Pages

Tuesday, July 31, 2007

Singa Mesopotamia Mengukir Sejarah

"Singa Mesopotamia" Iraq mengukir sejarah. Mereka tampil perkasa menumbangkan "Rajawali Hijau" Arab Saudi, dalam final Piala Asia 2007, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (29/7). Lewat sundulan kapten Iraq, Younis M. Khallef, Arab digulung, 1-0 (0-0).

"Kemenangan ini kami persembahkan untuk rakyat Iraq yang menderita akibat perang," ujar Younis usai pertandingan. Dia juga menambahkan, kemenangain ini juga ditujukan bagi pengorbanan seorang ibu yang kehilangan anaknya usia 12 tahun, dalam insiden bom di Baghdad yang menewaskan 50 orang beberapa hari yang lalu usai Iraq memastikan diri lolos ke final dengan menundukan Kesatria Teaguk, Korea Selatan lewat drama adu pinalti.

Sementara pelatih Iraq, Jorvan Vieira berpendapat, harusnya timnya bisa mencetak gol lebih banyak. Tapi dia juga mengaku sangat bangga melihat anak asuhnya dan orang-orang Iraq yang disebutnya pekerja-pekerja keras. Pelatih Arab Saudi Helio dos Anjos, juga mengakui kehebatan lawannya.

Dengan ini, Iraq untuk pertama kali menjuarai ajang sepak bola paling bergengsi di Asia, asekligus mematahkan ambisi Arab menyabet gelar keempatnya di Pila Asia. Timnas dari ‘negeri seribu satu malam’ ini berhasil memberikan senyum dan kebahagiaan kepada rakyat yang sedang menderita akibat invasi Amerika Serikat.

Tanggung jawab yang sangat besar untuk membuat rakyat Irak tersenyum lewat sepak bola, ditunjukkan dengan konsentrasi tinggi dan perjuangan sangat gigih Younis dan kawan-kawan.

Pertarungan dua raksasa Asia Barat kemarin sungguh sangat luar biasa. Dendam kesumat untuk saling mengalahkan sangat membara. Pada Piala Asia 1996, Arab Saudi unggul tipis 1-0. Kemudian pada 26 Juli 2004, "Singa Mesopotamia" mengalahkan Arab Saudi di penyisihan Grup C Piala Asia di Stadion Sichuan Longquanyi, Chengdu, China. Di Jakarta, Iraq kembali
menunjukkan keperkasaannya.

Satu-satunya gol yang menghantar Iraq menjadi kampiun Asia adalah lewat sundulan Younis memanfaatkan umpan Hawar Taher dari sepak pojok pada menit ke 70. Bola dari kiri lapangan Arab gagal dihalau oleh kiper Yasser Al Mosailem. Tanpa mengalami banyak kesulitan penjagaan, Younis dengan cermat menjemput bola dengan tandukan kepalanya.

Tampil sangat dominan, Arab dibuat kuwalahan dan hanya bisa bertahan dan sesekali melakukan serangan balik. Dari pengamatan penulis, Yasser Al Qathani yang dikawal ketat tiga pemain bertahan Iraq hanya mampu menghasilkan satu peluang emas pada menit ke-44 babak pertama. Sisanya, Yasser tak mampu banyak berkutik. Supply bola dari pemain tengah Arab kepadanya selalu kandas oleh pemain-pemain bertahan Iraq.

Malek Alhawsawi yang pada laga semifinal melawan Jepang menjadi pahlawan Arab, malam itu juga praktis hanya mendapatkan satu peluang pada menit ke-67. Selebihnya, lini pertahanan Arab digempur habis-habisan.

Masih bersyukur Al Mosailem tampil baik hanya kebobolan satu gol. Padahal, Iraq berhasil melakukan 11 shoot on goal yang menusuk hampir saja mengoyak jaring Arab.

Pemain Iraq pemilik nomor punggung 11, Hawar M. Taher tampil gilang-gemilang. Ia mampu memenangkan duel dan menjadi inspirator serangan Iraq.

Dihadapan lebih dari 50 ribu pasang mata yang menyaksiskan langsung serta puluhan juta pasang mata di seluruh dunia, Iraq akhirnya menjadi juara Asia. Dan Jakarta yang malam itu diterangi purnama, menjadi saksi sejarah yang akan selalu membekas bagi warga Iraq khsusnya.

Pemain Terbaik
Younis M. Khallef striker yang kini bermain di Liga Qatar bersama klub
Al Gharafa menjadi pahlawan Iraq. Selain menjadi Pemain terbaik Piala Asia 2007, ia juga mampu menyamai ketajaman Yasser Al Qathani dengan sama-sama mengoleksi 4 gol.

ANAK-ANAK SORGA

Suatu hari, Ali Mandengar sulung dari seorang keluarga miskin sedang berbelanja di sebuah warung penjual sayur-mayur. Ia baru saja pulang dari mengambil sepatu Zahra -adiknya- yang baru saja diperbaiki. Namun, malang bagi Ali, sepatu Zahra diambil orang.
Pulang dengan wajah sedih, Ali menceritakan kepada Zahra apa yang terjadi. Zahra begitu sedih mendengar sepatunya hilang.
Sebagai bentuk pertanggungjawabannya, Ali meminjamkan sepatunya kepada Zahra untuk dipakainya bersekolah. Mereka selalu bergantian sepatu di sebuah gang. Zahra yang baru duduk di kelas 1 sekolah dasar, masuk pagi. Dan ia selalau terburu-buru untuk pulang supaya kakaknya tidak terlambat sekolah.
Mulai dari sini Ali yang cerdas mulai dilanda masalah di sekolahnya. Ia selalu datang terlambat.
Kesempatan bagi Ali untuk dapat mengganti sepatu Zahra tiba ketika ia melihat ada sebuah pengumuman perlombaan lari jarak jauh antar pelajar.
Namun malang bagi Ali, ia terlambat mendaftar. Ia membujuk guru olahraganya. Tetap saja, izin mengikuti lomba itu tidak diberikan. Seperti umumnya anak-anak Ali pun meneteskan air mata. Sambil menangis, ia berjanji akan menjadi juara.
Kesempatan pun tidak ia sia-siakan. Walaupun ia menjuarai lomba, tetap saja, ia tak bisa mengganti sepatu adiknya yang hilang. Karena ia menjadi juara pertama. Padahal hadiah sepatu diberikan kepada juara ketiga. Kebahagiaan sebagai juara pertama samasekali tidak diharapkan Ali. Satu-satunya kebahagiaan baginya adalah mampu menggantikan sepatu Zahra.
Pesan persaudaraan dan pesan berbagi dalam Children of heaven, bukan saja dimaksudkan -melulu- untuk saling memberi dan menerima sesama orang menderita. Namun, bagi siapa saja di muka bumi ini yang masih punya nurani.
Ali telah memberikan semua yang ia miliki demi melihat adiknya bisa bersekolah. Dan Zahra, walaupun dia baru saja di kelas 1 sekolah dasar, mampu memahami perasaan ibunya yang sedang sakit dan bapaknya yang tidak punya cukup uang untuk membelikannya sepatu baru. Maka, Majid Maijidi tepat sekali memberi judul film itu; Children of Heaven atau anak-anak sorga.
Kisah Ali dan Zahra bagiku bukan kisah yang mengada-ada. Itu sungguh-sungguh nyata. Aku adalah saksi hidup atas cerita-cerita semacam itu. Aku dilahirkan dan dibesarkan dalam situasi umum -kampung halaman- di mana kemiskinan hampir menghantui setiap keluraga.
Seolah-olah, siapa yang bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan semacam itu, dia ibarat mendapatkan mukjizat zaman ini.
Padahal, jika kita mau jujur, permasalahan kemiskinan di muka bumi ini bukan disebabkan oleh kesalahan si-miskin yang bodoh, dan malas. Namun, ketika kita melihat bumi di sebelah 'utara' sana, dan ketika setiap orang rela berbagi sedikit saja apa yang menjadi kelimpahannya, tidak akan terjadi apa itu kelaparan di 'selatan'

Monday, July 30, 2007

MENYUSUR KAWASAN PECINAN LAMA, MENGUAK POLITIK ADU DOMBA

Menyusuri jalan-jalan sempit dan pengap di kawasan Pecinan Lama - Glodok, Jakarta Barat pada suatu siang bolong di hari Minggu, sama juga seperti menyusuri lika-liku serta panas teriknya kehidupan etnis tionghoa di Indonesia.
Sikap penguasa negeri ini terhadap etnis berkulit kuning, ikut menentukan pasang-surutnya gelombang kehidupan mereka.
Bersama dengan teman-teman Komunitas Agenda 18, sampailah kami pada sebuah klenteng berusia lebih dari 350 tahun di Jalan Kemenangan III. Kim Tek Ie, itulah nama yang diberikan oleh pendirinya, Kapitein Oei Tjhie.
Dalam bahasa Indonesia kata Kim Tek Ie berarti; Kelenteng Kebajikan Emas. Hal itu dimaksudkan untuk mengingatkan manusia agar tidak hanya mementingkan kehidupan materialisme tetapi lebih mementingkan kebajikan antar manusia.
Etnis Tionghoa di Jakarta
Sejak zaman dulu, wilayah yang saat ini disebut Jakarta sudah dikenal sebagai kota perdagangan. Banyak orang dari berbagai penjuru dunia mengadu nasib di sini. Tentu saja, Jakarta menjadi kota yang kaya akan etnis dan bahasa.
Fa Hien (seorang misionaris Buddha asal Cina, sekitar tahun 414 masehi) mencatat, dalam berita Cina, mereka sudah menjalin hubungan dengan kerajaan To Lo Mo (Taruma Negara). Ia juga mencatat, telah ada penganut agama Buddha di pulau Jawa, walaupun masih dalam jumlah yang tidak banyak.
Baru, pada abad ke-12 sampai abad ke-16 perdagangan di pelabuhan Kalapa menjadi sangat ramai. Orang-orang Cina yang menjadi pedagang dan tinggal di Kalapa mendapat jaminan perlindungan dari Kaisar Ming.
Semasa kedudukan VOC, mereka mendesain Jayakarta menjadi BataviaJakarta tempo dulu – sebagai kota heterogen. Jan Pieterzoon Coen mengajak Siauw Beng Kong salah seorang tokoh Cina di Banten, pada Oktober 1619 beberapa bulan setelah Coen menguasai Jayakarta (30 Mei 1619) membangun Batavia. Maka, Siauw Beng Kong diangkat sebagai Kapiten Der Chinese.
Bersama orang-orangnya, Siauw Beng Kong mendapat hak khusus untuk menempati perkampungan khusus etnis tionghoa di Glodok.
Komunitas Cina ditempatkan pada sebelah Selatan kasteel yang kini dikenal dengan kawasan Pecinan Glodok, Toko Tiga Seberang, Patekoan atau Jalan Perniagaan, Pasar Pagi Lama, Pancoran dan Petak Sembilan. Mereka bebas melakukan ritual keagamaan dan meneruskan tradisinya. Seperti perayaan Imlek, Cap Go Meh, Peh Cun, Barongsai dan Liong. Arsitektur rumah-rumahnya pun dibolehkan memuat gaya Mandarin.
Dibolehkannya komunitas Cina melakukan ritual keagamaan, maka dibuatlah klenteng (rumah ibadat penganut Budha). Satu di antaranya adalah klenteng Kim Tek Ie.
Tragedi 1740
Sejarawan Betawi Alwi Shahab (69), dalam bukunya “Robin Hood Betawi”, tragedi ini bermula dari isu pada bulan September 1740. Di mana, ratusan –mungkin lebih– orang Cina yang di deportasi Belanda ke Sri Lanka (waktu itu menjadi jajahan Belanda) dilempar ke laut. Mendengar berita ini, orang-orang etnis tionghoa di Batavia menjadi marah. Aksi balas dendam pun dirancang.
Awal Oktober 1740, dengan dilengkapi senjata hasil rampasan tentara Belanda, orang-orang Cina bergerak menyerang kekuatan kecil Belanda di Meesteer Cornelis (kini Jatinegara) dan Tanah Abang. Serangan itu menewaskan lima puluh tentara kompeni.
Kemudian, di bawah pimpinan Jendral Van Imhoff, tentara Belanda melakukan operasi pembersihan. Dengan kekuatan utuh, pertumpahan darah menjadi tak terelakkan lagi.
Pagi-pagi buta, tanggal 9 Oktober 1740, seperti ditulikan Willard A Hanna dalam buku Hikayat Jakarta, “Tiba-tiba, secara tidak terduga, seketika itu juga terdengar jeritan ketakutan bergema di seluruh kota. Dan terjadilah pemandangan paling memilukan dan perampokan di segala sudut kota.”
Gamabaran horor pembantaian itu dipertegas lagi oleh Hanna, “Semua orang Cina tanpa kecuali! Pria, wanita, dan anak-anak diserang. Baik wanita hamil maupun bayi yang sedang menyusu tak luput dari pembantaian yang tak mengenal prikemanusiaan. Ratusan tahanan yang dibelenggu, disembelih seperti menyembelih domba.”
Tragedi itu menewaskan sekitar sepuluh ribu etnis Cina di Glodok. Menurut cerita salah seorang yang tinggal di sekitar klenteng itu, orang-orang yang berhasil lolos dari tragedi itu, mereka lari ke benteng para pejuang Indonesia di Tangerang. Makanya, kata dia, sekarang banyak orang etnis Tionghoa di Tangerang yang disebut Cina Benteng.
Kim Tek Ie juga musnah terbakar dalam tragedi pembantaian Angke. Satu-satunya yang menjadi saksi bisu adalah sebuah altar (meja sembahyang) yang bertuliskan angka 1724.
Roda sejarah
Roda sejarah terus berputar. Siang berganti malam. Rembulan tersenyum dan menghilang. Tahun demi tahun menggelinding begitu saja. Namun, negeri ini tidak juga bisa menyelesaikan persoalan diskriminasi baik atas dasar warna kulit, agama, persepesi politik dan lain-lain.
Pelabelan sepihak kepada satu golongan masyarakat terus dipelihara sebagai investasi politik adu-domba demi tujuan tertentu.
Mei 1998 -kembali- etnis tionghoa menjadi korban kerusuhan yang tak kalah tragisnya dengan apa yang terjadi pada 1740.
Menurut catatan Wilkipedia, isu itu dimulai dari benih kecemburuan yang sengaja diciptakan oleh kelompok-kelompok militer dengan dibantu aktivis-aktivis sesat (geng, Pemuda Pancasila, dll) termasuk kelompok yang meyalah gunakan agama Islam, terus menerus dalam usahanya untuk mempertahankan kekuasaan dengan segala cara.
Pemerkosaan massal, pembakaran, dan perampasan paksa yang terjadi pada tanggal 12 dan 13 Mei 1998 adalah salah satu puncaknya, di mana rakyat jelata (sebagian besar kaum pribumi miskin) diprovokasi oleh tim militer dibawah pimpinan Prabowo Subianto untuk melakukan aksi pengrusakan dan pembakaran di Jakarta dan Solo, menyusul insiden sebelumnya di Medan. Ironisnya, bukan saja kaum keturunan Cina yang menjadi korban dari tragedi ini, namun juga kaum pribumi jelata yang tewas mencapai ribuan karena terpanggang dan aksi brutal polisi.
Pemerkosaan dan pembunuhan massal terhadap perempuan-perempuan keturuan Cina yang meskipun hingga kini oleh politisi/militer dan terutama oleh golongan yang mengaku dirinya pembela Islam, terus menerus disangkal. Padahal, bukti-bukti menunjukkan insiden tersebut benar-benar telah terjadi dan memakan ribuan jiwa.
Pengusutan terhadap tragedi ini, menjadi hanya gincu politik yang tak pernah serius diungkap. Karena, mengungkap tragedi ini ibarat menunjukkan aib dari para penguasa yang sedang memimpin sekarang. Aib tetaplah aib. Seberpa pun rapatnya penguasa menyimpan rapi di almari besinya, tetap saja kebenaran akan tetap berteriak-teriak.

Meminjam kata-kata Seno Gumira Ajidarma, kebenaran itu dapat diungkap salah satunya dengan karya sastra. Karena akar sastra adalah kebenaran. Ketika jurnalisik yang bekerja mengungkap fakta dibungkam oleh penguasa, dibantu oleh para politikus yang menurut Seno kerjanya hanya menutupi fakta. Maka fakta bisa saja tidak terungkap. Namun tidak bagi sebuah kebenaran. Dari situ Seno menulis sebuah buku yang berjudul, “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”.
Akhir Juli 2007
Daniel Awigra

Saturday, July 28, 2007

Benih Globaliasasi Ditanam Di Atas Genangan Darah

Bayangkan apa yang sedang terjadi di dunia tempat kita hidup dan bebrpijkak saat ini; Golden Sachs, perusahaan penanam modal yang memiliki karyawan sebanyak 161 orang, keuntungan bersihnya mencapai $ 2,2 juta per tahun. Jumlah itu, sama dengan pendapatan perkapita Tanzalnia yang berpenduduk 25 juta jiwa. General Motors memiliki asset yang lebih besar dibanding Denmark. Ford lebh besar dari Afrika Selatan. Dan untuk mempromosikan Nike, pegolf Tiger Woods dibayar lebih tinggi dibandingkan upah seluruh buruh yang membuat produk Nike di Indonesia.
Dunia tempat kita berpijak saat ini, memiliki penguasa baru. Batas-batas negara bukan sudah tidak lagi menghambat mereka untuk menjalankan misinya. Sebagai gambaran, wujud penguasa itu terfragmentasi dalam sebuah ilustrasi di atas.
Film garapan wartawan Australia, John Pilger berjudul The New Rulers of the World, mempertontonkan dengan gamblang para penguasa baru itu berakting di sebuah negara yang bernama Indonesia.
“Ratusan tahun lamanya, Indonesia itu dihisap oleh negara-negara utara. Bukan hanya Indonesia semua negara-negara kulit berwarna. Sehingga barat menjadi kuat, menjadi makamur, menguasai keuangan dan perdangangan. Sampai sekarang! Sekarang didikte oleh IMF dan Bank Dunia. Negeri yang begini kaya diubah menjadi Negara pengemis,” kata Pramoedya Ananta Toer di awal film itu.
Penguasa baru itu tak lain adalah korporasi-korporasi raksasa yang menjalankan bisnisnya lintas negara atau yang biasa kita sebut Multi National Corporations (MNC). Dengan kekuatan modal yang dimilikinya, ia mampu membuat aturan main baru dalam tata hidup bersama. Hanya dengan 200 perusahaan, seperempat kegiatan ekonomi dunia sudah dapat dikuasai.

Dalam film itu digambarkan bagaimana globaliasasi digambarkan mulai dari ia pertama kali menancapkan kukunya di Indonesia. Awalnya, mereka membantu menggulingkan sebuah pemerintahan yang pro-rakyat. Dan mendukung sebuah kekuasaan korup dan menghamba modal. Lebih dari satu juta jiwa dikorbankan pada medio Oktober 1965.
Kerjasama apik juga dibangun dengan media-media nomor wahid di muka bumi ini. Waktu itu, tak satupun media yang menulisnya sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan. Tapi, sebagai peristiwa demi keuntungan ekonomi barat. Time menulis, “Balas dendam dengan senyuman”. Media lain menulis, “Seberkas cahaya redup di Asia”.
Tak lama sesudah tragedi itu tepatnya tahun 1967, di Jenewa, Swiss diadakan sebuah pertemuan internasional. Temanya adalah, “Pengambilalihan bisnis di Indonesia”. Hadir di sana, David Rockefeller, Chase Manhattan, serta wakil dari perusahaan-perusahaan raksasa seperti; General Motor, British Cyeland, ICI, British American Tobacco, Leman Brothers, American Express, dan pengusaha-pengusaha minyak. Delegasi Indonesia datang atas perintah Soeharto.
Pertemuan itu berlangsung selama tiga hari. Hari pertama, delegasi Indonesia memberikan uriannya mengenai potensi kekayaan Indonesia. Hari kedua, adalah tanggapan audiens dengan membentuk lima divisi. Pertama, divisi sektoral, kedua divisi pertambangan, ketiga divisi jasa makanan, keempat divisi industri ringan dan terakhir divisi perbankan dan keuangan.
Di hari ketiga mereka menyusun agenda untuk menentukan persyaratan untuk masuk ke sebuah negara. Bahkan, infrastruktur hukum dibangun untuk melindungi kepentingan investasi mereka.
Jeffery Wiwers, dari universitas Northwestern kagum dan mengaku belum pernah melihat fenomena seperti apa yang terjadi di Swiss tahun 1967 itu. Di mana, pengusaha dari berbagai negara berkumpul, untuk Dari situ barulah mereka menyusun kebijakan yang menguntungkan mereka.
Dalam babak awal globalisasi, inilah yang disebut para penguasa baru itu sebagai “Awal yang baik bagi globaliasasi”. Ya, itulah kata mereka para penguasa-pengusa baru itu. Sebuah awalan yang mereka sebut ‘baik’ karena globalisasi ditanam di atas genangan darah.
John Pilger dalam film itu juga melakukan investigasi di mana ia mengaitkan sebuah tragedi berdarah yang pada akhirnya menggulingkan sebuah pemerintahan dengan berbagai kebijakan-kebijakan ekonomi yang dibuat oleh IMF dan Bank Dunia.
Dari situ, Pilger menangkap persoalan hutang yang menimpa negara-negara dunia ketiga. Ia mengajukan satu pertanyaan kepada seorang ekonom Bank Dunia. Bagaimana jika separuh pendapatan perkapita negara dunia ketiga dibelanjakan untuk membayar bunga hutangnya kepada Bank Dunia dan IMF?
Penghapusan hutang menjadi pangkal permasalahan yang harus menurut Pilger harus diselesaikan. Namun, apa jawaban ekonom itu, jika hal itu dilakukan, maka Bank Dunia atau IMF akan bangkrut. Karena hal itu tidak saja terjadi di Indonesia, tapi hampir di seluruh negara dunia ketiga.
Begitulah sekilah wajah penguasa-pengusa itu. Sosialisme menjadi idologi para kaplitalis. Sementara kapitalisme ada bagi si miskin. Anak-cucu si-miskin harus memikul hutang dengan pencabutan subsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi pendidikan, kesehatan dan berbagai kebutuahan sosial mereka.
Ke depan, jurang pemisah antara si-kaya dan si-miskin akan terus dipelihara. Pilger berhasil menemukan dokumen US Space Command vision 2020. di sana, diungkap, hanya kekuatan militerlah yang dapat melindungi kepentingan kapitalisme.
Yang sangat menarik dari film itu adalah pesan Pilger terakhir. Ia menutup semua uraiannya dengan sebuah optimisme. “Karena bukan berasal dari Tuhan, maka hal itu bisa diubah”.

Thursday, July 26, 2007

Dua Puluh Enam

Aku sudah memulai sebuah pendakian. Tapak-tapak kakiku pun sudah berceceran di belakangku. Namun, tapal batas jalan baru menunjukkan angka 26. Entah sampai berapa patok-patok angka itu selesai berhitung dan menyapaku.

Saat ini, adalah hari ke-26, bulan ke 7 tahun masehi. Aku memutuskan berhenti agak lama. Selain beratnya kaki untuk diajak -kembali- melanjutkan langkah, aku juga masih ingin bergelut dengan angan dan rasaku sendiri.

Bersandar pada punggung bebatuan ditemani semilir angin pegunungan, dahaga di kerongkonganku berlahan muali sirna.

Perhentian demi perhentian memang telah aku lalui satu per satu. Namun, perhentianku saat ini sedikit berbeda. Selain musim dan tempat peristirahatannya yang berbeda, tanda-tanda disekelilingku pun jika kuperhatikan cukup unik.

Aku sesungguhnya tidak tahu kapan aku pertama kali memulai perjalanan ini. Seseorang beberapa kali memberi tahuku kapan aku memulai perjalanan ini. Walau aku tidak tahu sama sekali kapan aku mulai perjalanan ini, namun aku sungguh percaya kepada orang itu. Dan
ingin kukabarkan kepada dunia, aku sungguh mencitai orang-orang itu. Dan hidupku kupersembahkan untuknya. Dia yang telah berperang dengan hidupnya sendiri demi aku. taruhannya, hidupnya sendiri.

Dia bilang, ketika itu fajar belum juga menampakkan dirinya, ayam jantan pun masih terlelap di ujung mimpinya. Kala itu musim panas. Dan waktu itu, orang masih lebih percaya takhayul dari pada ilmu pengetahuan.

Sama seperti hari ini, perjalananku juga dimulai pada hari ke-26 pada bulan ketujuh tahun masehi.

Dalam perhentian ini, aku tidak ingin sekedar melepas lelah. Aku mencoba membalikkan badan. Aku melihat sisa-sisa tapak kakiku. Dan kulihat jejaknya. Karena, hanya itu yang tersisa. Bayanganku pun sudah berada di bawahku. Mungkin sebenatar lagi, dia akan mendahuluiku.

Jejak-jejak itu mulai kuhidupkan kembali lewat memori dan rasa yang masih tersisa. Mencoba mengenang setiap jejak, seperti melihat diriku dalam sebuah rumah kaca yang sudah mulai buram.

Tak apalah, biarlah itu menjadi cermin dirku sendiri yang utuh. Aku harus bisa menerima siapa diriku sesungguhnya, dalam kacamataku sendiri. Aku ingat waktu baru saja meninggalkan perhentian ke-25, asaku bangkit untuk menghalau semua keraguan dalam dada.

Aku memaknai pal 25 sebagai titik yang paling kritis. Aku menyambungkan angka 25 dengan matematika sederhana. 2 + 5 = 7. Dalam mitologi Jawa, angka 7 adalah simbol dari kematian. Artinya dalam 25 terkandung unsur yang bagi banyak orang menjadi hantu tersendiri. Dan 25 adalah titik pertengahan menuju 30. Dan pertengahan berarti juga ada keseimbangan. Aku percaya kala itu, ketika aku bermain-main dengan di 25, maka kematian resikonya.

Nah, dalam saat itu juga aku mulai merancang -dalam angan- seperti apa wujud kematianku nanti. Aku berharap dalam hidupku tidak usah banyak merepotkan orang-orang di sekelilingku. Kalaupun diizinkan, biarlah aku mati dalam sebuah perjuangan. Dengan tangan yang masih mengepal. Dan senyum yang terkembang. Gelora asa perjuangan itu yang akan kutitipkan dalam upacara kematianku.

Memulai hidup dari membayangkan sebuah kematian yang aku idam-idamkan, menjadi energi positif yang sungguh laur biasa. Aku tidak mau hanya sekadar numpang lewat atau hidup dengan tak memiliki keberartian. Aku ingin menjalani hidup untuk sebuah kematian yang berharga. Dari sana, kutrarik apa-apa saja yang mesti kulakukan selama menjalani hidup ini ke depan.

Kini aku berada di titik ke-26. Aku tidak mau lagi mengulang dan membatalkan apa yang sudah aku mulai. Aku mau melanjutkan perjalanan dan perziarahanku. Tentu saja, dengan banyak tambal-sulam di sana-sini. Aku sungguh sangat yakin dengan langkah-langkahku ke depan. Walaupun jalan ityu tidaklah selalu mulus dan rata. Kadang aku harus berputar dan memanjat tebing. Artinya aku sudah mantap dengan jalan hidupku yang mendaki, berkelok dan tak rata ini. Jatuh ke jurang dan terantuk karang terjal pun aku sudah siap.

