Pages

Saturday, December 31, 2011

Hujan Penghujung Desember

Musim panas lewat sudah. Daun-daun di pepohonan di sisi kanan dan kiri jalanan sisi kota terilhat hijau cerah memuda. Ketika tiba-tiba hujan mendadak mengguyur, tampak orang-orang berrebutan berteduh pada emper-emper rumah. Burung-burung pun demikan. Mereka mencari tempat untuk sekadar menghangatkan badan. Dalam gemuruh musim penghujan yang baru saja datang, air hujan sejatinya belum bisa membasahi tanah yang baru saja dibakar kemarau sampai kerontang. Kadang hujan turun lebat dalam sehari, dan kadang ia tidak muncul dalam beberapa minggu. Terang dan gelap, hujan dan panas berganti-gantian tiada terduga.

Cerita tentang Cinta dan Pengakuan

Ada sepasang kekasih. Laki-laki dan perempuan. Suatu hari, lelaki itu menghadapi sebuah ujian akademis. Tampak lelaki itu gugup, tidak merasa siap. Kekasihnya pun larut dalam suasana tegang itu. Perempuan itu izin dari tempatnya bekerja. Ia memilih untuk menemani dan menyemangati lelakinya.

Beberapa hari sebelumnya, lelaki itu sudah berniat untuk tidak menghadiri ujian. Ia ingin menghidari kenyataan. Tahu bahwa kekasihnya sedang berada dalam masa-masa susah yang sangat menentukan, perempuan ini sudah bertekad membantu sekuat tenaga untuk menembuhkan kepercayaan diri dari lelakinya. Ia mencoba melibatkan diri meski ia sebenarnya tiada menguasai. Ia paksa dengan segala macam cara. Tujuan satu; lelakinya berani menghadapi kenyataan dan tidak melarikan diri.

Mimpi-mimpi Malam

Ruang ini rasanya sudah asing dengan dirinya sendiri. Padahal, tempat ini dahulu dicipta untuk menyampaikan sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang tidak terungkapkan, jeritan-jeritan lirih yang berteriak dari pedalaman hati. Memasuki ruang ini akhir-akhir ini, lebih seperti masuk ke dalam sebuah jurnal akademis dengan penulis tunggal. Ke mana kata hati? Ke mana engkau bersembunyi? Apakah ketika kognisi lebih diberi ruang, sisi afeksi kemudian menghilang, dan rasanya susah sekali untuk diungkapkan? Ah, rasanya tidak.

Ruang ini adalah gambaran apa-apa saja yang sedang melintas di pikiran dan perasaanku. Ini pun tetap menjadi jejak-jejak kecil peziarahanku dalam mencari makna kehidupan. Dari sini justru terlihat bahwa aku terus bergerak, terus berdinamika. Bahwa ketika masih ada pergerakkan, di sana sebenarnya aku masih hidup. Dan untuk kehidupan itu sendiri aku sungguh bersyukur. Rasa syukur yang justru aku layangkan untuk kemampuanku bertahan dalam melewati jalanan terjal, berliku dan menanjak. Semua itu tentu tidak mudah dijalani.

Friday, December 30, 2011

Tribute to My Thesis

El camino se hace al andar
(Jalan itu ditemukan saat berjalan)

Adalah sebuah anugerah bagi penulis dapat menyelesaikan seluruh proses studi selama hampir dua tahun di Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Anugrah itu penulis yakini datang dariNya dan penulis terima melalui kebaikan hati orang-orang yang pada kesempatan ini ingin penulis sebutkan secara khusus.


Monday, December 26, 2011

Romo Adi Sang Pemula

Semalam ia terjaga. Menanyakan tentang apa itu kematian? Apakah besok dirinya mau mati? Dan ia tidak bisa lagi mengenali penyakit apa sebenarnya yang sedang menggerogoti tubuhnya yang sudah 5 tahun ini selalu rutin cuci darah.  

Begitu kira-kira Pastor Kristiono Puspo, SJ menuturkan percakapannya dalam Bahasa Jawa bersama Romo Josephus Adi Wardaya, SJ empat hari sebelum Tuhan memanggilnya. Dari balik kaca bangsal ICU nomor 315 Rumah Sakit Saint Carolus, Jakarta, Minggu (4/12), Si Mbah –begitu Romo Adi akrab disapa sahabat-sahabatnya– terbaring dengan selang infus, alat bantu pernafasan, dan beberapa perangkat medis lain yang menempel di tubuhnya. Namun tiada pasrah terlihat dalam tidurnya. Penyakit itu ingin ia taklukkan.

