Pages

Friday, March 27, 2009

Pesta Bulan Purnama


Suatu ketika kala bulan terlambat datang. Setiap malam, langit terlihat gelap. Pekat. Gumpalan-gumpalan awan seakan memeluk bumi. Udara menjadi lebih dingin terpercik uap-uap air. Sesaat usai bocah-bocah polos dipanggil ibunya pulang ke rumah masing-masing, mendadak menjadi sepi senyap suasana tempat itu. Hanya ada suara jangkrik jantan dan lolong anjing hutan kelaparan yang sayup terdengar lirih.

Banyak dari kawanan hewan tidak berani keluar dari rumahnya malam hari. Rusa, kelinci, domba, sapi, kerbau, dan segala ternak pemakan rumput lainnya. Mereka khawatir, burung hantu, ular, rajawali, kalajengking, dan harimau tiba-tiba saja menyergap. Padahal, jika saja cahaya bulan menjadi pelita pada malam itu, mereka pasti sudah membuat sebuah pesta bulan purnama. Di sana mereka bisa bertemu dengan liliput, ulat, tupai, berjuta jenis serangga, jerapah, gajah dan panda.

Kurcaci-kurcacilah yang mengundang mereka satu per satu. Biasanya ada 7 jumlah mereka. Dengan membawa ketipung, seruling dan terompet, mereka mengetok setiap rumah yang akan diundang pesta pada malam itu. Ketika semuanya sudah siap, barulah kurcaci-kurcaci itu memanggil kawanan kuda poni putih untuk menarik sebuah kereta untuk kemudian terbang menuju ke bulan. Sesampainya di angkasa sana, para kurcaci itu kemudian bekerja keras menggugah sang bulan yang kerap terlelap. Dari kejauhan, pemandangan itu laksana tujuh bocah yang sedang menarik tirai panggung dengan menggunakan kereta luncur.

Dan ketika tirai tersibak, hangat cahaya bulan langsung menyapa. Setelah berkedip dan menguap sesaat, tampaklah pemadangan paling indah yang ditunggu-tunggu seluruh peserta pesta bulan purnama. Pemandangan itu tak lain adalah turunnya tujuh kurcaci ke bumi dengan menggunakan kereta luncur yang ditarik oleh sekawanan kuda poni putih. Hal itu juga sebagai pertanda, pesta bulan purnama seegera dimulai.

Kera, lutung, kunyuk, dan simpanse biasanya tampil pertama kali di panggung atraksi. Panggung itu tak lain adalah sebuah taman di mana di tengah-tengahnya ada sebuah danau dengan air yang mengalir gemerincing. Di atas sebuah batu kali persegi dengan panjang sekitar 10 meter dan lebar 3 meter yang terletak di seberang danau dan persis di bawahnya ditumbuhi warna-warni berjuta jenis bunga, di sanalah panggung itu megah mempesona.

Di sana gajah bertugas mengawasi pojok-pojok taman. Dia akan menjadi penjaga kalau-kalau binatang buas akan memangsa peserta pawai. Biasanya, gajah dibantu oleh jerapah yang selalu awas dengan keadaan sekitar. Gajah jarang sekali ikut berpesta. Dia cukup bahagia ketika semua peserta pesta tertawa ceria.

Pesta itu sejatinya adalah pesta syukur. Siapa memiliki apa dibagikan dengan siapa yang membutuhkan apa. Namun, seperti layaknya suasana pesta yang lain, mereka datang bermegah menggandeng pujaaannya masing-masing. Sepasang-sepasang. Sangat serasi.

Tepat tujuh bulan yang lalu. Di tengah suasana pesta, duduklah panda menyendiri di ujung danau. Resah dengan dirinya. Entah mengapa, keriaan pesta tak bisa mengobati hati panda yang sedang dirundung masalah. Sahabat-sahabat panda datang silih berganti menghibur. Kodok, bebek, dan kunyuk merasa ada sesuatu yang janggal dalam diri panda.

"Kenapa sih kamu?" tanya bebek.
"Aku hanya butuh sendiri," jawab panda menghindar.
"Ayo, di sana ada paman kijang yang sedang melucu," rayu bebek.
"Terma kasih ya teman-temanku semua, jujur, nanti panda juga akan kembali seperti biasa. Nanti panda akan menyusul yah...."

Dan panda menunggu di tempat itu lagi. Tempat di mana kali pertama ia bertemu dengan gajah. Sosok yang membuatnya menjadi merasa selalu gundah.

