Pages

Sunday, December 23, 2007

MELEBUR DIKOTOMI

Garis itu memang tidak ada. Namun guratan tajamnya mampu merobek-robek dan meluluhlantakkan dunia. Bangsa terpecah-pecah. Masyarakat terbelah. Keluarga terpisah. Individu pun tak menjadi seorang lagi. Dia tidak lagi satu. Bisa jadi dua, tiga, empat dan seterusnya.

Konstruksi-konstruksi sosial adalah garis-garis itu. Tidak kelihatan namun dapat dirasakan. Lewat pelabelan sepihak serta disulut propaganda besar-besaran, tatanan sosial berubah. Pelabelan siapa itu teroris misalnya. Mampu membuat warga dunia menjadi saling curiga. Demi kepentingan tertentu, 'pemilik kekuasaan dunia' melakukan serangkaian kampanye melawan terorisme. Dari sana, mereka justru menjadi biang keladi terbunuhnya anak-anak, perempuan dan orang-orang tak berdosa di Afghanistan, Libanon, Iraq, dan bisa jadi sebentar lagi di Iran. Dan mereka dengan sendirinya sudah menjadi monster pembunuh yang kejahatannya jauh melebihi teroris yang sedang diburunya.

Di belahan dunia yang lain, setiap pusat-pusat keramaian dijaga ketat. Keamanan menjadi barang mahal. Nilai-nilai saling mencurigai tersebar dengan sendirinya. Mereka melihat sesamanya bukan dari apa yang diperbuatnya, melainkan dari melihat siapa dia. Ada label yang terlanjur sudah melekat disetiap benak warga dunia melihat sesamanya. Ini merupakan sebuah bom waktu.

Berangkat dari sana, Alejandro Iglesias Rossi (47), ingin meleburkan dikotomi-dikotomi yang mengiris-iris dunia. Pesan itu dibawa melalui perpaduan apik musik tradisional dan moderen, dikemas dalam sebuah pagelaran orkestra bertajuk "Orqusta de Instrumentos Autoctonos y Nuevas Technologias".

Konduktor asal Argentina itu mampu membius penonton. Dalam babak awal pagelaran, penonton langsung dibawa ke dalam suasana mistis tepian sungai Amazon. "Ritual " ciptaan Susana Ferreres menampilkan tradisi kuno Suku Andean yang mengadakan upacara sakral guna menjaga kelestaraian alam. Di mana, kehadiran halilintar diyakni sebagai tanda bahwa alam murka. Ritual itu pun digelar. Karya ini telah menyabet penghargaan "The First Prize at the Rostrum of America Latin and Caribean Music" dari Music Council of the Three Americas (Paraguay 2002).

Puncak pertunjukkan adalah ketika maracas (sejenis buah mangga yang tumbuh di Amazon yang dikeringkan menjadi sebuah alat musik yang mengeluarkan bunyi-bunyian dari biji yang ada di dalamnya dan sejenis manik-manik yang mengikatnya) dimainkan. Maracas, dimainkan dalam karya berjudul "Temazcal" sebuah istilah yang juga berarti membakar air atau memanskan batu-batuan. Sebuah tradisi dari Nahuatatl (Aztec kuno). Sensasi maracas melebur bersama bunyi-bunyian hasil rekayasa komputer moderen.

“Saat ini seolah-olah hidup ini terpisah-pisah. Yang tradisional seolah-olah tidak mengenal yang modern. Dan sebaliknya. Padahal, kita sering sekali mengikuti tradisi, tak lama kemudian kita menggunakan internet,” kata Alejandro sebelum penampilan pertamanya di Indonesia yang digelar di Teater Luwes Taman Ismail Marzuki Jakarta, Selasa (13/11).

Lewat karya ini, lanjut Alejandro, saya ingin meleburkan dikotomi-dikotomi itu. Implikasi dari dikotomi-dikotomi itu menurutnya sangat berbahaya. Alejandro menjelaskan, globalisasi telah meminggirkan yang tradisonal. Dan selama ini pembangunan hampir di seluruh belahan dunia hanya menumpukan pada satu sisi, yakni pertumbuhan ekonomi.

“Akibatnya alam kita menjadi rusak. Anda mendengar sekarang ada isu global heating,” papar Alejandro. Untuk itu, Alejandro ingin memantang dunia untuk tidak meninggalkan tradisinya masing-masing.

Nilai-nilai tradisional di seluruh dunia menurut pria berambut putih itu sangat baik. Dia menawarkan apa yang selalu disebut sebagai konservasi. Tidak seperti nilai-nilai globalisasi yang penuh muatan eksploitasi.

Alejandro telah menggelar konser ini di seluruh Amerika Latin, beberapa negara di Eropa seperti di Spanyol, Prancis, Jerman, Lithuania, Estonia, dan setelah ini dia ingin melanjutkan kampanye meleburkan dikotomi ke Singapura, China dan masih banyak lagi. ***

Monday, December 17, 2007

Kaleidoskop

Bola-bola dunia terus berputar pada porosnya. Dari perputarannya, fajar di timur dan senja di barat menjadi sebuah komedi putar. Mempertontonkan panggung dunia dalam segala dialektikanya.

Aku pun berada di sana ikut berputar-putar. Waktu menjadi salah satu penanadanya. Sudah berapa kali putaran, berapa jam, dan sebagainya. Tapi bukan itu masalahnya. Bukan soal berapa lama.

Pengalaman Rousseau yang kehilangan arlojinya cukup jelas menggambarkan kesalahkaprahan pemahaman soal waktu. "Ah, untunglah," katanya, "Sekarang aku tak perlu melihat jam lagi hingga juga tak perlu menghitung waktu pula."

Mungkin Martin Heidegger ketika menuliskan Sein und Zeit merasakan hal yang sama. Di mana waktu begitu berarti baginya. Waktu bukan seperti ketika orang menyebut jam berapa, hari apa, dan tahun berapa. Tapi kemewaktuan. Di mana, perasaan ketika sedang mengada di dunia. Dalam kegalauan yang teramat sangat, kata-kata Heidegger tidak sekadar menjadi sabda, benar-benar mampu dirasakan.

Rene Descartes juga pernah menyadari tentang kemewaktuan dan kemengadaannya, dia berkata, "aku berpikir, maka aku ada".

Namun seorang kawan pernah mengkritik Descrates, di mana dia dia mengatakan tesis Descrates keliru, menurutnya, "aku menulis maka aku ada". Dan dengan cepat-cepat juga dia merujuk kata-kata Pramoedya Ananta Toer diambil dari Anak Semua Bangsa, "Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari".

Kesadaran akan kemewaktuan yang bukan ditunjukkan oleh angka-angka pendada di arloji dan kesadaran menuliskan kemengadaan itulah yang akan berbicara dalam kaleidoksop ini. Tapi, tiangnya adalah kata-kata Descrates, berpikir.

Hanya dengan kesadaran itu, detik sungguh bisa dirasakan begitu lambat dan nyaris berhenti. Dari sanalah keberadaan hidup dipertanyakan, digugat dan dikunyah-kunyah. Sampai semuanya menjadi jelas dan terpilah-pilah. Gambalang!

Ketika direntangkan, kita seolah-olah berada di tengah-tengah masa lalu dan masa depan. Sejarah menjelaskan bagian-bagian dari masa lalu. Namun, masa depan tetap menjadi misteri. Celakanya, dunia terus saja berputar, bukan berjalan maju. Dan sejarah seolah hanya berulang-ulang. Kehidupan dan kematian berganti dengan lakon yang berbeda, dengan permasalahan yang sama namun dengan kompleksitas yang berbeda. Permasalahan soal makan dan memakan. Hidup dan mati. Maju dan mundur. Utara dan selatan, dan sebagainya. Di sana, muncul keyakinan di mana barang siapa menguasai sejarah, mereka akan menguasai masa depan.

Setelah kemengadaanku kupertanyakan dalam sebuah konsep kemewaktuan, memang banyak hal yang terjadi hanya berulang-ulang. Jatuh dalam dosa, suka cita dalam keberhasilan, pertemuan, perpisahan, kekosongan, kebersamaan, pertentangan, perdamaian, kiri dan kanan serta awal dan akhir.

Drama kehidupan, puncak dan palungnya, pahit getirnya pernah dikisahkan dalam Romeo and Juliet-nya William Shakespeare. Intrik dan masalahnya pernah diguratkan oleh Leo Tolstoy dalam Anna Karenina. Seratus Tahun Kesunyian-nya Gabriel Garcia Marques telah menelanjangi setiap babaknya. Bahkan, lebih tegas Zahir-nya Paolo Coelho pernah menihilkan semuanya. Katanya dengan bahasaku sendiri, seolah-olah kita telah berarti buat dunia dengan berbuat ini dan itu. Padahal semuanya biasa-biasa saja, yang itu-itu juga.

Menjadi geli akhirnya ketika melihat banyak orang-orang di dunia ini berdebat, berkonflik dan bahkan melakukan gencatan senjata. Seoalah-olah dirinya sendiri adalah pemilik kebenaran. Masalah perang saudara seperti Kain dan Habel belum juga selesai. Masalah Jacob dan Esau tentang hak kesulungan dan soal siapa yang pertama dan terakhir masih juga berulang. Dan masih banyak lagi. Begitu bodohnya manusia-manusia, termasuk aku. Padahal, milyaran buku terbit setiap tahunnya. Jutaan profesor dan sarjana terus diwisuda setiap semesternya. Setiap bulan dibuka kelas-kelas baru. Dan setiap minggu dikumandangkan khotbah-khotbah. Apa arti semuanya? Apa yang mereka cari sebenarnya? Di mana para dewa-dewa?

Menjadi benar apa kata Seno Gumira Ajidharma, dunia ini sudah penuh kata tanpa makna. Maka di sana, ajaran orang-orang Dayak Losarang sungguh menjadi berarti. Di mana mereka menempatkan dirinya sebagai yang salah ketika semua orang menganggap dirinya benar.

Tapi biar bagaimana pun juga, selamanya di dunia ini pemenangnya adalah pemberani-pemberani.

