Pages

Friday, January 7, 2011

Yes We Can

Dinamika hubungan internasional pasca perang dingin berakhir menjadi semakin rumit dipelajari. Konstalasi kekuatan internasional menjadi bahan studi banyak sekali ilmuan hubungan internasional. Francis Fukuyama menandai runtuhnya Uni Soviet sebagai “The End of History”. Persoalan-persoalan lama seolah belum terjawab, muncul persoalan baru yang tidak kalah kompleks, seperti: globalisasi, persoalan kerusakan lingkungan hidup, perubhan iklim, kelaparan, sampai persoalan terorisme global.

Fenomena perebutan ‘tahta’ superpower juga menarik untuk diikuti, mulai dari bersatunya UE, kebangkitan China, tumbangnya G-8, sampai munculnya fenomena kuda hitam BRIC dalam sistem internasional bernama G-20. Pertanyaannya kemudian, apa wujud dari sistem internasional saat ini? Apakah uni polar atau multi polar? Benarkah AS pasca krisis finansial global tetap menjadi satu-satunya superpower? Dan siapa yang akan menjadi aktor berpengaruh dalam dalam kurun waktu 10 tahun mendatang?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja sudah banyak ahli yang mengulasnya melalui buku-buku maupun melalui kajian dalam jurnal-jurnal ilmiah. Namun pada kesempatan kali ini, kelompok 10 akan mencoba melakukan analisis siapa aktor yang akan memainkan peran penting dalam satu decade ke dapan.

Pemain lama seperti AS tetap menjadi pusat kajian, sementara pesaing-pesaing baru juga penting untuk diperhatikan dengan seksama. Menggunakan perspektif neorealisme serta menggunakan level analisis state, makalah ini akan mencoba membuat prediksi aktor yang akan menjadi kampiun pada satu dekade ke depan beserta analisisnya.

Headly Bull dalam The Great Power and International Order, konsep baru “super power” bagaimanapun tidak menambah apa-apa dari konsep yang lama “Great Power”. Adalah suatu kesalahan untuk mendefinisikan “kekuatan besar” / “super power” dengan posisi strategi kekuatan nuklir. Kemudian, siapa sebenarnya yang dapat dikatakan sebagai kekuatan besar sekarang?

Masih dalam The Great Power and International Order, kriteria pertama adalah perbandingan status; kedua adalah dengan memiliki kekuatan militer yang baik; ketiga kontribusi dari kekuatan besar  terhadap tatanan internasional beranjak dari fakta kekuatan yang tidak setara antara negara-negara yang membentuk sistem internasional. Keempat, karena negara tidak setara dalam kekuatan, isu internasional tertentu diselesaikan sebagai konsekuensi, keinginan dari negara tertentu (yang lemah) dapat dalam prakteknya ditinggalkan, dan kehendak/ keinginan dari negara (yang lebih kuat) dianggap sebagai isu yang sangat relevan. Kelima, ketidaksetaraan dalam bidang kekuatan negara telah mempunyai pengaruh, menyerdehanakan pola hubungan internasional, memastikan beberapa negara akan berjaya sedangkan yang lain akan redup, konflik tertentu akan membentuk motif politik internasional sedangkan yang lain akan terbenam.

Terakhir, kekuatan besar berkontribusi terhadap tatanan internasional dalam dua jalan: dengan cara mengelola hubungan yang satu dengan yang lain, dan dengan mengeksploitasi lebih besar dengan cara untuk mengalihkan tingkat arah pusat kepada urusan masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Kedua peran atau fungsi saling berhubungan dan sulit untuk memisahkan realitas sejarah, langkah dan kekuatan besar untuk mengatur hubungan antara satu dengan yang lain mengarah secara langsung untuk berusaha menyediakan arah pusat atau mengatur urusan masyarakat internasional sebagai keseluruhan.

I. Persepktif  Neorealisme

Neorealisme memandang keamanan internasional bersifat anarki karena memang struktur internasional yang terdiri atas negara-negara yang berdaulat, dan tidak ada pemerintahan dunia. Sehingga, neorealisme menekankan studinya pada struktur sistem dan distribusi kekuasaan. Karena lahir merevisi realisme klasik, neorealisme memandang aktor-aktor kurang begitu penting sebab struktur anarki inilah yang memaksa mereka beraksi dengan cara-cara tertentu. Struktur atau sistem internasional beserta efeknya, pada dasarnya adalah faktor utama yang menentukan tindakan.

Dalam buku Man, the State, and War, Kenneth Waltz mendefinisikan anarki sebagai sebuah kondisi atas kemungkinan untuk atau penyebab yang memungkinkan terjadinya perang, memperdebatkan bahwa “perang terjadi karena tidak ada yang mencegahnya”. Anarki mungkin bertahan karena negara-negara ingin mempertahankan sifatnya yang otonom. Hal ini yang pada akhirnya menjadikan kritik Alexander Wendt –seorang konstruktivisme– terhadap Waltz. Anarki menurut Wendt adalah apa yang negara-negara buat sendiri.

