Oleh Ahmad Junaidi dan Daniel Awigra
Sejak jatuhnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 dan dimulainya sebuah masa yang disebut era reformasi, media massa tumbuh pesat. Puluhan bahkan ratusan media cetak baru terbit dengan fokus liputan beragam mulai dari politik, ekonomi, sampai dengan ulasan seputar seks dan seksualitas. Namun, setelah beberapa tahun era reformasi berjalan, banyak media cetak mulai berhenti terbit seiring dengan ketatnya persaingan antar media. Umumnya koran, tabloid dan majalah yang tidak dapat bertahan adalah mereka yang mengkhususkan perhatiannya pada bidang politik dan eknomi, seperti tabloid Detak, koran Monitor, majalah Prospek, majalah Tiras, Majalah DR, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Tetapi, sejumlah koran, tabloid dan majalah baik baru maupun lama yang mengkhususkan pada pembaca dewasa dengan liputan dan tampilan gambar-gambar seronok serta kata-kata yang mengeplorasi seksualitas mampu bertahan sampai saat ini. Media cetak yang terbit sebelum era reformasi dan menjadikan pembaca dewasa sebagai targetnya yang masih hidup, misalnya majalah Popular, sementara media yang baru muncul pada awal reformasi dengan penyajian seputar seks dan seksualitas baik melalui gambar dan kata adalah tabloid Pop, Bos, dan Koran Lampu Merah.
Tabloid dan koran yang disebut terakhir ini mentargetkan pembaca dari kelas ekonomi bawah, sementara itu, baru-baru ini terbit majalah waralaba (franchise) luar negeri yang juga mengulas persoalan yang sama dengan target pembaca kalangan menengah atas, seperti Maxim dan For Him Magazine.
Sudah agak lama dunia pers dianggap bukan lagi institusi yang bermodalkan “idealisme” semata, melainkan sebuah industri. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang juga pada masa awal kemerdekaan penerbitan pers lebih banyak disemangati idealisme nasionalis dan keinginan untuk merdeka. Beberapa tokoh nasional banyak yang berasal dari dunia pers atau pun mereka yang banyak menuliskan pikiran-pikirannya melalui media cetak, misalnya Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohamad Hatta atau Wakil Presiden Adam Malik. Seiring dengan peningkatan ekonomi, pada masa 1980-an, persaingan antar pers semakin kuat. Grup-grup pers yang besar, seperti Kompas, Tempo, Jawa Pos dan lain-lain semakin memperluas usahanya. Dengan berjalannya Reformasi, persaingan di antara media cetak juga semakin tajam, banyak media cetak, koran dan tabloid, tidak dapat terbit karena, di antaranya, kurangnya dukungan dana selain permasalahan manajemen.
Persaingan antara pers bukanlah semata didasarkan perbedaan idealisme semata, melainkan juga untuk memperluas pasar pembaca. Sebagai sebuah industri, pers mencari pasar-pasar tertentu yang mendatangkan keuntungan, diantaranya dengan mengekploitasi seksualitas, terutama perempuan.
Pencarian keuntungan menemukan pasarnya yakni masyarakat pembaca yang masih kental nilai-nilai patriarkinya di mana perempuan selalu dalam posisi yang termajinalkan. Seksualitas menjadi barang dagangan kepada masyarakt pembaca yang cenderung mengangap perempuan masih sebagai obyek dan properti. Alasan-alasan tersebut diatas diantaranya dipakai untuk memahami mengapa pers, media cetak dan elektronik yang mengeksploitasi seksualitas perempuan masih bertahan hingga kini.
Banyaknya penerbitan media-media cetak "dewasa" yakni media yang mengeksploitasi seks dan seksualitas tersebut bukannya tanpa membawa masalah karena sebagian masyarakat memprotes keberadaannya. Bahkan di awal reformasi ini, berawal dari keberatan masyarakat, Pemimpin Redaksi majalah Matra N. Riantiarno sempat diadili dan dihukum percobaan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena dianggap bersalah dengan penampilan yang agak terbuka dari beberapa artis terkenal ibukota dalam sampul majalah tersebut. Banyak pihak membela Riantiarno dan mengecam pengadilan karena memasung kebebasan ekspresi/seni yang ditampilkan Matra dalam sampul majalahnya.
Perdebatan seputar kebebasan ekspresi dan pornografi dalam masyarakat, termasuk pers, sejauh ini belum menemukan titik temu. Dalam diskursus tersebut tampak adanya keberagaman tentang apa yang dimaksud dengan kebebasan ekspresi dan batasan dari pornografi. Sebagian masyarakat melihat pornografi dan erotisme dapat membawa dampak merusak tatanan moral. Sementara sebagian yang lain, termasuk sebagian pers, berharap RUU nantinya tidak menjadi alat untuk mengekang kebebasan ekspressi/seni dan menghukum pers dan tentu saja kepentingan ekonomi pers menjadi tertutup atau merugi.