Kaleidoskop kemewaktuanku telah mencatat sebuah tujuan dalam mimpi-mimpi yang telah tersulut ambisi. Dan biarlah menyatu.... Sebanarnya, harapanku hanya satu di dunia melihat kembali mamaku tersenyum bangga dan melihat anak cucunya tumbuh bahagia.

Wednesday, December 12, 2007

Sunset

Sunset, Sand dan Sex. Itulah kata yang meluncur dari bibir seorang kawan ketika kutanyai tentang sebuah negeri di mana para dewa-dewi berkumpul. Bali...

Di tengah-tengah kesibukan meliput konferensi dunia untuk perubahan iklim, kusempatkan diriku menikmati Pulau Dewata dengan seluruh eksotismenya.

Sunset adalah sebuah peristiwa sehari-hari biasa yang dikemas apik dan bisa menjadi sebuah komoditi bernilai ekonomi. Peristiwa terbenamnya matari ketika bumi berotasi pada porosnya dan menempatkan sang surya pada titik awal peraduannya, memendarkan sinar kuning, jingga dan merah yang terpantul pada punggung-punggung air. Sinar-sinar itu tampak lari dan terkadang tunggang-langgang beradu cepat dengan gulungan ombak. Kuta adalah tempat menjajakan sunset lengkap pasir putih, angin laut, kicau camar, atraksi para surfer, pemijit tradisional, beraneka minuman dan gadis-gadis pantainya.

Kutenggak arak Bali yang kudapat dari sopir mobil rentalku dengan menggantinya dengan pecahan Rp 10.000,- Panasnya langsung membakar kerongkongan, persis seperti siang tadi, di mana kulitku langsung terpanggang. Aku pun, ikut-ikutan menikmati sunset itu. Tak lama kemudian, aku langsung hanyut dalam alur cerita Sepotong Senja Untuk Pacarku-nya Seno Gumira Ajidharma. Sama seperti Sukab, aku juga ingin memberikan kado terbaik untuk perempuan yang paling kucintai di dunia.

Dalam cerita itu, Sukab memberi potongan senja lengkap dengan debur ombak, semburat sinar jingga, kuning dan ungu yang dikerat dan dimasukan dalam amplop. Sukab ingin Alina (calon pacarnya) melihat dan merasakan apa yang dia anggap sebagai sebuah bentuk kesempurnaan. Untuk itu Sukab harus menanggung resiko terjebak dalam urusan-urusan pelik dunia. Dia dikejar-kejar semua orang yang sedang melihat sunset karena sunsetnya bolong sebesar kartu pos, berusrusan dengan polisi dan terjebak dalam lorong-lorong senja itu sendiri.

Untuk Alinaku, tidak mungkin lagi aku memberikan potongan senja. Tak tega pula aku melihatnya menjadi bolong-bolong. Bisa jadi, jika hal itu kulakukan sama seperti Sukab, Kuta menjadi sepi pengunjung. Dan sunset bukan menjadi sesuatu yang punya nilai ekonomi tinggi. Bisa jadi, sunset Kuta banyak dijajajakan di pasar-pasar pagi. "Sunset Kuta-sunset Kuta, murah koq bang, cuma seribu tiga," nyanyi seoraang penajaja sunset.

Terus apa yang akan kuberikan pada Alinaku sayang? Apakah hanya sepotong cinta lengkap dengan segala bujuk-rayuku? Hmmm, cintaku sendiri itu sudah terkoyak-koyak dan terpotong-potong seperti layaknya kain perca. Bagaimana mungkin yah aku berikan itu untuk Alinaku... Ah, apa bedanya aku dengan si penjaja sunset itu di pasar pagi nantinya. Hanya yang kutawarkan cuma sepotong cinta.

"Mbel, gombal..." cemooh seorang gadis berambut pirang kepadaku. "Mana cukup Mas, bermodal cinta zaman sekarang?" ejek temannya yang lain. "Emang nantinya anakmu mau dikasih makan cinta apa? Cinta-cinta.. Pergi sana dengan cintamu itu. Sontoloyo kamu!" timpal si kaki jenjang. Hihihi..

Tapi tak apalah, akan kujait lagi potongan-potongan cintaku. Menjadi semacam mozaik. Mozaik cinta, hehehehe.... Siapa tahu menjadi barang antik. Dan mungkin justru malah menjadi mahal harganya. Walau tambal-menambal, setidaknya bahannya asli semua. Dan bukankah selera setiap orang berbeda-beda? Siapa tahu, Alina adalah jenis perempuan yang berbeda itu. Semoga!

_________________________________
Tulisan ini untuk 'Alina'. Yang kepadanya tidak hanya potongan senja yang akan kuhadiahkan, tapi cungkilan mataku lengkap dengan pemandangan-pemadangan di seluruh penjuru dunia rela aku berikan buat kado ulang tahunnya!

Friday, November 16, 2007

Sebuah Tanya

"Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa... Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui. Apakah kau masih selembut dahulu memintaku meminum susu dan tidur yang lelap sambil membenarkan letak kerah kemejaku...

....Apakah kau masih akan berkata,
kudengar derap jantungmu.
Kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta".

(“Sebuah Tanya”, Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 1 April 1969
)

Gie begitu peka. Desah napas dan aliran darah mampu ia ungkapkan dalam kata-kata. "Sebuah Tanya" masih tetap aktual. Perasaannya ketika membuat puisi itu, menerobos lorong-lorong waktu. Dengan begitu, ia tetap hidup. Bersemayam di Lembah Mandalawangi, tempat lahirnya untaian kalimat-kalimat itu.

Jauh sesudah itu, di tempat yang berbeda, nampaklah wajah-wajah muda. Sama seperti Gie, mereka juga lahir dan tumbuh di bumi Indonesia. Tanah yang (sangat) subur bagi tumbuhnya setiap benih-benih masalah. Bahkan, masih ada masalah yang lahir di zamannya Gie, sekarang sudah berubah menjadi pohon tua yang angker.

Salah satu pohon tua angker itu adalah peristiwa kelam akhir tahun 1965. Di mana jutaan orang kader dan simpatisan Partai Komunis Indonesia dibunuh dan dipenjara tanpa pernah melalui proses peradilan. Sampai sekarang, pohon itu belum bisa ditumbangkan dan masalah itu belum (untuk tidak mengatakan tidak) terungkap. Walaupun, kebenaran telah meraung-raung lewat caranya sendiri.

Dalam kesumpekan berbagai masalah, mereka (anak-anak muda itu) mengambil jarak dari rutinitas. Mencoba menjauh dari keseharian demi menemukan semangat baru untuk mendaki gunung-gunung kehidupan. Menerobos alang-alang waktu dan mencari puncak kebahagiaan. Tiada kata gentar dibenak mereka. Semakin kusut jalin-tundan masalah kehidupan yang (akan dan telah) mereka hadapi, semakin tertantang mereka.

Raut muka mereka menyala. Sorot mata, pancaran air muka, senyum yang terkembang serta hati yang berkobar-kobar menjadi pertanda mereka menyimpan berbagai ambisi. Mereka dipertemukan dalam dimensi ruang dan waktu yang sama. Mereka pun berdialektika.

Dan kehidupan layaknya judul puisinya Gie yang memberi sebuah tanya. Untuk apa hidup ini dijalani? Dan berbagai jawaban pun lahir. Mereka (jawaban-jawaban itu) mengada lewat sikap dan prilaku orang-0rang, disadari atau tidak.

Kitab-kitab kehidupan pun lahir di mana-mana. Mencoba mengungkap dan menyibak tabir rahasia jawaban dari pertanyaan itu.

Pancaran sorot mata anak-anak muda itu memberi sebuah keyakinan bahwa jawaban-jawaban itu akan ditemukan. Dan hidup itu sungguh sangat berharga dan patut dirayakan. Karena, jika saja tidak ada kehidupan baru, sorot mata baru, generasi baru, semangat baru, untuk apa hidup ini harus dijalani?

Dan orang muda di Indonesia masih saja setia menjalani hidup. Mereka menangis dan tertawa bersama. Semakin karut-marut, mereka semakin tekun. Mereka, sungguh menyanginya kehidupan itu sendiri. Mereka sungguh mencintai kampung halamannya, nenek moyangnya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Fajar pun menyingsing. Satu di antara mereka berkata, "Tanpa persoalan-persoalan itu, di manakah kata pembebasan itu berada?"

Sesungguhnya, semangat Gie telah mewaris. Semangat untuk menjalani hidup itu sendiri dengan segala peluh-peluhnya. Namun, Gie tetap saja orang muda. Gie yang punya cinta.

"Terima kasih Gie. Karena kamu menulis, matimu tidak sia-sia". [ ]

____________________________________________________________________
Kupersembahkan untuk A-18 'Escribir Para Siempre' (dari bahasa Spanyol yang artinya; menulis selamanya).

Tuesday, November 13, 2007

ANTARA MIMPI DAN BELAJAR BAHASA

Matari belum juga menampakkan senyumnya. Padahal, pagi sudah berlari. Dan aku sudah beranjak dari peraduanku. Jendela kubuka lebar-lebar. Kulihat awan hitam menyelimuti punggung-punggung langit. Gelap. Namun, hujan tak kunjung turun. Tidak seperti biasanya.

Pagi ini, juga tidak seperti pagi pada Sabtu-sabtu sebelumnya. Di mana, aku harus bangun lebih awal. Memikul seonggok pekerjaan rumah yang harus selesai dibuat dan siap dibacakan di depan teman-teman baruku. Seperti anak sekolahan.

Ditemani secangkir kopi panas, aku duduk di balai-balai rumah. Pada jam-jam ini minggu-minggu yang lalu, aku sedang duduk melingkar di atas kursi merah. Di dalam ruang kelas mendengar dan menulis mempelajari sebuah bahasa asing, serta mengerjakan latihan-latihan.

Masih lekat benar bagiamana saat pertama kali aku memasuki kelas itu. Aku bersama salahseorang teman baikku berangkat bersama ke sebuah kampus di bilangan Grogol Jakarta Barat. Namanya Fransiskus Pascaries. Aku biasa memanggil dia, Pren. Namun banyak teman-temannya memanggil dia, Aris. Teman yang kukenal sejak akhir 2005.

