Pages

Wednesday, January 26, 2011

Terror dan War on Terrorism

(tulisan ini sebagai rasa duka untuk serangan teroris di Bandara Domodedovo, Moskow)

Apa itu terorisme?


Kajian akademis tentang terorisme selalu berhadapan dengan kesulitan untuk mencari suatu definisi universal tentang terorisme. Masalah ini terungkap dengan baik dalam ungkapan “one person’s terrorist being another’s freedom fighter”[Andy wijayanto, Menangkal Terorisme Global, dalam buku kumpulan esai Terorisme yang diterbitkan oleh Imparsial, 2003. ].

Teror adalah fenomena yang cukup tua dalam sejarah. Menakut-nakuti, mengancam, memberi kejutan kekerasan, atau membunuh dengan maksud menyebarkan rasa takut adalah taktik-taktik yang sudah melekat dalam perjuangan kekuasaan, jauh sebelum hal-hal ini dinamai “teror” atau “terorisme”. Kata “assassin” mengacu pada gerakan dalam Perang Salib abad ke-11 Masehi.[F. Budi Hardiman, Terorisme: Paradigma dan Definisi, dalam buku kumpulan esai Terorisme yang diterbitkan oleh Imparsial, 2003] Kata “teror” masuk dalam kosakata politis baru pada Revolusi Prancis. Di akhir abad ke-19, awal abad ke-20, dan menjelang PD II, “terorisme” menjadi teknik perjuangan revolusi. Misalnya, dalam rezim Stalin pada 1930-an yang juga disebut “pemerintahan teror”. Di era perang dingin, “teror” dikaitkan dengan ancaman senjata nuklir[ Ibid, hal. 4].

Terorisme adalah fenomena dalam masyarakat demokratis dan liberal atau masyarakat yang menuju transisi ke sana [Ibid, hal. 5]. Kaum teroris memanfaatkan kebebasan yang tersedia dalam masyarakat itu. Di dalam negara totaliter atau otoriter, situasi ini relatif terkendali. Yang berlaku di sini adalah terorisme oleh negara.
Pada insiden 11 September 2001, teror mencapai dimensi barunya, bukan “sekadar” ingin menunjukkan sikap perlawanan atau menekan pada sebuah rezim, melainkan ingin memobilisasi sebuah konflik global dengan mengisi “kevakuman ideologis” yang ada sejak berakhirnya Perang Dingin. Skala gigantis dari teror ini ‘sukses’ memobilisasi opini politis global untuk mengarahkan pada antinomi “kawan” dan “lawan” pada skala global. Dan Al Qaeda adalah organisasi yang langsung menjadi target utama.

Terorisme termasuk dalam kekerasan politis (political violence), seperfti kerusuhan, pemberontakan, huru-hara, revolusi, perang saudara, gerilya dan pembantaian, dan sebagainya. Namun terorisme tidak selalu politis. Misalkan penyanderaan oleh seorang psikopat. Meski yang terakhir tidak masuk dalam kajian ini.

Terorisme politis memiliki karakteristik sebagai berikut [Ibid, hal. 4-5];
1. Merupakan intimidasi yang memaksa
2. Memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana untuk suatu tujuan tertentu
3. Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni “bunuh satu orang untuk menakut-nakuti seribu orang”
4. Target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, namun tujuannya adalah publisitas
5. Pesan aksi cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal
6. Para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras. Misalnya, “berjuang demi agama dan kemanusiaan”.

War on Terrorism
Wacana terorisme kini telah menjadi new security agenda[ Colin S. Gray, Another Bloody Century, pg. 145-6]. Krisis energi menjadi ancaman nyata pada masa depan, harus dimenangkan melalui proyek baru bernama war on terrorism. Sudah menjadi rahasia umum bahwa intervensi AS ke Irak tahun 1991 dan 2003 serta ke Afghanistan tahun 2001 juga memiliki agenda terselebung (hidden agenda) yaitu mengamankan kebutuhan energi minyak bumi. Tindakan AS yang dengan cepat merespons aksi intervensi Irak ke Kuwait Agustus 1990 dengan membentuk pasukan multinasional dengan segera dapat dilihat sebagai upaya untuk mengamankan sumber daya minyak bumi di Kuwait yang menjadi andalan utama pasokan energi ke negara-negara Barat.

Bukti lain, serangan AS ke Afghanistan yang dikenal sebegai Operation Enduring Freedom secara formal memang dilakukan untuk melaksanakan strategi war on terrorism paska tragedi 9/11. Namun di balik serangan tersebut sebenarnya AS juga memiliki agenda untuk menguasai wilayah Afghanistan yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan jalur pipa minyak dari Laut Kaspia.

