjadi sangat terkemuka di dalam ilmu Hubungan Internasional dengan teori neorealisme atau realisme strukturalnya. Meski demikian, Waltz sependapat dengan realisme klasik di mana konsep kedaulatan negara masih menjadi aspek normatif.

Anarki
Neorealisme memandang keamanan internasional bersifat anarki karena memang struktur internasional yang terdiri atas negara-negara yang berdaulat, dan tidak ada pemerintahan dunia. Sehingga, neorealisme menekankan studinya pada struktur sistem dan distribusi kekuasaan. Karena lahir merevisi realisme klasik, neorealisme memandang aktor-aktor kurang begitu penting sebab struktur anarki inilah yang memaksa mereka beraksi dengan cara-cara tertentu. Struktur atau sitem internasional beserta efeknya, pada dasarnya adalah faktor utama yang menentukan tindakan.

Dalam buku Man, the State, and War, Waltz mendefinisikan anarki sebagai sebuah kondisi atas kemungkinan untuk atau penyebab yang memungkinkan terjadinya perang, memperdebatkan bahwa “perang terjadi karena tidak ada yang mencegahnya”. Anarki mungkin bertahan karena Negara-negara ingin mempertahankan sifatnya yang otonom. Hal ini yang pada akhirnya menjadikan kritik Alexander Wendt –seorang konstruktivisme– terhadap Waltz. Anarki menurut Wendt adalah apa yang negara-negara buat sendiri .
Waltz berpendapat perhatian mendasar Negara-negara adalah keamanan dan kelangsungan hidup. Ia juga menganggap bahwa masalah utama konflik Negara berkekuatan besar adalah perang, dan tugas utama hubungan internasional –di anatara Negara-negara berkekuatan besar– adalah perdamaian dan keamanan .

Fokus Waltz dalam neorealismenya adalah bagaimana menciptakan sistem atau mengoperasikan sistem. Berbeda dari Morgenthau yang banyak mengupas sifat alami manusia, khususnya pemimpin negara, Waltz memandang pemimpin negara adalah sekadar tawanan dari struktur sistem negara dan logika determinasinya yang memberikan petunjuk tentang apa yang harus mereka lakukan dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Argumen ini pada dasarnya merupakan teori determinis di mana strukturlah yang menentukan kebijakan.

Fungsi Dasar Negara Sama
Bentuk dasar struktur hubungan internasional menurut Waltz adalah anarki yang tersebar di antara negara-negara. Negara-negara, serupa dalam semua fungsi dasarnya –disamping perbedaan budaya, ideologi, atau konstitusi, atau personal, mereka harus menjalankan tugas-tugas dasar yang sama. Semua negara harus mengumpulkan pajak, menjalankan kebijakan luar negeri, dan sebagainya.

Karena sifatnya yang sama-sama berdaulat, maka menurut Waltz, masing-masing Negara secara formal “sama terhadap yang lain. Tidak ada yang berhak memerintah, tak ada yang perlu dipatuhi”. Dalam hal ini, norma tentang kedaulatan negara seimbang. Bagi Waltz, semua negara adalah sederajat hanya dalam arti legal-formal. Mereka tidak sederajat, bahkan jauh berbeda dalam hal isi atau material.

Fungsi Negara dalam hubungan internasional adalah untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya, juga menjadi salah satu kajian Waltz. Bedanya, jika Morgenthau percaya bahwa para pemimpin Negara merasa wajib melaksanakan kebijakan luar negerinya dengan mengacu pada petunjuk yang digariskan oleh kepentingan nasionalnya, maka hipotesis neorealisme Waltz berkata bahwa setiap pemimpin akan selalu melakukan hal itu secara otomatis.

Konstalasi Dunia Dilihat dari Power
Waltz dalam bukunya The Theory of International Politics (1979) memberikan penjelasan ilmiah tentang sistem politik internasional. Pendekatannya dipengaruhi oleh model ekonomi positivis. Teori terbaik dalam Hubungan Internasional menurut Waltz, memfokuskan dirinya pada struktur sistem, pada unit-unitnya yang saling berinteraksi, dan pada kesinambungan dan perubahan dalam sistem .

Bagi Waltz, sistem internasional terdiri dari sejumlah kekuatan besar, setiap kekuatan itu mencari cara untuk tetap hidup. Dikarenakan sistem internasional bersifat anarki (tidak ada otoritas sentral yang melindungi suatu negara dari negara lain), setiap negara harus tetap survive dengan caranya masing-masing.

Waltz beragumen bahwa kondisi ini akan menjadikan negara yang lebih lemah menjadi kekuatan penyeimbang (tidak hanya sekedar mengikuti negara yang kuat saja) bagi negara rival yang lebih kuat. Hal ini juga berarti tugas negara-negara kuat adalah menjaga perdamaian dan kemanan dunia. Bertentangan dengan asumsi Morgenthau, Waltz mengklaim bahwa sistem bipolar lebih stabil daripada multipolar .

Negara-negara sangat berbeda hanya mengacu pada kapabilitas mereka yang sangat beragam. Mengutip Waltz, unit-unit negara dari sistem internasioanal “dibedakan khususnya oleh besar atau kecilnya kapabilitas mereka dalam menjalankan tugas yang serupa… struktur suatu sistem berubah seiring dengan perubahan dalam distribusi kapabilitas antar unit-unit sistem”. Dengan kata lain, perubahan internasional terjadi ketika Negara-negara besar muncul dan tenggelam, dan dengan demikian kekuatan akan bergeser. Alat-alat yang khas dari perubahan itu adalah perang negara-negara berkekuatan besar .

Negara berkekuatan besar tentu saja akan lebih menentukan dalam pembuatan dan perubahan sistem internasional. Negara-negar berkekuatan besar adalah mereka yang mengatur sistem internasional. Waltz memahami, Negara-negara berkekuatan besar memiliki kepentingan besar terhadap sistem itu. Untuk itu, dia menilai ketertiban internasional lebih mungkin dicapai melalui sistem bipolar.

Waltz membedakan anatara sistem bipolar saat Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dengan sistem multipolar –yang terjadi baik sebelum dan sesuadah Perang Dingin. Waltz yakin, bahwa sistem bipolar lebih stabil dan karenanya menyediakan jaminan perdamaian dan keamana lebih baik dibandingkan dengan sistem multipolar.

Mengapa sistem bipolar dikatakan lebih stabil dibandingkan multipolar? Menurut Waltz, sistem bipolar bersifat superior dibanding multipolar karena menyediakan stabilitas internasional yang lebih besar. Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan stabilitas sistem bipolar. Pertama, jumlah konflik antarnegara berkekuatan besar jauh lebih sedikit, dan hal ini mengurangi jumlah kemungkinan perang antar negara-negara besar. Kedua, lebih mudah menjalankan sistem penangkalan yang efektif sebab lebih sedikit Negara-negara berkekuatan besar yang terlibat. Terakhir adalah kemungkinan salah perhitungan dan salah bertindak lebih rendah. Dengan kata lain, dua super power akan bersaing terus menerus, saling mengoreksi satu sama lain .

”Hanya dengan dua negara berkekuatan besar, keduanya dapat diharapkan bertindak untuk memelihara sistem” kata Waltz .

