Pages

Wednesday, October 29, 2008

How Can



Kutinggalkan ruangan yang dari sanalah aku mulai mengenal dia. Seorang dengan raut wajah lembut berisi. Dia yang lebih banyak diam namun tak jarang tersenyum. Kutinggalkan ruangan yang kelewat panas itu dengan langkah berat tertahan. Sesorang di pojok ruangan lantai dua tempatku bekerja itulah yang memperberat ayunan langkahku. Dia yang mampu memacu detak jantungku. Membelah dan mengacau laju lamuananku. Seorang gadis yang akhirnya kutahu berasal dari negeri batas senja.

Kaki yang lain akhirnya menutup langkahku. Meninggalkan gadis batas senja seorang diri. Aku pergi untuk sebuah perjalanan melintas benua. Sebuah perziarahan. Kalau mengikuti terminologi seorang temanku, ziarah adalah misi untuk satu tujuan tertentu. Fokus. Dalam bahasa Jawa, kata ziarah diurai menjadi siji sing diarah (satu yang dituju).

Sama seperti yang lain, aku pun menyiapkan berbagai bekal untuk keperluan perziarahan itu sendiri. Sebuah carier memuat sleeping bag, 10 potong kaos, 4 celana panjang, dan lain-lain, sebuah backpack untuk membawa laptop dan beberapa buku, serta tas pinggang untuk menyimpan passport, dompet, handphone dan radio fm. Selain itu, aku sengaja mempersiapkan batin menjelang pemberangkatan bersama dengan 100 orang muda lainnya. Dalam doa semuanya kubungkus.

Pesawat air bus pun menderu, berlari kencang di atas landasan pacu meninggalkan Jakarta sewaktu senja. Kutinggalkan juga luka-luka. Kuhempaskan lara. Kubuang segala emosi dalam pekatnya kegelapan bayang-bayang masa laluku. Sesuatu yang menjadi duniaku saat itu. Suatu ilusi semu dan tak mungkin akan menjadi nyata. Karena dusta telah meraja. Kasih sudah ternoda.

Aku menganggap, pergi meninggalkan kotaku menuju sebuah benua yang belum pernah aku ketahui sebelunya untuk sebuah perziarahan adalah sebuah simbolisasi dari transformasi kehidupan pribadiku. Meninggalkan yang lama dan memulai sesuatu dan semangat yang baru.

Dari jendela pesawat Garuda dari Denpasar menuju Sydney, 12 Juli 2008, tepatnya di atas samudra hindia, kuputuskan untuk membuat satu intensi khusus dalam perziarhan rohaniku. Gadis batas senja muncul perlahan dari balik awan tepat pada saat aku membayangkannya. Langkahnya tenang saat dia berjalan. Tinggi semampai badannya. Putih-kuning bekilau-kilauan kulitnya. Lembut tutur sapa keluar dari bibir ranum merah yang selalu basah. Damai dan sendu pembawaannya. Dia datang membawa sebuah senyum dan sebongkah cerita. Cerita tentang sebuah kebahagiaan dan harapan. Kebimbangan dan kekeuhan. Cinta dan derita.

Kutuliskan surat ini di atas sehelai kertas yang nanti akan aku salin ketika aku tiba di penginapan. Aku menulis ketika Sydney sedang mendung kelabu. Sama seperti suasana hatiku. Entah mengapa.

Aku sedang dirundung perasaanku sendiri. Walau di tengah lautan berjuta umat manusia dari seluruh penjuru dunia, yang kurasakan adalah aku ingin bersamamu. Melewatkan waktu berdua, berbicara dari hati ke hati. Bukan dalam suasana kerja.

Aku saat ini sedang berada di Bangaroo. Tepat di depan kanal besar yang ditata modern. Apik. Layar televisi raksasa menunjukkan gambar Sri Paus yang baru saja datang ke Sydney. Gegap gempita disambut histeris muda-mudi yang terbakar emosi. Ada 5 helikopter setidaknya yang bisa aku saksikan. Ada beberapa kapal perang, dan pengamanan ekstra ketat untuk menjaga orang nomor satu di Gereja Katolik saat ini.
Mereka menerapkan zero tolerance untuk kesalahan. Semua terpagari. Rapi.
Lautan orang berbondong datang ke sini untuk bertemu langsung dengan Sri Paus. Tapi aneh rasanya. Aku merasa justru sebaliknya. Hatiku ingin pulang dan menemuimu. Mataku ingin mengamatimu lebih dan lebih lagi. Karena ketika bersamamu sungguh merasa menemukan sesorang yang sungguh aku percaya mampu membuat aku bahagia menjalani hidup di dunia. Membuat aku merasa dunia ini sungguh sangat damai dan tenang. Cinta itu begitu nyata rasanya. Lembut.