Kali ini, aku ingin mencapai puncak gunung ini bersama-sama dengan banyak orang. Aku yakin, sudah banyak orang yang merintis perziarahan semacam ini. Mungkin mereka memilih jalan yang lain dari jalan yang kupilih. Tapi tak apalah. Justru siapa tahu, dari pengalaman yang mereka dapat aku bisa belajar dari mereka. Sekarang yang penting bagiku adalah mencari di mana mereka berada. Akan kubangun sebuah tenda kecil untuk berbagi.

Kekuatan-kekuatan baru
Dalam kesadaran ini, asa akan kutambatkan kembali. Bagaimana pun, ia laksana layar dalam sebuah penjelajahan samudra. Semakin banyak layar yang akan terkembang, semakin cepat pula bahtera itu mencapai benua. Namun, semakin berat pula menggerakkan roda navigasi. Salah-salah ingin segera menambatkan jangkar, justru aku khawatir kita salah jalur dan akhirnya terjebak dalam pusaran hujan badai.

Anganku sedang mengarungi samudra raya dalam sebuah bahtera yang dihantam ombak dan ditimang-timang sang bayu. Jauh... jauh dari tempatku berpijak saat ini. Ngeri aku melihat.

Perasaan takut tiba-tiba menyeruak begitu saja. Gelap gulita di sekelilingku. Aku seperti kehilangan arah... Mata angin pergi bersembunyi ditutup mega-mega langit. Bintang pari penunjuk arah selatan, berubah menjadi kilat-kilat petir.

Tapi di saat-saat seperti ini aku ditantang sebagai seorang lelaki. Apakah intuisi kebenaran yang sudah berkompromi dengan rasio dan logika berani berhadap-hadapan dengan ketakuatan yang bisa saja menjadi nyata.

Sejumput kasih yang pernah mengalir dari air susu Ibunda, masih memberikan sebuah pesan akan kepercayaan untuk menjalani hidup untuk tidak pernah takut akan apa pun yang ada di muka bumi ini. Apalgi, bergumul dalam keraguan. Keberanianku mengambil resiko, adalah pilihan dewasa yang tak dapat disesali di kemudian hari.

Dua puluh enam, selamat tinggal. Aku akan kembali melangkah. Aku akan kembali menggendong tas dan memegang tongkat wasiat warisan leluhur. Akan kujalani hidup baru dalam semangat yang berkobar-kobar!!!

Monday, July 23, 2007

Satu Hari Pada Bulan Januari

Suatu hari pada bulan Januari di tepian pantai. Camar-camar menggodaku. Satu di antaranya menghampiriku. Ia kepakkan sayapnya, dengan cepat ia membalikkan badannya untuk kemudian pergi menjauh menyongsong ombak. Kebebasan menjadi begitu nyata dan merdeka.

Kulangkahkan kakiku di antara balok-balok dermaga. Menyusuri sisi senja ditemani riak-riak ombak, ibarat meniti sebuah jalan kehidupan lengkap dengan pasang-surut gelombang masalahnya.

Dalam balutan mega-mega, cahaya mentari menyeruak menembus gugusan awan. Sinarnya berpendar, kuning, jingga dan ungu bertabrakan di atas punggung-punggung air. Layaknya anak-anak bermain, bias-bias cahaya itu tampak lari kejar-mengejar menuju batas cakrawala. Tempat di mana dekapan kasih sang bunda samudra telah menanti.

Sekeruh apapun air yang datang dari muara-muara sungai, sang bunda tetap menerimanya. Ia pagut-pagut anak-anaknya yang baru saja pulang setelah sekian lama menghilang.

Kerinduan akan kasih itulah yang mengantarkan aku pada sebuah senja di tepian pantai.

Awal Januari,
Pantai Karang Bolong

Sunday, July 22, 2007

"Demam Sepak Bola"

Catatan ini kubuat dari pinggir lapangan hijau. catatan serampangan yang lebih banyak memunculkan unek-unek dan spontanitas untuk mengaitkan (secara kurangajar) apa-apa yang terjadi di lapangan hijau dengan apa-apa yang terjadidi dunia nyata.

Tersingkirnya Indonesia dari ajang Piala Asia 2007, memberi sebuah pelajaran berharga. Segala sesuatu tidak bisa didaptkan dengan cara instan. Semua harus berproses.

Tim Garuda dalam bahasaku hanya bermodal semangatjuang 45. Kemampuan individu dan tim masih kalah jauh dari lawan-lawannya di Grup D itu. Bayangkan saja, Bahrain adalah juara 4 Piala Asia 2004. Korea Selatan langganan Piala Dunia, dan pada tahun 2002, mereka menjadi Semifinalis di bawah asuhan tangan dingin Gus Hidink. Sedangkan Arab, seperti singa padang pasir. Mereka memiliki kecepatan, kekuatan, serta postur tubuh yang jauh dari rata-rata pemaian Indonesia. Sama seperti Korsel, Arab juga langganan Piala Dunia.

Modal semangat yang dimiliki Tim Indonesia didukungoleh penonton yang lebih dari 80 ribu orang. Mereka berasal dari berbagai tempat dan dengan berbagai problematikanya datang mendukung Indonesia untuk satu kata: MENANG.

Para pemain sudah mengeluarkan lebih dari apa yangmereka punya. Pelatih Ivan Kolev dalam jumpa persnya menyebut, "...Saya salut kepada anak-anak, karena mereka sudah siap mati di lapangan. Dan saya belumpernah melihat ini di tim manapun".

