Mendiskusikan pornografi tentu tidak bisa dilepaskan dari perdebatan soal tubuh perempuan. Diskusi soal tubuh perempuan ternyata selalu aktual dari masa ke masa: mulai dari debat soal mana yang lebih penting antara tubuh dan jiwa, persoalan esensi dan eksistensi tubuh perempuan, sampai pada relasi kekuasaan yang ingin mendisiplinkan tubuh yang menjadi tema sentral filsafat, sampai pada level moral dan politik praktis.
Di Indonesia, sensor terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan tubuh dan seksualitasnya dilegitimasi negara melalui UU No. 44/2008 tentang Pornografi. Definisi Pornografidimanifestasikan dalam ketentuan pidana yang dimuat dalam pasal 4 (ayat 1) UU Pornografi.[1] Pasal ini melarang setiap orang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; atau pornografi anak.
Pengaturan ini tidak disertai ketentuan mengenai “niat” dari pelaku kegiatan menyebarluaskan, menyiarkan, membuat, menawarkan, dan lain-lain, yang merupakan kriteria “unsur-unsur perbuatan pidana”. Akibatnya, ketika seorang pematung membuat sebuah patung manusia telanjang dengan maksud membuat kritik sosial, misalnya, ia tetap bisa dijerat dengan pasal ini. Hal yang sama juga bisa terjadi pada seorang penari tradisional yang menurut adatnya harus menarikan tarian tanpa mengenakan busana. Akibat definisi yang sangat kabur dan multitafsir tersebut, UU Pornografi memberikan lampu hijau kepada negara untuk masuk terlalu jauh ke ruang privat warga negara dengan seperangkat aturan moral yang didasarkan pada tafsir agama tertentu.
Celakanya, realitas Indonesia yang plural membuktikan ada perbedaan mendasar mengenai cara pandang terhadap tubuh dan ketelanjangan. Hal itulah yang menjadi awal kontroversi UU tersebut. Perempuan yang paling rentan sebagai korban (objek) pornografi justru akan dikriminalisasi melalui UU ini. Dalam opininya di harian Kompas (27/3/2010), Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), berbagi kesaksian mengenai kasus yang terjadi di Karanganyar, Jawa Tengah. Di sana, demikian Hemas, seorang perempuan yang seharusnya dilindungi sebagai korban malah dipidana lima bulan menggunakan pasal-pasal UU Pornografi. Salah penafsiran akibat rancunya definisi UU ini telah menjerat seorang perempuan yang ditipu oleh kekasihnya untuk melakukan hubungan seksual dan kemudian diabadikan dengan kamera video. Ketika kekasihnya menyebarluaskan video tersebut, si perempuan yang seharusnya menjadi korban malah harus dipidana dengan UU ini. UU Pornografi, dengan demikian, bisa mengubah perempuan dari korban menjadi pelaku, dan itu artinya perempuan menjadi korban dua kali secara berturut-turut: korban penipuan kekasihnya, dan korban Undang-undang yang diskriminatif.
Bukan hanya itu, persoalan pengaturan terhadap tubuh oleh negara bahkan potensial menimbulkan akibat yang lebih serius terhadap konsepsi tentang persatuan Indonesia. Merespon disahkannya UU Pornografi, pemerintah dan DPRD Bali, misalnya, sepakat melakukan pembangkangan sipil terhadap UU ini.(Konferensi Pers DPRD Bali di Jakarta, 11/26/08), dan menyatakan bahwa UU Pornografi tidak berlaku di Bali. Di samping itu, ancaman sparatisme juga sempat diteriakkan oleh masyarakat Papua saat mereka menggelar jumpa pers di Jakarta.(Konferensi Pers Perwakilan Masyarakat papua Menolak RUU Pornografi di Jakarta, 25/9/08) Sulit dipahami bahwa dalam satu negara hukum bisa terjadi ada satu daerah di dalam wilayah kedaulatannya tidak mengakui UU yang baru saja disahkan oleh parlemen dan pemerintah? Sementara kasus Papua jelas mencerminkan tidak adanya kepekaan dan toleransi pembuat UU dan pemerintah di Jakarta terhadap khasana kebudayaan masyarakat Papua yang berbeda, terutama dalam kaitannya dengan soal ketelanjangan tubuh manusia (Konferensi Pers Perwakilan Masyarakat Papua Menolak RUU Pornografi di Jakarta, 25/9/08). .
Demokratisasi memang telah memberikan kesempatan yang sama bagi siapa saja untuk dapat mengemukakan pendapatnya di ruang publik. Artinya, ruang publik dalam demokrasi adalah sebuah arena yang terbuka bagi siapa saja. Konsekwensinya, ia juga bisa dipakai oleh berbagai kelompok yang bertentangan secara ideologis untuk mempengaruhi opini publik. Tidak ada yang salah dengan semua itu, sejauh tidak terjadi ancaman dan praktek kekerasan. Tapi dalam prakteknya di Indonesia, ruang-ruang yang terbuka dalam demokrasi kemudian lebih banyak dimanfaatkan oleh mereka yang ingin memaksakan pandangan hidupnya kepada orang lain disertai dengan ancaman bahkan praktek kekerasan. Alih-alih mendorong negara mengeluarkan regulasi yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional untuk mengatur kehidupan masyarakat yang plural, misalnya, beberapa kelompok sosial tertentu malah cenderung memanfaatkan ruang demokrasi untuk mendorong negara memberlakukan aturan yang didasarkan pada norma-norma agama tertentu.
Salah satu argumen yang sering digunakan kelompok-kelompok tersebut adalah soal realitas sosiologis bahwa karena di Indonesia mayoritas masyarakat memeluk salah satu agama, yakni Islam, maka sudah sepantasnya kalau aturan-aturan tertib sosial kemasyarakatan didasarkan pada norma-norma Islami. Demokrasi, dengan demikian, seperti sedang didorong ke arah praktek tirani oleh mayoritas. Secara spesifik kita bahkan bisa mengatakan bahwa meskipun jumlah perempuan Indonesia merupakan mayoritas penduduk, tapi secara diskursif dan poliltik perempuan adalah minortas yang nasibnya niscaya ditentukan oleh kaidah-kaidah yang dibuat untuk kepentingan-kepentingan berbagai kelompok yang memiliki afinitas kepada dan menggunakan agama mayoritas sebagai basis pembentukannya.
Dalam konteks diskursus tentang tubuh perempuan di era demokratisasi saat ini, kecenderungan semacam itu terlihat dengan jelas dalam bentuk keluarnya beberapa regulasi pemerintah daerah (Perda) yang langsung berhubungan dengan pengaturan atas tubuh (dan seksualitas) perempuan. Tulisan pengantar ini akan mencoba melihat diskursus tentang tubuh (perempuan) dalam perspektif akademis, dan dari sana mencoba membangun beberapa argumen tentang seksualitas dalam konteks hiruk-pikuk pembicaraan tentang pornografi.
Kontroversi Tubuh Perempuan
Kontroversi soal tubuh sejatinya sudah berlangsung sejak zaman antik, yaitu pada zaman Cyrenaik dan Epikurian. Mazhab Cyrenaik cenderung mendewakan tubuh. Tokoh utama mereka adalah Artistipus (435-336 SM). Artistipus dan para pengikutnya lebih mengedepankan hedonisme dan kesenangan tubuh, daripada kesenangan jiwa. Bagi mereka, jiwa itu baik, tetapi tubuh jauh lebih baik lagi. Sementara, mazhab Epikuriansme yang dipelopori oleh Epikuros (341-270 SM) lebih mementingkan jiwa. Bagi mereka, kesenangan jiwa itu merupakan awal dan akhir dari perjuangan hidup manusia. Pola pikir Epikuros sejalan dengan Plato yang memandang jiwa lebih penting daripada tubuh. Bahkan, lebih ekstrim dari itu, Plato melihat tubuh sebagai penjara jiwa.[2] Berbeda dari gurunya (Plato), Aristoteles, dalam teorinya mengenai “bentuk-materi”, melihat tubuh dan jiwa sebagai satu kesatuan. Bahkan menurutnya, manusia hanya bisa memahami cara “mengadanya manusia”, melalui tubuh dan jiwa[3].
Selain konteks perdebatan tubuh, pornografi juga tidak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai hasrat atau kenikmatan seksual (sexual desire). Dalam filsafat Barat, pembahasan mengenai sexual desire sudah dimulai oleh beberapa filsuf terdahulu, seperti Plato, Thomas Aquinas, Emanuel Kant sampai dengan filsuf modern seperti Sartre dan Simone de Beauvoir, serta filsuf kontemporer seperti Foucault.[4]
Plato menggambarkan cinta sebagai sebuah jiwa yang tidak boleh dikotori oleh sexual desire yang diasosiasikan dengan insting kebinatangan. Sementara itu, Kant berpendapat bahwa seks adalah tindakan yang tidak bermoral dan digolongkan sebagai sebuah dosa. Sartre juga berpendapat yang kurang lebih sama yakni seks dinilai dalam kaitannya dengan moral.
Pada abad ke-20, teori hasrat pada pengalaman manusia, seperti digambarkan oleh Marleau-Ponty, memberi tekanan pada bagaimana hasrat dan kesenangan (desire and pleasure) menstrukturkan pengalaman bukan saja diri kita tapi dunia kita. Artinya, hasrat dan kesenangan merupakan suatu kesatuan di dalam pengalaman hidup kita beserta pemikiran dan tubuh (mind dan body). Sebenarnya, adalah Gabriel Marcel yang berbicara soal ketubuhan (embodiment). Marcel menolak dualisme Cartesian, pemisahan antara pikiran/jiwa dan tubuh (mind and body) dengan alasan bahwa dualisme tersebut menghancurkan persatuan diri (self) dan tubuh (body). Bagi Marcel, dengan meniadakan tubuh artinya meniadakan diri. Jadi pernyataan “saya berfikir” tidak dapat dipisahkan dari adanya ketubuhan, maka “saya ada” tidak dapat dipisahkan dengan adanya tubuh saya.
Simone de Beauvoir jelas tahu menjadi subjek adalah syarat untuk menjadi manusia bebas. Namun, dia menemukan persoalan ketika yang menjadi subjek adalah tubuh perempuan. Pertanyaan pertama yang diajukan Beauvoir adalah “apakah perempuan?” (what is woman?). Karena, pertanyaan ini tentu berbeda jika ditanyakan “what is a man?” yang jawabannya sudah banyak disampaikan oleh para filusuf, dan berhubungan dengan manusia secara universal yang merupakan mahluk berpikir, mahluk yang bebas. Pertanyaan Beauvoir adalah apakah perempuan berfikir? Apakah perempuan bebas? Atau lebih tepat lagi apakah perempuan boleh berpikir dan boleh menjadi bebas?[5]
Kemudian, Beauvoir berkesimpulan, “seseorang tidak lahir sebagai perempuan, tetapi menjadi perempuan.” Kalimat ini menggambarkan bahwa peradaban, dan bukan keniscayaan biologis, yang telah melahirkan mahluk yang berciri feminim itu. Dengan ini pula, pertanyaan lain muncul, apakah cara perempuan mengetahui dunia juga merupakan konstruksi dan bukan ciri kognitif perempuan? Artinya, siapapun yang menyadari bahwa setiap bentuk pengetahuan mengandaikan titik pijak tertentu, dapat mengembangkan cara-cara melihat yang pada gilirannya berguna untuk menelanjangi beragam asumsi yang bersembunyi di belakang bentuk-bentuk pengetahuan, betapapun obyektifnya pengetahuan itu akan diklaim[6].
Pembahasan mengenai pornografi biasanya juga dimulai dengan penjelasan seputar seksualitas. Seksualitas banyak dikaitkan dengan kekuasaan yang menindas.[7] Namun filsuf kontemporer seperti Foucault berpendapat berbeda mengenai sexual desire dengan cara mempertanyakan kebenaran yang selama ini ditanamkan mengenai seksualitas manusia. Dalam konteks ini seks bukan hanya masalah sensasi dan kenikmatan, atau hukum dan larangan, tetapi di dalam seks dipertaruhkan masalah benar dan salah. Mengetahui apakah seks itu benar atau berbahaya membuka peluang dominasi dalam interaksi kekuasaan. Sejauh mana seks bisa dianggap berharga atau menakutkan itu bisa bergeser menjadi pertaruhan kekuasaan. Lalu seks dijadikan ajang pertaruhan kebenaran.[8] Menurut Foucault, kebenaran mengenai seks akan selalu berubah sesuai dengan jaman dan masyarakat yang berubah. Lebih jauh, kekuasan yang ingin dipaksakan adalah untuk membuat semacam kepatuhan individu-individu, alih-alih untuk menjadi tenaga produktif. Maka, tekanan pada normalisasi dan pendisiplinan tubuh menjadi bagian dari strategi kekuasaan dan kebenaran[9].