Seperti sedang berkejar-kejaran dengan matari baru, laju roda motor kami menyelinap di antara mobil-mobil metropolitan. Motor bebek Susuki Shogun hijau itu tidak sekadar membawa kami berdua. Tapi, ia juga ikut menggendong mimpi-mimpi kami. Waktu menjadi garis finisnya.

Mimpi itu tak lain adalah usaha membuat tanah air ini lebih baik bagi anak cucu bangsa merdeka. Bagi setiap benih kebaikan yang akan berbuah. Dan apa yang sedang aku lakukan sekarang, adalah pilihan rasionalku yang aku yakin dapat menghantarkan aku pada mimpi-mimpi itu. Aku belajar bahasa Spanyol.

Tentulah sudah menjadi sebuah persoalan sekarang. Mimpi dan belajar bahasa Spanyol. Mengapa harus belajar berbahasa Spanyol? Mengapa tidak belajar bahasa Mandarin, Jepang, Jerman, Prancis, atau memperkuat bahasa Inggris yang pernah kupelajari dari SMP sampai kuliah dulu? Nah, di sinilah maksud dari tulisan ini. Pertautan antar mimpi dan belajar bahasa.

Keputusanku untuk memilih belajar bahasa Spanyol bukan seperti ketika aku mempelajari bahasa Inggis dalam masa-masa pendidikan formal dulu. Dulu, berbahasa Inggis menjadi kewajiban, bukan keputusanku sendiri. Sehingga tidak ada ruang diskusi bagi nalar dan rasaku kala itu untuk menimang-nimang makna motivasi. Semuanya mengalir saja, sudah terjadwal. Nilai-nilai hasil ujian menjadi penanda usahku.

Motivasi itu tumbuh seiring tumbuhnya kesadaran nasionalismeku sebagai anak bangsa. Kesadaran yang tumbuh dari melihat, mendengar, dan merasakan sendiri hidup di Indonesia. Tanah air yang menurut ceritanya sudah merdeka. Kaya-raya. Negeri maritim terbesar. Dan, berkebudayaan tinggi. Cerita yang aku tahu dari aku duduk waktu sekolah dulu.

Apakah hal itu terasa berlebihan? Ketika aku menyebut kata nasionalisme? Setidak-tidaknya sebagai manusia Indonesia adalah selayaknya aku punya pikiran tentang Indonesia. Dan setidaknya juga aku bebas punya pendapat atau opini tentang bagaimana membuat tanah air ini lebih baik.

Bahasa dari negeri matador ini aku pelajari untuk menjadi perantaraku mengenal sebuah dunia baru yang sedang berputar di porosnya sendiri. Yang oleh karena laju putarannya, menarik segala sesuatu yang frekuensinya sama. Mereka menyebut dunia itu berputar dalam sebuah poros yang mereka namai POROS KEBAIKAN.

Aku tertarik oleh magnet itu. Semakin lama, semakin mendekat. Tarikannya mengalahkan gravitasi bumi. Aku dibuatnya terpelanting dan terlempar.

Semakin hari, semakin jelas panggilan itu ditelingaku. Panggilan untuk menjadi salahsatu pemainnya. Bukan sekadar menjadi penonton ataupun peliput yang baik.

Semanagat yang membara didadaku adalah semangat menimba ilmu. Menemukan mutiara itu. Aku siap mengorbankan segala-galanya. Bukan untuk diriku sendiri, melainkan untuk semua insan di negeri merdeka ini.

Aku harus pergi untuk sementara. Mematangkan pengetahuan dan nyali. Dan kembali membawa REVOLUSI.


Friday, November 9, 2007

Bukan Panggung Sandiwara

Dunia bukanlah panggung sandiwara
Drama kehidupan mengalir tanpa skenario
Lakon-lakonnya tidak memiliki pakem
Dalang atau sutradaranya tidak cuma satu

Dunia bukanlah panggung sandiwara
Di mana peran pemain dan penonton tidak kentara
Tawa dan airmata bukan sekadar gula-gula
Akhir cerita selalu menjadi misteri

Dunia bukanlah panggung sandiwara
Semua orang ingin menjadi lakon utama

Lewat panggung sandiwara dunia menjadi kasat mata
Menyibak segala sesuatu yang tersembunyi
Terkuaklah misteri
Keberanian selalu menjadi pemenangnya

Panggung sandiwara cermin panggung dunia


Jakarta, 9 Nopmeber 2007
(untuk penghargaan kepada pemberani-pemberani)

Wednesday, October 24, 2007

Lewat Puisi

Dalam temaram lampu kota aku duduk termenung
Memikirkan kamu
Membayangkan masa lalu
Dan memikirkan masa depan

Di sisi kota aku terpaku dalam siraman rintik hujan
Aku membayangkanmu
Hadir dan tersenyum
Menawarkan kehangatan dan sepotong cinta

Kemarau sudah diujung masa
Aku terjaga dari lamunku
Tidak untuk meratapi
Juga bukan untuk mensyukuri

Aku terlempar
Semuanya sudah tertinggal
Tak satu pun kubawa

Aku tetap menjadi pengembara
Tidak membawa apa-apa
Dan tiada berharap

Lakon ini harus kujalani

Aku sudah terlahir dari cinta
Dan untuk itu pula aku mengada
Bukan untuk diriku sendiri

Engkau masih ada dan selalu bersamaku
Dalam balutan cinta itu sendiri

Thursday, September 20, 2007

Masihkah Gereja Menjadi Mater et Magistra[1]?

Seri Ajaran Sosial Gereja (ASG) yang saya gunakan sebagai salah saatu acuan untuk diskusi kita pagi hari ini saya terima gratis dari sahabat dan guru jurnalistik saya, Ignatius Haryanto atau Mas Hari. Saat itu, Sabtu, (25/02) di gedung Diknas sekumpulan remaja[2] berkomitmen untuk mempelajari ASG, secara rutin. Bulanan. Mas Hari mengawali studi kita secara umum dan membagikan serial-serial ASG terbitan Secretariat Justice and Peace dan Komisi Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi - KWI.

Untuk pertemuan ketiga, saya mendapat giliran untuk membahas Mater et Magistra (MM). Seperti disinggung di atas, saya juga menggunakan seri ASG tersebut sebagai salah satu acuan. Serial-serial tersebut cukup menarik dan mudah dipahami. Menarik sebab ASG dikemas dalam format yang cukup ringkas serta dihiasi gambar-gambar ilustrasi. Mudah dipahami juga melulu karena sifatnya yang ringkas. Tidak banyak kata. Bisa dikatakan ini metode baru pengemasan dokumen gereja sehingga mudah dipahami dan orang juga tidak merasa takut terlebih dahulu untuk mempelajarinya, karena bahasa yang njlimet dan jumlah halaman yang tebal[3]. Seri-seri tersebut merangkum pokok-pokok pikiran dan sedikit konteks historis dimana dokumen itu dilahirkan.


Saya tidak akan mengomentari terlalu jauh bentuk dari serial-serial ASG ini. Namun, saya percaya bahwa dunia selau tampil berimbang. Di dalam segala kelebihannya yang mudah dipelajari karena ringkas dan menarik, di situ juga sekaligus terdapat kekurangannya. Yaitu, ketidaklengkapan dokumen yang tersaji, sehingga sulit untuk lebih menggali dan akhirnya menemukan pemahaman yang utuh dari maksud diterbitkannya dokumen tersebut. Itu semua sebagai akibat langsung atau konsekuensi dari pengemasannya yang ringkas. Tapi, justru di sana saya merasa ditantang untuk menggunakan bahan-bahan lain sebagai referensi untuk memperjelas serta memperkaya proses studi kita. Kekurangan bahan. Itu masalahnya. Namun, hal ini tidak membuat saya menyerah. Justru, saya jadi ingat kembali semangat awal forum ini. Di mana kita bisa saling berbagi, memperkaya dan melengkapi. Sehingga, satu-satunya harapan saya adalah proses diskusi akan lebih hidup dan dengan itu kita mampu mengerti untuk selanjutnya membatinkan pokok-pokok ASG yang kita bahas.


Beberapa hari menjelang pelaksanaan diskusi, saya mendapat SMS dari 2 teman kita yang ‘paling aktif’ dalam forum ini. Mereka tidak bisa hadir dalam diskusi hari ini karena berbagai hal. Namun, saya juga mendapat konfirmasi dari beberapa teman lain via e-mail dan telepon bahwa mereka akan datang di forum ini, sehingga hal ini menguatkaan semangat saya kembali. Maka, saya ucapkan terima kasih.


Makalah ini terlebih dahulu akan sedikit me-refresh kita pada dua pertemuan sebelumnya. Dimana kita sudah membahas Rerum Novarum (RN) dan Quadragesimo Anno (QA). Keterkaitan yang cukup kuat antar materi inilah yang membuat saya harus menyertakan intisari dari dua pertemuan yang telah kita lalui. Di samping itu, saya juga ingin lebih membawa MM pada kerangka historis yang sedikit akan menyibak babak awal industrialisasi yang mendorong terjadinya imperialisme-modern[4] penyebab bergesernya matra Timur–Barat menjadi Selatan–Utara. Dan lahirlah Dunia Ketiga. Hal ini saya rasa penting mengingat MM lahir menanggapi situasi dunia dengan kesenjangan menyolok antara negara kaya dan miskin. Dengan mempelajari semangat awal, filosofi serta sepak terjang industialisasi dan imperilaisme-modern, saya berharap kita bisa lebih jernih melihat persoalan sesungguhnya.

Lahirnya ASG

Dalam catatan awal buku Diskursus Sosial Gereja karangan Eddy Kristiyanto, OFM, ditulis bahwa Gereja Katolik Roma memiliki tradisi sehat, inspiratif dan sangat kaya berkaitan dengan ajaran sosial[5]. Kalimat ini menunjuk pada satu tradisi dimana pimpinan tertinggi Gereja Katolik Roma atau Paus, membuat ensiklik yang berhasil mengawinkan antara refleksi Kristen yang didasarkan pada analisis sosial dan sikap kritis terhadap perubahan zaman. Sehingga, dari ensiklik itu lahirlah apa yang disebut ASG. ASG juga menyoroti ekonomi, politik, tata susunan dan perdamaian dunia. ASG telah mempengaruhi kebijakan, sikap dan aksi atau tindakan Gereja di dunia, sampai sekearang!