Strategi Persenjataan Nuklir
Sistem bipolar yang diyakini Waltz lebih menjamin dunia lebih aman harus didukung oleh nuklir sebagai senjata yang mampu menjamin kemanan yaitu karena fungsinya sebagai senjata penghancur missal, yang tentu saja berbeda dengan senjata konvensional modern lain yang dikembangkan setelah perang Napoleon. Tema sentral yang dikembangkan dari Barat adalah konsep penangkalan (deterrence). Inti dari pemikiran tersebut adalah senjata nuklir akan digunakan dengan tujuanmembalas atau serangan lebih awal lawan di mana pembalasan yang akan ditimbulkan tidak sebanding dengan tujuan politik yang ingin dicapai pihak lawan melalui serangan pertama. Karena itulah, senjata nuklir lebih diarahkan untuk serangan kedua karena sifat penangkalannya. Konsep deterrence juga berlandaskan pola doktrin yang dianut Barat yaitu mutual assured destruction yang diartikan sebagai bila terjadi perang nuklir maka kedua belah pihak akan hancur. Karena itulah pengembangan persenjataan nuklir kemudian juga lebih diarahkan kepada tujuan politis daripada tujuan militer secara murni yaitu kemenangan dalam pertempuran. Senjata nuklir kemudian juga digunakan dalam tawar-menawar di bidang politik. Namun, pemikiran itu baru diterapkan AS dab sekutunya ketika mereka tidak memonopoli teknologi tersebut.

AS terkejut dengan keberhasilan Soviet pada masa perang dingin berhasil dalam uji coba senjata balistik antarbenuanya pada 1949 yang diikuti dengan kesuksesan meluncurkan satelit Sputnik pertama pada 1957. Keberhasilan tersebut mengakhiri monopoli kekuatan nuklir AS pad atahun 1945 sekaligus menjadi dasar kepercayaan Uni Soviet untukmengembangkan kekuatan persenjataan nuklir secara besar-besaran hingga mampu bersaing secara ketat dengan AS pada era 60-an dan justru menunjukkan paritas lebih unggul pada dasawarsa 70-an.

Pada saat krisis misil Kuba terjadi, baik di AS maupun Soviet, sama-sama sedang mengembangkan persenjataan nuklirnya. AS meninggalkan starategi massive retaliation (pembalasan secara besar-besaran) yang pada prinsipnya selain digunakan sebagai fungsi penangkalan serangan nuklir terhadap AS, namun juga menangkal setiap bentuk penggunaan kekerasan oleh Negara-negara komunis terhadap Negara lain di dunia.

Strategi tersebut ditinggalkan karena alasan moral dan etik yang mengemuka serta tidak adanya rincian alasan atau dasar yang jelas mengenai kapan nuklir ini akan digunakan. AS kemudian menganut strategy flexible response yang menitikberatkan pada asa keluwesan AS dalam menghadapi ancaman-ancaman keamanan dengan cara menangkal semua bentuk perang baik total maupun terbatas baik nuklir maupun konvensional.

Doktrin yang digunakan adalah counterforce pada tingkat strategis. Doktrin ini menyasar langsung kekuatan militir Soviet dan menjauhkan serangan dari pusat kota yang merupakan pemukiman padat penduduk. Dengan demikian, jumlah korban dari sipil dapat dikurangi. Namun, kelemahan doktrin ini adalah masih menyalahi prinsip mutual assured destruction karena doktrin counterforce masih menggunakan jalan penyerangan pertama. Kemudian, target diarahkan menjadi countervalue yang dihubungkan dengan penyanderaan penduduk dan kota-kota serta kemampuan perekonomian Soviet untuk dihancurkan.

Flexible response menumpukan dirinya pada dua pemikiran dasar. Pertama, dibutuhkan suatu kekuatan nuklir strategis yang memadai guna menangkal kekuatan nuklir Uni Soviet yang sengaja melakukan serangan dengan persenjataan terhadap AS dan sekutunya. Dengan ini, ketangguhan penangkalan terletak pad aprinsip mengenai kehancuran yang meyakinkan (assured destruction) yaitu kemampuan untuk tetap memiliki sejumlah persenjataan strategis yang dapat diandalkan untuk melakukan perlawanan dengan tingkat kerusakan yang dapat diterima bahkan setelah diserang terlebih dahulu. Kedua, karena sifatnya sebagai penangkal, maka penggunaan nuklir harus menjadi jalan terakhir yang bisa ditempuh strategi ini, meski juga harus menangkal serangan yang sifatnya bukan dari nuklir.

Dalam rangka memperkuat startegi ini, AS telah membangun kekuatan strategisnya secara cepat terutama untuk rudal-rudal antabenua dan landas laut. Demikian juga sistem pertahanan antirudal (Anti Ballistic Missile) mengingat Soviet telah melakukan pembangunan besar-besaran di bidang senjata nuklir.

Analisa
Menggunakan paragima neorealis di mana sistem bipolar yang diyakini bisa menjamin sistem kemanan internasional lebih stabil dan melihat bagaimana staregi nuklir digunakan bukan sekadar untuk mencapai kemenangan dalam peperangan melainkan nuklir digunakan demi tujuan-tujuan politik lain, maka kasus krisis misil Kuba ini mudah dibaca cerita akhirnya.

Perang nuklir pun urung terjadi. Pengiriman nuklir Soviet ke Kuba ditujukan bukan untuk tujuan menyerang AS, melainkan sebagai pertahanan Kuba, atau setidaknya bagi Soviet sendiri sebagai dalih demi penyelamatan kepentingan ideologi komunis di Kuba. Namun demikian, AS tetap menganggap senjata-senjata yang dikirim Soviet adalah offensive weapons.

Pada suratnya tanggal 24 Oktober 1962, Nikita Khrushchev terang-terangan menantang Kennedy untuk berfikir dalam cara pandang yang sama, di mana AS tidak bisa melakukan pengehentian pengiriman nuklir di Kuba begitu saja jika dia masih menempatkan rudalnya di Italy, Inggris dan Turki.

Our purpose has been and is to help Cuba, an no one can challenge the humanity of our motives aimed at allowing Cuba to live peacefully and develop as its people desire. You want to relieve your country from danger and this is understandable. However, Cuba also wants this. All countries want to relieve your country from danger. But how can we the Soviet Union and our government, assess your action which, in effect, mean that you have surrounded the Soviet Union with military bases, surrounded our allies with military bases, set up military bases literally around our country, and stationed your rocket weapons at them? This is no secret. High-placed American officials demonstratively declare this. Your rockets are stationed in Britain and in Italy and pointed at us. Your rockets are stationed in Turkey .

Dari pernyataan ini, jelas pihak Kremelin membenturkan apa yang dilakukan AS dengan ancamannya ditanggapi dengan sebuah tantangan ungtuk mau mengoreksi kebijakannya sendiri. Kemudian, Khrushchev melanjutkan penawarannya yang cukup jelas dalam surat tersebut;

We agree to remove those weapons from Cuba which you regard as offensive weapons. We agree to do this and to state this commitment in the United Nations. Your representatives will make a statement to effect that the United States, on its part, bearing in mind the anxiety and concern of the Soviet state, will evacuate its analogous weapons from Turkey. Let us reach an understanding on what time you and we need to put this into effect .

Kennedy akhirnya menanggapi tawaran Soviet;
As I read your letter, the key elements of your proposals--which seem generally acceptable as I understand them--are as follows:
1. You would agree to remove these weapons systems from Cuba under appropriate United Nations observation and supervision; and undertake, with suitable safeguards, to halt the further introduction of such weapons systems in to Cuba. 2. We on our part, would agree--upon the establishment of adequate arrangements through the United Nations to ensure the carrying out and continuation of these commitments--(a) to remove promptly the quarantine measures now in effect and (b) to give assurances against an invasion of Cuba. I am confident that other nations of the Western Hemisphere would be prepared to do likewise .