"Gajah kamu di mana..." panggil panda lirih. Namun, tak ada satu pun tanda-tanda gajah itu akan datang. Tidak terdengar berat langkah-langkahnya, tidak juga terdengar suara dari belalainya. "Gajah... kamu di mana, panda di sini..." kembali panda menyapa penuh harap.

Gajah pun demikian. Dia sedang duduk di tempat di mana dia biasa mengawasi jalannya pesta. Dia hanya berharap, panda akan melewat tempat ini seperti biasa. Dari sudut itu, dia bisa merasakan aura kehadiran panda. Kilau putih kulitnya, lucu senyumnya, dan lembut tutur sapanya.

Malam itu juga, gajah memutuskan untuk mencari panda. Dia tidak mau panda yang telah mengisi malam-malamnya pergi begitu saja dari hidupnya. Dia tinggalkan sejenak pekerjaannya. Menuyusur tepi danau, akhirnya didapai panda sedang terdiam sendiri di atas sebongkah batu. Gajah mengutarakan sejujurnya apa kata hatinya. Gayung bersambut, panda pun menerima ungkapan cinta gajah dengan sebuah kecupan.

Tujuh bulan berlalu sudah. Kini di sudut kamar rumahnya panda sedih menunggu datangnya pesta bulan purnama kembali. Dia tidak berani keluar lantaran tidak ada cahaya kehidupan di luar sana. Semua peserta pesta pun demikian. Mereka hanya berharap dan berharap. Menunggu dan menunggu.

Namun tidak bagi gajah. Gajah tidak mau membuat hati panda bersedih. Dia memutuskan diri mencari sendiri di mana kurcaci yang bisa membantunya mengajak sang bulan turun berpesta. Gajah terlihat mondar-mandir keluar masuk hutan mencari para kurcaci itu. Paman kijang mengatakan kalau kurcaci-kurcaci itu sedang pulas tertidur di dalam sebuah rumah yang ada di atas pohon.

Gajah pun mengetuk-ketuk daun pintu rumah itu dengan belalainya. Lama sekali tidak ada jawaban. Gajah terus saja berusaha. Yang dipikirkannya hanyalah panda yang sedang menanti datangnya bulan purnama, waktu di mana dia bisa bertemu dengan gajah dan bisa menghabiskan malam bersama. Gajah merasa kuatir, jangan-jangan, sesuatu telah terjadi pada diri kurcaci-kurcaci itu. Sementara dia tidak bisa memanjat pohon. Dalam doa dan harap, gajah tiada pernah berhenti membangunkan kurcaci-kurcaci.

Gajah percaya, kurcaci itu pasti akan bangun sebentar lagi. Menabuh ketipung dan meniup terompet. Membawa keceriaan bagi semua mahluk. Mencari kuda poni dan mengajaknya pergi ke bulan. Dan pulang membuka pesta bulan purnama....

***

Khusus untuk dia...

Wednesday, March 18, 2009

Manusia Api


Pada sebuah siang bolong. Terisar sebuah kabar ada sejumlah orang muda dengan tubuh dibalut oleh api. Mereka tampak berkobar-kobar hingga panas dirinya memancar-mancar mengalahkan terik musim kemarau katulistiwa.

"Mereka seperti anak-anak matahari," kata seorang Ibu bersaksi. Dari kejauhan, orang-orang hanya bisa melihat sambil menggunakan kaca mata hitam dengan penuh kewaspadaan. Manusia-manusia api itu terus berjalan menuju jalanan protokol ibukota. Ternyata dari arah yang lain juga muncul segerombolan yang lain manusia api. Persis seperti yang pertama, manusia-manusia api itu juga tampak gelisah. Mereka seperti telah membuah sebuah perjanjian untuk turun ke jalan bersama. Semburat merah-jingga manusia-manusia api itu memacetkan jalan raya.

Berbondong-bondong orang ingin melihat seperti apa rupa orang-orang itu. Dari sebuah surat kabar nasional dilansir sebuah berita, "Manusia Api Bergentayangan di Jakarta".

Pemadam kebakaran telah mengerahkan hampir seluruh mobil pemadam kebakarannya untuk memadamkan api pada orang-orang itu. Water canon dari Mabes Polri juga telah berjaga. Mereka dihadang di Jembatan Semanggi.