Waktu itu, aku ingat benar, kamu menaruh perhatian yang utuh terhadap kamu.. Tidak tahu apakah kamu menyadari atau tidak... Di awal-awal kedatangan kamu ke kantor, itulah saat aku mengamati kamu. Jujur, yang mengamati itu bukan sekadar mataku, melainkan hatiku....

Aku merasakan hatiku bernyanyi. Meluap. Ingin rasanya berkenalan dengan hatimu. Masuk ke dalam pedalaman jiwamu.


Gadis batas senja adalah perempuan yang sesungguhnya baru kukenal. Yang entah mengapa, hatiku begitu tergerak kepadanya. Seperti besi yang tertarik sebuah magnet raksasa. Padahal, dia sendiri tidak berkata dan berbuat apa-apa kepadaku. Ada sesuatu yang berdesir membujukku untuk mendekatinya. Padahal, beberapa orang telah menghapiriku sebelunya. Banyak juga yang sudah mengirimkan signal-signal tertentu yang tertangkap oleh antena hatiku. Tapi semuanya itu tidak ada yang gilang-gemilang Gadis Batas Senja.

Pilihan pun akhirnya jatuh ketika rasa berselingkuh dengan logika dan mereka bercumbu dalam pagutan asa. Kedamain begitu nyata terasa. Mesra. Dan gadis batas senja menjadi intensi tersendiri dalam perziarahanku.

Kala malam dingin menyergap. Dan mataku tiada bisa terpejam dalam sunyi. Hasratku membara dan terus saja semakin meninggi. Seribu asa memanggilku. Sejuta harap menyapaku. Di arena pacuan kuda Randwick yang disulap menjadi bumi perkemahan untuk sebuah vigil night dini hari 20 Juli 2008. Di antara lautan orang muda dari seluruh penjuru dunia. Dihadapan Bendictus XVI, penerus tahta Petrus. Aku bangkit berdiri. Menyalakan sebuah lilin. Aku merinding. Kutemukan makna perziarahanku. Gadis Batas Senja itu sendirilah ke sana segalanya bermuara. Dialah satu-satu yang aku tuju. Dia sendirilah sang PEZIARAHAN-ku selanjutnya.

***


Dia selalu barertanya kepadaku, “… how can, kamu bisa sayang sama aku?”. Aku sendiri tidak tahu kalimat apa yang tepat untuk melukis sebuah perasaan yang sudah tertinggal di belakang. Jawabanku kepadanya selalu saja berubah-ubah. Karena perasaan waktu itu, sekarang sudah jauh bertumbuh dan berkembang. Aku sulit mengingat-ingatnya.

Seandainya waktu bisa berbalik, ingin aku sejenak untuk kembali. Bernostalgia dengan perasaan itu pertama menghinggapiku. Lewat tulisan ini, semoga tanya itu sedikit terungkap. Menyibak beberapa sangsi. Untaian aksara ini kubuat dengan perasaan yang berbicara dengan perasaan-perasaan lain yang sedang terus merasa.


***

Jalan Bangka III No 1,
27 Oktober 2008 pukul 04.13 WIB
Khusus untuk dia….

Monday, October 13, 2008

Sekalian Aja



Kuta tersenyum lebar melihat aku kembali ke sana. Menggenapi janji yang sudah lama kusauhkan. Janji untuk berkunjung dengan secauk kebahagiaan yang tak lain adalah sejumput perubahan dalam hidupku. Kala terakhir aku ke pantai ini, aku adalah seorang yang penuh dengan lamunan. Dan Kuta mengahmpiriku. Menawarkan secercah keceriaan. Lewat ramai para pengunjungnya, ramah penduduk lokalnya, lewat arak Bali yang kupesan dari seorang sopir yang sekarang entah apa kabarnya.

Ketika mendapatiku dengan air muka yang sedikit berbinar, muka Kuta merah merona. Membara ceria. Sapa selamat datang terdengar berdesir-desir seperti nyanyian sesorang pujangga yang sedang jatuh cinta. Pasir putihnya menyambut kaki telanjangku ramah dan lembut terasa. Bergulung-gulung ombak mengatakan berjuta cerita dari beribu manusia di penjuru dunia.

Kuhargai usahanya menjelaskan sesuatu kepadaku. Pasir pantai berantakan yang dipaksa dikeruk oleh sejumlah orang yang akan menggelar event akbar perhelatan dunia olahraga pantai minggu depan, DJ-DJ café dengan penampilan eksotiknya siap memutar musik-musik asing pada malam panjang ini yang akan menggeser kidung-kidung alam, kisah peselancar yang patah hati ditinggal ombak tercintanya yang lari entah ke mana. Dan masih banyak lagi cerita yang dia sampaikan. Kadang aku tertawa geli, dan sesekali memasang muka masam.