Pada akhir Oktober, Soviet dan AS memotong kesepakatan satu sama lain kembali pada perundingan meninggalkan Havana. Tanpa menginformasikan pihak Kuba dalam perencanaannya, Soviet setuju untuk mengembalikan rudalnya sementara AS juga mencabut rudalnya di Turki. Sisi lain perundingan yang menarik adalah, Khrushchev meminta dengan hormat kepada AS untuk menghentikan kekerasan di perbatasan dan menghargai kedaulatan Kuba serta berjanji untuk tidak menginvasi Kuba .

Intinya, Kennedy sepakat untuk tidak menginvasi Kuba, tidak akan melemahkan pemerintahan Castro. Selain itu, Amerika Serikat dan Soviet tidak memedulikan pemerintah Castro, serta menetapkan "Lima Poin" untuk mencegah krisis seperti di masa mendatang: sanksi ekonomi, mengakhiri kegiatan rahasia, mengakhiri semua serangan udara, mengakhiri semua perkelahian di atas wilayah udara Kuba, dan kembalinya pangkalan angkatan laut Guantanamo .

Akhir krisis ini membawa kelegaan. Bagi Kennedy, adalah sebuah momentum politik yang dasyat dan penguatan geopolitik. Di mana, Kennedy sukses dalam mengusir Soviet untuk memulangkan rudalnya. Bagi Soviet, juga demikian, dia bisa mengkaliam kemenangan melawan AS dengan melucuti nuklirnya di Turki. Sementara, bagi Fidel Castro, dia hancur dalam menemukan posisinya sendiri, dia digunakan sebagai alat dalam Perang Dingin, pergi tanpa suara dalam resolusi konflik .

Kesimpulan
Krisis misil Kuba yang menjadikan dunia berada di ujung tanduk perang nuklir lewat ketegangan 13 hari di bulan Oktober 1962 membuktikan bahwa dua Negara superpower tidak mudah bagitu saja menggunakan kekuatan nuklirnya. Mereka menyadari sebagai Negara yang memiliki teknologi nuklir, justru memegang kunci penting dalam menjaga perdamaian dunia. Di titik ini, neorealis yang melihat sistem bipolar akan lebih stabil untuk menjaga keamanan internasional terbukti benar.

Jalan damai yang ditempuh Khrushchev dan Kennedy melalui korespondensi surat-menyuratnya membuktikan kembali kekuatan neorealis yaitu meski mereka bisa saja dengan mudah menggunakan kekuatan nuklirnya karena situasi yang sudah sangat mendesak disertai dengan ancaman dari kedua belah pihak, ketegangan dan gesekan sudah semakin mencapai titik kulminasi paling tinggi, tetap saja, aktor-aktor tersebut adalah aktor yang rasional. Mereka pasti belajar dari pengalaman Hiroshima dan Nagasaki serta menghitung dengan cermat resiko apa yang akan terjadi ketika mereka menuruti emosi sesaat baik di pihak AS maupun di pihak Soviet yang terus disulut oleh Castro.

Menurut John Mueller dalam tulisannya Deterrence, Nuclear Weapons, Morality, and War, dia ikut mempopulerkan istilah deterrence by reward atau positive deterrence .

Apa yang terjadi selama krisis misil Kuba, nuklir kedua belah pihak digunakan untuk mendapatkan reward dari masing-masing pihak. Kepentingan AS adalah menyingkirkan misil-misil dari Kuba yang jaraknya hanya 90 mil dengan Miami. Sementara, hal yang sama juga terjadi di pihak Soviet, pengiriman nuklirnya ke Kuba mendatangkan berkah melimpah, yaitu dilucutinya nuklir AS di Turki, dibebaskannya Kuba dari invasi militer dan AS tidak diperkenankan mencampuri lagi urusan rumah tangga Kuba. Kedua belah pihak mengklaim hal ini sebagai sebuah kemenangan yang gilang-gemilang.

Sementara Kuba adalah pihak yang pada akhirnya menelan pil pahit karena tujuan nasionalnya mendapat dukungan penuh dari Soviet dalam melawan imperialis AS menguap tanpa jejak. Sanksi dari AS berupa embargo ekonomi menjadi ‘hukuman abadi’ Kuba. Kuba menjadi alat dalam krisis misil ini bagi dua kepentingan besar superpower.

Meski demikian, Castro adalah sosok yang penuh integritas terhadap ideologi yang diyakininya benar. Dia tetap tidak tunduk dan terus tidak percaya bahwa AS tidak akan campur tangan terhadap apa yang terjadi di negaranya. Bagi Castro pilihanya cukup jelas Socialismo o Muerte (dari bahasa Spanyol: sosialisme atau mati).


Revolusi Persenjataan Masa Perang Dingin


Oleh: Awigra, Elfitri, Sabriana,

Perkembangan senjata berjalan seiring dengan perkembangan tingkat peradaban manusia. Kalimat tersebut mengandung dua titik tekan, pertama perkembangan senjata itu sendiri dari waktu ke waktu dan kedua hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari situasi (konteks) yang melatarbelakangi dibuatnya senjata tersebut dan untuk kepentingan apa. Bahkan, dalam salah satu sesi kuliah revolusi persenjataan disimpulkan bahwa pencapaian peradaban tertinggi umat manusia justru terfragmen dalam pembuatan senjata, in a matter of survive.

Paper Revolusi Persenjataan Masa Perang Dingin pertama-tama ingin mengupas konteks perang dingin terlebih dahulu untuk kemudian membahas senjata apa saja yang lahir dari situasi Perang Dingin tersebut. Tanpa terlebih dahulu mengupas secara detail mengenai apa-apa saja yang terjadi selama Perang Dingin, pembahasan mengenai persenjataan pada periode tersebut akan kering makna dan jelas akan kehilangan konteks situasi yang melatarbelakangi.

Perang dingin kerap disebut banyak orang sebagai masa berakhirnya perang dunia II sampai runtuhnya tembok berlin pada 1989. Meski tidak ada perang secara langsung antara AS dan Uni Soviet, pada masa perang dingin terjadi beberapa kali perang di negara-negara periphery kedua superpower itu. Perang dingin sendiri berlangsung selama 4 dekade. Dari tahun 1947 sampai 1989. Puncaknya terjadi pada 1947-1963, ketika di sana ada ketegangan negosiasi antara AS dan Uni Soviet.

Menurut Joseph S. Nye dalam bukunya Understanding International Conflict menjelaskan apa yang membuat perang dingin menjadi begitu luar biasa adalah bahwa ada periode ketegangan yang berlarut-larut dan tidak berakhir dalam perang antara dua negara saingan.

Tiga pendekatan Perang Dingin
Masih menurut Nye, terdapat 3 pendekatan dalam melihat Perang Dingin: tradisionalis, revisionis, dan pascarevisionis. Kaum tradisionalis (Juga dikenal sebagai Ortodoks) berpendapat bahwa jawaban untuk pertanyaan siapa yang memulai Perang Dingin berhenti sederhana: Stalin dan Uni Soviet. Pada akhir Perang Dunia II, Amerika diplomasi defensif, sementara Soviet agresif dan ekspansif. Amerika hanya pelan-pelan terbangun sifat ancaman Soviet .

Apa bukti yang mendukung kaum tradisionalis? Segera setelah perang, Amerika Serikat itu mengusulkan tatanan dunia yang universal dan kolektif keamanan melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Uni Soviet tidak mengambil PBB sangat serius karena ingin memperluas dan mendominasi sendiri pengaruh di wilayahnya Eropa Timur. Setelah perang, AS menarik pasukannya, sedangkan Uni Soviet meninggalkan pasukan dalam jumlah besar di Eropa Timur. AS mengakui kepentingan Uni Soviet, misalnya, ketika Roosevelt, Stalin dan Churchill bertemu pada bulan Februari 1945 di Yalta, Amerika keluar dari jalan mereka untuk mengakomodasi kepentingan Soviet. Stalin, bagaimanapun, tidak memenuhi perjanjian mereka, terutama dengan tidak membolehkan pemilihan bebas di Polandia.

Ekspansionisme Soviet dikonfirmasi lebih lanjut ketika Soviet lambat dalam menarik pasukannya dari utara Iran setelah perang. Hanya di bawah tekanan dari PBB, Soviet akhirnya pelan-pelan menarik pasukannya dari sana. Pada tahun 1948, komunis Cekoslowakia mengambil alih pemerintah. Uni Soviet memblokade Berlin pada 1948 dan 1949, berusaha untuk menekan pemerintah Barat untuk keluar. Pada tahun 1950, komunis tentara Korea Utara melintasi perbatasan ke Korea Selatan. Menurut kaum tradisionalis, peristiwa ini secara bertahap membangunkan Amerika Serikat untuk bangun dari ancaman ekspansi Uni Soviet dan diluncurkanlah Perang Dingin.


Kaum revisionis, terutama banyak menulis pada 1960-an dan awal 1970-an, percaya bahwa Perang Dingin disebabkan oleh orang Amerika daripada ekspansionisme Soviet. Bukti adalah bahwa pada akhir Perang Dunia II, dunia tidak benar-benar bipolar - Soviet jauh lebih lemah dari AS, yang memiliki senjata nuklir sementara Soviet tidak. Kehilangan Soviet hingga 30 juta orang, dan produksi industri hanya setengah dari tingkat 1939. Stalin kepada Duta Besar Amerika Averell Harriman pada Oktober 1945 mengatakan Soviet akan berpaling ke dalam untuk memperbaiki kerusakan domestik. Terlebih lagi, kata para revisionis, perilaku eksternal Stalin di awal periode pasca perang cukup moderat; di Cina, Stalin berusaha untuk menahan komunisnya Mao Zedong ketimbang mengambil kekuasaan; dalam perang saudara Yunani, ia menahan laju komunis di Yunani, dan ia membiarkan non-pemerintah komunis ada di Hungaria, Cekoslovakia, dan Findland.

Revisionis datang dalam dua varsi; "soft" dan "hard". Soft revisionis menekankan pentingnya individu mengklaim bahwa kematian Roosevelt pada April 1945 adalah peristiwa yang kritis karena kebijakan Amerika menjadi lebih keras setelah Presiden Harry S. Truman menjabat. Mei 1945, AS secara drastis memotong bantuan program sewa tanah selama masa perang di mana beberapa kapal perang menuju pelabuhan Soviet harus berbalik di midocean. Pada Konferensi Potsdam dekat Berlin pada Juli 1945, Truman mencoba mengintimidasi Stalin dengan menyebutkan bom atom. Di AS, Partai Demokrat secara bertahap bergeser dari tengah kiri dan ke kanan. Pada tahun 1948, Truman memecat Henry Wallace, sekretarisi pertanian, yang mendesak hubungan lebih baik dengan Uni Soviet. Pada saat yang sama, James Forrestal, Truman menteri pertahanan baru, adalah seorang antikomunis yang kuat. Soft revisionis mengatakan perubahan personel ini membantu menjelaskan mengapa AS menjadi sangat anti-Soviet.

Hard Revisionis memiliki jawaban yang berbeda. Mereka melihat tidak masalah dalam individu, tetapi dalam sifat kapitalisme AS. Gabriel dan Joyce Kolko dan William A. Williams, misalnya, berpendapat bahwa diperlukan ekspansi ekonomi Amerika dan bahwa AS merencanakan untuk membuat dunia aman, bukan untuk demokrasi, tapi untuk kapitalismenya. Hegemoni ekonomi AS tidak bisa mentolerir negara semut yang mungkin mencoba untuk mengatur ekonomi otonomi daerah. Pemimpin AS takut mengulang tahun 1930-an karena tanpa perdagangan eksternal, akan ada depresi besar. Marshall Plan ke Eropa hanyalah sebuah cara untuk memperluas ekonomi AS. Soviet benar menolak itu sebagai ancaman terhadap lingkungan pengaruh mereka di Eropa Timur. Meminjam kata-kata William, AS selalu disukai kebijakan pintu terbuka dalam bidang ekonomi internasionalnya karena diharapkan dia bisa berjalan melewatinya.

Postrevisionists muncul pada akhir 1970-an dan 1980-an, tokohnya adalah John Lewis Gaddis, yang mempunyai penjelasan lain. Dia berpendapat, tradisionalis dan revisionis sama-sama salah karena tidak ada yang harus disalahkan siapa yang memulai Perang Dingin. Tidak bisa dihindari, atau hampir jadi, karena struktur keseimbangan kekuasaan bipolar pascaperang. Pada tahun 1939, adalah sebuah dunia multipolar dengan tujuh negara besar, tetapi setelah penghancuran Perang Dunia II, hanya dua negara adidaya yang tersisa; Amerika Serikat dan Uni Soviet. Bipolaritas ditambah kelemahan sesudah perang negara-negara Eropa menciptakan kekosongan kekuasaan di mana AS dan Uni Soviet ditarik. Mereka terikat untuk datang ke dalam konflik dan, karenanya, mengatakan postrevisionists, itu gunanya untuk mencari menyalahkan.

Tujuan dari perang dingin antara AS dan Uni Soviet berbeda. AS mengehendaki kemenangan intangible seperti menguatnya peran PBB, dan sebagainya atau sering disebut Mileu Goals, sementara Soviet tangible, yaitu teritori di Eropa Timur. Meski demikian, AS juga menginkan perluasan pengaruhnya di Eropa Barat. Mereka sama-sama ekspansi, itu menurut postrevisionists, bukan sekadar untuk kemenagan atau dominasi ekonomi, tapi juga karena the age-old security dilemma dari sistem yang anarki. 


Pemimpin Yugoslavia, Milovan Djilas pada 1945 dengan cermat mengilustrasikan jalannya perang dingin seperti ini, “Perang ini tidak seperti perang terdahulu, siapapun yang menguasai wilayah akan memaksakan sistem sosialnya sendiri. Setiap orang memaksakan setiap sistemnya sejauh pasukannya dapat menguasainya.” Dengan kata lain, ideologi dunia bipolar, negara menggunakan kekuatan militernya untuk memaksakan sosialita yang sama dalam rangka menjamin keamanannya.

Fase konflik
Nye mengelompokan periodesasi konflik masa Perang Dingin ke dalam tiga fase . Tahun 1945-1947 disebut tahap permulaan (the gradual onset); 1947-1949 deklarasi perang dingin, dan 1950-1962 adalah puncak perang dingin.

Tidak di antara Stalin maupun Truman yang menginginkan perang dingin. Akhir PD 2, Truman mengirimkan mantan ajudan Roosevelt, Herry Hopkins ke Moskow untuk melihat beberapa persetujuan yang dapat diselesiakan. Meski setelah Potsdam Conference, Truman melihat Stalin sebagai seorang moderat. Ada beberapa isu yang berkontribusi terhadap berubahnya strategi AS dan yang membuat perang dingin;

Pertama adalah Polandia dan Eropa Timur. Polandia jelas adalah negara yang berpartisipasi menyebabkan terjadinya PD 2, AS percaya, Stalin menghancurkan komitmen untuk menyelenggarakan pemilu yang bebas di Polandia setelah perang. Ketika Stalin dan Roosevelt bertemu di Teheran tahun 1943, Roosevelt mengangkat isu Polandia, tapi dia memohon kepada Stalin dalam konteks pemilu AS 1944. Dia menjanjikan akan segera dibuat pemilu di mana di sana ada banyak pemilih Polish-American, dan ia ingin mengatakan kepada mereka akan ada pemilu setelah perang. Stalin yang tidak pernah khawatir dengan pemilu di Uni Soviet, mengabaikan apa yang menjadi keprihatinan utama Roosevelt. Februari 1945 kesepakatan Yalta menjadi ambigu, dan Stalin menarik arti sejauh ia dapat buat yaitu dengan membentuk pemerintahan boneka di Warsawa setelah Soviet menarik pasukannya keluar dari Jerman. Amerika merasa tertipu, tetapi Stalin merasa, AS harus menyesuaikan dengan realitas bahwa apa yang dilakukan Soviet adalah untuk membebaskan Polandia. Mei 1945, program bantuan dihentikan, dan hubungan ekonomi kedua negara menjadi tegang. Apalagi, Februari 1946, AS menolak permohonan bantuan Soviet.

Jerman adalah persoalan selanjutnya. Dalam pertemuan Yalta, AS dan Soviet sepakat Jerman harus membayar $ 20 milyar untuk biaya reparasi, yang separuhnya harus diberikan kepada Soviet. Detail mengenai pembayarannya memang tidak dibahas di Yalta, meski kedua belah pihak sepakat akan dinegosiasikan selanjutnya. Dalam pertemuan di Potsdam, Soviet meminta $ 10 milyar; yang dimintanya dari Jerman barat, daerah yang sedang diokupasi AS, Inggris dan Prancis. Truman khawatir bagaiana Jerman dapat merekonstruksi jika Soviet meminta $ 10 milyar keluar dari Jerman. Seharusnya diambil dari Jerman Timur, daerah yang diokupasinya. Selanjutnya ada beberapa divisi antara AS dan Soviet tentang bagaimana membangun Jerman. AS bersama Prancis dan Inggris membangun mata uang tunggal di wilayah barat untuk memulai proses integrasi Jerman. Sementara Soviet mengencangkan kontrol atas wilayah timur. 


Asia timur juga menjadi penyebab berikutnya. Soviet adalah pihak yang netral dalam perang Pasifik sampai minggu terakhir perang. Lalu, Soviet mendeklarasikan perang terhadap Jepang untuk memperlebar Manchuria dan 4 pulau di utara Jepang. Di Potsdam, Soviet mengatakan okupasinya di Jepang mirip okupasi AS di Jerman. Situasi ini mengingatkan pada kejadian di Eropa timur di mana ketika AS mengharapkan pemilu yang bebas, dan di sana Soviet terlebih dahulu mengrimkan pasukannya. Jadi, Soviet melihat situasi di Timur jauh sebagai analog dari Eropa Timur, dan ketika AS melihatnya sebagai contoh lain dari tekanan Soviet dalam memperluas ekspansinya.

Persoalan selanjutnya adalah bom atom. Ketika AS mengajukan Baruch Plan untuk PBB tahun 1946 untuk mengontrol senjata nulir, Stalin menolak dengan alasan dia akan membangun bom sendiri. Dalam pandangannya, bom di bawah control internasional akan tetap menjadi bom AS karena untuk AS tahu bagamana membuatnya. Jauh lebih baik ketika pihak keamanan Soviet untuk memiliki sendiri.

Isu selanjutnya adalah Mediteranian Timur dan Timur Tengah. Pertama, Soviet menolak untuk memindahkan pasukannya dari wilayah utara Iran pada Maret 1946. AS mendorong Iran dalam debat di PBB. Sesekali Soviet keluar dari wilayah tersebut namun malah kemudian menduduki Turki, tetangganya di selatan, sementara partai komunis Yunani memenangkan perang sipil di Yunani. Sekali lagi, barat meyakini hal tersebut adalah upaya Soviet dalam melakukan ekspansi komunis. Pada Juni 1946, Maxim Litvinov, former Menlu Soviet mengatakan akar ketegangan ini berawal dari “Ideologi dunia antara Kapitalis dan Komunis”.

Fase kedua adalah 1947-1949. Mengikuti persoalan di Yunani dan Turki, atas dorongan Inggris AS akhirnya mengubah posisinya dari prinsip isolasionis setalah perang menjadi misi moral pembebasan atau yang kerap disebut sebagai Truman Doctrine.


Juni 1947 Sekertaris Negara George Marshall mengumumkan rencana untuk bantuan ekonomi di Eropa. Proposal tersebut mengundang Soviet dan Eropa Timur untuk bergabung jika mereka berniat, tetapi Stalin melakukan tekanan yang kuat kepada Eropa Timur untuk tidak melakukan hal tersebut. Stalin melihat, Marshall Plan bukan lahir dari kebaikan hati AS, tetapi adalah sebuah muslihat untuk mengoyak batas keamanan Eropa Timur. Ketika Ceko terndikasi menginginkan bantuan tersebut, Soviet mengencangkan tekanannya di Ceko dan rezim komunis mengambil alih kekuatan pada Februari 1948.

Ketika AS mempercepat rencananya untuk reformasi mata uang di Jerman Barat, Stalin membalasnya dengan membuat blockade di Berlin. Truman menilai Stalin lama-kelamaan bisa seperti Hitler baru, maka ia akhirnya sepakat membentuk pakta pertahanan atlantik utara (NATO).

Yang mengejutkan dari fase ini adalah saat 2 kejadian yang terjadi pada 1949; Uni Soviet melakukan uji coba bom atom dan Partai Komunis Cina mengambil kendali di Cina. Perang Korea akibat intervensi Uni Soviet juga menjadi bagian dari akhir fase ini.

Debat antara Truman Doctrine dan prinsip containment menjadi semakin memanas ketika Yugoslovakia mengumumkan dirinya sebagai Negara komunis di bawah Josef Tito. Tahun 1948, Tito membagi dengan Stalin melalui pengaruh Soviet dalam mengontrol kebijakan luar negerinya, termasuk dukungannya kepada partai komunis di Yunani. Dalam pandangan ideologi containment, AS tidak menolong Yugoslovakia karena dia komunis, tetapi dalam cara pandang containment dalam balance of power Yugoslovakia harus ditolong karena pengaruh komunis yang rendah di Negara tersebut.

Kegagalan paradigma containment terjadi saat perang Korea dan Perang Vietnam. Alih-alih untuk membendung pengaruh komunisme di Korea containment menjadi sekadar retorika pasca China masuk dengan ideologi monolitik komunisme.

Maka, pada 1952, pasca terpilihnya Dwight Eisenhower sebagai Presiden AS, dia menghapus seluruh kebijakan containment. Karena menurutnya, containment hanya sekadar akomodasi terhadap komunisme. Dia ingin memukul mundur komunisme meski perang nuklir harus menjadi resikonya. Pasca meninggalnya Stalin pada 1953, ketegangan menurun.