Memang, tidak setiap ensiklik yang dilahirkan adalah merupakan ASG. Jadi ada ensiklik yang menjadi ASG dan ada yang tidak. Sebuah studi yang relatif menyeluruh mengenai ASG dengan mendasarkan diri pada ensiklik-ensiklik para Paus sejak 1740 pernah dilakukan oleh M.J Schuck dalam That They Be One. The Social Teaching of the Papal Encyclicals 1740 – 1889. Pengarang menerapkan kriteria tertentu mengapa sebuah ensiklik termasuk dalam sebuah kategori ajaran sosial, dan yang lain tidak. Di sini, Schuck senantiasa menyertakan kriteria tertentu sebelum melakukan penggolangan atas ensiklik-ensiklik sosial. Hal ini berarti pengerian tentang ASG juga relatif jelas[6].

Berikut, saya akan sedikit me-refresh mengapa kita hari ini berkumpul untuk mempelajari ASG. Pertama, seperti kata Ismartono, SJ dalam kata sambutannya di buku Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, bahwa Gereja Indonesia lebih merupakan penampilan ibadat dari pada penampilan gerakan sosial[7]. Lebih lanjut dijelaskan, kalau pun ada penampilan gerakan sosial, itu pun masih bersifat sosial karitatip. Hal ini yang menurut saya patut mendapat penekanan lebih dalam forum ini. Sehingga, dengan diskusi ini, bisa mempengaruhi cara beriman kita. Kedua, kita saat ini hidup dalam suasana umum yang tidak menentu menyangkut struktur-struktur sosial misalnya keluarga, tata perekonomian, politik, yang menjadi ajang pertempuran tanpa tapal batas anatara sains, irasionalisme ideologis dan agama[8]. Ketiga, sebagai orang orang muda yang juga bagian tak terpisahkan dari Gereja dan masyarakat, kita dituntut untuk mewujudkan Kerjaan Allah di dunia. Kerajaan Allah di sini saya maksudkan adalah suatu kondisi yang kita usahakan dengan upaya mewujudkan atau menciptakan tata sosial, ekonomi, politik dan budaya yang identik dengan ciri-ciri Kerajaan Allah sendiri, yaitu perwujudan dari tegaknya nilai keadilan, perdamaian dengan dilandasi iman, semangat cinta kasih dan harapan. Sehingga sebagai orang muda kita tidak diam diri dan pasif. Karena, sekali lagi kita adalah bagian yang tak terpisahkan dari Gereja dan masyarakat.

Adalah Paus Leo XIII pada tahun 1891 dalam ensikliknya RN dengan tegas menentang kondisi-kondisi yang tidak manusiawi yang menjadi situasi buruk kaum buruh dalam masyarakat-masyarakat industri[9]. Sehingga, RN adalah tonggak sejarah[10] ajaran sosial Gereja Katolik Roma. Dengan RN Gereja telah meruntuhkan tembok pemisah dimana gereja sebagai institusi mengurung diri terhadap dunia modern. Sikap gereja jelas ditunjukkan lewat RN. Keberpihakkannya pada kaum buruh sebagai korban perubahan sistem dan struktur sosial. Lebih lanjut, dengan berani Gereja yang berpihak tertuang dalam satu kalimat, “Preferential Option for the Poor”.

Memperingati 40 tahun lahirnya RN, diterbitkanlah ensiklik QA oleh Paus Pius XI tahun 1931. Pembangunan kembali tatanan sosial yang ditawarkan lewat QA mengkritik keras penyalahgunaan kapitalisme dan berusaha menyesuaikan pengajaran sosial Katolik dengan keadaan yang sudah berubah[11]. Bidang yang digarap oleh QA adalah melihat kembali dampak RN, perluasan isu-isu sosial ekonomi dan suatu kajian tentang perubahan dalam kapitalisme dan sosialisme modern.

Mater et Magistra (Ibunda dan Guru)


Ensiklik ini lahir untuk mengenang 70 tahun RN. Angelo Roncalli yang menduduki Kursi Santo Petrus tahun 1958 sampai 1963 mengambil nama Yohanes XXIII menerbitkan MM tahun 1961 untuk menjawab keprihatinannya melihat kesenjanan yang menyolok antara negara kaya dan negara miskin. MM ditulis pada saat dunia sedang menghadapi pergolakan besar. Dunia dijejali senjata nuklir. Terjadi perang dingin antara Pakta Wartawa dan NATO. Jadi, Yohanes XXIII menghadapi perubahan yang baru sama sekali dalam sejarah setelah berakhirnya perang dunia kedua. Ensiklik ini merupakan penuntun penting bagi zaman modern. Karena, untuk pertama kalinya ASG mengkaji situasi negara-negara yang belum sepenuhnya mengalami industrialisasi, yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Dunia Ketiga.

Lahirnya Dunia Ketiga pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, dimulai dari perkembangan industri di Eropa Barat khususnya Inggris dan Jerman mengalami revolusi. Yang dengan kehadirannya mengubah banyak hal. Mengubah tata hidup, pergaulan, cara berpikir, dlsb. Perubahan ini ditandai dengan bergesernya industri rumah tangga yang dikelola secara tradisional menjadi industri di pabrik dengan cara modern, menggunakan bengkel dan mesin-mesin industri baru. Industri menjadi kekuatan baru. Di Inggris misalnya, di sana teradapat sumberdaya yang cukup memadai untuk berkembangnya suatu industri. Dengan cepat, produk-produk buatan Inggris merambah keseluruh dunia, dengan cap “Made in Great Britain”. Sedangkan mulai abad ke-20, disaingi oleh barang-barang ber cap “Made in Germany”.

Munculah suatu babak baru yaitu imperialisme modern. Tulisan Soekarno dalam artikelnya yang berjudul “Swadeshi dan Massa – Aksi di Indonesia” di buku Di Bawah Bendera Revolusi, menuliskan dengan panjang lebar revolusi industri dengan imperialisme modern sebagai sarananya untuk mencari pasar-pasar baru untuk memperdagangkan produk hasil industrinya (terutama kepada negara jajahannya). Imperialisme, ia definisikan sebagai suatu nafsu, suatu politik, suatu stelsel menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri bangsa lain. Soekarno menuding imperialismelah yang menyebabkan rakyat-rakyat di Asia dan Afrika sampai saat ini terbelakang. Atau saat ini dikenal dengan Dunia Ketiga. Tudingan ini jelas bukan tanpa dasar. Ia menyontohkan apa yang dilakukan oleh Inggris terhadap India, negara jajahannya.

Adalah John Bull yang menjalankan strategi yang menghalang-halangi tumbuhnya industri rakyat India dengan mengadakan bea masuk yang cukup tinggi bagi barang-barang India yang mau masuk ke Inggris. Tapi sebaliknya, bea masuk yang murah bagi barang Inggris yang masuk ke India. Ia juga membuat aturan-aturan pajak yang mencekek leher rakyat India. Sehingga, sebelum 1850, industri di negeri Hindustan telah binasa sama sekali. Itulah cara kerja imperialisme modern. Lain Inggris lain Amerika. Kembali menurut Soekarno, untuk mengenali imperialisme itu ditetapkan oleh warna kapitalisme yang ada di negara tersebut. Warna imperialisme Amerika adalah akibat dari warna kapitalisme di Amerika. Warna imperialisme Belanda akibat dari warna kapitalisme Belanda[12]. Dlsb.

Industrialisasi telah mengakibatkan dunia berjalan penuh dengan ketidakadilan. Saat ini pun dengan mudah kita lihat negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga menjadi tempat buat pabrik-pabrik raksasa. Dan warga di sekitaranya menjadi kuli dengan bonus limbah industri yang cukup mebahayakan. Apalagi, banyak dari negara-negara Dunia Ketiga yang juga merupakan negara jajahan Dunia Pertama. Sehingga, Dunia Ketiga ibarat keluar dari mulut singa dan masuk mulut buaya. Industrialisasi telah merubah wajah baru kolonilaisme senjata menjadi kolonialisme baru, yaitu imperialisme modern. Imperialisme modern adalah imperialisme tanpa senjata. Imperiaalisme yang terus mencari keuntungan untuk menambah aset. Sama saja dengan kolonilis senjata, imperialisme baru juga mengorbankan Dunia Ketiga. Bedanya, pelaku imperialis baru adalah korporasi-korporasi raksasa dari negara maju.

Catatan di bawah ini lebih banyak mengambil pati sari dari buku Diskursus Sosial Gereja karangan Eddy Kristiyanto, OFM. Hal ini sengaja saya sampaikan hampir utuh karena cara bertutur Eddy dalam membahasakan ASG cukup menyeluruh dan lebih dalam karena menggunakan metode tekstual dan kontekstual[13]. Serta, sekali lagi keterbatasan sumber bacaan yang seperti telah saya kemukakan di atas. Perhatian MM terhadap Dunia Ketiga, tentu saja dengan melihat kembali perkembangan dunia pasca perang dunia II, dan sedang berlangsungnya perang dingin. Tiga situasi kontemporer yaang membingkai secara historis ensiklik ini adalah; Pertama, penaklukan ruang. Kedua, perkembangan campur tangan negara untuk membagikan kekayaan yang dihasilkan dan menjamin proteksi sosial bagi semakin banyak orang, dan terakhir dekolonilaisasi politik yang membangkitkan kesadaran negara-negara sedang berkembang di Selatan terhadap Utara yang maju.

MM pertama-tama mau menolong dengan memilah-milah dan membedakan serta memberikan orientasi atau cakrawala menurut ajaran tradisional dalam situasi baru[14]. Bidang-bidang utama MM adalah sebagai berikut; Pertama, tinjauan kritis RN dan QA dan pengukuhan prinsip-prinsipnya. Kedua, situasi negara-negara sedang berkembang. Dan ketiga, tanggungjawab kaum awam menyongsong satu dunia yang lebih adil. Intinya, MM ingin mengatasi kesenjangan yang sedang berkembang. Ada juga pandangan yang menyebutkan kalau MM dilatarbelakangi oleh banyaknya pengangguran. Yang menjadi sorotan pokok yaitu; perlunya intervensi negara, tetapi harus dijunjung tinggi prinsip subsidiaritas. Fenomena sosialisasi. Upah yang adil, yaitu adanya partisipasi dalam pembuatan keputusan. MM masih juga menyinggung soal struktur-struktur atau perangkat untuk wadah gerakan buruh. Dan dalam MM juga mengajarkan ulang tentang hak milik.

Aspek-aspek baru yang disoroti dalam MM yaitu masalah sosial yang menyangkut pertanian, suatu sektor yang perlu diperhatikan dalam ikhtiar dan proses modernisasi terutama di negara-negara berkembang. Negara-negara yang sedang berkembang, masalahnya mungkin lebih besar dari zaman modern. Sikap konkret yang harus ditempuh negara kaya. Dan pertambahan jumlah penduduk. Penyelesaian pembatasan tidak dapat diterima demi martabat manusia.

Arahan-arahan dari MM berupa nasehat pastoral, yang praktis antara lain; Menentang ideologi sekuler, menegaskan ulang bahwa dunia manusia itu perlu diatur oleh Allah. Pentingnya doktrin sosial bagi orang-orang Kristen. Perlu diketahui, bahwa ensiklik ini adalah ensiklik terakhir untuk kalangan Kristen.

Beberapa komentar mengenai MM. MM dirasa sebagai legitimasi peranan utama pemerintah untuk mencapai tujuan sosial. Ada pula yang menganggap MM menyingkap keterbukaan pada Kiri. Sejumlah jurnal konservatif di Amerika kecewa terhadap MM. Namun, tidak dapat disangkal, kalau MM adalah puncak dari ASG. Disambut hangat di mana-mana, gaya bahasanya ringan, kerangka sosialogisnya konkret tanpa pernak-pernik filosofis spekulatif.

Akhirnya tahun 1961, Gereja masih ingin menjadi MM. Artinya, menjadi bunda dan pengajar: Terang, kebijaksanaan, dan kekuatan bagi bangsa-bangsa yang berada dalam kesulitan dan penderitaan, seruan pada asal-usul dan akhir adikodrati sejarah ini.

Penutup


Akhirnya, saya ingin merefleksikan ulang MM dalam konteks hidup kita saat ini. Dimana globalisasi dengan neoliberaliasinya menjadi sebuah bentuk kolonilaisme dan imperialisme baru, dengan korporasi-korporasi raksasa sebagai aktor utamanya. Masihkan Gereja (kita sebagai bagian yang tak terpisahkan di dalamnya) menjadi Mater et Magistra?
[1] Makalah ini disampaikan untuk forum diskusi ASG, di Pondok Labu, (23/04).
[2] Dengan kesamaan minat dalam bidang jurnalistik dan tergabung dalam forum penulisan Agenda 18.
[3] Coba bandingkan dengan dokumen Konsili Vatikan II terbitan Obor.
[4] Saya meminjam pemikiran Soekarno dalam Di Bawah Bendera Revolusi.
[5] Lihat, Eddy Kristiyanto, Diskursus Sosial Gereja, hal. xii
[6] Ibid 3, dalam catatan kaki, hal. xx
[7] Lihat, Michael J. Schulteis, Ed P. DeBerri, Peter Henriot, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, hal 21
[8] Ibid 3, hal. xx
[9] Ibid 4, hal 21.
[10] Ibid 3, hal xxxi
[11] Seri ASG No. 2
[12] Ibid 2, hal 133
[13] Ibid 3, hal xxii
[14] Ibid 3, hal 68

Monday, September 10, 2007

Surat buat RAFA (ponakan pertama)

Hohoho...

Dalam beberapa hari ini, rasanya tidak ada lagi kegembiraan yang lebih tinggi dari kegembiraan mendengar kabar tentangmu Rafa... Apalagi, sudah sebulan rasanya kita sudah tak bersua ya....

Rafa, tentunya om-mu yang satu ini salah. Mengira kamu sudah pandai membaca, sehingga harus berkirim surat untuk menyampaikan rasa kegembiran ini. Tapi Rafa, aku yakin, papa-Mamamu akan membacakan untukmu. Dan aku yakin juga, kamu akan mengerti. Sorot matamu itulah yang meyakinkan aku...

Terima kasih ya Rafa, kamu telah meyakinkan aku akan cerahnya hari depan. Meyakinkan aku akan adanya keceriaan dan kebahagiaan. Dan yang terpenting Rafa, meyakinkan aku bahwa hidup itu sungguh sangat berharga dan patut dirayakan. Karena, jika saja, tidak ada kehidupan baru, untuk apa hidup ini harus dijalani...

Om-mu berjanji (sekarang dan seterusnya) akan bekerja untuk menyiapkan hari-hari depanmu. Supaya, penderitaan jangan terulang padamu. Cukup.. cukup papa-mamamu, om dan tantemu, serta kakek-nenekmumu saja yang harus mengecapnya. Salahkan kami Rafa, jika hidupmu sama seperti hidup kami dulu.

Tapi perayalah Rafa, papa-mamamu adalah orang-orang baik. Mereka bisa menjadi perantara yang baik untuk duniamu nanti.

Kalau sekarang Rafa sudah minum susu 120 ml sekali tenggak, mungkin itu masih sama dengan kemampuan papamu dulu. Tambah lagi Rafa... tambah lagi. Besok 2 kali lipatnya, lusa 4 kali lipatnya, dan seterusnya... Sampai minggu depan, kita bisa sama-sama main sepak bola, layang-layang, menyanyi, atau permaianan apapun yang kamu suka... Oke!!!

Rafa, ommu bekerja lagi ya... Nikmati dulu hari-hari pertama melihat cakrawala, mendengar kicau burung, dan merasakan balutan kasih ibunda. Tidurlah jika sudah mengantuk, papamu akan selalu menjagamu. Dan ketika matamu terbuka nanti, ommu akan datang membawa hadiah untukmu. Hanya untukmu Rafa, bukan untuk yang lain.

Hohoho...

Tuesday, September 4, 2007

September Ceria

Angin laut itu menyapaku lagi. Mengabarkan kepadaku tentang keadaan ibu-bapakku, adik-kakakku, anjing-anjingku, rumah, desa, dan membisikan sepotong pengalaman cinta bersama seseorang yang sekarang entah ke mana.

Di ujung, kemarau panjang, yang bosan dan menyakitkan. Kau datang mengantar berjuta kesejukan/Kasih kau beri udara untuk nafasku. Kau beri warna untuk kelabu jiwaku/Tatkala butiran hujan mengusikku stiap slalu. Kau hadir di sini di batas kerinduanku/Kasih kau singkap tirai kabut di hatiku. Kau isi harapan baru untuk menyongsong masa depan bersama/September ceria.. September ceria... September ceria.. September ceria, milik kita bersama...

Lagu Vina Panduwinata berjudul "September Ceria" menyela nostalgiaku dengan angin laut itu. Kunikmati iramanya, kurasakan ada sebuah kekuatan yang bukan sekadar rangkaian perpaduan apik antara musik dan lagu. Rasanya, sempurna!

Aku dibuat terhanyut dalam sebuah simponi. Tiba-tiba, tubuhku bergetar. Aku terlempar dalam masa laluku. September ceria adalah lagu wajibku saat memegang gitar. Spontan, jari-jemariku memetik senar sebisanya. Seperti anak-anak berebut kembang gula. Tak ada yang mau mengalah.

September ceria adalah cerita tersendiri dalam hidupku. Yang selalu menjerit saat daun telingaku kembali mendengar lagu itu. Ya... seperti sebuah dejavu.

Tahun ajaran baru saja memasuki minggu kedua. Namun sekolahku ramai dengan berbagai pertandingan antar kelas. Karena, selain ikut merayakan hari Kemerdekaan Republik Indonesia, sekolahku juga merayakan hari ulang tahunnya. Basket, sepakbola, volley, tarik tambang, tenis meja, catur, lomba band, paduan suara, dan ditutup dengan pentas seni pada malam harinya. Mereka saling bersaing unjuk kemampuan untuk membuktikan siapa yang terbaik.

Setiap tahun, masa-masa itulah yang paling ditunggu-tunggu setiap siswa. Tidak ada tugas sekolah maupun pelajaran. Usai memperkuat tim basket kelas memenangi kejuaran basket, aku sengaja menyendiri, duduk di pojok kantin di sudut sekolah. Matahari belum juga tenggelam.

Kantin sepi. Pensil dan buku tulis serta segelas kopi menemaniku. Bu Maryo, penjaga kantin menanyakan keadanku. Waktu itu, aku menjadi asing di hadapannya. Dia mengira, aku sedang mendapat sebuah masalah. "Ah, nggak papa Bu, cuma pengin ngaso (istirahat)," kataku.

Kuayunkan pensil itu di atas lembar-lembar putih. Kutumpahkan sebisa mungkin apa yang aku rasakan dalam untaian-untaian aksara. Aku hanya ingin mengabadikan momen kesendirianku. Namun, yang kutulis bukan itu akhirnya, melainkan sepucuk surat untuk seseorang.

Alangkah terkejutnya saat aku melihat di hadapanku, si dia yang aku tulis di surat itu, duduk persis di depan bangkuku. Dia tidak sendiri, ditemani sahabatnya. Hatiku gemetaran tak karuan. Panas dingin bersamaan. Salah tingkah aku dibuatnya.

Senyum kulemparkan padanya untuk menutupi jelamaan rasa 'cinta' yang sudah tercampur rasa gengsi. Sekelebat kumenangkap senyumku berbalas dari seseorang dengan rambut berombak sepundak, diponi di atas matanya. Dengan bibir merah ranum yang mekar tersenyum. Serta sorot mata sayu menggonda.

Entah sebuah kebetulan atau bukan, September Ceria mengiringi pentas panggung drama cinta dua anak muda yang saat itu belum diketahui akhir ceritanya.

Monday, September 3, 2007

MENYUSUR MARTAPURA


Pawai budaya Bhinneka Tunggal Ika sebagai acara pembuka dari Pertemuan Konsolidasi Bhinneka Tunggal Ika Regional Kalimantan dimulai dengan arak-arakan perahu menyusuri sungai Martapura, Banjarmasin, Minggu (12/8).

Dibuka oleh walikota Banjarmasin, Yudhi Wahyuni pawai budaya ini membawa pesan mempertahankan keberagaman Indonesia. Setiap perahunya diisi oleh masing-masing perwakilan dari berbagai daerah yang memiliki komitmen untuk menjaga Indonesia sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika.

“Lihatlah, betapa kayanya Indonesia. Sungguh ini adalah titipan Tuhan kepada kita untuk terus kita jaga dan lestarikan,” seru Nia Sjarifudin dari atas kapal utama yang juga mengangkut Walikota.

Selama menyusur sungai dari Banua Anyar sampai depan Balaikota yang jaraknya sekitar lima kilo meter, digelar berbagai seni pertunjukan berupa alunan musik dan tari-tarian. Lebih dari 15 perahu besar dan kecil menghibur penduduk di sisi kanan dan kiri sungai Martapura yang dilalui arak-arakan perahu.

Perahu dari Sumatra Barat menghiasi perahunya dengan ornamen Minangkabau. Di atas perahu, nampak dua pasang pemuda-pemudi memperagakan pakaian khas pernikahan mereka. Lain dengan perahu dari Bali yang menggelar pertunjukan musik tradisionalnya. Perahu dari Kalimantan Selatan mempertunjukkan tari tradisional Dayak. Begitu juga dari Kalbar, Kalteng dan Kaltim.

Yang menarik adalah di perahu utama, masyarakat etnis tionghoa Kalimantan Selatan meramiakan pawai dengan atraksi Barongsai. Yang lain adalah perahu dari Bima Nusa Tenggara Barat, dan dari Tapanuli. Mereka sejenak merebut perhatian masyarakat pinggir sungai. Luapan kegembiraan penduduk, mereka apresiasikan dengan menebar senyum dan lambaian

Di setiap perahu, dipasang spanduk-spanduk yang merayakan kebhinnekaan. Pesan itu antara lain berbunyi; Semua untuk satu. Satu untuk bersama. Bhinneka Tunggal Ika. Yang berbunyi; Aku beda, Kamu berbeda. Tapi, tanahair kita satu Indonesia. Dan yang lain lagi; Bermacam-macam budaya, beraneka suku dan agama itulah Bhinneka Tunggal Ika.

Setelah rombongan sampai di pelataran bakaikota, gerimis mengguyur ratusan peserta pawai. ”Ini adalah sebuah petunjuk di mana, para leluhur menyertai kita. Mereka gembira melihat ini. Dan puncak dari kebahagiaan adalah tangisan,” kata Ira Indrawardana salah seorang peserta pawai.

Saturday, September 1, 2007

MI FIN DE SEMANA

El sabado de la semana pasada fue muy mal tiempo en mi vida. Despues de la clase de Espanol en cervantes, me fue al aeropuerto Soekarno-Hatta para a cojer mi novia hasta la casa. Despues estar una semana en Makasar.

Mientras tanto, tenemos muchas problemas en nuestra relacion. Es como acumulation.

En el autobus a la casa, nosotros solo callamos. No hablamos. Empiezo la conversacion con preguntas. "?Como estas?" y "?Lo siento mucho me amor?" y "?Que quiere decir esse?" y "?Puedes hablar otra ves amor?"

Pero, ella solo da una sonriza. Estoy muy melancolico. "?Por que me amor, por que?" y "?Acaso te vas?"

Por la noche, fuimos a cenar y tomar el cofe. Nunca habla penzado que aquella noche fuera la ultima salir con mi novia. Nos relacion ya roto despues de tres anos. !Que lastima!

Realmente, tenemos amor en nuestras corazones. Posible, ella muy emocional, y yo tambien. Solo ella rompe mi razon....

En esta noche tambien, gasto mi tiempo con beber el vino con mis amigos y cantamos en karaoke. Quiero curar herida en mi corazon.

Desde el sabado por la noche, no encuentro otra ves con mi amor. No mas preguntas. Solo creo en el misterio de la vida. ?Acaso. este es destino?"

Ahora, yo siempre acuerdo de los besos que me das. Si dios quiere, todo puede pasar!

Monday, August 27, 2007

Mi Habitacion

Mi habitacion es mi favorito lugar en el mundo. Es muy comoda. Realmente, mi habitacion solo es un dormitorio. Esta en el segundo piso de mi cassa.

Delante de la puerta, hay una esclara. Al entrar a mi habitacion puedes mirar muchas fotografas de fubolistas en la pared. A lado de la puerta, hay una ventana. A traves de la ventana puedes mirar el mercado de Tanahabang.

Tiene una cama y una messa y una silla yt una estanteria y un armario. En mi cama, yo siempre descanso mientras escuchar la musica y leer un libro despues de volver de la oficina. Para el, hay muchos libros encima del suelo. Por que mi estanteria ya osta llena con muchos libros tambien. Me gusta tener estanteria nueva. Pero, no hay mas lugar en mi habitacion. Estoy melanolico. Tener una bastante grande es mi sueno.

En mi habitacion, yo no solo descanso, pero trabajo tambien. Mis pasatiempos son leer y escribir. En la messa, a la derecha de la puerta yo siempre escribo un ensayo y una poesia. Creo que con escribir, puedo vivir la vida en el mundo para siempre.

Antes y despues de duermo, siento en la silla para rezar cada una dia y noche. Muchas gracias!

Wednesday, August 22, 2007

DILEMA

Satu minggu ini, aku lebih melankolis dari biasanya. Ada perasaan berat di antara sum-sum tulang-tulang tubuhku. Lemas. Mataku sayu. Perut sering kubiarkan kosong. Wajahku semakin kumal. Senyum menjadi barang langka.

Perasaanku sedang merajai raga ini. Tak kuasa aku bisa menahannya. Seketika dia membawaku dalam romantisme bahagia, dan sekietika pula dia membawaku dalam suasana sedih nesatapa. Air matapun menitik. Itu pun kubiarkan. Kehangatannya menyapa kulit mukaku.

Dilema. Begitulah judulnya. Semuanya menjadi gamang. Semuanya ragu. Mataku ke mana, hatiku di mana. Ragaku ada, jiwaku tiada. Nafasku nyata, tapi tidak dengan rasaku. Seorang berkata, lupakan saja, dan yang lain ngomong sebaliknya. Aku sendiri, diam. Kosong.

Aku tahu masalahnya. Tapi tak kuasa aku menyelesaikannya. Nalar ini sangat anti terhadap kata 'nasib' namun hati saat ini ingin mengatakan, baiarkan saja mengalir. Aku lunglai. Tak punya pegangan.

Masalahnya adalah masalah cinta. Masalah rasa. Maka biarlah rasa itu sendiri yang menyelesaikan urusannya. Karena, tubuhku adalah ruang bebas bagi setiap anggotanya. Dan perasaanku, sekarang sedang menjadi lakon.

Dalam dilema, aku masih sempat berharap. Aku hanya berharap, penyelesiannya tidak lama lagi. Karena, aku sudah merindukan sinar mentari semangatku.

Sudahlah. Hidup hanya sekali, take it easy.... Wi!!!

Tuesday, July 31, 2007

Singa Mesopotamia Mengukir Sejarah

"Singa Mesopotamia" Iraq mengukir sejarah. Mereka tampil perkasa menumbangkan "Rajawali Hijau" Arab Saudi, dalam final Piala Asia 2007, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (29/7). Lewat sundulan kapten Iraq, Younis M. Khallef, Arab digulung, 1-0 (0-0).

"Kemenangan ini kami persembahkan untuk rakyat Iraq yang menderita akibat perang," ujar Younis usai pertandingan. Dia juga menambahkan, kemenangain ini juga ditujukan bagi pengorbanan seorang ibu yang kehilangan anaknya usia 12 tahun, dalam insiden bom di Baghdad yang menewaskan 50 orang beberapa hari yang lalu usai Iraq memastikan diri lolos ke final dengan menundukan Kesatria Teaguk, Korea Selatan lewat drama adu pinalti.

Sementara pelatih Iraq, Jorvan Vieira berpendapat, harusnya timnya bisa mencetak gol lebih banyak. Tapi dia juga mengaku sangat bangga melihat anak asuhnya dan orang-orang Iraq yang disebutnya pekerja-pekerja keras. Pelatih Arab Saudi Helio dos Anjos, juga mengakui kehebatan lawannya.

Dengan ini, Iraq untuk pertama kali menjuarai ajang sepak bola paling bergengsi di Asia, asekligus mematahkan ambisi Arab menyabet gelar keempatnya di Pila Asia. Timnas dari ‘negeri seribu satu malam’ ini berhasil memberikan senyum dan kebahagiaan kepada rakyat yang sedang menderita akibat invasi Amerika Serikat.

Tanggung jawab yang sangat besar untuk membuat rakyat Irak tersenyum lewat sepak bola, ditunjukkan dengan konsentrasi tinggi dan perjuangan sangat gigih Younis dan kawan-kawan.

Pertarungan dua raksasa Asia Barat kemarin sungguh sangat luar biasa. Dendam kesumat untuk saling mengalahkan sangat membara. Pada Piala Asia 1996, Arab Saudi unggul tipis 1-0. Kemudian pada 26 Juli 2004, "Singa Mesopotamia" mengalahkan Arab Saudi di penyisihan Grup C Piala Asia di Stadion Sichuan Longquanyi, Chengdu, China. Di Jakarta, Iraq kembali
menunjukkan keperkasaannya.

Satu-satunya gol yang menghantar Iraq menjadi kampiun Asia adalah lewat sundulan Younis memanfaatkan umpan Hawar Taher dari sepak pojok pada menit ke 70. Bola dari kiri lapangan Arab gagal dihalau oleh kiper Yasser Al Mosailem. Tanpa mengalami banyak kesulitan penjagaan, Younis dengan cermat menjemput bola dengan tandukan kepalanya.

Tampil sangat dominan, Arab dibuat kuwalahan dan hanya bisa bertahan dan sesekali melakukan serangan balik. Dari pengamatan penulis, Yasser Al Qathani yang dikawal ketat tiga pemain bertahan Iraq hanya mampu menghasilkan satu peluang emas pada menit ke-44 babak pertama. Sisanya, Yasser tak mampu banyak berkutik. Supply bola dari pemain tengah Arab kepadanya selalu kandas oleh pemain-pemain bertahan Iraq.

Malek Alhawsawi yang pada laga semifinal melawan Jepang menjadi pahlawan Arab, malam itu juga praktis hanya mendapatkan satu peluang pada menit ke-67. Selebihnya, lini pertahanan Arab digempur habis-habisan.

Masih bersyukur Al Mosailem tampil baik hanya kebobolan satu gol. Padahal, Iraq berhasil melakukan 11 shoot on goal yang menusuk hampir saja mengoyak jaring Arab.

Pemain Iraq pemilik nomor punggung 11, Hawar M. Taher tampil gilang-gemilang. Ia mampu memenangkan duel dan menjadi inspirator serangan Iraq.

Dihadapan lebih dari 50 ribu pasang mata yang menyaksiskan langsung serta puluhan juta pasang mata di seluruh dunia, Iraq akhirnya menjadi juara Asia. Dan Jakarta yang malam itu diterangi purnama, menjadi saksi sejarah yang akan selalu membekas bagi warga Iraq khsusnya.

Pemain Terbaik
Younis M. Khallef striker yang kini bermain di Liga Qatar bersama klub
Al Gharafa menjadi pahlawan Iraq. Selain menjadi Pemain terbaik Piala Asia 2007, ia juga mampu menyamai ketajaman Yasser Al Qathani dengan sama-sama mengoleksi 4 gol.

ANAK-ANAK SORGA

Suatu hari, Ali Mandengar sulung dari seorang keluarga miskin sedang berbelanja di sebuah warung penjual sayur-mayur. Ia baru saja pulang dari mengambil sepatu Zahra -adiknya- yang baru saja diperbaiki. Namun, malang bagi Ali, sepatu Zahra diambil orang.
Pulang dengan wajah sedih, Ali menceritakan kepada Zahra apa yang terjadi. Zahra begitu sedih mendengar sepatunya hilang.
Sebagai bentuk pertanggungjawabannya, Ali meminjamkan sepatunya kepada Zahra untuk dipakainya bersekolah. Mereka selalu bergantian sepatu di sebuah gang. Zahra yang baru duduk di kelas 1 sekolah dasar, masuk pagi. Dan ia selalau terburu-buru untuk pulang supaya kakaknya tidak terlambat sekolah.
Mulai dari sini Ali yang cerdas mulai dilanda masalah di sekolahnya. Ia selalu datang terlambat.
Kesempatan bagi Ali untuk dapat mengganti sepatu Zahra tiba ketika ia melihat ada sebuah pengumuman perlombaan lari jarak jauh antar pelajar.
Namun malang bagi Ali, ia terlambat mendaftar. Ia membujuk guru olahraganya. Tetap saja, izin mengikuti lomba itu tidak diberikan. Seperti umumnya anak-anak Ali pun meneteskan air mata. Sambil menangis, ia berjanji akan menjadi juara.
Kesempatan pun tidak ia sia-siakan. Walaupun ia menjuarai lomba, tetap saja, ia tak bisa mengganti sepatu adiknya yang hilang. Karena ia menjadi juara pertama. Padahal hadiah sepatu diberikan kepada juara ketiga. Kebahagiaan sebagai juara pertama samasekali tidak diharapkan Ali. Satu-satunya kebahagiaan baginya adalah mampu menggantikan sepatu Zahra.
Pesan persaudaraan dan pesan berbagi dalam Children of heaven, bukan saja dimaksudkan -melulu- untuk saling memberi dan menerima sesama orang menderita. Namun, bagi siapa saja di muka bumi ini yang masih punya nurani.
Ali telah memberikan semua yang ia miliki demi melihat adiknya bisa bersekolah. Dan Zahra, walaupun dia baru saja di kelas 1 sekolah dasar, mampu memahami perasaan ibunya yang sedang sakit dan bapaknya yang tidak punya cukup uang untuk membelikannya sepatu baru. Maka, Majid Maijidi tepat sekali memberi judul film itu; Children of Heaven atau anak-anak sorga.
Kisah Ali dan Zahra bagiku bukan kisah yang mengada-ada. Itu sungguh-sungguh nyata. Aku adalah saksi hidup atas cerita-cerita semacam itu. Aku dilahirkan dan dibesarkan dalam situasi umum -kampung halaman- di mana kemiskinan hampir menghantui setiap keluraga.
Seolah-olah, siapa yang bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan semacam itu, dia ibarat mendapatkan mukjizat zaman ini.
Padahal, jika kita mau jujur, permasalahan kemiskinan di muka bumi ini bukan disebabkan oleh kesalahan si-miskin yang bodoh, dan malas. Namun, ketika kita melihat bumi di sebelah 'utara' sana, dan ketika setiap orang rela berbagi sedikit saja apa yang menjadi kelimpahannya, tidak akan terjadi apa itu kelaparan di 'selatan'

Monday, July 30, 2007

MENYUSUR KAWASAN PECINAN LAMA, MENGUAK POLITIK ADU DOMBA

Menyusuri jalan-jalan sempit dan pengap di kawasan Pecinan Lama - Glodok, Jakarta Barat pada suatu siang bolong di hari Minggu, sama juga seperti menyusuri lika-liku serta panas teriknya kehidupan etnis tionghoa di Indonesia.
Sikap penguasa negeri ini terhadap etnis berkulit kuning, ikut menentukan pasang-surutnya gelombang kehidupan mereka.
Bersama dengan teman-teman Komunitas Agenda 18, sampailah kami pada sebuah klenteng berusia lebih dari 350 tahun di Jalan Kemenangan III. Kim Tek Ie, itulah nama yang diberikan oleh pendirinya, Kapitein Oei Tjhie.
Dalam bahasa Indonesia kata Kim Tek Ie berarti; Kelenteng Kebajikan Emas. Hal itu dimaksudkan untuk mengingatkan manusia agar tidak hanya mementingkan kehidupan materialisme tetapi lebih mementingkan kebajikan antar manusia.
Etnis Tionghoa di Jakarta
Sejak zaman dulu, wilayah yang saat ini disebut Jakarta sudah dikenal sebagai kota perdagangan. Banyak orang dari berbagai penjuru dunia mengadu nasib di sini. Tentu saja, Jakarta menjadi kota yang kaya akan etnis dan bahasa.
Fa Hien (seorang misionaris Buddha asal Cina, sekitar tahun 414 masehi) mencatat, dalam berita Cina, mereka sudah menjalin hubungan dengan kerajaan To Lo Mo (Taruma Negara). Ia juga mencatat, telah ada penganut agama Buddha di pulau Jawa, walaupun masih dalam jumlah yang tidak banyak.
Baru, pada abad ke-12 sampai abad ke-16 perdagangan di pelabuhan Kalapa menjadi sangat ramai. Orang-orang Cina yang menjadi pedagang dan tinggal di Kalapa mendapat jaminan perlindungan dari Kaisar Ming.
Semasa kedudukan VOC, mereka mendesain Jayakarta menjadi BataviaJakarta tempo dulu – sebagai kota heterogen. Jan Pieterzoon Coen mengajak Siauw Beng Kong salah seorang tokoh Cina di Banten, pada Oktober 1619 beberapa bulan setelah Coen menguasai Jayakarta (30 Mei 1619) membangun Batavia. Maka, Siauw Beng Kong diangkat sebagai Kapiten Der Chinese.
Bersama orang-orangnya, Siauw Beng Kong mendapat hak khusus untuk menempati perkampungan khusus etnis tionghoa di Glodok.
Komunitas Cina ditempatkan pada sebelah Selatan kasteel yang kini dikenal dengan kawasan Pecinan Glodok, Toko Tiga Seberang, Patekoan atau Jalan Perniagaan, Pasar Pagi Lama, Pancoran dan Petak Sembilan. Mereka bebas melakukan ritual keagamaan dan meneruskan tradisinya. Seperti perayaan Imlek, Cap Go Meh, Peh Cun, Barongsai dan Liong. Arsitektur rumah-rumahnya pun dibolehkan memuat gaya Mandarin.
Dibolehkannya komunitas Cina melakukan ritual keagamaan, maka dibuatlah klenteng (rumah ibadat penganut Budha). Satu di antaranya adalah klenteng Kim Tek Ie.
Tragedi 1740
Sejarawan Betawi Alwi Shahab (69), dalam bukunya “Robin Hood Betawi”, tragedi ini bermula dari isu pada bulan September 1740. Di mana, ratusan –mungkin lebih– orang Cina yang di deportasi Belanda ke Sri Lanka (waktu itu menjadi jajahan Belanda) dilempar ke laut. Mendengar berita ini, orang-orang etnis tionghoa di Batavia menjadi marah. Aksi balas dendam pun dirancang.
Awal Oktober 1740, dengan dilengkapi senjata hasil rampasan tentara Belanda, orang-orang Cina bergerak menyerang kekuatan kecil Belanda di Meesteer Cornelis (kini Jatinegara) dan Tanah Abang. Serangan itu menewaskan lima puluh tentara kompeni.
Kemudian, di bawah pimpinan Jendral Van Imhoff, tentara Belanda melakukan operasi pembersihan. Dengan kekuatan utuh, pertumpahan darah menjadi tak terelakkan lagi.
Pagi-pagi buta, tanggal 9 Oktober 1740, seperti ditulikan Willard A Hanna dalam buku Hikayat Jakarta, “Tiba-tiba, secara tidak terduga, seketika itu juga terdengar jeritan ketakutan bergema di seluruh kota. Dan terjadilah pemandangan paling memilukan dan perampokan di segala sudut kota.”
Gamabaran horor pembantaian itu dipertegas lagi oleh Hanna, “Semua orang Cina tanpa kecuali! Pria, wanita, dan anak-anak diserang. Baik wanita hamil maupun bayi yang sedang menyusu tak luput dari pembantaian yang tak mengenal prikemanusiaan. Ratusan tahanan yang dibelenggu, disembelih seperti menyembelih domba.”
Tragedi itu menewaskan sekitar sepuluh ribu etnis Cina di Glodok. Menurut cerita salah seorang yang tinggal di sekitar klenteng itu, orang-orang yang berhasil lolos dari tragedi itu, mereka lari ke benteng para pejuang Indonesia di Tangerang. Makanya, kata dia, sekarang banyak orang etnis Tionghoa di Tangerang yang disebut Cina Benteng.
Kim Tek Ie juga musnah terbakar dalam tragedi pembantaian Angke. Satu-satunya yang menjadi saksi bisu adalah sebuah altar (meja sembahyang) yang bertuliskan angka 1724.
Roda sejarah
Roda sejarah terus berputar. Siang berganti malam. Rembulan tersenyum dan menghilang. Tahun demi tahun menggelinding begitu saja. Namun, negeri ini tidak juga bisa menyelesaikan persoalan diskriminasi baik atas dasar warna kulit, agama, persepesi politik dan lain-lain.
Pelabelan sepihak kepada satu golongan masyarakat terus dipelihara sebagai investasi politik adu-domba demi tujuan tertentu.
Mei 1998 -kembali- etnis tionghoa menjadi korban kerusuhan yang tak kalah tragisnya dengan apa yang terjadi pada 1740.
Menurut catatan Wilkipedia, isu itu dimulai dari benih kecemburuan yang sengaja diciptakan oleh kelompok-kelompok militer dengan dibantu aktivis-aktivis sesat (geng, Pemuda Pancasila, dll) termasuk kelompok yang meyalah gunakan agama Islam, terus menerus dalam usahanya untuk mempertahankan kekuasaan dengan segala cara.
Pemerkosaan massal, pembakaran, dan perampasan paksa yang terjadi pada tanggal 12 dan 13 Mei 1998 adalah salah satu puncaknya, di mana rakyat jelata (sebagian besar kaum pribumi miskin) diprovokasi oleh tim militer dibawah pimpinan Prabowo Subianto untuk melakukan aksi pengrusakan dan pembakaran di Jakarta dan Solo, menyusul insiden sebelumnya di Medan. Ironisnya, bukan saja kaum keturunan Cina yang menjadi korban dari tragedi ini, namun juga kaum pribumi jelata yang tewas mencapai ribuan karena terpanggang dan aksi brutal polisi.
Pemerkosaan dan pembunuhan massal terhadap perempuan-perempuan keturuan Cina yang meskipun hingga kini oleh politisi/militer dan terutama oleh golongan yang mengaku dirinya pembela Islam, terus menerus disangkal. Padahal, bukti-bukti menunjukkan insiden tersebut benar-benar telah terjadi dan memakan ribuan jiwa.
Pengusutan terhadap tragedi ini, menjadi hanya gincu politik yang tak pernah serius diungkap. Karena, mengungkap tragedi ini ibarat menunjukkan aib dari para penguasa yang sedang memimpin sekarang. Aib tetaplah aib. Seberpa pun rapatnya penguasa menyimpan rapi di almari besinya, tetap saja kebenaran akan tetap berteriak-teriak.