Waltz berpendapat perhatian mendasar negara-negara adalah keamanan dan kelangsungan hidup. Ia juga menganggap bahwa masalah utama konflik negara berkekuatan besar adalah perang, dan tugas utama hubungan internasional –di antara negara-negara berkekuatan besar– adalah perdamaian dan keamanan.

Fokus Waltz dalam neorealismenya adalah bagaimana menciptakan sistem atau mengoperasikan sistem. Berbeda dari Morgenthau yang banyak mengupas sifat alami manusia, khususnya pemimpin negara, Waltz memandang pemimpin negara adalah sekadar tawanan dari struktur sistem negara dan logika determinasinya yang memberikan petunjuk tentang apa yang harus mereka lakukan dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Argumen ini pada dasarnya merupakan teori determinis di mana strukturlah yang menentukan kebijakan.  

Fungsi Dasar Negara Sama

Bentuk dasar struktur hubungan internasional menurut Waltz adalah anarki yang tersebar di antara negara-negara. Negara-negara, serupa dalam semua fungsi dasarnya –disamping perbedaan budaya, ideologi, atau konstitusi, atau personal, mereka harus menjalankan tugas-tugas dasar yang sama. Semua negara harus mengumpulkan pajak, menjalankan kebijakan luar negeri, dan sebagainya.

Karena sifatnya yang sama-sama berdaulat, maka menurut Waltz, masing-masing Negara secara formal “sama terhadap yang lain. Tidak ada yang berhak memerintah, tak ada yang perlu dipatuhi”. Dalam hal ini, norma tentang kedaulatan negara seimbang. Bagi Waltz, semua negara adalah sederajat hanya dalam arti legal-formal. Mereka tidak sederajat, bahkan jauh berbeda dalam hal isi atau material.

Fungsi Negara dalam hubungan internasional adalah untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya, juga menjadi salah satu kajian Waltz. Bedanya, jika Morgenthau percaya bahwa para pemimpin negara merasa wajib melaksanakan kebijakan luar negerinya dengan mengacu pada petunjuk yang digariskan oleh kepentingan nasionalnya, maka hipotesis neorealisme Waltz berkata bahwa setiap pemimpin akan selalu melakukan hal itu secara otomatis.

Konstalasi Dunia Dilihat dari Power

Waltz dalam bukunya The Theory of International Politics (1979) memberikan penjelasan ilmiah tentang sistem politik internasional. Pendekatannya dipengaruhi oleh model ekonomi positivis. Teori terbaik dalam Hubungan Internasional menurut Waltz, memfokuskan dirinya pada struktur sistem, pada unit-unitnya yang saling berinteraksi, dan pada kesinambungan dan perubahan dalam sistem

Bagi Waltz, sistem internasional terdiri dari sejumlah kekuatan besar, setiap kekuatan itu mencari cara untuk tetap hidup. Dikarenakan sistem internasional bersifat anarki (tidak ada otoritas sentral yang melindungi suatu negara dari negara lain), setiap negara harus tetap survive dengan caranya masing-masing.

II. Analisis

Jika menggunakan pendekatan neorealist, maka konstalasi sistem internasional akan dilihat dari power. Untuk itu, bagaimana kemungkinan AS ataupun China  akan mengisi ruang yang sifatnya anarki tersebut.

AS - China

Naiknya Obama sebagai presiden ke-44 AS akan sangat mempengaruhi masa depan AS. Meski langsung mendapatkan hadiah nobel perdamaian, Obama pada saat yang sama harus menelan pil pahit pada awal karirnya sebagai Presiden AS - mewarisi dosa-dosa pendahulunya George W. Bush - karena Obama harus menyelesaikan morat-maritnya perekonomian AS pasca krisis financial global, pemulihan kemanan di Iraq, dan Afganistan, serta persoalan jaminan kesehatan sebagai pemenuhan janji kampanyenya.

AS sebagai Land of Hope, tentu saja memiliki sejarah panjang sebagai kampiun dunia. Pax Americana dapat terjadi dikarenakan oleh kuatnya ekonomi dan kekuatan militer Amerika Serikat, tetapi juga oleh beberapa pemikiran seperti: perdagangan bebas, Wilson liberalism, dan lembaga-lembaga multilateral.  Meski sedang mengalami krisis, kepemimpinan AS di Asia misalnya, diperoleh dari berbagai sumber, bukan hanya dari militer dan bantuan ekonomi, tetapi dari peran geoplitik AS. Alasan untuk menahan kehadiran AS di Asia karena hampir semua negara di Asia menerima Washington sebagai penjamin ketentraman di Asia. Berkembangnya negara-negara di Asia, bukan merupakan suatu ancaman bagi AS, tetapi merupakan sebuah opurtunitas.