Sementara, sebagian intelektual feminis mengatakan pornografi, bahkan termasuk di dalamnya erotisme, merupakan eksploitasi terhadap seksualitas dan perendahan perempuan, sebagian lainnya mengatakan hal tersebut merupakan bentuk kebebasan berekspresi. Selain itu, Kekuasaan dipakai untuk menindas seksualitas untuk terciptanya “tertib” masyarakat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam masyarakat Barat, pentabuan seksualitas terjadi pada masa Ratu Victoria berkuasa.
Pornografi
menurut Ahmad Junaidi[10], perdebatan seputar kebebasan ekspresi dan pornografi dalam masyarakat, termasuk pers, sejauh ini belum menemukan titik temu. Dalam diskursus tersebut tampak adanya keberagaman tentang apa yang dimaksud dengan kebebasan ekspresi dan batasan pornografi. Sebagian masyarakat melihat pornografi dan erotisme dapat membawa dampak merusak tatanan moral dan oleh karenanya mengajukan RUU anti-pornografi. Sementara sebagian yang lain, termasuk sebagian pers, berharap RUU nantinya tidak menjadi alat untuk mengekang kebebasan ekspressi/seni dan menghukum pers, dan tentu saja kepentingan ekonomi kapitalis pers menjadi tertutup atau merugi.
Junaidi juga melihat, dalam gerakan feminisme, pornografi menjadi perdebatan yang belum selesai. Kelompok feminis radikal libertarian membela pornografi sebagai upaya kebebasan ekspresi perempuan yang selama ini terkekang. Sementara itu, kelompok radikal kultural menolak pornografi karena hal ini dianggap sebagai sebuah ekploitasi dan pelembagaan ideologi patriarki.[11]
(Esai ini adalah bagian dari buku Menggugat Porno Melawan Diskriminasi)
[1] Definisi Pornografi dalam UU No. 44/ 2008 adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pengertian ini muti tafsir karena norma kesusilaan yang ada di satu wilayah di Indonesia akan berbeda dengan norma kesusilaan di wilayah lain. Ketika ini menjadi ketentuan pidana, maka pasal ini bisa di tarik-ulur dengan alasan melanggar nilai kesusilaan dalam masyarakat.
[2] Klentus Badhick, dalam Wacana Tubuh Perempuan, Jurnal Filsafat STF Driyakara No. 3 tahun 2006, hal 16.
[3] Ibid.
[4] Lihat Gadis Arivia dalam “Antara Erotisme dan Pornografi: Sebuah Catatan Filosofis”, makalah, 2004. yang dipresentasikan dalam seri kuliah umum “tentang seksualitas” di Komunitas Salihara
[5] Gadis Arivia, dalam makalah Filsafat, Hasrat, Seks, dan Simone de Beauvior yang dipresentasikan dalam seri kuliah umum “tentang seksualitas” di Komunitas Salihara, 5 Juni 2010
[6] Karlina Supelli, dalam “Menulis Tentang ‘Yang Lain’”, sebuah pengatar dalam Jurnal Filsafat STF Driyakara No. 3 tahun 2006, hal. 8
[7] Lihat Michel Foucault, Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas. Terj. Gramedia. Jakarta:1997.
[8].Ibid.
[9] Haryatmoko, Kekuasaan, Pengetahuan Sebagai Rezim, makalah yang dipresentasikan dalam Seri Kuliah Umum tentang “Seksualitas”, di Komunitas Salihara, 12 Juni 2010
[10] dalam tesis akademisnya yang berjudul, “Media Massa dan Pornografi: Pro dan Kontra Pemberitaan Inul Daratista dalam Media Cetak Nasional, Tahun 2004, hal.5
[11] Lihat Tong. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Colorado: West View Press, 1998. Hal. 63-93.
No comments:
Post a Comment