Meminjam kata-kata Seno Gumira Ajidarma, kebenaran itu dapat diungkap salah satunya dengan karya sastra. Karena akar sastra adalah kebenaran. Ketika jurnalisik yang bekerja mengungkap fakta dibungkam oleh penguasa, dibantu oleh para politikus yang menurut Seno kerjanya hanya menutupi fakta. Maka fakta bisa saja tidak terungkap. Namun tidak bagi sebuah kebenaran. Dari situ Seno menulis sebuah buku yang berjudul, “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”.
Akhir Juli 2007
Daniel Awigra

Saturday, July 28, 2007

Benih Globaliasasi Ditanam Di Atas Genangan Darah

Bayangkan apa yang sedang terjadi di dunia tempat kita hidup dan bebrpijkak saat ini; Golden Sachs, perusahaan penanam modal yang memiliki karyawan sebanyak 161 orang, keuntungan bersihnya mencapai $ 2,2 juta per tahun. Jumlah itu, sama dengan pendapatan perkapita Tanzalnia yang berpenduduk 25 juta jiwa. General Motors memiliki asset yang lebih besar dibanding Denmark. Ford lebh besar dari Afrika Selatan. Dan untuk mempromosikan Nike, pegolf Tiger Woods dibayar lebih tinggi dibandingkan upah seluruh buruh yang membuat produk Nike di Indonesia.
Dunia tempat kita berpijak saat ini, memiliki penguasa baru. Batas-batas negara bukan sudah tidak lagi menghambat mereka untuk menjalankan misinya. Sebagai gambaran, wujud penguasa itu terfragmentasi dalam sebuah ilustrasi di atas.
Film garapan wartawan Australia, John Pilger berjudul The New Rulers of the World, mempertontonkan dengan gamblang para penguasa baru itu berakting di sebuah negara yang bernama Indonesia.
“Ratusan tahun lamanya, Indonesia itu dihisap oleh negara-negara utara. Bukan hanya Indonesia semua negara-negara kulit berwarna. Sehingga barat menjadi kuat, menjadi makamur, menguasai keuangan dan perdangangan. Sampai sekarang! Sekarang didikte oleh IMF dan Bank Dunia. Negeri yang begini kaya diubah menjadi Negara pengemis,” kata Pramoedya Ananta Toer di awal film itu.
Penguasa baru itu tak lain adalah korporasi-korporasi raksasa yang menjalankan bisnisnya lintas negara atau yang biasa kita sebut Multi National Corporations (MNC). Dengan kekuatan modal yang dimilikinya, ia mampu membuat aturan main baru dalam tata hidup bersama. Hanya dengan 200 perusahaan, seperempat kegiatan ekonomi dunia sudah dapat dikuasai.

Dalam film itu digambarkan bagaimana globaliasasi digambarkan mulai dari ia pertama kali menancapkan kukunya di Indonesia. Awalnya, mereka membantu menggulingkan sebuah pemerintahan yang pro-rakyat. Dan mendukung sebuah kekuasaan korup dan menghamba modal. Lebih dari satu juta jiwa dikorbankan pada medio Oktober 1965.
Kerjasama apik juga dibangun dengan media-media nomor wahid di muka bumi ini. Waktu itu, tak satupun media yang menulisnya sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan. Tapi, sebagai peristiwa demi keuntungan ekonomi barat. Time menulis, “Balas dendam dengan senyuman”. Media lain menulis, “Seberkas cahaya redup di Asia”.
Tak lama sesudah tragedi itu tepatnya tahun 1967, di Jenewa, Swiss diadakan sebuah pertemuan internasional. Temanya adalah, “Pengambilalihan bisnis di Indonesia”. Hadir di sana, David Rockefeller, Chase Manhattan, serta wakil dari perusahaan-perusahaan raksasa seperti; General Motor, British Cyeland, ICI, British American Tobacco, Leman Brothers, American Express, dan pengusaha-pengusaha minyak. Delegasi Indonesia datang atas perintah Soeharto.
Pertemuan itu berlangsung selama tiga hari. Hari pertama, delegasi Indonesia memberikan uriannya mengenai potensi kekayaan Indonesia. Hari kedua, adalah tanggapan audiens dengan membentuk lima divisi. Pertama, divisi sektoral, kedua divisi pertambangan, ketiga divisi jasa makanan, keempat divisi industri ringan dan terakhir divisi perbankan dan keuangan.
Di hari ketiga mereka menyusun agenda untuk menentukan persyaratan untuk masuk ke sebuah negara. Bahkan, infrastruktur hukum dibangun untuk melindungi kepentingan investasi mereka.
Jeffery Wiwers, dari universitas Northwestern kagum dan mengaku belum pernah melihat fenomena seperti apa yang terjadi di Swiss tahun 1967 itu. Di mana, pengusaha dari berbagai negara berkumpul, untuk Dari situ barulah mereka menyusun kebijakan yang menguntungkan mereka.
Dalam babak awal globalisasi, inilah yang disebut para penguasa baru itu sebagai “Awal yang baik bagi globaliasasi”. Ya, itulah kata mereka para penguasa-pengusa baru itu. Sebuah awalan yang mereka sebut ‘baik’ karena globalisasi ditanam di atas genangan darah.
John Pilger dalam film itu juga melakukan investigasi di mana ia mengaitkan sebuah tragedi berdarah yang pada akhirnya menggulingkan sebuah pemerintahan dengan berbagai kebijakan-kebijakan ekonomi yang dibuat oleh IMF dan Bank Dunia.
Dari situ, Pilger menangkap persoalan hutang yang menimpa negara-negara dunia ketiga. Ia mengajukan satu pertanyaan kepada seorang ekonom Bank Dunia. Bagaimana jika separuh pendapatan perkapita negara dunia ketiga dibelanjakan untuk membayar bunga hutangnya kepada Bank Dunia dan IMF?
Penghapusan hutang menjadi pangkal permasalahan yang harus menurut Pilger harus diselesaikan. Namun, apa jawaban ekonom itu, jika hal itu dilakukan, maka Bank Dunia atau IMF akan bangkrut. Karena hal itu tidak saja terjadi di Indonesia, tapi hampir di seluruh negara dunia ketiga.
Begitulah sekilah wajah penguasa-pengusa itu. Sosialisme menjadi idologi para kaplitalis. Sementara kapitalisme ada bagi si miskin. Anak-cucu si-miskin harus memikul hutang dengan pencabutan subsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi pendidikan, kesehatan dan berbagai kebutuahan sosial mereka.
Ke depan, jurang pemisah antara si-kaya dan si-miskin akan terus dipelihara. Pilger berhasil menemukan dokumen US Space Command vision 2020. di sana, diungkap, hanya kekuatan militerlah yang dapat melindungi kepentingan kapitalisme.
Yang sangat menarik dari film itu adalah pesan Pilger terakhir. Ia menutup semua uraiannya dengan sebuah optimisme. “Karena bukan berasal dari Tuhan, maka hal itu bisa diubah”.