Di bawah Khrushchev Soviet menegaskan tidak ingin berperang! Meski diketahui umum pada masa selanjutnya terdapat krisis misil Kuba yang kembali meningkatkan ketegangan kedua superpower. Namun, pasca kejadian itu, ketegangan berangsur pudar dan negosiasi damai berjalan mulus. Masa itu adalah tahun 1963-1978 yang kerap disebut gradual détente atau masa relaksasi. Negosiasi arm control antara AS dan Soviet dituangkan dalam the Limited Test Band Treaty yang membatasi persebaran tes atom nuklir pada 1963 dan pada 1968 Non-Proliferation Treaty dibuat.

Pada masa 1969-1974, Nixon mengejar tujuan dari containment dengan membangun dan dan memperoleh kesimbangan dalam senjata nuklir. Strategi Nixon di antaranya (1) negosiasi strategi arm control; (2) membuka hubungan diplomatik dengan China; (3) meningkatkan perdagangan untuk mempererat hubungan AS-Soviet; (4) mencari ketersambungan untuk melakukan berbagai kerjasama. Masa détente tidak berlangsung lama karena adanya konflik di Angola, Ethopia, dan Afganistan yang melibatkan Soviet. Dan ketika itu Soviet meningkatkan anggaran belanja negaranya sampai 4 persen untuk kebutuhan miliiternya.

Sampai pada masa akhir perang dingin di mana Uni Soviet tidak lagi memberikan dukungan kepada partai komunis di Jerman Timur pada 1989. Jawaban akhirnya mengapa Perang Dingin berakhir? Karena strategi containment berjalan, demikian penjelasan George Kennan. Jawaban lain datang dari Paul Kennedy yang berpendapat “imperial overstretch”.

Alutista Rusia
Peran Uni Soviet dalam konfrontasi dengan Barat di masa Perang Dingin dilihat dalam perlomabaan senjata khususnya di bidang nuklir. Dalam perlombaan senjata ini, doktrin yang terkenal adalah mengenai Mutual Assured Destruction (MAD). Doktrin MAD menggambarkan konfrontasi antara Uni Soviet (Blok Timur) dengan Amerika (Blok Barat) yang masing-masing memiliki kekuatan alutsista yang bersifat destruktif yang pada akhirnya berpotensi membuat kehancuran pada kedua blok tersebut.

Uni Soviet menyadari memanasnya suhu politik dari munculnya doktrin MAD tersebut dan oleh sebab itu para pemimpin Uni Soviet pasca-PD II menekankan peningkatan teknologi alutsista pertahanannya. Uni Soviet berhasil meningkatkan teknologi persenjataan sistem pertahanannya khususnya nuklir yang menjadi indikasi perimbangan kekuaatan alutsista terhadap Amerika dan sekutunya.

Perbedaan signifikan perlombaan senjata di masa Perang Dingin adalah bahwa kedua blok berusaha melakukan penangkalan (Deterrence) aga tidak terjadi konfrontasi senjata secara nyata yang berpotensi memunculkan Perand Dunia III. Penangkalan bagi Uni Soviet adalah suatu “amunisi” untuk menjaga kemungkinan terjadinya perang. Kekuatan nuklir pun ditingkatkan. Pada masa kepemimpinan Kruschev, senjata nuklir menjadi sebuah kebutuhan strategis dalam rangka mengimbangi dan meningkatkan alutsista Uni Soviet terhadap Amerika.

Teknologi nuklir Uni Soviet yang dikembangkan sebagai hulu ledak digunakan sebagai reactor untuk kapal perang seperti kapal selam jenis Typhoon yang menjadi andalan kapal selam nuklir Uni Soviet pada masa itu. Typhoon dibuat di sebuah galangan kapal terbesar dunia, di Severodvinsk. Typhoon mampu menangkal torpedo kapal lawan karena ia memiliki tubuh rangkap serta 20 unit rudal balistik SSN 20 Stugeorr. Dengan perangkat persenjataan yang ada di dalamnya, rudal-rudal Typhoon dapat mengenai kota-kota di Amerika.

Delta juga menjadi salah satu kapal selam berbahan nuklir yang menjadi gambaran dalam peningkatan alutsista pertahanan Uni Soviet di masa Perang Dingin. Delta memiliki 16 pelontar rudal balistik SSN 18 Stingray yang juka memiliki beberapa varian. Dibuat pada tahun 1972, Delta menjadi “spionase” Uni Soviet yang sering terlihat Amerika berada di sekitar Antartika dan Pasifik.

Di bidang persenjataan darat, Uni Soviet juga mengembangkan senapan serbu serta sniper. Diantara senapan Uni Soviet yang terkenal adalah AK 47. AK 47 yang merupakan senapan serbu yang dibuat oleh Mikhail Kalashnikov terus dikembangkan dan diperjuan-belikan hingga saat ini baik secara legal maupun illegal. Dibuat pada tahun 1947 yang menjadi akronim dari AK 47 itu sendiri (Avtomat Kalashnikov 47 yang dalam bahasa Rusia artinya senapan Kalashnikov yang dibuat tahun 1947).

Dalam perkembangannya AK 47 memiliki varian yang diberi nama AKM (Avtomat Kalashnikov Modernizirovanny/ Senapan Kalashnikov Modern) yang berbeda dalam detail senapannya dengan AK 47. AKM, yang dibuat tahun 1950, diproduksi lebih banyak daripada AK 47 dan lebih akurat dalam membidik objek yang menjadi targetnya. Selain AK 47 dan AKM, variant baru muncul dengan nama AK 74 yang memiliki lubang peluru lebih kecil dengan senjata pendahulunya tersebut, yaitu sekitar 5,45 x 39 mm (AK 47 dan AKM memiliki lubang peluru yang lebih besar sekitar 7,62 x 39 mm). AK 74, yang merupakan pengembangan dari AKM, memiliki selektor tembakan (selective-fire) kaliber peluru menengah.

Selain senapan serbu jenis AK, Uni Soviet juga turut mengembangkan sniper jenis SVD. Snayperskaya Vintovka Dragunova atau disingkat SVD merupakan senapan semi-otomatis yang dirancang oleh Evgeniy Fedorovich Dragunov tahun 1958. SVD menjadi senapan pertama yang dikhususnkan untuk penembak jitu.

Pada awal dirancangnya, SVD memiliki popor, pegangan belakang dan depan yang terbuat dari kayu yang sudah dilaminating. Namun kayu SVD ini memiliki kelemahan yaitu dapat berwarna kuning terang yang menyolok jika senjata lawan memiliki night vision. Oleh sebab itu, SVD, yang dibuat pada sekitar tahun 1990-an, dimodifikasi dengan polimer hitam untuk menyamarkan warna kuning tersebut jika terkena night vision.

Dalam kaitannya dengan udara, militer Uni Soviet memiliki dua bagian yaitu Pertahanan Udara dan Angkatan Udara. Pertahanan Udara bertugas untuk memperingati pemerintah jika negara dalam bahaya. Pertahanan Udara tersebut menyiapkan radar, misil udara yang tersebar di seluruh Uni Soviet. Sedangkan Angkatan Udara bertugas untuk menjaga pertahanan udara melalui penerbang jarak jauh, transportasi udara, dan penerbang frontal. Khusus untuk penerbang frontal digunakan jika ada musuh eksternal yang merupakan pesawat spionase negara lain yang masuk dalam wilayah Uni Soviet.