Belum lagi jika dikaji bagaimana nasionalisme warga Negara AS yang kini sudah semakin mapan. Dalam bukunya  the Next American Nation, Michael Lind menjelaskan secara rinci tahap-tahap menuju sebuah bangsa besar bernama Amerika. Dimulai pertama dari sejarah nasional Anglo-American yang menempatkan kaum protestan di Amerika Utara sebagai homeland-nya; kedua, sejarah Euro-American adalah formasi baru kulit putih berkat percampuran antara orang-orang kulit putih Kristen hasil percampuran Anglo-American dan imigran dari Eropa. Metafora melting pot kerap digunakan dalam percampuran ini; ketiga adalah fase revolusi hak sipil yang dimotri oleh Martin Luther King Jr., tahun 1960-an. Serta kini, Lind menggambarkannya adalah transisi sebelum generasi keempat yakni fase liberal nationalism. Kemenangan perjuangan revolusi hak sipil menanggalkan konsep melting pot karena pemahaman baru bahwa AS seperti sebuah mozaik teridiri atas 5 ras; kulit putih, kulit hitam (African-Americans), Hispanik, Asian dan Kepulauan Pasifik, dan penduduk asli AS. Dengan naiknya Obama sebagai Presiden pertama berkulit hitam, hal ini dapat mendorong terjadinya matafor melting pot jilid II yang lebih dasyat karena akan menyatukan warga AS apa pun latarbelakang, warna kulit, dan status sosialnya. Namun, dengan kapasitas yang dimiliki Obama ini akankah mampu mengembalikan kekuatan AS sebagaimana sebelumnya? Ataukah China yang berikutnya akan menggantikan AS sebagai sebuah hegemon dunia?

Jawabannya belum diketahui secara pasti. Namun berdasarkan beberapa berita terakhir mengenai AS, meskipun saat ini AS tengah tertimpa krisis keuangan yang cukup parah, tampaknya AS sendiri enggan untuk mundur dari kancah kekuataan dunia dan mengakhiri hegemony-nya atas negara-negara lain di dunia.  Hal ini dapat terlihat dari keterlibatan AS di Irak dan Afganistan. Selain sibuk mengembalikan keadaan ekonominya, AS sendiri berusaha untuk tidak tidak terdominasi oleh China. Hal ini dapat dilihat dari sinyal-sinyal peringatan yang seringkali diberikan AS pada China maupun pengambilan sejumlah langkah yang dinilai dapat membendung kekuatan China, misalnya dengan memberikan sejumlah kritik pada China, menjalin kerjasama nuklir dengan India, segera memperbaiki kerjasama militer dengan Rusia setelah sempat terhembus kabar bahwa China akan menjalin kerjasama militer dengan Rusia, dan lainnya. Kemungkinan China menggantikan AS sendiri sampai saat ini masih diragukan oleh banyak pihak. Pei mengatakan bahwa China sedang mengarah pada pengambilalihan kedudukan Jepang sebagai negara ke dua terbesar di dunia tahun ini. Hal ini dikarenakan GDP Asia sendiri apabila dijumlahkan masih terpaut jauh apabila dibandingkan dengan AS. Antara China dan Jepang sendiri besaran GDP keduanya pada tahun 2008 hanya terpaut 0,26 triliun dolar AS, dimana GDP China sebesar 4,42 triliun dolar AS dan Jepang sebesar 4,68 triliun dolar AS. Pedapat ini didukung pula oleh komentar Yoshikami yang mengatakan meskipun China bersungguh-sungguh dalam menumbuhkan konsumsi internalnya, namun pastinya China masih bergantung pada perbaikan dalam konsumsi global yang dipimpin oleh AS. Yoshikami juga mengatakan bahwa laporan-laporan terkini memperkirakan bahwa AS akan bangkit kembali dari resesi.
 



U.S. GDP Gross Domestic Product Forecast
Billion US Dollars. Annual Rate Seasonally Adjusted.
Month
Date
Forecast
Value
0
Oct 2009
14,261.2
0
0
1
Nov 2009
14,261
45
101
2
Dec 2009
14,261
55
124
3
Jan 2010
14,221
63
140
4
Feb 2010
14,221
68
153
5
Mar 2010
14,221
73
163
6
Apr 2010
14,307
77
173
7
May 2010
14,307
81
181
8
Jun 2010
14,307
84
188
Updated Monday, November 30, 2009 , http://forecasts.org/gdp.htm

India
India adalah negara lainnya yang menderita dampak terkecil dari krisis keuangan global setelah China. Negara yang tidak diperhitungkan sebelumnya ini justru menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik meskipun dengan adanya krisis keuangan global. Dengan pertimbangan bahwa kekayaan adalah fondasi dari kekuatan militer, maka India merupakan salah satu negara yang mempunyai prospek yang cukup cerah ke depannya.


