Pages

Monday, November 28, 2011

Timor Leste dan Dosa-dosa Internasional


Timor Leste adalah salah satu negara yang bisa mengirup udara merdeka pada abad ke-21 setelah melewati sejarah panjang konflik. Sejarah Timor Leste adalah sejarah invasi.[1] Invasi yang dilakukan oleh Portugal dan Indonesia, tidak lepas dari dukungan negara-negara besar di dunia. Dosa-dosa internasional inilah yang sedikit akan dibahas dalam tulisan singkat ini.
Pada tahun 1974, krisis politik di Portugal mengakibatkan Timor Portugal (Timor Leste) tidak memiliki status yang jelas. Portugal[2] tidak bisa secara efektif lagi memerintah Timor Portugis. Terjadi semacam kekosongan kekuasaan yang menyebabkan pertikaian antara asosiasi politik lokal UDT[3] dan ASDT (kemudian berubah namanya menjadi Fretelin).
Pada 28 November 1975 Fretelin mendeklarasikan kemerdekaannya. Kemudian anggota UDT, Apodeti, Trabnalista dan Kota menandatangangai Deklarasi Balibo di Bali, yang intinya mendukung integrasi ke wilayah RI. Hal ini dianggap sebuah pemberontakan oleh Fretelin dan mereka melakukan operasi militer yang menyebabkan perang sesama warga Timor.
Kejadian ini memicu masuknya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada Agustus 1975 masuk ke Timor Leste dan pada bulan Desember 1975 adalah tragedi berdarah paling mengerikan di sana. Diperkirakan sekitar 60 ribu penduduk Timor Leste tewas akibat invasi militer Indonesia. pada 27 Juli 1976, Timor Leste resmi menjadi Provinsi ke-27 RI dengan nama Timor-Timur.
Jakarta kepada dunia internasional menggunakan dalih perang melawan komunis sebagai justifikasi apa yang telah dilakukan oleh ABRI saat itu. Yang menjadi persoalan di sini adalah, mengapa selama masa pendudukan Indonesia di Timor Leste, pemerintah negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, dan khususnya Australia cenderung membiarkan hal ini terjadi. Padahal, mereka kerap mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Mengapa hal ini bisa terjadi? Apa alasan sejatinya mengapa mereka ‘pura-pura’ tidak tahu adanya pelanggaran HAM di sana? Padahal, banyak sumber menyebutkan, mereka justru terlibat secara tidak langsung dengan mendukung kebijakan Soeharto.
Berbagai dukungan atas sikap politik Soeharto pun datang. Saran Duta Besar Inggris Sir Archibald Ford ke London anatar lain:
“Bahkan tanpa intervensi Soviet atau China, wilayah tersebut dapat menjadi “anak bermasalah” [di kawaan ini]… Bagi Inggris, lebih baik jika Indonesia mengintegrasikan wilayah tersebut… dan jika ada krisis perdebatan di PBB, kita semua harus diam dan tidak mengambil posisi yang menentang Indonesia[4]”.
Sikap di ASEAN bermacam-macam, mulai dari Singapura yang sangsi terhadap niat Jakarta sampai Malaysia yang menjadi pendukung utama Jakarta. Persekutuan dalam Perang Dingin bukan menjadi satu-satunya alasan mengapa berbagai Negara di kawasan tersebut mendukung Indonesia. Jepang memiliki kepentingan ekonomi yang besar di Indonesia, dan menjadi semakin bergantung pada minyak dan gas alam Indonesia untuk mendorong ekomomi Jepang yang tengah berkembang pesat.
Kebijakan Australia mengenai Timor Portugis didasarkan pada keinginannya untuk membentuk kembali kebijakan luar negerinya secara keseluruhan dengan member warna regional dan khususnya memperbaiki hubungannya dengan Indonesia. PM Australia, Gough Whitlam, berpandangan sama dengan Indonesia, bahwa Timor –Leste yang merdeka bukanlah opsi yang baik dan diberi tahu bahwa aneksasi Timor Portugis sudah menjadi kebijakan Indonesia yang ‘tetap’. Apapun niat dia sebenarnya, dalam kedua pertemuan dengan Presiden Soeharto pada 1974-1975, Whitlam memberi Presiden Soeharto kesan yang kuat bahwa ia melihat perlunya pengambilalihan oleh Indonesia, bahkan meski mengakui pengtingnya menegaskan prinsip penentuan nasib sendiri[5].
Setelah invasi Timor-Leste, pejabat-pejabat Indonesia menghidupkan kembali argumen historis (dan etnis) bagi integrasi. Dalam pidatonya di hadapan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 13 Desember 1975, enam hari sesudah invasi Dili dan sepuluh hari setelah ia menyangkal mengenai ambisi territorial Indonesia di Timor Portugis, Duta Besar Indonesia untuk PBB Anwar Sani menyatakan[6]:
Perkenankan saya terlebih dahulu menjelaskan mengapa Indonesia sangat peduli akan apa yang terjadi di Timor Portugis. Timor Portugis adalah bagian dari Pulau Timor, bagian lain dari pulau tersebut adalah wilayah Indonesia. Timor terletak di tengah-tengah kepulauan Indonesia, satu dari ribuan pulau yang membentuk kepulauan. Penduduk Timor Portugis… berasal dari etnis yang sama dengan penduduk yang berada di wilayah Indonesia. Pemisahan selama 450 tahun karena dominasi kolonial tidak menghapuskan ikatan erat darah dan kultur antara penduduk wilayah ini dan kerabat mereka di Timor Indonesia. Kedekatan geografis dan kekerabatan etnis adalah alasan-alasan penting mengapa Indonesia sangat peduli dengan keamanan dan stabilitas di Timor Portugis, tidak hanya karena kepentingan Indonesia sendiri tetapi juga untuk kepentingan seluruh wilayah Asia Tenggara[7] 
Tidak Sekadar Tanggungjawab Indonesia
Menurut laporan CAVR[8] yang berjudul Chega![9] didapati bahwa persoalan pelanggaran HAM di Timor Leste tidak hanya merupakan tanggung jawab pemerintah Indonesia. Selain pemerintah Indonesia, dalam laporan tersebut juga berkesimpulan bahwa pemerintah Portugal, Australia, Amerika Serikat, dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) juga bertanggungjawab terhadap berbagai kasus yang menyebabkan jatuhnya ratusan ribu korban sipil di Timor Leste selama kurun waktu tahun 1974-1999[10].
Kesimpulan CAVR adalah Pemerintah Indonesia bertanggung jawab karena mengabaikan hak rakyat Timor atas penentuan nasib sendiri dan melakukan pendudukan militer yang dicirikan oleh represi kekerasan, yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat[11]. Selain itu, CAVR juga menyimpulkan tanggung jawab Pemerintah Indonesia atas pelanggaran yang dilakukan anggota pasukan keamanan Indonesia dan petugas pemerintah[12].
Portugal juga melanggar hak rakyat Timor atas penentuan nasib sendiri. Dalam pandangan CAVR, Portugal mengambil langkah yang tidak memadai untuk mencegah invasi Indonesia yang jelas bisa diperkirakan. Meskipun akhirnya Portugal akhirnya meminta bantuan masyarakat internasional, Portugal seharusnya melakukan ini lebih awal. Dengan alasan ini, CAVR berkesimpulan bahwa Portugal tidak memenuhi kewajibannya sebagai penguasa, termasuk kewajiban untuk melindung rakyat Timor Leste dari bahaya[13].
Australia punya andil besar dalam pengabaian hak rakyat dalam penentuan nasib sendiri sebelum dan sesudah pendudukan Indonesia. CAVR berkesimpulan kebijakan Australia tentang Indonsia dan Timor-Leste selama periode ini dipengaruhi tidak hanya oleh kepentingan menjaga hubunganbaik dengan Indonesia, tetapi juga oleh penilaian bahwa Australia akan bisa mengambil keuntungan dalam perlindungan mengenai batas maritim di Timor apabila melakukan perundingan dengan Indonesia dan bukannya Portugal atau sebuah Negara Timor-Leste yang merdeka.
CAVR juga berkesimpulan dari penelitiaannya bahwa cara Australia mempresentasikan pendiriannya memperkuat keinginan Pemerintah Indonesia untuk mengambil wilayah Timor-Leste[14]. Kesimpulan lain adalah selama pendudukan Indonesia berbagai pemerintahan di Australia tidak hanya mengabaikan hak rakyat Timor atas penentuan nasib sendiri, tetapi secara aktif terlibat dalam pelanggaran hak rakyat Timor. Setelah mendukung resolusi pertama pada 1975 pemerintah Australia menentang atau bahkan abstain dari resolusi-resolusi Majelis Umum PBB setelahnya yang mengakui hak rakyat Timor atas penentuan nasib sendiri.[15]
Selain tidak mendukung atas hak menentukan nasib sendiri Amerika Serikat juga member dukungan politik dan militernya dalam invasi dan pendudukan Indonesia.[16]  Meski dalam tragedi Santa Cruz Amerika telah membatalkan kerjasama militer dengan Indonesia oleh CAVR dinilai sebagai tindakan reaktif. Sementara pelanggaran besar-besaran pada September 1999 ketika Presiden Clinton menggunakan pengaruh besar AS untuk menekan pemerintah Indonesia untuk menerima kehadiran pasukan internasional di wilayah Timor-Leste, CAVR berkesimpulan pengaruh besar AS mengapa tidak dimanfaatkan lebih awal jika saja AS mau[17]
Terhadap PBB, CAVR menyimpulan PBB mengambil tindakan yang tidak memadai untuk melindungi hak rakyat Timor Leste atas penentuan nasib sendiri selama periode invasi dan pendudukan. Sidang Umum mengeluarkan resolusi mengenai situasi di Timor-Leste setiap tahun sejak 1975-1982. Selama periode tersebut teks resolusi semakin melemah dan sejumlah Negara yang memilih mendukung resolusi semakin berkurang. Tahun 1981 hanya sekitar sepertiga Negara anggota PBB menyetujui resolusi yang mendukung tahun itu.
Dewan Keamanan sebagai lembaga PBB yang bertanggung jawab menjaga perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 24 [1] Piagam PBB), berada pada posisi paling sesuai untuk menyelesaikan persoalan Timor-Leste. Meskipun Dewan Kemanan mengutuk invasi Indonesia tahun 1975 dan sekali lagi pada 1976, menurut CAVR Dewan Kemanan tidak melakukan tindakan penegakan hukum sesuai pasal VII. Maka, CAVR berkesimpulan Dewan Keamanan tidak memenuhi kewajiban sesuai prinsip dan tujuan PBB serta kewajiban khusus yang tertuang dalam Piagam lembaga ini.
CAVR juga berkesimpulan, lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB serta Jepang –anggota tidak tetap- mengutamakan kepentingan ekonomi dan strategis –selama periode pendudukan Indonesia- di atas tujuan dan prinsip PBB, yang harus mereka junjung sebagai anggota Dewan Keamanan. Seperti Amerika Serikat yang menyetujui penjualan senjata yang digunakan untuk melawan perlawanan penduduk sipil Timor-Leste[18].
Joseph Navins juga menemukan keterlibatan aktor-aktor internasional pada persoalan ini. Sikap diam mereka terhadap pelanggaran HAM di Timor Leste menyisakan sebuah persoalan yang terus dicari sebabnya. Pada masa pendudukan Jakarta, Navins melihat Canberra justru memanfaatkan situasi dengan mengeksploitasi perang penaklukan Jakarta dengan efektif mencuri sumberdaya Timor-Timur, pasca pendudukan ia kembali melanjutkan pencurian tersebut dengan metode diplomasi bilateral[19]. Sumber daya itu tak lain adalah cadangan minyak dan gas yang terkandung dalam perut laut Timor yang bernilai miliaran dolar. Satu wilayah yang secara hukum internasional merupakan wilayah Timor Leste.
Meski demikian, masyarakat internasional pula yang pada akhirnya berperan serta penuh dalam campur tangan referendum dan kemerdekaan Timor Leste.



[1] Portugal memasuki Timor tahun 1500an untuk mencari kayu cendana. Gereja Katolik mendirikan sebuah gereja di Lifau, Oecusse tahun 1590. Perang Belanda-Portugis menentukan siapa yang akan menguasai koloni tersebut. Pada 1709 administrasi Portugis pindah ke Dili. Pada 1850an Portugis memperluas wilayahnya ke sueluruh Timor Leste dan memaksa penduduk un tuk menanam kopi. Pernah terjadi pemberontakan akibat kerja paksa ini dan mengakibatkan sekitar 25.000 masyarakat lokal tewas. Politik adu domba yang dijalankan Portugis, berhasil memecah belah persatuan raja-raja lokal. Jepang sempat menduduki Timor, namun setelah Perang II selesai, Portugal kembali lagi ke sana melanjutkan kekuasaannya di bawah Presiden Salazar. Pada 25 April 1974 terjadi kudeta di Portugal yang pada akhirnya tidak bisa lagi efektif menjalankan pemerintahannya di sana. Terjadilah semacam kekosongan pemerintahan. Sumber: film Dalan ba Dame, dirilis oleh Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor –Leste (CAVR) 
[2] Kepercayaan terhadap Presiden Salazar menurun dan terjadilah kup militer dipimpin oleh Jenderal Antònio Spínola-kemudia menjadi Presiden.  
[3] UDT (União Democrática Timorense, Uni Demokratik Timor) didirikan 20 Mei 1974. Sembilan hari setelah berdirinya UDT, pada 20 Mei, Asosiasi Sosial Demokratik Timor (Asociação Social Democrata de Timor, ASDT) yang kemudian mengganti nama menjadi Fretelin didirikan pada September 1974
[4] J.R Walsh dan G.J Munster, Documents on Australian Defense and Foreign Policy 1968-1978, Hongkong, 1980. 192-193
[5] CAVR, Chega!, 175-176
[6] Ibid, 178.
[7] Dikutip dari pernyataan Duta Besar Sani kepada majelis Umum PBB 13 Desember 1975, dicetak ulang dalam Muchmuddin Noor, Lahirnya Propinsi Timor-Timur, Badan Penerbit Almanak Republik Indonesia, 1977. hal 271
[8] Comissiao de Acholhimento, Verdade e Reconciliacao atau Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor –Leste (CAVR). Komisi ini adalah komisi kebenaran pertama di Wilauyah Asia Pasifik. CAVR berjalan selama empat tahun, 2002-2005, dan merupakan satu otoritas resmi independen Timor-Leste. Komisi ini diberi mandate untuk menetapkan kebenaran mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di semua sisi, 1974-199, untuk membantu rekonsiliasi komunitas pada tindak kejahatan yang kurang berat, dan melaporkan mengenai temuan dan rekomendasinya. 
[9] Chega adalah kata dalam bahasa Portugis yang artinya “tak akan lagi, hentikan, cukup”.
[10] Laporan CAVR itu telah menetapkan secara ilmiah bahwa setidaknya 102.800 orang (penduduk sipil) mati dalam kurun waktu 1974-1999 karena sebab-sebab terkait konflik. Dari seluruh jumlah ini sekitar 18.600 orang dibunuh secara tidak sah atau hilang, dan setidaknya 84.200 orang mati karena kelaparan dan penyakit, Buku Panduan, hal 12  
[11] Chega!, Vol. IV, Bagian 8: Tanggung jawab dan pertanggungjawaban, hal. 2622 
[12] CAVR menyatakan bahwa Indonesia bertanggung jawab atas tindakan ABRI (baik TNI dan polisi pada 1999) serta tindakan unsur sipil pemerintah Indonesia (sesuai Pasal 4, ILC tentang Tanggung jawab Negara atas Tindak Pelanggaran Internasional). Serta terhadap pribadi-pribadi di mana Negara punya control atas orang tersebut, atau di mana orang tersebut bertindak atas perintah atau arahan Negara (Pasal 8, ILC tentang Tanggung jawab Negara atas Tindak Pelanggaran Internasional)  
[13] Ibid. hal. 2626
[14] Ibid. hal. 2627
[15] Ibid. hal. 2628
[16] Atas dasar hubungan baik dengan Indonesia dan memandang Indonesia rezim antikomunis yang dinilai sebagai benteng penting menghadapi penyebaran paham komunis di Asia Tenggara. Ibid, hal 2629
[17] Ibid, 2630
[18] Ibid, 2631
[19] Joseph Navins, Pembantaian Timor-Timur, Horor Masyarakat Internasional, Galangpress, 2008, hal.

Wednesday, November 23, 2011

Di Balik Operasi Djakarta

Sejak berdirinya negara, Amerika Serikat (AS) telah memiliki filosofi untuk mendedikasikan dirinya mendukung demokarasi liberal dan penegakan hukum. Komitmen ini dapat ditemukan dalam beberapa dokumen penting termasuk Declaration of Independence, Konstitusi, dan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Mulai dari George Washington sampai Barack Obama terus mengkliam dirinya bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) selama menjalankan pemerintahan baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam sejarah kebijakan luar negerinya, AS merupakan negara yang aktif melakukan ekspansi memperluas teritorialnya, ekonomi dan persebaran kultur negaranya. Akibatnya, sering terjadi konflik antara keinginannya mempromosikan demokrasi dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip HAM dengan kepentingan nasionalnya dalam hal keamanan maupun dalam memajukan ekonomi negaranya.
Pada masa Perang Dingin persoalan ini terjadi ketika AS mendukung sejumlah diktator sayap kanan di beberapa negara. Di Chile, AS mendukung kudeta militer pemerintahan Augusto Pinochet (1973-1990) yang didukung oleh operasi CIA dengan nama sandi "Operasi Djakarta." Pinochet kemudian, menjalankan pemerintahan secara otoriter yang kerap melakukan pelanggaran HAM dan anti demokrasi.
Persoalan ini tentu memunculkan beberapa pertanyaan di antaranya; Apa sebenarnya yang melandasi AS mendukung rezim Pinochet? Mengapa AS rela ‘mengorbankan’ politik idealnya? Dan apa sejatinya makna HAM dan demokrasi bagi politik luar negeri AS pada masa Perang Dingin?
Tentu saja, perilaku politik Amerika seperti ini banyak menuai kecaman dari negara-negara lain karena Amerika sering membanggakan dirinya sebagai kampiun dan garda demokrasi, dengan tradisi demokrasi yang kuat sejak deklarasi kemerdekaannya 4 Juli 1776 hingga kini.
Di titik inilah politik luar negeri AS kerap bertolak belakang terhadap nilai-nilai ideal yang diyakini AS, yaitu dukungan terhadap demokrasi dan pemajuan HAM. Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa hal itu bisa terjadi? Di mana posisi nilai-nilai tersebut dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri AS?
Menggunakan pendekatan kualitatif dengan menganilisis data terutama dari dokumen-dokumen yang sudah dirilis Departemen Luar Negeri AS, buku-buku, jurnal dan sejumlah artikel di website, penelitian ini ingin menjawab berbagai pertanyaan di atas.
Tesis penelitian ini adalah sebuah konsep yang penulis sebut sebagai “capital securitizing”. Konsep capital securitizing merupakan definisi operasional yang ingin menjelaskan bagaimana cara kerja dari proses pembuatan kebijakan luar negeri AS yang tidak sejalan dengan nilai-nilai ideal politiknya.
-------

Berikut dua endorsement dari Baskara T. Wardaya dan Robert Bala setelah membaca tesis saya, berikut petikannya:

"Secara geografis boleh saja dikatakan bahwa negara Chile itu sangat jauh dari Indonesia. Namun demikian kasus-kasus yang dialami Chile dalam hal pengaruh Perang Dingin, cengkeraman modal asing serta ambiguitas pelaksanaan demokrasi sangat mirip dengan Indonesia. Dengan jeli buku ini menggambarkan semuanya itu dan kita bisa belajar banyak darinya."

Baskara T. Wardaya
, penulis buku Cold War Shadow: United States Policy toward Indonesia 1953-1963.

Studi kasus Cile yang dibuat Daniel Awigra, menunjukkan bahwa idealisme demokrasi begitu kontradiktif di lapangan. Jaminan modal ternyata lebih kuat ketimbang idealisme demokrasi. Kasus yang sama akan terus melukai sejarah karena kata dan laku, idealisme dan praksis tidak hadir secara sinkron.

Robert Bala, Pemerhati Amerika Latin