Bagiku, bukan faktor keberuntungan yang belum kunjung hadir. Namun benar apa yang dikatakan oleh salah seorang temanku, yakni keseriusan para official PSSI yang tidak layak didukung.

Kita lihat saja; Nurdin Halid, ketua PSSI tersangka kasus korupsi Minyak Goreng yang merugikan keuangan negara sampai 160 miliar. Masih syukur dia orangGolkar. Sehingga, persoalan hukum selesai lewat tawar-menawar politik. Sudah menjadi rahasia umum, pengadilan di sini belum bisa menjadi benteng terakhir untuk mencari dan menemukan keadilan.

Kemudian sistem kompetisi liga di Indonesia yang saben tahun berganti. Musim lalu sistemnya disatukan. Di mana tidak dipisah antara Indonesia barat dan Timur. Tahun sebelumnya ada pembagian regio barat-timur. Hal ini jelas sangat berpengaruh dengan konsentrasi pelatih, pemain dan sistem manajemen tim secara keseluruhan.

Indonesia tahun lalu juga urung memperkuat penyisihan Liga Champion Asia, karena keterlambatan official PSSI mendaftarkan timnya. Waktu itu, Arema Malang dan Persipura yang menjadi korbannya. Dengan enteng Sekjen PSSI Nugraha Besoes bilang, "... ini masalah internal, dan kami seang membahasnya didalam". Asumsinya, orang di luar PSSI tidak berhak bersuara atas kebijakan PSSI. Padahal, Nurdin Halid, dan teman-temannya itu dibayar oleh duit rakyat setiap bulannya.

Pengalaman bertanding di kancah Asia yang harusnya didapat oleh Arema dan Persipura dikorupsi olehpunggawa PSSI.

Tak puas menzolimi tim-tim yang harusnya berlaga di Liga Champion Asia, mereka juga mezolimi setiap orang yang ingin menonton langsung Piala Asia. Aku tidak pernah habis pikir, mengapa tiket selalu habis ketika loket paling baru buka beberapa jam. Kontan saja, massa antrian yang sudah tumpah ruah di jalan raya menjadi kehilangan kesabaran lantaran para calo dengan bebas menjual tiket itu di depan loket dengan harga minimal 3 kali lipat.

Hal ini juga bukan barang baru di sini. Kerjasama apik antara calo dan staf bagian tiket tidak saja terjadi di stadion. Di stasiun kereta pun terjadi hal seperti itu. Tempat duduk yang seharusnya menjadi hak penumpang, tidak diberikan. Namun ketika penumpang menanyakan kepada calo yang berkeliaran di area loket, mereka bisa mendapatkan tempat duduknya dengan tambahan uang (minimal Rp 20.000, ini sering terjadisaat mau menumpang kelas bisnis dari Jakarta ke Jogja,Solo, dsb).

Malangnya, hal ini selalu menimpa masyarakat kelas bawah. Tiket yang seharusnya senilai Rp 15.000 menjadiRp 50.000. Bahkan, partai melawan Korsel mencapai Rp 75.000. Dan ketika aku sampai pada jendela loket, iseng-iseng kutanya apakah masih ada tiket VIP? Jawabannya, .."tiket VIP harganya Rp 200.000 masih banyak,".

Menjadi wajar ketika jelang partai Indonesia vs Korsel, di depanku terlihat orang-orang murka dan akhirnya membakar loket II. Kembali, seolah-olah mereka -penonton Indonesia- yang mendapat label negatif. Mereka dicap tidak dewasa, dan selalu disalahkan.

Di sisi lain, orang-orang yang sanggup membeli tiket VIP biasanya mereka adalah orang-orang yang ogah mengantri. Aku tahu cerita ini dari kakakku yang bosnya selalu membelikannya tiket VIP. Sebagian dari mereka juga tinggal melakukan transaksi via on-line atau di mal-mal yang ditunjuk sebagai official partner. Mereka yang membeli VIP tidak pernah berhadap-hadapan langsung dengan calo. Dan dengan mengenakan baju atau yang dikenal jearsey original -Merah-Putih- mereka datang lengkap dengan harum parfum, duduk di tempat tak jauh dari Presiden SBY.

Menonton pertempuran pasukan Merah-Putih di lapangan hijau dan mengaitkannya dengan persoalan riil di masyarakat, adalah sisi lain dari sekadar menonton sepak bola. Di sana, muncul semacam fragmentasi kehidupan nyata di Indonesia.

Kekalahan Indonesia kemarin di ajang Piala Asia aku analogikan seperti orang yang terkena demam. Demam biasanya bukan penyakit sesungguhnya. Penyakit sesungguhnya tidaklah tampak, dan (memang) tidak (mau) menampakkan dirinya. Sehingga, menyalahkan mereka yang berjuang di lapangan hijau bagiku adalah tindakan yang -sama sekali- tidak adil.

Aku ingat betul ada sebuah media nasional yang menurunkan pemberitaannya seolah-olah menyalahkan salahsatu pemain Timnas saat laga Indonesia vs ArabSaudi. Waktu itu, Indonesia ditekuk Arab 1-2. Kuranglebih isi beritanya seperti ini; kekalahan Indonesia itu gara-gara Ivan Kolev mengganti Budi Sudarsono dan memasukkan Ismet Sofyan. Ismet yang baru saja turun, mengganjal pemain Arab dan wasit memberikan tendangan bebas yang akhirnya berbuah gol.