Banyak penelitian dan laporan ilmiah menyimpulkan bahwa media massa, media cetak dan elektronik, membawa bias-bias tertentu berkenaan dengan pemberitaan seputar perempuan. Bahasa jurnalisme media massa di Indonesia masih mencerminkan budaya patriarki. Perempuan masih dianggap sebagai properti. Ia dinilai dan dieksploitasi lebih banyak dari bentuk tubuhnya daripada pikiranya.
Sedikitnya jurnalis perempuan daripada jurnalis laki-laki dianggap juga menciptakan bias-bias dalam pemberitaan. Perbedaan jumlah wartawan perempuan dan laki-laki berdampak pada hasil karya junalistik mereka. Penelitian atas beberapa koran di Indonesia, menunjukkan korelasi antara sedikitnya jumlah wartawan perempuan dengan "mutu" berita yang dihasilkan yang sering membawa bias-bias tertentu, seperti nilai-nilai patriarki dan merendahkan perempuan.
Namun, selain sedikitnya jurnalis perempuan, rendahnya perspektif gender di antara jurnalis juga dipercaya menyumbang pada terbentuknya berita-berita atau artikel yang bias gender atau bias laki-laki. Hal ini dikerenakan masih kuatnya budaya patriarki dalam masyarakat, termasuk di dalam pers.
Selain itu, media massa memang diakui bukanlah sebagai sebuah lembaga yang netral. Media massa, menurut Murdoch dan Golding (Suryandaru: 2000) masuk dalam tarik-menarik kepentingan ekonomi dan politik. Dalam masyarakat kapitalis, media massa memiliki kedudukan yang penting dalam kaitannya dengan hegemoni. Oleh karenanya, media akan selalu menjadi ajang pertarungan kepentingan ekonomi dan politik.
Menurut Resse dan Shoemaker (Suryandaru: 2000), pertarungan kepentingan ini dimulai saat disiapkan sebuah berita sampai tahap akhir. Menurut keduanya, proses pertarungan dapat dibagi dalam beberapa tahap: individual, rutin, organisasi, eksternal dan idiologis. Pada tahap individual wartawan atau reporter berperan besar dalam pembentukan agenda sebuah berita. Bagian mana dari sebuah berita akan ditulis dan bagian mana yang tidak akan tergantung pada jurnalisnya. Tahap rutin, seperti rapat redaksi, menunjukkan peran redaktur atau editor dalam pembentukan sebuah berita. Pada banyak kasus, apa yang ditulis reporter sangat tergantung dengan petunjuk redakturnya. Selain kedua tahap tersebut diatas peran organisasi sangat berperan terhadap pembentukan sebuah berita. Organisasi media sebagai sebuah industri juga berperan dalam konstruksi sebuah berita. Sementara itu pengaruh eksternal, seperti sumber berita, pemasang iklan, pelanggan, kontrol pemerintah, pasar dan teknologi ,juga berperan dalam pembentukan sebuah berita. Konstruksi berita juga dipengaruhi faktor idiologis yang masuk melalui kekuasan dengan berbagai aturannya.
Rendahnya kualitas jurnalisme yang dipengaruhi budaya patriarki serta sedikitnya jurnalis perempuan dipercaya menyumbang pada hasil karya jurnalistik yang merendahkan perempuan.
Penggambaran perempuan di dalam media massa masih mencerminkan sterotipe-stereotipe tertentu: seperti perempuan yang baik adalah perempuan yang bisa membagi waktu antara parir dan keluarga, ibu rumah tangga yang mampu mendorong suami hingga sukses. Wanita lajang dan janda hampir selalu mendapatkan penggambaran buruk dalam media.
Suciwati, istri mendiang pejuang HAM Munir, misalnya, menolak wawancara sebuah stasiun televisi dan majalah wanita karena dia diminta menangis di depan kamera dan sang wartawan akan bertanya bagaimana dia mengasuh anaknya sepeninggal suaminya.
Sering kita membaca berita tentang pemerkosaan yang menyudutkan korban. Misalnya, dengan menyatakan perbuatan kriminal itu terjadi karena korban mengenakan busana mini. Penggunaan, seperti “menggagahi”, dll, menunjukkan bias gender dalam penulisan berita. Contoh lain, misalnya jurnalis mewawancari narasumber perempuan dengan pertanyaan, “Apakah ibu sudah mendapat ijin suami?”, “Bagaimana ibu membagi waktu antara karir dan rumah tangga,” dan seterusnya.
Masih terkait dengan pertanyaan seputar kemampuan, jurnalis juga mempertanyakan kualitas calon legislatif perempuan. Dengan 11,6 % persen kursi DPR, perempuan anngota dewan berhasil membuat beberapa undang-undang yang berkualitas, termasuk UU KDRT, UU Kewarganegraan, UU Anti-Perdagangan Manusia dan terlibat dalam advokasi anggaran yang berpiahak pada rakyat. Sementara itu, 88,4 % persen laki-laki yang ada di DPR menghasilkan / berkontribusi besar dalam pembuatan beberapa UU yang dipandang menurun kualitasnya, diantaranya UU Pemilu. Semua anggota DPR yang ditahan KPK saat ini adalah laki-laki. Kualitas?
Dalam pemberitaan skandal video yang melibatkan penyanyi Nazriel Ilham atau yang dikenal dengan Ariel Peterpan, misalnya, ada pemberitaan televisi yang memberi komentar kehebatan Aril yang bisa berhubungan dengan banyak perempuan sementara Cut Tari yang terlihat dalam video bersama dengan sang vokalis diberi label sebagai perempuan nakal.
Pemberitaan dalam kasus skandal video seks itu juga terasa membawa nilai-nilai moral agama tertentu yang sangat bias dan tidak berpihak pada perempuan. Televisi, terutama program infotainment, memberitakan “habis-habisan” hal-hal privat yang samasekali tidak bersentuhan dengan kepentingan publik.
Perdebatan tubuh terus aktual hingga kini ketika media massa hadir menawarkan salah satu fungsi hiburan selain fungsi informasi, dan edukasi. Media massa (cetak, radio, televisi, dan e-media) adalah sarana utama penegakan demokrasi substansial. Saat ini media massa telah menjadi kekuatan keempat (the fourth estate), di luar kekuasaan eksekutif, legislatif dan judikatif.
Menurut Maria Hartiningsih, setelah Reformasi tahun 1998, fenomena yang terlihat semakin jelas adalah, perubahan media menjadi mediacracy (mediakrasi). Seperti birokrasi yang sangat potensial menjadi korup, media juga demikian. Bedanya, kalau yang satu terkait dengan uang (birokrasi), yang lain (media) terkait dengan reproduksi makna yang dihasilkan, baik lewat gambar, suara mau pun tulisan. Akibatnya, media juga berpotensi kehilangan fungsinya sebagai ‘penjaga demokrasi’, karena justru atas nama ‘demokrasi’, mereka dapat mengonstruksikan suatu peristiwa sesuai kepentingannya . Masih menurut Hartiningsih, kurangnya kepekaan dalam memahami relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan (gender) dalam kebijakan media telah membuat perempuan sebagai pihak yang selalu menjadi obyek, termasuk untuk meningkatkan promosi konsumtivisme. Perempuan menjadi sasaran utama kapitalisme yang masif dalam semua bentuknya. Bahasa dalam media cetak pun masih menempatkan perempuan sebagai pihak yang dipersalahkan.
Pekerja seks komersil adalah satu kelompok yang paling menjadi sasaran dari berbagai operasi, baik operasi Penyakit Masyarakat maupun operasi terkait ketertiban umum. Pemberitaan mengenai penggrebegan PSK tersebar di beberapa wilayah di Indonesia seperti Sumatra Selatan, Propinsi Riau, Sumatra Utara, Juga Jawa Timur.
Beberapa media memberitakan penggrebegan PSK dengan nada yang memihak pada sebuah dukungan terhadap penertiban ini. Beberpa kata yang provokatif dituliskan sebagai judul berita, misalnya: “PSK yang berkeliaran” atau “PSK bergentayangan”, “PSK di Jalinsum ibarat kentut”. Media daerah seringkali memuat hasil wawancara dengan petugas yang melaksanakan penggrebegan, wali kota, atau beberapa pejabat terkait. Namun sangat jarang media menampilkan wawancara mereka dengan PSK yang digrebeg atau ditangkap. Perempuan pekerja seks komersial diperkosa beberapa kali, termasuk oleh media.
Menurut Melanie Budianta, pemilihan kata dan konsep bahasa serta seluruh gaya pemberitaan yang melecehkan dan menjadikan peristiwa ini sebagai hal yang lucu adalah alat yang luar biasa tajam untuk melakukan perkosaan ganda, atau yang sering disebut sebagai second rape, atau bisa juga di sebut sebagai third/fourth rape karena sebelum “diperkosa” media massa, ia telah “diperkosa” oleh tim penyidik dan tim medis yang tak punya empati .
Media sering juga mengutip pendapat tokoh-tokoh agama, misalnya pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan politisi (laki-laki) berbasis agama dengan mengutip ayat-ayat kitab suci yang menyatakan kedudukan perempuan di bawah laki-laki. Laki-laki adalah pemimpin perempuan. Saat ini sudah banyak tokoh-tokoh agama, baik laki-laki dan perempuan, yang mengembangkan tafsir dan pemikiran yang sangat sensitive gender, misalnya mantan pembantu rector UIN Nasaruddin Umar (Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al Qur’an) atau KH Husein Muhammad (Fikih Perempuan).
“Kebiasaan” memakai narasumber dari kelompok fundamentalis berakibat semakin terpinggirkannya kelompok-kelompok marjinal, termasuk perempuan. “Kebiasaan” ini pada akhirnya merugikan media, misalnya, dengan keluarnya fatwa MUI yang mengharamkan program infotainment.
Media massa berperan penting dalam pembentukan opini publik. Media massa dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu, juga pesan-pesan dlam kaitannya dengan perempuan. Namun media massa juga merupakan cermin opini sebagian masyarakat. Liputan media sekaligus mencerminkan pandangan yang berkembang dalam masyarakat. Masyarakat yang sebagian besar masih patriarkis dengan nilai-nilai laki-laki yang dominan akan tergambar dalam liputan media massa yang hidup di dalamnya. Media massa adalah sebuah potret masyarakat dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
No comments:
Post a Comment