Untuk Pesawat Pengebom, Uni Soviet mengembangkan pesawat Jenis Tupolev 160, dan untuk alutsista Uni Soviet lainnya khususnya sebagai inventaris Angkatan Udaranya antara lain 200 bomber strategis, 150 Tupolev Tu-95 Bear, 150 Tupolev Tu-95 Bear,
35 Tupolev Tu-160 Blackjack, 35 Tupolev Tu-160 Blackjack, 15 Myasishchev M-4 Bison, 15 Myasishchev M-4 Bison, 550 media pembom, 155 Tupolev Tu-22M Backfire 155 Tupolev, Tu-22M menjadi bumerang, 260 Tupolev Tu-16 Badger, 260 Tupolev Tu-16 Badger, 135 Tupolev Tu-22 Blinder 135 Tupolev Tu-22, 2830 pejuang, 610 Sukhoi Su-27 Flanker, 610 Sukhoi Su-27 Flanker, 790 Mikoyan-Gurevich MiG-29 Fulcrum, 790 Mikoyan-Gurevich, MiG-29 Fulcrum, 450 Mikoyan-Gurevich MiG-31 Foxhound, 450 Mikoyan-Gurevich MiG-31 Foxhound, 570 Mikoyan-Gurevich MiG-23 Flogger, 570 Mikoyan-Gurevich MiG-23 Flogger, 260 Sukhoi Su-15 Flagon, 260 Sukhoi Su-15 botol anggur, 105 Mikoyan-Gurevich MiG-25, Foxbat 105 Mikoyan-Gurevich MiG-25, 20 Tupolev Tu-128 Fiddler, 20 Tupolev Tu-128 Fiddler, 20 Yakovlev Yak-28 Firebar, 20 Yakovlev Yak-28 Firebar, Serangan 2.705 pesawat, 770 Sukhoi Su-24 Fencer, 770 Sukhoi Su-24 Fencer, 210 Sukhoi Su-25 Frogfoot, 210 Sukhoi Su-25 Frogfoot, 830 Mikoyan-Gurevich MiG-27 Flogger, 830 Mikoyan-Gurevich MiG-27 Flogger, 895 Sukhoi Su-7 Fitter-A dan Sukhoi Su-17 Fitter-C, 895 Sukhoi Su-7 Fitter-A dan Sukhoi Su-17 Fitter-C, 84 tanker, 34 Ilyushin Il-76 Midas 34 Ilyushin Il-76 Midas, 30 Myasishchev M-4 'Molot' Bison 30 Myasishchev M-4 'Molot' Bison, 20 Tupolev Tu-16 Badger, 20 Tupolev Tu-16 Badger, 40 AWACS, 40 Beriev A-50 Mainstay, 40 Beriev A-50 Mainstay, 658 taktis pengintai dan ECM pesawat, 65 Mikoyan-Gurevich MiG-21 Fishbed 65 Mikoyan-Gurevich MiG-21, 195 Mikoyan-Gurevich, MiG-25 Foxbat, 195 Mikoyan-Gurevich MiG-25, 65 Sukhoi Su-24 Fencer, 65 Sukhoi Su-24 Fencer, 195 Yakovlev Yak-28 Brewer, 195 Yakovlev Yak-28 Brewer, 260 penginta strategis dan pesawat ECM, 115 Tupolev Tu-16 Badger, 115 Tupolev Tu-16 Badger, 15 Tupolev Tu-22 Blinder, 15 Tupolev Tu-22, 4 Tupolev Tu-95 Bear, 4 Tupolev Tu-95 Bear, 02 Yakovlev Yak-28 Brewer, 102 Yakovlev Yak-28 Brewer, 24 Mikoyan-Gurevich MiG-25 Foxbat, 24 Mikoyan-Gurevich MiG-25, 3.050 helikopter, 1.500 helikopter pelatih dan latihan, 615 pesawat angkut, 40 Antonov An-124 'Ruslan' Condor 40 Antonov An-124 'Ruslan' Condor, 55 Antonov An-22 'Antey' Cock, 55 Antonov An-22 'Antey' Cock, 210 Antonov An-12 Cub, 210 Antonov An-12 Cub, 310 Ilyushin Il-76 Candid 310 Ilyushin Il-76 Candid, 2.935 pesawat angkut lainnya, biasanya Aeroflot pesawat yang mudah dikonversi

Sebagai gambaran umum mengenai Alutsista Uni Soviet masa Perang Dingin secara keseluruhan adalah sebagai berikut :
Uni Soviet 1989: Personel aktif (dalam juta) 5,1, Persentase alokasi sektor pertahanan dalam GDP 13-17, Angkatan Darat (dalam jumlah) Divisi 214 Brigade terpisah dalam divisi 11 Divisi Artileri 18 Regimen helikopter serang, 20 Tank 58.300 Kendaraan infanteri/ Alat pengangkut berlapis baja 64.000, Artileri tetap/ bergerak 38.000, Helikopter serang 1.500, Angkatan Udara (jumlah pesawat), Pertahanan Udara 2.300 Pesawat tempur taktis 1.900, Pesawat serang darat/pengintai 2.900, Pesawat Angkut Strategis 600. Angkatan Laut (dalam jumlah) Kapal pengangkut kecil 4, Kapal selam 263, Kapal tempur permukaan 268, Kapal pendaratan ampibi 80

Alutista AS
Perang dingin antara dua negara adidaya ditandai oleh perimbangan persenjataan nuklir dan personil militer. Perang dingin juga menimbulkan perlombaan senjata antara pihak Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Walaupun kedua belah pihak saling berlomba untuk menciptakan senjata yang paling mutakhir namun keduanya tidak pernah terlibat dalam perang terbuka. Senjata-senjata yang dikembangkan kedua belah pihak justru dipakai oleh negara ketiga. Jika ada konflik yang terjadi maka negara-negara tersebut akan mengunakan senjata dari salah satu pihak baik Amerika Serikat maupun Uni Sovyet.

Adapun senjata-senjata yang dikembangkan selam masa Perang Dingin merupakan cara masing-masing pihak untuk menunjukkan kekuatannya. Dan dari sekian banyak senjata yang muncul pada periode Perang Dingin, makalah ini akan menyajikan beberapa senjata saja.Pada persenjataan darat, Amerika Serikat memiliki M16.

Awalnya pemerintah Amerika (US ARMY - Operations Research Office, ORO) melakukan riset sekitar awal tahun 50an tentang Perang Dunia II. Salah satu penelitian pertama mereka adalah menganalisa lebih dari tiga juta laporan medan Perang Dunia II. Kesimpulan yang mereka dapat adalah bahwa sebagian besar pertempuran terjadi pada jarak dekat.

Langkah selanjutnya mereka melakukan penelitian tentang peluru kaliber lebih kecil dari pada peluru yang digunakan pada PD II, dan mereka mendapatkan bahwa ternyata peluru dengan ukuran 5,59mm – 5,56 efeknya hampir sama dengan kaliber besar. Setelah sersoalan peluru selesai tinggal pemilihan senjata yang tepat untuk penggunaan peluru kaliber 5,56mm tersebut. Ada beberapa senjata yang diuji seperti AR-10, M14, AR-15 yang diproduksi oleh Colt Firearms setelah membeli lisensi dari Eugene Stoner, ArmaLite. AR-15 selanjutnya dikembangkan lagi menjadi XM16E1 atau yang lebih dikenal dengan M16.