Per September 2009, ekonomi India tumbuh sebesar 7,9%, angka yang jauh dari perkiraan berbagai kalangan dan polling yang dilakukan oleh kantor berita Reuters, yakni sebesar 6,3%. Dalam dua dekade terakhir, ukuran kelas menengah telah meningkat empat kali lipat (hampir 250 juta orang), dan 1 persen dari orang miskin India telah melewati garis kemiskinan setiap tahunnya.  Pada saat yang sama, pertumbuhan penduduk telah melambat dari laju bersejarah 2,2 persen per tahun menjadi 1,7 persen saat ini,  yang berarti bahwa pertumbuhan telah membawa pendapatan per kapita besar keuntungan, dari $ 1.178 menjadi $ 3.051 (dalam hal paritas daya-beli) sejak tahun 1980.


Selain itu, sebagaimana China, India juga memiliki pola ekonomi yang unik, dimana India lebih bergantung pada pasar domestik daripada ekspor, konsumsi daripada investasi, servis daripada industri dan teknologi canggih daripada manufaktur berketerampilan rendah. Hal inilah yang menyebabkan kami berpikir bahwa India mungkin saja menjadi aktor selanjutnya yang akan muncul setelah Cina. Seperti halnya Balaam dan Veseth kemukakan bahwa idealnya, negara yang aman adalah negara yang paling kecil tingkat dependency-nya terhadap negara lain.


Namun sayangnya India pada saat ini masih terkendala pada masalah kemiskinan dan juga persebaran kemakmuran yang tidak merata sehingga jurang antara si kaya dan si miskin masih sangat tinggi. Ditambah lagi dengan jumlah penduduk yang besar, meskipun populasi merupakan salah satu sumber dari kekuatan, namun jumlah populasi yang besar dan miskin adalah masalah lain. Selain itu, agaknya India juga masih didominasi oleh AS sehingga jalan India untuk mendekati As agaknya masih sangat panjang.


III. Kesimpulan


Konstelasi dunia pasca menurunnya hegemoni AS tampak menunjukkan ke arah datangnya multipolaritas. Hal ini dapat dilihat dengan mulai munculnya negara-negara lainnya yang berjuang untuk menggantikan posisi AS sebagai hegemon dunia, antara lain China dan India. Namun, AS sendiri tampaknya tidak bersedia untuk mundur dan berjuang keras untuk mempertahankan posisinya. Berdasarkan data dan pendapat dari beberapa ahli diperkirakan bahwa AS akan kembali memegang kekuasaannya atas dunia meskipun akan terus dihambat oleh langkah negara lain yang mengincar kedudukan sebagai hegemon dunia. Namun, tampaknya pengaruh AS yang telah bercokol sekian lama agaknya memang sulit untuk dihilangkan dan AS sampai saat ini masih terus mempertahankan pengaruh tersebut atas negara-negara di dunia.


Naiknya Obama sebagai Presiden pertama berkulit hitam bukan tidak bisa dianggap sebelah mata. Jika Obama menjalankan kepemimpinan partisipatif dengan slogannya Yes, We Can berhasil mengajak semua pihak menuju keadilan, persamaan dan kesejahteraan akan semakin membuat proses menjadi Amerika sebagai satu bangsa besar.


AS memiliki seluruh elemen-elemen dasar dari kekuatan yang belum bisa disaingi oleh negara mana pun di dunia. Elemen-elemen itu antara lain; kekuatan militer, ekonomi, populasi, letak geografi, sumber daya alam, ideologi, sistem sosial dan politik, dan kemampuannya membuat diskursus publik.   (Vera Ariyani dan Awigra)

Daftar Pustaka
Alexander Wendt, Anarki adalah apa yang negara buat: konstruksi social terhadap kekuasaan politik
Minxin Pei, Think Again : Asia’s Rise,  “China Will Dominate Asia”, 2009.
Akhir 2009, China Diprediksi Gantikan Posisi Jepang, www.kompas.com
Michael A. yoshikami, Yoshikami : US and China – Mutual Dependency, www.cnbc.com
John J. Mearsheimer, Anarchy and the Struggle for Power, 2001.
Syamsul Ashar. Pertumbuhan ekonomi 2009 : Ekonomi India Tumbuh 7,9%, www.kontan.co.id
Gurcharan Das, India Model, http://www.foreignaffairs.com/.2006
Robert Jackson & Georg Sorensen, Introduction to International Relations, Oxford University Press, 1999
David n. Balaam, Michael Veseth, Introduction to International Political Economy,1996.

No comments: