Pages

Tuesday, August 5, 2008

MEMERAH SEPERTI BUAH PREM

La Pedrosa[1] mengajakku berlari menuju batas senja. Lajunya lincah menyelinap di antara mobil-mobil yang kehausan di sepanjang jalan menuju asa yang hendak kutautkan. Sementara, bayang-bayangku terus berpacu dengan kerinduanku. Kerinduan untuk menjemput impian yang hadir pada malam-malamku akhir-akhir ini.

Padahal, teknologi sepertinya sedang tidak berpihak padaku. Sesorang di sana susah sekali menghubungiku. SMS-nya tak pernah masuk. Mungkin sinyal jaringan telepon selulernya rusak. Tapi, begitu kutangkap sinyal hijau dari kedua orangtuanya, langsung kuputuskan untuk menemuinya. Saat itu juga. Satu jam lebih perjalanan, akhirnya sampai juga aku di depan rumahnya.

Aku melihat dia berdiri menungguku tepat di sudut pagar rumahnya. Sementara di sudut pagar mata sipitnya, sekilas kutangkap semburat sinar kebahagiaan. Ups, sebenatar… barangkali saja aku salah. Bisa jadi, cahaya itu adalah sinar keterkejutan melihat kenekatanku. Aku tak tahu.

Dia hanya menggunakan kaos putih dan bercelana pendek. Saat itu kali pertama aku melihat kakinya yang jenjang, mulus dan putih kekuning-kuningan. Sayang, mataku tidak bisa berlama-lama bermain di sana. Karena selangkah sebelum memasuki rumahnya, papanya telah menelanjangiku dengan pisau tatapannya. Orang petama di keluarga itu adalah sosok pendiam yang seperti memiliki semacam alat pendeteksi keamanan alami. Sebagai kepala keluarga, naluri melindunginya kurasakan kuat sekali.

“Sore..” kataku kepada lelaki paruh baya itu rendah sambil kujulurkan tanganku mengajak bersalaman. Dia tersenyum menerima sapa dan jabat tanganku. Aku langsung membayangkan dia mirip seorang samurái dalam novel-novel Jepang yang pernah kubaca. Pembawaannya tenang namun tak sedikit pun lepas sikap kewaspadaannya. Aku yakin, sifat pendiam lelaki itu mewaris dalam diri anak gadisnya yang sedang kugandrungi.

Sapaan serupa juga kulayangkan kepada mama dan kakak perempuannya. Mereka semua hangat menerimaku. Terutama mamanya. Aku mendapati kesan, tante –begitu aku menyapa ibu dua anak gadis itu, adalah seorang ibunda yang memiliki intuisi kuat dalam banyak hal. Dia kenal benar sifat anak-anaknya. Dia tahu persis sekarang anak bungsunya sedang jatuh cinta. Walau anaknya kerap berkata sebaliknya. Semoga saja tidak untuk ke depannya.

Ternyata, mamanya adalah orang yang mengundangku untuk menempuh perjalanan melewat batas senja ini. Mungkin, dia sekadar ingin mengetes keberanian sesorang yang sedang ‘mengganggu’ putrinya. Semua dilakukannya hanya untuk membahagiakan anaknya. Sama seperti kemuliaan ibu-ibu lain di seluruh semesta raya.

Aku sendiri merasa cukup bisa membawa diri. Tidak ada perasaan gugup sedikit pun. Bahkan, aku merasa samasekali tidak asing di tempat baru ini. Namun, dia – yang kini menjadi satu-satunya kebahagiaanku, justru berada pada posisi sebaliknya. Sebagai tuan rumah, dia sangat terlihat gugup. Ketika kupalingkan pandangku dan mengamati dia yang baru saja keluar kamar dan hendak berganti baju, entah mengapa, pipinya memerah seperti buah prem. Lucu sekali.

Sekilas kita beradu pandang. Dia hanya tersenyum dan langsung masuk kembali ke kamarnya. Tak lama sesudah itu, dia keluar dengan baju warna pastel hijau, jeans biru, membawa tas jinjing kain kecil putih bergaris biru, dan hanya bersandal. Cukup serasi –untuk mengatakan cantik sih sebenarnya.

“Tante, aku pinjem anak tante jalan-jalan ya… Aduh maaf, maksud aku, anak tante aku ajak jalan ya…” dan perempuan itu tertawa sembari menjawab, “Hati-hati saja di jalan!” Saat itu, sungguh aku merasa DITERIMA.

***

Tulisan ini adalah momen sesaat sebelum aku dan dia –jalan– untuk kedua kalinya….

¡Muchas gracias! Mi Diamante… y Su familia…

Kemang, 4 Agustus 2008



[1] Motor kesayanganku. Yamaha Jupiter tahun 2004 berplat nomor B 6524 NDG warna hitam. La Pedrosa, kuambil dari nama motornya Che Guevara.