Ketangguhan M16 langsung diuji pada rimba raya perang Vietnam, M16 harus berhadapan dengan ketangguhan AK47 yang handal disegala medan. Penyakit M16 pun bermunculan, seperti sering macet ketika menembak dengan frekwensi tinggi, ada kasus laras M16 bengkok ketika laras senjata panas ketika digunakan dalam waktu lama / menembak dengan frekwensi tinggi dan M16 tidak begitu bersahabat dengan air. Walaupun butuh waktu mengatasi masalah kemacetan senapan sewaktu latihan bertempur di awal 1960, M16 membuktikan kehandalannya lewat akurasi, penanganan, masa digunakan, serta keefektifan dalam perang. Senapan M16 memuaskan petinggi militer AS untuk mengembangkan senapan serbu yang ringan untuk menggantikan M1 dan M14. Fitur inovatifnya meliputi bahan campuran plastik dan logam ringan, sistem reload (mengisi ulang peluru) yang mudah dan penggunaan peluru kaliber 5.56mm.

Perlombaan senjata yang dilakukan kedua blok tersebut juga berupa perlombaan senjata nuklir. Perlombaan senjata nuklir ini dikhawatirkan akan menyebabkan meletusnya perang nuklir yang dasyat yang dapat membahayakan kelangsungan hidup umat manusia dan makhluk hidup lainnya di dunia sebab jangkauan senjata nuklir sangatlah luas bisa menjangkau antarnegara dan antarbenua.

Sebuah senjata nuklir memanfaatkan energi yang dilepaskan dalam suatu proses fisi atau fusi nuklir. Di dalam proses fisi, satu inti atom membelah menjadi dua inti atom yang massanya lebih ringan dan menghasilkan energi. Senjata yang diciptakan dari reaksi fisi ini biasanya disebut bom atom.

Dua bom atom yang pernah benar-benar digunakan dalam perang adalah Little Boy dan Fat Man. Kedua bom atom ini dijatuhkan dari Bomber B-29 di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang pada Perang Dunia II. Kedua bom atom awal ini memiliki ukuran yang besar sehingga satu B-29 hanya mampu mengangkut satu bom atom.

B-29 bomber, diproduksi oleh Boeing Aircraft Company selama perang, adalah yang pertama jangka panjang pembom berat yang digunakan oleh Amerika Serikat. Segera pasca-Perang Dunia II, pembom Inventaris host B-29 Superfortress. Pada tahun 1946, Soviet mulai desain pembom jangka panjang mereka Tu-4, dimodelkan secara langsung pada B-29 yang ditangkap selama 1944. B-29 adalah pesawat pertama Perang Dingin, dan bahkan sampai akhir tahun 1948, Angkatan Udara hanya memakai 60 dari pesawat untuk membawa bom atom. B-29 adalah pesawat jarak jauh yang merevolusi perang udara, pesawat hanya bisa terbang pada koridor satu cara, dan tidak bisa mencapai jarak yang sangat jauh. Meski harus setengah mati untuk membuat B-29 yang berat ini untuk mengangkasa hingga ketinggian 40.000 kaki, sekali dia di atas sana tidak ada satupun yang sanggup mencapainya atau di kecepatan 350 mil-per-hour, mampu mengejarnya. Bahkan jika ada yang dibuat untuk mendekatinya, pertahanannya yang mumpuni dapat melumpuhkannya. Dipersenjatai dengan banyak peralatan impresif, pesawat ini tetap dioperasikan hingga masa perang Korea.

Selain bomber B 29, Amerika Serikat juga memiliki pesawat tempur F-16.
Dianggap oleh banyak pihak untuk menjadi yang terbaik saat ini di semua Sevice tempur, F-16 adalah salah satu desain yang paling populer di dunia. F-16 pada awalnya dibuat di bawah Light Weight Fighter (LWF) program awal 1970-an yang mencari mitra yang lebih murah dari F-15 yang dioptimalkan untuk manuver dan misi serangan taktis. Didorong oleh kepentingan asing dalam suatu model produksi, LWF berubah menjadi Air Combat Fighter (ACF) program dan akhirnya menjadi kompetisi terbang mengalahkan antara General Dynamics YF-16 dan Northrop's YF-17. General Dynamics dinobatkan sebagai pemenang pada tahun 1975 dan diberi kontrak untuk mengembangkan produksi F-16. Angkatan Udara Amerika Serikat berencana membeli sampai dengan 650 sebagai pengganti bagi F-105 dan sebagian armada F-4 sementara beberapa sekutu-sekutu NATO membeli F-16 sebagai pengganti F-104.

Meskipun awalnya diramalkan terutama sebagai platform serangan darat dengan kemampuan pertahanan udara sekunder, F-16 kemudian muncul sebagai yang sangat mampu pesawat multi-peran. Desain bentuk melengkung variabel menggunakan sayap dan strakes terdepan untuk menghasilkan mengangkat tinggi dan menghindari akar bahkan warung di sudut serangan tinggi. Selain itu, penggunaan lalat-dengan-kawat sistem kontrol yang dapat membelokkan kontrol permukaan yang jauh lebih cepat daripada pilot manusia membuat F-16 sangat bermanuver. Falcon ini juga dilengkapi dengan sebuah array avionik canggih dan beban senjata yang luas.

Kesimpulan
Perdebatan teoritis mengenai siapa penyebab terjadinya Perang Dingin mengulas secara jelas disertai bukti-bukti empiris yang mampu mendukung argumennya masing-masing. Baik kaum tradisionalis, revisionis maupun postrevisionis memiliki kelebihan sekaligus kekurangannya masing-masing. Meski demikan, Perang Dingin yang oleh Nye dibagi dalam tiga fase, merupakan tarik-menarik dua kepentingan superpower yang terus mengalami pasang-surut.

Revolusi persenjataan pada zaman tersebut bukan lagi dibuat untuk menyerang lawan. Penemuan dan percobaan nuklir pada puncak perang dunia kedua tidak menyurutkan keinginan Negara superpower untuk mengembangkan teknologi tersebut. Sebaliknya, nuklir menjadi alat ampuh untuk melakukan pemaksaan (coercive) untuk memperluas pengaruh dan memaksakan sistem dengan jaminan kemanan sebagai imbalannya. Krisis misil Kuba misalnya, ketegangan akibat pengiriman nuklir dari Soviet ke Kuba, bermuara pada negosiasi kepentingan AS dan Soviet. Negosiasi dalam bentuk kerjasama arm control adalah fragmentasi dari kesepakatan kedua superpower untuk menghidari adanya perang dunia.

Dalam perkembangannya, Uni Soviet semakin meningkatkan kapabilitas alutsistanya khususnya di bidang nuklir dengan sikap deterrence yang lebih dipersiapkan untuk menghadapi kemungkinan ancaman perang dan memperbaiki eksistensinya di mata dunia dalam bidang pertahanan.

Uni Soviet juga menyusun parameter dalam kemungkinan terjadinya perang nuklir di masa Perang Dingin tersebut. Pada hakekatnya indikasi menuju perang yang nyata sangat terlihat dalam perlombaan senjata antara kedua blok yang berpahan ideologi yang berbeda ini.

Otonomi militer Uni Soviet sendiri menempatkan militer di bawah subordinasi sipil secara absolut karena terjadi pergantian sistem politik dari Totalitarian ke Demokrasi. Hal ini Pergantian sistem politik tersebut menjadi awal keruntuhan Uni Soviet yang sebelumnya ditandai oleh pembubaran Pakta Warsawa pada bulan Juli 1991, sebagai aliansi negara-negara dalam kerjasama di bidang politik dan militer.

AS dan Soviet memproduksi senjata-senjata baru dengan spesifikasi yang luar biasa canggih bukan dimanfaatkan oleh dirinya sendiri, melainkan justru digunakan oleh pihak ketiga.