Jumlah manusia api itu sekitar 20 orang saja. Namun siang itu Jakarta benar-benar kewalahan dengan aksi beberapa orang yang mirip stuntman film-film Hollywood. Mereka muncul dari arah Bundaran HI, Grogol, Blok M dan Kuningan. Mereka sekarang sudah berkumpul bersama tepat di atas jembatan Semanggi. Di depan Polda Metro Jaya, intruksi dipimpin langsung oleh Kapolda. Empat helikopter tampak meraung-raung siap menerkam.

"Satu-dua-tiga," dan letusan senapan api dari pistol Kapolda pun meletus ke udara. Seluruh mobil pemadam kebakaran beraksi. Water canon menembakkan sasarannya tepat ke jantung seluruh manusia-manusia api itu. Pemandangan itu sungguh memukau. Seluruh stasiun televisi menyiarkan langsung jalannya serangan manusia-manusia api itu.

Lewat empat jam sudah api dari tubuh manusia-manusia itu belumlah redup. Malah, ketika senja tiba, semburat dari sinar tubuh mereka indah merona. Dari Tangerang dan Depok, cahaya mereka ibarat lampu sorot raksasa. Mereka menjadi semacam pelita utama Metropoliran. Kepolisian menyerah. Turunlah Angkatan darat, Kopsus, Paskhas, dan Marinir. Semuanya dibuat kewalahan.

Manusia-manusia itu tidak bisa ditembak dan dilumpuhkan oleh senjata apa pun. Akhirnya Presiden sendiri harus turun tangan. Diajaknay kedua puluh orang tersebut berdialog. Maka mulai surutlah api dari dalam tubuh mereka. Samar-samar, mulai tergambar wajah masing-masing dari mereka. Sekitar separuhnya lebih ternyata perempuan.

"Apa sebenarnya yang kalian tuntut?" tanya Presiden. Dan manusia api itu bersama-sama menjawab, "Kami tidak menuntut apa-apa. Kami hanya sudah tidak kuat. Kami kepanasan melihat segala bentuk kebodohan pemimpin negara ini yang masih juga menghamba pada kukuasaan dan modal".

Intinya, mereka sedang membuat sebuah revolusi dalam berbagai aras kehidupan berbangsa. Kedatangan mereka ke Jakarta sebagai sebuah awal dari gerakan masyarakat sipil dalam terus mendorong kehidupan bersama secara lebih baik. Dan dengan waktu yang cukup singkat, gelombang dukungan untuk manusia-manusia api datang dari berbagai penjuru dunia. Mereka umumnya kaum miskin dan korban. Mereka bersatu dalam sebuah gerakan bersama.

***

Tulisan ini adalah sebuah jawaban atas berbagai pertanyaan teman-teman seputar kegiatan baru yang sekarang sedang aku bidani, KOMJak (Kampus Orang Muda Jakarta).

Tuesday, March 10, 2009

Menunggu Hujan, Aku (Kembali) Menulis


Dia katakan sudah bosan. Entah mengapa, ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Apakah itu sejumput pengalaman, rasa, kebahagiaan, atau entah apa. Yang jelas, perasaan itu kerap dialaminya. Tidak cuma sekali.

Perasaan cemas menjadi berderai-derai sederas hujan di pelataran kantor yang tiada menunjukkan niat ingin berhenti. Aku sedih sebenarnya. Apakah aku tidak bisa membawa sepotong kebahagiaan untuk dia selama ini? Ataukah aku menjadi penghalang baginya dalam menemukan siapa dirinya sebenernya? Aku tidaklah tahu.

Aku teringat sebuah pesan dari Ibuku. Lama sekali hal ini menjadi penanda dalam setiap aku memutuskan sebuah perkara. "Jangan sakiti hati seorang perempuan," katanya. Apakah aku sekarang telah menyakiti dia? Yang berarti langusung maupun tidak aku sudah melanggar pesan orang yang di dalam rahimnya aku pernah tinggal.... Maafkan aku Mama kalau hal itu telah sengaja atau tidak aku lakukan kepadanya, sehingga perasaan bosan sudah mulai ada di hati dan perasaannya.

Aku semakin cemas. Secemas hati orang-orang metropolitan yang pulangnya terhambat hujan malam ini. Aku hanya berharap, dia akan menemukan siapa dirinya, ke mana dia akan menuju, dan apa yang hendak dia cari....

Dalam hujan kecemasan ini pula, aku (kembali) MENULIS!!!