Konsep keamanan energi (Energy Security) adalah pisau analisis yang mampu mengiris persoalan proyek war on terrorism. Keamanan energi adalah upaya untuk mengantisipasi krisis energi guna menunjang poses industrialisasi diikuti dengan peningkatan kapabilitas militer dalam kerangka pelaksanaan strategi keamanan nasional maupun internasional kemudian dilakukan dengan mengerahkan kekuatan militer untuk mengamankan pasokan energi khususnya minyak bumi dan mencari sumber-sumber energi baru.

Pengerahan kekuatan militer inilah yang kemudian mengaitkan masalah krisis energi dengan keamanan global. Terlebih ketika upaya untuk menemukan sumber-sumber baru energi minyak bumi dilakukan dalam bentuk persaingan atau kompetisi dengan menggunakan kekuatan militer maka di satu titik akan menciptakan konflik terbuka. Gejala jelas tercermin di kawasan Kaspia dimana pada masa mendatang kawasan tersebut akan menjadi The New Great Game antara tiga negara yang memang sangat bergantung pada pasokan energi dalam jumlah besar yaitu AS, Rusia dan China.

Kondisi konflik di kawasan Kaspia pada gilirannya akan berpengaruh pada kondisi keamanan global di masa mendatang yang akan lebih diwarnai dengan perang memperebutkan sumber-sumber energi baru[ Nurani Chandrawati, ‘Dampak Krisis Energi terhadap Keamanan Global’].

Upaya AS didukung oleh kekuatan militernya ingin terus mempertahankan hegemoni mereka atas sumber daya energi. George Walker Bush melalui proyek perang melawan teror menurut George Junus Aditjondro adalah sebuah siasat untuk membenarkan perang AS dan pendudukan atas Afganistan. Tujuan utamanya belum tentu untuk menangkap Osama bin Laden, yang telah secara ekstra yudisial dituduh mendalangi serangan terhadap WTC Twin Towers. Agenda yang sebenarnya menyerang Afghanistan untuk menggantikan rezim Taliban dengan yang lain, yang bersedia melakukan kontrak dengan sebuah perusahaan AS untuk membangun pipa gas Kazakhstan-Pakistan, di pegunungan Afghanistan dan gurun[ George Junus Aditjondro dalam “Neoliberalism, Human Rights Violations, and Poverty in Indonesia].

Kebijakan AS untuk menggunakan kekuatan militer dalam mengamankan pasokan energi juga akan membawa dampak yang cukup luas terhadap situasi keamanan global pada abad ke-21. Sejak Pemerintahan George W Bush, Pemerintah Amerika Serikat melelui Wakil Presidennya Dick Chenney dihadapan para pelaku bisnis pada Mei 2001 telah mendeklarasikan bahwa keamanan pasokan energi menjadi prioritas dari kebijakan perdagangan dan politik luar negeri AS.

AS sepenuhnya menyadari ketergantungan terhadap pasokan minyak dari negara-negara OPEC khususnya Saudi Arabia dan Venezuela akan semakin sulit karena adanya masalah domestik[ Ibid]. Terutama bagi negara-negara Barat paska tragedi 11 September 2001 yang menghadapi tantangan munculnya gerakan anti Barat terutama di kawasan Timur Tengah sehingga akan menyulitkan negara-negara tersebut terutama AS untuk mempertahankan eksplorasi minyaknya di Saudi Arabia. Karena itulah Wilayah Laut Kaspia akhirnya menjadi salah satu sasaran pengamanan pasokan energi AS karena diperkirakan pada tahun 2015 Laut Kaspia akan menyumbang 5-8% dari produksi minyak dunia[ Ibid ].

Dengan kekayaan kandungan minyak yang menempati posisi nomor tiga terbesar setelah Saudi Arabia dan kawasan Teluk Persia, maka Laut Kaspia dengan segera menjadi “surga” eksplorasi bagi sejumlah besar Perusahaan Minyak Ternama Dunia seperti Amoco, Chevron, Exxon dan Mobil Oil dari AS kemudian British Petroleum, Royal Dutch/Shell, Elf Aqutaine France, Agip Italy, Stat Oil Norway, Bridas Argentina, Lukoil Rusia, dan China Petroleum Company. Diperkirakan sampai sampai tahun 2010 nilai investasi untuk eksplorasi minyak di laut Kaspia akan mencapai 50 milyar US Dollar[ Ibid.].

No comments: