Pages

Wednesday, July 27, 2011

Ketika Radikalisme Masuk ke Ruang Redaksi

Oleh Awigra [i]
“The media's the most powerful entity on earth. They have the power to make the innocent guilty and to make the guilty innocent, and that's power. Because they control the minds of the masses.” – Malcom X

Bagaimana jurnalis memberitakan isu terorisme di media? Hal ini menarik dicermati mengingat arus konservatisme yang menyebar di masyarakat juga mempengaruhi jurnalis, yang juga bagian tak terpisahkan dari masyarakat itu sendiri. Tulisan singkat ini, akan menawarkan sebuah gagasan bagaimana seharusnya posisi jurnalis dalam memberitakan isu keberagaman.

Tulisan ini, diawali dengan sebuah kesadaran penuh bahwa media memiliki kekuatan yang besar. Kemudian, tulisan ini ingin menarik persoalannya pada bagaimana posisi media dalam memberitakan isu radikalisme dan terorisme.

Power Media
Kekuatan media massa tergambar secara jelas seperti apa yang diutarakan Malcom X dalam kalimat pembuka paper ini. Power media massa pada dasarnya memiliki peran penting dalam menentukan pengetahuan masyarakat dan kemampuannya mempengaruhi persepsi publik dengan kekuatan untuk untuk mengubah yang salah menjadi benar dan sebaliknya. Kekuatan media juga mampu menentukan prioritas isu mana yang lebih penting dan yang lain tidak. Contohnya seperti dalam judul artikel ini, Mengapa Udin Sedunia lebih terkenal dibandingkan Transito?[ii] Selain media memiliki kekuatan menentukan mana yang “lebih penting”, judul artikel tersebut juga kental unsur bisnisnya. Media memilih hal mana yang memiliki nilai jual dan hal yang lain tidak. Udin Sedunia mungkin jauh lebih terkenal dan memiliki nilai jual dibandingkan Transito, meski mereka sama-sama berasal dari Nusa Tenggara Barat. Di Transito, terdapat 137 orang pengikut Ahamdiyah yang menjadi pengungsi di negaranya sendiri sudah lebih dari lima tahun. Media, tidak banyak menaruh perhatian pada persoalan ini karena bukan keuntungan yang akan didapat namun sebaliknya berpotensi melukai perasaan umat. Padahal, tugas utama media seperti sering diutarakan oleh Maria Hartiningsih adalah to voice the unvoicess.

Power media yang begitu besar harus disadari, pertama-tama justru oleh para jurnalisnya. Meski demikian, jurnalis adalah bagian dari masyarakat itu sendiri yang kehadirannya tidak bisa dilepaskan dari konteks masyarakatnya. Ketika radikalisme sedang menguat di masyarakat, maka bukan tidak mungkin jurnalis juga terpengaruh radikalisme yang sedang berkembang di masyarakat tempat hidup jurnalis tersebut.

Radikalisme dalam segala derajatnya dari yang paling rendah derajatnya sampai yang tertinggi seperti dukungan terhadap aksi terorisme pernah diteliti dan hasilnya cukup mengejutkan di Indonesia. Sebuah survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang dirilis Maret 2005, menyatakan bahwa 1 dari 10 muslim Indonesia mendukung aksi pengeboman yang dilakukan Amrozi dan kawan-kawannya di Bali dulu. Bagi peneliti LSI, hasil itu mencerminkan dukungan kepada “radikalisme keagamaan ketika diterjemahkan ke dalam cara kekerasan demi agama. Hasil survei lain dari Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) terhadap 1.600-an siswa dan guru agama Islam di SMP dan SMA muslim di Jabodetabek, yang dilakukan dari Oktober 2010 hingga Januari 2011. Hasilnya, 41,8 hingga 63,8 persen responden menyatakan mendukung intoleransi dan kekerasan terhadap warga non-muslim.

Jurnalis sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakatnya tentu memiliki tantangan tersendiri dalam melihat persoalan ini. Di satu sisi, ia adalah bagian dari masyarakat yang memiliki sebuah keyakinan keagamaan tertentu. Namun di sisi lain ia dituntut untuk menjadi seseorang yang memgang teguh prinsip-prinsip idependensi dalam melakukan berbagai peliputan peristiwa, termasuk peliputan keagamaan. Di sanalah jurnalis kerap mengalami dilema dalam memberitakan persoalan radikalisme agama maupun persoalan terorisme.

Apa yang seharusnya dilakukan oleh jurnalis ketika radikalisme telah masuk ke ruang redaksi? Jurnalis harus terus-menerus menyadari bahwa dirinya ketika sedang melaksanakan tugas jurnalismenya, selain mengemban misi menyampaikan informasi, jurnalis juga memiliki misi mengedukasi publik. Maka, reportase yang tidak dilandasi pengetahuan yang cukup justru dapat memperkeruh suasana.

Untuk mengatasi kondisi semacam ini, tidak bisa tidak seorang jurnalis mesti memiliki bekal keilmuan yang memadai. Seorang jurnalis tidak bisa sekadar memberi informasi yang tampak di permukaan. Ia harus melakukan pendalaman. Dalam hal ini, seorang jurnalis mesti memiliki pengetahuan mengenai latar belakang sebuah peristiwa dan dampaknya pada masa depan. Tanpa itu semua, maka seorang jurnalis hanya akan menjadi penyampai berita seputar kejadian di permukaan yang sangat mungkin akan membuat masyarakat penikmat berita bingung atau terjerumus ke dalam kesimpulan yang menyesatkan.

Pada peristiwa-peristiwa kekerasan dan konflik, tugas seorang jurnalis menjadi jauh lebih berat. Di samping dituntut memberi informasi yang mendalam, para jurnalis juga menanggung beban untuk terlibat dalam mengurangi kekerasan dan konflik, bukan malah aktif dalam menyulut kekerasan dan konflik tersebut.

Contohnya, saat pemakaman teroris Dr. Azhari. Sejumlah media menulis bahwa jenazah Dr. Azhari menyebarkan wangi. Wartawan lainnya melaporkan bahwa saat dimakamkan, ada merpati putih yang terbang di atasnya. Reportase ini, mirip dengan pandangan yang hidup di kalangan jihadis yang percaya bahwa jenazah mereka yang mati sahid akan menebar wangi dan merpati akan terbang di atas jasadnya.[iii]

Terorisme
Kajian akademis tentang terorisme selalu berhadapan dengan kesulitan untuk mencari suatu definisi universal tentang terorisme. Masalah ini terungkap dengan baik dalam ungkapan “one person’s terrorist being another’s freedom fighter”.[iv] Teror adalah fenomena yang cukup tua dalam sejarah. Menakut-nakuti, mengancam, memberi kejutan kekerasan, atau membunuh dengan maksud menyebarkan rasa takut adalah taktik-taktik yang sudah melekat dalam perjuangan kekuasaan, jauh sebelum hal-hal ini dinamai “teror” atau “terorisme”. Kata “assassin” mengacu pada gerakan dalam Perang Salib abad ke-11 Masehi.[v]

Kata “teror” masuk dalam kosakata politis baru pada Revolusi Prancis. Di akhir abad ke-19, awal abad ke-20, dan menjelang Perang Dunia II, “terorisme” menjadi teknik perjuangan revolusi. Misalnya, dalam rezim Stalin pada 1930-an yang juga disebut “pemerintahan teror”. Di era Perang Dingin, “teror” dikaitkan dengan ancaman senjata nuklir.[vi]

Terorisme adalah fenomena dalam masyarakat demokratis dan liberal atau masyarakat yang menuju transisi ke sana. Kaum teroris memanfaatkan kebebasan yang tersedia dalam masyarakat itu. Di dalam negara totaliter atau otoriter, situasi ini relatif terkendali. Yang berlaku di sini adalah terorisme oleh negara. Pada insiden 11 September 2001, teror mencapai dimensi barunya, bukan “sekadar” ingin menunjukkan sikap perlawanan atau menekan pada sebuah rezim, melainkan ingin memobilisasi sebuah konflik global dengan mengisi “kevakuman ideologis” yang ada sejak berakhirnya Perang Dingin. Skala gigantis dari teror ini ‘sukses’ memobilisasi opini politis global untuk mengarahkan pada antinomi “kawan” dan “lawan” pada skala global. Dan Al Qaeda adalah organisasi yang langsung menjadi target utama.

Terorisme termasuk dalam kekerasan politis (political violence), seperfti kerusuhan, pemberontakan, huru-hara, revolusi, perang saudara, gerilya dan pembantaian, dan sebagainya. Namun terorisme tidak selalu politis. Misalkan penyanderaan oleh seorang psikopat. Meski yang terakhir tidak masuk dalam kajian ini.
Terorisme politis memiliki karakteristik sebagai berikut;[vii]
  1. Merupakan intimidasi yang memaksa
  2. Memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana untuk suatu tujuan tertentu
  3. Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni “bunuh satu orang untuk menakut-nakuti seribu orang”
  4. Target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, namun tujuannya adalah publisitas
  5. Pesan aksi cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal
  6. Para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras. Misalnya, “berjuang demi agama dan kemanusiaan”
Ikhsan Ali Fauzi, sallah seorang pengajar Universitas Paramadina dalam sebuah tulisan yang berjudul “Radikal Dulu Teroris Kemudian” memaparkan hubungan terorisme dan radikalisme. Secara sederhana ia mengungkapkan bagaimana seseorang menjadi teroris awalnya adalah menjadi radikal terlebih dahulu.

Posisi Media
Dalam meliput persoalan radikalisme dan terorisme, seorang jurnalis selain harus memiliki bekal pengetahuan atas latar belakang persoalan, jurnalis juga harus menjadi pribadi yang independen dalam arti tidak bisa meneruskan keyakinan kebenaran keagamaannya dalam reportasenya. Karena, kebenaran iman dan keyakinan keagamaan bersifat subjektif. Dalam arti benar bagi agama itu sendiri. Contoh, Isa atau Yesus bagi orang Islam adalah seorang Nabi, sementara bagi umat Kristiani menganggapnya sebagai Tuhan. Dan kebenaran keyakinan Islam tidak tersebut tidak bisa dipaksakan kepada Kristen, juga sebaliknya.

Seorang jurnalis, menurut Bill Kovach juga harus ketat menerapkan prinsip diskiplin verifikasi untuk memperoleh sebuah kebenaran. Mengingat, akar jurnalisme adalah fakta. Sementara, akar dari keyakinan keagamaan adalah tafsir dari teks-teks suci, yang faktanya sulit untuk dikonfirmasi.

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) khusus dalam melihat persoalan ini, memiliki metodologi tersendiri untuk menilai dan memetakan di mana posisi media dalam melihat persoalan keberagaman. SEJUK mengklasifikasikannya menjadi dua kategori. Media yang pro dan anti-keberagaman.

Media yang anti-keberagaman adalah media yang secara langsung memenuhi sejumlah unsur yang memungkin ia disebut bias dan mendukung gagasan dan penyebaran gagasan intoleran dan kekerasan dengan beberapa indikator berikut:
a) Apakah media menjadi corong sosialisasi peraturan-peraturan diskriminatif?
b) Apakah media lebih banyak memberi porsi publikasi bagi opini diskriminatif?
c) Apakah media lebih mengedepankan sumber informasi dari pihak negara dan tidak memberi ruang yang cukup bagi korban?
d) Apakah media lebih mengedepankan sumber informasi dari pihak mainstream dan tidak memberi ruang yang cukup bagi kelompok marginal, minoritas?
Pada dasarnya, definisi mayoritas (mainstream) dan minoritas sebenarnya kabur. Tidak jarang para pelaku kekerasan dan tindakan diskriminatif adalah kelompok minoritas juga, mayoritas masyarakat menginginkan hidup yang damai.
 Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar  mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri. Dengan begitu, media memiliki fungsi sosial yang sangat penting. Tujuan fungsional inilah yang kemudian mengharuskan media tidak sekedar mengikuti pandangan umum, melainkan memberi alternatif pandangan agar masyarakat bisa menimbang-nimbang kebenaran. Alternatif itu muncul dari para korban dan mereka yang terpinggirkan.
e) Apakah media memanipulasi data dengan memasukkan opini dalam pemberitaan yang menyudutkan korban?
Salah satu prinsip utama dalam sebuah laporan jurnalisme adalah menyajikan kebenaran (Bill Kovach dan Tom Rosenstiel). Segala hal yang berkaitan dengan manipulasi data dengan tujuan menyudutkan pihak korban pastilah merupakan jurnalisme bias.

Media pro-keberagaman atau media yang pluralis adalah media yang mencoba menjadikan dirinya sebagai sarana bagi korban dan kelompok yang terpinggirkan untuk menyuarakan aspirasi. Ketegori ini diukut dengan beberapa indikator:
a) Apakah media memberi tempat yang lebih banyak kepada pihak korban dalam pemberitaan?
Rakyat membutuhkan keberpihakan media kepada kelompok korban dan masyarakat kecil. Media adalah satu di antara sangat sedikit tempat bagi warga marginal untuk bersuara. American Society of Newspaper Editors merumuskan suatu kode etik yang berbunyi: “independence: freedom from all obligations except that of fidelity to the public interest is vital (independensi: bebas dari semua kewajiban kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik adalah sangat penting).
b) Apakah media secara sengaja memberi perlindungan (to protect) terhadap korban dan kelompok-kelompok minoritas dalam pemberitaan?
Sekarang ini tidak sedikit media yang semakin subjektif bahkan menghakimi. Kita membutuhkan media yang secara sadar memberi perlindungan terhadap korban kekerasan dan diskriminasi dan bukan malah mengompori pertikaian. Perspektif hak asasi manusia, harus dimiliki oleh seorang jurnalis dalam meliput isu-isu kekerasan atasnama agama.
c) Apakah media berupaya untuk merayakan keberadaan (to promote) kelompok-kelompok kecil dan tertindas?
Salah satu kekurangan pada banyak media sekarang adalah lebih banyak memuat berita konflik daripada kondisi harmoni. Media pluralis juga adalah media yang mau menampilkan sisi-sisi paling harmonis yang menggugah kesadaran tentang pentingnya hidup damai dalam perbedaan.


[i] Campaign Manager di Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan baru saja menyelesaikan Studi Keamanan Internasional di Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia
[ii] http://sejuk.org/kolom/hak-asasi-manusia/72-why-udin-sedunia-is-more-famous-than-transito.html
[iii] Andy Budiman, Tersandra Tirani Mayoritas dalam buku Menentang Tirani Mayoritas, Sejuk, 2011, hal. 3
[iv] Andy Widjajanto, Menangkal Terorisme Global, dalam buku kumpulan esai Terorisme yang diterbitkan oleh Imparsial, 2003
[v] F. Budi Hardiman, Terorisme: Paradigma dan Definisi, dalam buku kumpulan esai Terorisme yang diterbitkan oleh Imparsial, 2003
[vi] Ibid., hal. 4
[vii] Ibid., hal. 5-6

Saturday, July 9, 2011

U.S.’ Foreign Policy’s Support toward Anti-Democracy and Human Rights Violators Regime


Promotion of human rights and democracy become the main theme in U.S. foreign policy until today. Promotion of human rights and democracy as U.S. political values acquire issue when it collides with economic and security interests. As the result, the issue of human rights and democracy are often ignored.
During the Cold War, this problem occurred when U.S. supported a number of right-wing dictators in some countries. In Chile, U.S. supported the regime of Augusto Pinochet (1973-1990) who run the government authoritatively which often committed violation against human right and democracy.
This issue certainly brings out some questions, including: What is the basis of U.S. support the regime of Pinochet? Why is U.S. willing to “sacrifice” its political ideal? And what is the true meaning of human rights and democracy for U.S. foreign policy during the Cold War?
            By using a qualitative approach to analyze the data primarily from some documents that already released by U.S. State Department, books, journals, and some website articles, this study wants to answer those questions above. This thesis is a concept which the author called as “capital securitizing” The concept of “capital securitizing” is an operational definition which attempts to explain the workings of the process of making U.S. foreign policy which is inconsistent with the values of its political ideal.

------


Promosi hak asasi manusia dan demokrasi menjadi tema utama dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) sampai hari ini. Promosi hak asasi manusia dan demokrasi sebagai nilai-nilai ideal politik AS menuai persoalan ketika harus berbenturan dengan kepentingan ekonomi dan keamanan. Akibatnya, persoalan hak asasi manusia dan demokrasi kerap diabaikan.
Pada masa Perang Dingin persoalan ini terjadi ketika AS mendukung sejumlah diktator sayap kanan di beberapa negara. Di Chile, AS mendukung pemerintahan Augusto Pinochet (1973-1990) yang menjalankan pemerintahan dengan otoriter yang kerap melakukan pelanggaran HAM dan anti demokrasi. 
Persoalan ini tentu memunculkan beberapa pertanyaan di antaranya; Apa sebenarnya yang melandasi AS mendukung rezim Pinochet? Mengapa AS rela “mengorbankan” politik idealnya? Dan apa sejatinya makna HAM dan demokrasi bagi politik luar negeri AS pada masa Perang Dingin?
Menggunakan pendekatan kualitatif dengan menganilisis data terutama dari dokumen-dokumen yang sudah dirilis Departemen Luar Negeri AS, buku-buku, jurnal dan sejumlah artikel di website, penelitian ini ingin menjawab berbagai pertanyaan di atas.
Tesis penelitian ini adalah sebuah konsep yang penulis sebut sebagai “capital securitizing”. Konsep capital securitizing merupakan definisi operasional yang ingin menjelaskan bagaimana cara kerja dari proses pembuatan kebijakan luar negeri AS yang tidak sejalan dengan nilai-nilai ideal politiknya.

Monday, July 4, 2011

Why Udin Sedunia is more Famous than Transito?

Ade Armando –one of the expert on media and diversity in Indonesia–– illustrated the power of media with this simple metaphor, “Why Udin Sedunia is more famous than Transito?”

The power of media could decide which one is “the truth” and media also has power to change the “right thing” to be the “wrong thing” and vice versa.

Indonesia now has a new television actor, he is Udin Sedunia. Udin is being famous when he released his own video song on youtube site, and this video watched by over 1 million people. Salaudin the singer of Udin Sedunia comes from Mataram, West Nusa Tenggara. There is nothing wrong with him.

However, do Indonesian people know Transito? Maybe they don’t. Udin Sedunia is more famous than Transito although Udin and Transito are from Mataram, West Nusa Tenggara.  In Transito, there are 167 Ahamdiyah followers become refugees in their own country. Unluckily, media doesn't have any concerns on advocating this issue. Otherwise, media tends to be a funnel of conservatism in voicing that Ahmadiyah is heretic. In this case, media has judged Ahmadiyah followers.

The media, Ade suggested, should have a clear position on this situation. “Media has to advocate the victims. But in the reality, media only exploits these issues in terms of market purposes,” said Ade in the Public Discussion with theme “Conservatism in Media” held by SEJUK (Journalist Association for Diversity) in IAIN Mataram, Lombok, July 1, 2011.

Ade said that human rights problems are special cases because human rights have a close relationship through humanity. Human rights news is more important than any other issues. So, it needs affirmative action from the journalists to place it in the headline. As a journalist, Ade argued, "You have to realize that your position is quiet strategic, you could be a savior and peace maker. The main task of journalism is to voice the unvoiced."

Yongki the local human rights activist said that the press in Lombok is dominated by the local government. The government has around 30 percents share in some local media. As the result, the press has been lost their task to control the government. Otherwise, in the issue of Ahmadiyah, local media became the actor of violence while reporting Ahmadiyah is heretic. Media also did not criticize when the government neglected the Ahamdiyah followers became the target of violence. Government violated human rights because it didn't protect the basic rights of Ahamadiyah followers.

On facing this situation, Mohamad Natsir, lecturer from IAIN who was the other speaker, argued that as the journalist, he offered three ideas; (1) desecration, (2) contextualization, and (3) reinterpretation. Journalist has to criticize every single statement that comes from everyone, including from the religion leader.
Attended by more than 100 participants, this public discussion has proven that Mataram people are really concern on diversity issues, especially on Ahamdiyah case.

SEJUK continued the public discussion with a workshop to the press campus with a topic “A Guidance on Reporting Diversity Issues.” Attended by 25 participants (from 4 campuses in Mataram), this workshop has created all participants aware, and has changed their perspective, especially in seeing Ahmadiyah. Before they joined SEJUK, some of them saw Ahmadiyah was heretic.

As mentioned by Iko, one of the participants that he read a book about Ahmadiyah and he found by himself that the book was completely wrong after Iko directly met and interviewed the Ahmadiyah refugees in Transito. He said that he totally changed his point of view on Ahamdiyah now.

Neni felt this workshop could increase her sensitivity, especially on women and children as the most fragile victims in religious conflict. And she was really happy to join this workshop because now, she has a new perspective.

Irma, one of Ahamdiyah followers who joined this workshop, felt optimistic after having some friends in media who have committed to promote pluralism and have promised to give a special space (such as special reporting or special rubric) on their media. (awi)