Ismet menjadi kambing hitam kekalahan Merah-Putih. Ditambah, prilaku wasit yang tidak adil, dan dikaitkan dengan asal wasit itu yang juga berasal dari jazirah Arab. Tak tanggung-tanggung, Presiden SBY juga terjebak dengan analisis sempit yang (dengan cepat menyalahkan wasitnya). Padahal, harusnya SBY melihat dulu siapa orang-orang dibalik 'seragamMerah-Putih' . Orang-orang itulah yang dalam bahasaku penyakit Timnas sesungguhnya dan musuh bangsa yang utama. Orang macam Nurdin Halid, Nugraha Besoes, dsb. Ketika semua ingin maju dan menang, justru birokrasi mengacaukan semuanya. Mereka korup dan hanya memikirkan diri sendiri, tanpa mau berjuangsungguh-sungguh bekerja untuk rakyatnya. Mereka lupa dibayar oleh siapa.

Begitu juga dalam peta politik. Di Jakarta misalnya, rakyat ingin Jakarta memiliki pemimpin yang baik. Tapi partai politik memberikan dua pilihan pasangan calon yang sama-sama bobrok. Partai politik tidak menjalankan fungsinya. Mereka bukannya mencalonkan kader terbaik dari paratainya masing-masing, eh malah mengajukan calon yang berasal dari luar yang merekahanya bermodal duit saja.

Dan aku rasa di aras keidupan lain, hal itu kurang lebih sama. Semoga saja tidak demikian ke depan!

Wednesday, July 18, 2007

Bangkitnya Poros Kebaikan

Geliat politik dunia semakin menarik. Tidak hanya cukup hanya untuk dipelajari, namun juga untuk mulai diimplementasikan!
Fidel Castro, pemimpin Cuba menyebut fenomena dunia saat ini dengan bangkitnya kembali negara-negara sosialis, anti kapitalisme sebagai "The changing map".
Foto ketiga pemimpin negara itu sungguh sangat menginspirasi.

Evo Morales (47) -kanan- adalah presiden Bolivia pertama yang berasal dari suku Indian. Dia adalah pemimpin gerakan tani coca. Morales menyadari, perjuangan sosial bersama dengan petani coca harus ditingkatkan menjadi gerakan politik. Sikap politiknya sangat jelas karena dia sebagai pemimpin partai Movimiento Al Socialismo (MAS) berhaluan anti-kapitalisme, dan dengan sendirinya anti-Amerika. Morales terpilih secara demokratis dalam pemilu 22 Januari 2006. Morales memperoleh suara mayoritas, 54 persen dari negara yang berpenduduk sekitar 11 juta jiwa.

Morales menyadairi potensi yang dimiliki Bolivia sebagai negara penghasil gas bumi terbesar. Berulang kali dia menyerukan pentingnya Bolivia mengkontrol pengelolaan gas bumi yang merupakan cadanagan besar sekali di benua Amerika Latin.
Morales adalah pemimpin yang berhasil memaknai sejarah negerinya sendiri. Penjajahan bangsa Spanyol di Bolivia menunjukan bahwa telah terjadi penjarahan besar-besaran kekayaan bumi negerinya yang berupa timah. Hasil penjarahan itu dinikmati oleh kapitalis-kapitalis dari negeri matador itu. Sedangkan penduduk asli yang orang Indian, dan merupakan penduduk mayoritas tidak mendapat apa-apa. Untuk itu, dari dulu sampai sekarang dia terang-terangan kerap mengutuk kejahatan perusahaan-perusahaan multinasional, badan-badan dunia seperti IMF, World Bank, dan World Trade Oragnization. Morales menambah duri bagi kepentingan AS di Amerika Latin.

Tak tanggung-tanggung, Fidel Castro -tengah- mengirim pesawat pribadinya untuk menyambut kemenangan Morales. "I think that it has moved the world. It's something extraordinary, something historic. The map is changing," sambut Castro.

Balasan setimpal juga dilontakan oleh orang Indian yang terkenal sangat sederhana dalam penampilan. Morales menyebut Castro sebagai "El Commandante". Dia begitu salut kepada perjuangan gigih pemimpin Cuba yang sudah lebih dari 45 tahun diembargo ekonomi oleh Amerka sampai sekarang.

Kesederhanaan Morales sudah sering menjadi momok insan pers di seluruh belahan dunia. Dia kerap tampil hanya dengan berbalut jacket kulit atau pakaian yang dibuat dengan alpaca (bahan pakaian tradisional yang banyak dibuat orang-orang Indian), tanpa pernah memakai dasi yang dengan kata lain tidak menghormati protokoler.

Yang menarik adalah hubungan Morales dengan Presiden Venezwela, Hugo Chaves -kiri. Mereka menyebut hubungan Bolivia dan Venezwela sebagai "axis of good" (poros kebaikan). Mereka berkomitmen untuk saling bekerjaama menghancurkan "axis of evil" (poros kejahatan). Poros yang dimotori oleh Washington dengan sekutu-sekutunya di seluruh dunia, yang mengancam, menyerang, dan membunuh (who threaten, who invade, who kill, who assasinate).

Sementara, bagaimana dengan Indonesia, negeri tempat saya lahir dan dibesarkan?

Orde Baru telah mengubah haluan aras politik Sosialis Indonesia. Naiknya Soeharto sebagai presiden, telah menjadikan Indonesia menjadi antek kaplitalis... Saatnya sekarang merefleksikan ulang posisi Indonesia sebagai negara yang sudah sejak lama -zaman Soekarno- sudah anti-kapitalis. Dan saatnya generqasi muda mengambil tanggungjawab mengembalikan kewibawaan bangsa di kancah dunia.

El Señor esté con vosotros