Pages

Friday, February 22, 2008

Cinta Sejati

Kota tua itu masih berusaha tegap berdiri. Menawarkan berbagai sisi kehidupan lengkap dengan lika-liku dan suka dukanya serta mengundang siapa saja untuk menyinggahinya. Walau tampak megah, kota itu sebenarnya rapuh. Serapuh banyak orang-orang yang hidup di kota itu. Yang setiap hari melakukan apa yang mereka tidak ketahui dan tidak mereka ingini. Tetapi, sebagai kota, dia punya banyak cerita.

***

Diujung kemarau. Ega mulai resah dengan statusnya. Dia ingin orang di sekelilingnya memendangnya berbeda. Hampir semua sudah ia dapatkan. Segudang prestasi, dan sedikit harta. Dia mulai belajar mencintai seorang perempuan bernama Alia. Alia adalah kembang yang baru saja hendak mekar. Pintar dan cantik dia. Bagi Ega, Alia nyaris sempurna.

Ega seorang yang cerdas. Bunga-bunga cinta pun bisa dirangkainya dengan apik untuk menarik perhatian Alia. Sejak saat itu, setiap hari kata-kata mesra meluncur dari bibir Ega. Entah langsung ataupun lewat perantaraan kabel telepon ataupun pesan elektronik. Dengan itu genaplah pepatah yang entah dari mana, 'permainan terindah di dunia adalah rayu-merayu'.

Alia mulai terperangkap dan memerangkapkan dirinya dalam permainan cinta Ega. Sama seperti Ega, Alia juga minim pengalaman untuk urusan asmara. Setidaknya bagi Alia, Ega akan menjadi kelinci percobaan asmaranya. Toh, Ega juga cukup rupawan, pintar, dan pengertian.

Suatu senja di depan sebuah gereja, setelah melewatkan misa bersama Ega mengungkapkan kata-kata cinta yang sma sekali tidak diduga oleh Alia. Entah mengapa, Alia mengamini kata-kata itu. "I love you too. Be my sweetheart babe!". Mereka pun jadian.

Sore yang penuh pelangi itu telah berganti. Hari-hari mereka dilanjutkan berbagai kencan, nonton, makan malam bersama, pergi ke pantai, duduk-duduk di cafe, dan berakhir dengan sedikit cumbu.

Mereka mulai saling membuka diri. Menceritakan siapa dirinya dan dari mana asal-usulnya. Kepercayaan ditaruhnya begitu saja ke pundak masing-masing. Sejak saat itu, Alia mulai mengharapkan kehadiran Ega. Alia mulai menyadari makna kata "rindu". Kata-kata yang yang sering dibacanya dalam novel-novel cinta yang didapatnya dari meminjam di perpustakaan kota. Kata itu telah mampu ia gambarkan bentuknya. Mampu ia sentuh wujudnya.

Sama seperti pasangan-pasangan lainnya. Ega dan Alia banyak mencari waktu untuk sekadar bercanda, saling memuji, menyemangati perjuangan hidup masing-masing dan memberinya kado serta berbagai kejutan. Karena setahu Alia, cinta itu memberi. Kemesraan pun mengalir dan cinta yang diusahakan oleh kedua insan itu bekerja dengan caranya sendiri juga dengan logikanya sendiri.

***

Suatu sore, ketika awan gelap masih menggantung di tiang-tiang langit dan hujan belum sempat menyapa, Ega merasakan ada sesuatu yang aneh dalam diri pacarnya. Tidak seperti biasanya, dimana Alia selalu menyambut Ega dengan senyum simpul merekah di bibir merahnya sama seperti daun pintu yang menganga sedikit menunggu kehadiran Ega kekasihnya. Senja itu, Alia hanya teridam. Tidak ada senyum, juga tidak ada keceriaan.

Ega pun mulai merasakan ada sesuatu yang aneh. Adakah yang salah dalam sms-sms nya, adakah yang salah dalam penampilannya, adakah yang salah dalam sikapnya? Atuakah Alia semalam mimpi buruk? Ataukah dia sedang berselisih pendapat papanya, ataukah dia sedang datang bulan?

Keceriaan yang ingin Ega tawarkan sore itu, luruh bersama dengan hujan yang mulai menari-nari, menertawakan kisah sepasang muda-mudi yang mulai bermain-main dengan perasaan. Ega tidak bisa menghibur Alia, dan Alia merasa bersalah karena membuat Ega mulai merasa tidak nyaman.

Sejak sore itu, konflik di antara mereka mulai sering terjadi. Manis cinta yang didambakan Ega terlambat hadir. Justru rasa curiga, sikap egois, dan mau menang sendiri terlalu cepat datang di masa-masa emas usia pacaran mereka, 1 tahun.

Sms mulai tak berbalas. Telepon sering meraung-raung sendiri. Dan masalah komunikasi mulai menjadi kambing hitam dari masalah berubahnya Alia sesungguhnya.

***
Mesin cinta terus bekerja. Melipat siang dan mengganti malam mengantarakan Alia yang begitu ceria ketika meninggalkan kota tua itu. Dengan kereta, ia ingin mengejar angan-anagnnya yang tidak bisa disampaikan kepada Ega. Mencari yang lain dan menemukan arti satu kata yang juga ia dappatkan dari novel-novel yang dipnjamnya dari perpustakaan. Selingkuh.

Cinta segita tiga mulai dijalani dengan rapi oleh Alia. Tidak mau kehilangan Ega yang jelas-jelas sudah terlanjur mencintainya, tapi dia juga tak ingin membohongi kata hatinya dan menunggu datangnya sensasi atas selingkuh yang coba diajalaninya. Ia biarkan Ega bingung sendiri. Karena ketika Alia mau meceritakan masalahnya, ia akan menyakiti Ega, seorang yang menurut janji Ega sanggup mati untuk dirinya.

Ia pendam saja sendiri cerita cinta dengan seseorang di kota lain. Seorang pria misterius dalam hidupnya. Pria yang menurutnya setara dengannya, tampan dan cerdas ditambah dia orang terkenal. Sungguh indah hidup Alia. Cintanya berbalas. Berbunga-bunga hatinya. Dengan seseorang di kota lain itu, dia menemukan apa ia cari selama ini. Petualangan.

Sama seperti kisah petulangan dalam setiap komik dan film. Tentu saja petualangan yang seru selalu disertai dengan rintangan yang tak kalah menantang. Rintangan itu, tak lain adalah bagaimana menutup-nutupi rahasianya. Terutama, ketika ia bertemu dengan Ega.

Alia tidak tahu mengapa roda-roda asmaranya bersama Ega tidak bisa dihentikan. Ia juga tak kuasa meneruskannya. Semuanya kini mulai berjalan, hambar-habar saja rasanya. Menggantung.

***

Ketika embun pagi belum sempat menguap, Ega terjaga dari tidurnya. Seakan seseorang datang menghampirinya, entah dimana. Dan juga entah siapa, apakah jenis malaikat atau genderuwo. Dan ia pun berdoa.

Lama dia tak melakukan ritual ini. Dia merasa telah menjauh dari Tuhannya. Namun, Ega tetap yakin, Tuhan tetap menyayanginya. Juga menyayangi Alia. Ia berdoa untuk Alia yang semakin hari menjadi semakin aneh. Dia juga memohon ampun sekiranya dia telah melukai hati Alina disengaja atau tidak. Karena, dia pun ingin menyelesaikan masalah itu secepatnya.

Jauh di kota sana. Ketika fajar baru saja hendak membuka matanya. Deru gairah membuncah-buncah dari dua insan yang saling mencinta. Saling berpagutan dan terbakar nafsu. Mereka saling menelanjangi. Dengan agak kasar, permainan cinta itu berlangsung. Alia berdansa-dansa di alam yang selama ini hanya ada di bayangannya. Mabuk kepayang Alina dibuai oleh belaian, ciuman dan rengkuhan dari seluruh manifestasi apa yang dikatakan cinta. Ia pun mencapai punggung-punggung asmara. Klimaks.

***

Alia semakin merasa bersalah dengan Ega. Cerita cintanya dengan seseorang nan jauh di sana tak bisa lagi ditutup-tutupinya. Ia tak mau melihat Ega menjadi korban cinta segitiga. Alia pun dihadapkan dengan sebuah pertanyaan besar yang selama ini belum bisa dia jawab; pilihan.

"Ega my sweetheart. Rasanya kita sudah tidak cocok lagi".
"Kenapa?"
"Aku tak tahu".
"Ayolah Alia... Kamu masih menyayangiku kah?"
"Ya. Akan selalu. Tapi aku sudah tidak bisa lagi bersamamu. Dan jangan tanyakan kenapa! Karena aku menyayangimu, aku ingin kamu mendapatkan yang terbaik buat kamu".
"Ada apa dengan kamu sayang?"
"Aku sudah tidak bisa membahagiakan kamu".
"Apakah ada yang salah dalam diriku? Atau adakah yang lain di luar sana?"

Alina tak mau melanjutkan pembicaraan dengan Ega. Ia mengalihkan perhatian Ega dengan membuka buku-buku kuliahnya. "Besok aku ujian. Aku mau belajar dulu yah..." pinta Alia memelas. Ega pun cukup tahu diri. Dia meninggalkan rumah Alia dengan tertunduk dan menggendong beribu tanda tanya. Dan mulai saat itu, Ega mulai menutup buku tentang orang yang dicintainya, Alia.

Kota itu pun terus tersenyum. Tapi tak seindah senyum orang-orang yangs edang berduka. Tanpa memedulikan itu semua, cerita ini terus mengalir.... Entah sampai ke dimana ujungnya.

Bersambung!!!!





Thursday, February 7, 2008

Last Supper Soeharto

Majalah Tempo kembali membuat sebuah sensasi. Namun, sensasinya kali ini bukan saja dari hasil investigasi para jurnalisnya, namun karena kulitmuka majalah edisi 4-10 Februari ini memuat gambar Soeharto sedang melakukan perjamuan malam terakhir bersama putra-putrinya. Ilustrasi itu menyitir gambar Leonardo Da Vinci, "The Last Supper". Sosok Yesus diganiktan oleh Soehrato dan ditambah judul "Setelah Dia Pergi".