Kupesan barang sebotol kecil bir bintang seharga Rp 15.000,- dari penjaja minuman pinggir pantai. Dan kini dimintanya aku untuk giliran bercerita. Kepadanya, kuceritakan tentang kisah seorang yang sudah dua bulan lewat selalu menjadi lakon dalam mimpi malam-malamku.

Sang surya tampak tertahan. Malas terlihat ia meneruskan pulang menuju peraduannya. Ia masih ingin mendengarkan ceritaku. Aku tak tega melihatnya. Kuucapkan selamat jalan dan sampai berjumpa esok kepadanya. Dan ia pun mengedipkan matanya kepadaku. Karena sesaat sebelumnya, kujanjikan akan tetap menceritkan ini kepadanya lewat sebuah tulisan.

Aku mulai bercerita dengan memilih kata-kata “pada suatu ketika” sebagai pengantar. Kata-kata yang dipakai oleh tukang-tukang cerita dalam dongeng para leluhur.
Pada suatu ketika, saat kakak sulungku sedang merayakan 29 tahun kelahirannya. Waktu itu, aku berada di tengah perjalanan menuju Puputan Badung, Denpasar untuk sebuah pekerjaan advokasi sebuah kebijakan publik. Langkahku sejenak tertahan. Handphone bergetar.

Aku mendapat pesan singkat elektronik dari seseorang gadis dari negeri batas senja. Dalam pesan singkat itu, tertulis “…. menghapus semuanya”. Aku tidak tahu benar apa maksud kata-kata itu. Aku balas pesan itu dan menanayakan kepada gadis dari batas senja itu apa maksud dari kata-kata, “menghapuskan semuanya”.

Gadis batas senja adalah manusia pencinta. Manusia yang dalam setiap tarikan nafas, detak jantung, dan setiap detik waktunya diberikan seluruhnya kepada sesorang yang sungguh dicintainya. Barang siapa yang bisa mendapatkan cinta dari gadis batas senja, berbahagialah dia hidup di dunia. Sampai saat ini, tak satu pun orang mampu menaklukan hati dan cintanya.

Orang tak banyak tahu akan cerita tentang perburuan mendapatkan gadis dari batas senja. Karena di dunia ini sekarang meluap dengan berjuta cerita tanpa makna. Cerita itu sendiri kutemukan dalam sebuah perjalanan ketika aku kembali menyeberang sungai perasaan. Tempat di mana hati sanubari bernyanyi dan menangis. Ruang di mana sukma meraja. Tempat di mana kata hati bisa ditemukan.

Sayangnya, tempat itu kini kadang terasa sangat jauh. Karena menuju tempat itu adalah sesuatu yang sudah tidak lagi menarik dan juga tidak mudah bagi kebanyakan orang-orang, setidaknya yang ada di sekelilingku. Karena, tuntuntan hidup begitu menyiksa. Berat.

Handphone-ku kembali bergetar. Kulihat jam tanganku menunjuk angka 12.47 WITA. Tepat ketika terik matari Bali memabakar hangus kulit ariku, kutemukan jawabannya dari manusia pencinta itu, gadis dari batas senja;

“Karena aku akhirnya memutuskan untuk maju, move on bersama kamu. Ya, seperti yang di blog kemarin, aku juga nggak tahu apa pilihan aku benar/nggak, tapi kalau nggak dicoba ya nggak akan tahu, daripada setengah-setengah, mending sekalian aja”.

Yah… sejujurnya hanya cerita yang belum rampung inilah yang ingin aku sampaikan kepada mega-mega, laut-laut, pasir-pasir, deru ombak, kicau burung, dan kepada sepotong sunset. Cerita tentang gadis batas senja, seorang manusia pencinta yang akhirnya memutuskan untuk maju bersama aku. Walau dia sebenarnya masih bimbang. Apakah benar atau salah pilihannya, maju dan move on bersama aku. Yah, bersama aku.

Aku sungguh sadar, cerita ini yang belum ada tanda titiknya, belum berakhir dan seperti sesuatu yang masih terbuka di bagian ujungnya. Berjuta kemungkinan menghadang di depan sana. Sama persis dengan apa yang dituliskannya, tanpa dicoba tiada tahu cerita akhirnya. Tetapi yang patut digarisbawahi adalah, ucapannya di bagaian ini; daripada setengah-setengah, mendingan SEKALIAN AJA.

***
khusus untuk kebersamaan selama 59 hari bersama gadis batas senja