Hal ini kemudian menimbulkan kontraksi sosial di tengah masyarakat. Sejumlah perwakilan umat Katolik mendatangi redaksi TEMPO di jalan Proklamasi, Jakarta, Selasa (5/2). Mereka meminta TEMPO menarik edisi tersebut dari peredaran. Alasannya, menurut Hermawi Taslim, Ketua Forum Komunikasi PMKRI itu, agar tidak menimbulkan keresahan. Mereka ditemui Pemimpin Redaksi (Pemred) Tempo, Toriq Hadad.

Pemred TEMPO kemudian meminta maaf atas kesalahannya itu dengan berjanji permintaan maafnya akan diterbitkan pada harian Tempo Rabu (6/2) dan majalah Tempo edisi minggu berikutnya.

Dalam melihat kasus Last Supper Soeharto pada kulitmuka Tempo ada beberapa hal yang menurut saya patut dipilah-pilah. Supaya permasalahannya menjadi lebih gamblang.

Pertama soal gambar Leonardo Da Vinci. Last Supper sebagai sebuah maha karya seni adalah bukan saja milik umat kristiani. Karya itu mampu menjelaskan dan bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Orang lain bebas mengintepretasikannya. Belum lama, Dan Brown penulis buku The Da Vinci Code juga mengintepretasikan karya itu, dengan menyebut seseorang murid Yesus yang berada di sebelah kanannya adalah seorang perempuan, Maria Magdalena namanya. Novel ini menjadi 'best seller' karena kontroversi itu.

Kedua adalah menyangkut sosok Yesus Kristus. Yesus juga bukan milik orang kristiani semata. Orang Islam menyebut Dia nabi Isa. Umat kristiani percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Sementara berbeda bagi umat Islam yang menganggapnya seorang nabi. Bisa jadi, orang lain lagi menganggap dia bukan nabi dan tuhan. Dengan kata lain, Yesus pun bisa dan boleh diintpretasikan beragam.

Yang menjadi permasalahan di sini dalam kasus kulitmuka Tempo adalah menurut saya apakah mungkin, Majalah Tempo tidak memikirkan bagaimana perasaan orang-orang yang menganggap Yesus sebagai Tuhan, 'disamakan' dengan figur Soeharto? Saya menduga ada semacam kesengajaan, entah motifnya apa. Kesengajaan itu dibuktikan lewat kemauan pihak Tempo mengakui kesalahannya dan meminta maaf.

Kebebasan Berekspresi VS Cara Beriman
Yang ingin saya kritisi adalah bagaimana gambar itu yang merupakan sebuah ekspresi seni berbenturan dengan cara beriman sebagian orang.

Dengan dalih kebebasan berekspresi, harian Denmark Jyllands-Posten pernah memuat kartun-kartun Nabi Muhammad. Berbagai reaksi muncul di seluruh belahan dunia, mulai dari demonstrasi, pembakaran bendera Denmark serta penutupan kantor kedutaan.

Benturan kebebasan berekspresi dengan cara beriman seseorang seringkali menimbulkan perasaaan sakit hati. Apalagi hal itu untuk kepentingan publikasi. Novel Dan Brown dan kartun Nabi Mohhamad adalah contohnya.

Saya -sebagai orang kristiani- ingin mengajak kita kembali pada saat hari-hari terakhir Yesus di dunia. Dalam Kitab Matius, ketika Yesus ditangkap, salahseorang dari Muridnya menghunuskan pedang dan menatakkan telinga salahseorang prajurit yang hendak menangkap Yesus. Namun, Yesus tidak mau dibela. Dia meminta muridnya untuk menyarungkan lagi pedangnya.

Sesaat kemudian Yesus juga dianiaya dan dihina. Dia ditelanjangi, diludahi, kepalanya dipukul dengan buluh dan dimahkotai duri untuk kemudian diolok-olok, "Salam hai Raja orang Yahudi!"

Saya terus terang ingin membandingkan perlakuan terhadap Yesus dulu dengan yang terjadi saat ini, di mana gambar Yesus 'disamakan' dengan gambar Soeharto. Bagi saya, yang terjadi saat ini belum ada apa-apanya dengan apa yang diterima Yesus dulu. Dan saat itu pun, Yesus tidak pernah minta dirinya untuk dibela.

Setahu saya, Yesus minta kepada seluruh mudrid-muridnya yang patut untuk dibela adalah orang-orang miskin dan anak-anak akibat ketidakadilan sosial. Reaksi keras yang mungkin diharapkan Yesus adalah ketika kita tidak diam melihat berbagai penggusuran, pemerasan, KKN dan lain-lain.

Dengan kata lain, kulitmuka Tempo bisa menjadi semacam test case dalam melihat cara beriman seseorang. Jika Yesus baru dimaknai sebagai simbol-simbol keagamaan, maka bisa jadi, ketika simbol-simbol itu dirusak, dihancurkan, disatir, dsb yang terjadi seperti sekarang ini, pembelaan terhadap simbol-simbol itu. Bukan pembelaan pada inti ajaran Yesus sendiri.