***

“Ada seorang pemuda yang sangat menggandrungi sepak bola. Setiap sore, ia habiskan waktunya untuk berlatih dan bermain sepak bola. Sepak bola seolah menjadi satu-satunya kecintaannya. Ia adalah John Brechman, pemuda Belgia,” cerita Romo Adi dalam sebuah misa komunitas Rekoleksi Gereja Memasyarakat di Civita Youth Camp sekitar tahun 2003.

Dalam rutinitasnya berlatih sepak bola, Brechman mendadak dikejutkan dengan sebuah peristiwa yang pada akhirnya membuat ia tahu bahwa besok malam adalah hari terakhirnya. Ia akan “dipaksa” mangkat oleh Si Empunya kehidupan, lanjut Si Mbah dalam khotbahnya.

“Tau teman-teman apa yang dilakukan Brechman pada hari terakhir saat hidupnya?”
Anggota komunitas yang semuanya adalah orang-orang muda itu hanya saling beradu pandang. Tiada yang memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan terbuka saat homili berlangsung. Memecah keheningan, Romo Adi menjawab pertanyaannya sendiri.

“Brechman sore itu seperti hari-hari sebelumnya, berlatih sepak bola. Tentu sebelumnya dia berfikir untuk pergi ke tempat ibadah untuk mengaku dosa atau menemui orang-orang tercintanya atau memuaskan keinginan yang selama ini belum ia dapatkan, atau bahkan menyumbangkan segala yang ia miliki untuk yang papa. Namun, pilihan-pilihan itu tidak diambil Brechman. Ia tetap menjalani kehidupan sesuai ‘lakon’ hidupnya, sebagai pesepakbola,” pungkas Pastor yang hampir seluruh masa kerjanya menjadi pendamping mahasiswa dan orang muda itu.

***

John Brechman siapa pun dia, entah itu tokoh yang benar-benar ada atau cerita rekaan Romo Adi tentu bukan hal yang ingin dipersoalkan. Namun, inti yang ingin disampaikan dari cerita itu tak lain adalah semangat kejujuran untuk menjadi diri sendiri dan tanpa kepura-puraan, meski maut segera menjemputnya. Cerita tersebut bisa jadi adalah kritik sosial Adi Wardaya terhadap praktik kepura-puraan dalam hidup beragama. Praktik yang lebih menunjukkan sisi simbolik daripada yang esensi pencarian dan perwujudan iman. Cerita Brechman adalah cerita kematian yang pernah keluar dari mulutnya.

Semasa aktif menjadi pendamping orang muda, Romo Adi terus menggelorakan semangat perlawanan kepada tirani kekuasaan yang korup. Dengan radikal, ia pernah berbagi semangat dalam satu makalah yang judulnmya terinspirasi sajak Widji Tukul, “Suatu Ketika Tembok-tembok Itu Harus Diruntuhkan”. 

Meski tajam, keras dan langsung menusuk ke jantung persoalan, Romo Adi adalah sosok humanis dan pencinta damai sesungguhnya. Di sana, ia memompakan semangat aktif tanpa kekerasan. Ia juga menulis sebuah syair lagu apik, “Merombak Tanpa Merusak”.

“Tak Menanti Sempurna” adalah semangat lain yang ia ingin ada dalam batin setiap orang muda untuk mengambil bagian dalam hidup bermasyarakat. Sekecil apa pun itu. Semangat tak menanti sempurna adalah spirit Nabi Yeremia ketika ia mendapati panggilan  Allah. “Janganlah katakan: Aku ini masih muda, tetapi kepada siapa pun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apa pun yang Kuperintahkan kepadamu, haruslah engkau sampaikan. Janganlah takut kepada mereka, sebab Aku menyertai engkau untuk melepaskan engkau…” (Yeremia 1: 7-8).

Dalam hidup keseharian, perasaan rendah diri, tidak siap, malu-malu, tak jarang muncul dalam hati orang muda. Karena usia mudanya, sering orang muda menolak tawaran untuk berkarya, menolak diberi tanggungjawab, dan ragu-ragu mengambil keputusan. Orang muda kadang minder dan  menunda tugas karena merasa belum banyak pengalaman, tidak layak, tidak mampu, dan belum sempurna. Tapi semangat tak menanti sempurna inilah yang mendobrak kecenderungan itu, menciptakan optimisme untuk mulai bergerak (bdk. Tak Menanti Sempurna: XV).

***

Pribadi Joseph Adi Wardaya terbilang langka sebab ia memiliki dua sifat mulia sekaligus; berani dan bijak atau yang tercermin dalam pribadi ksatria sekaligus brahmana. Jika Shindunata dalam “Anak Bajang Menggiring Angin” dengan sangat jenius mengilustrasikan kedua sifat tersebut dalam personifikasi sosok Kumbakarna yang lebih bersifat brahmana yang bijak sementara adiknya Wibisana yang bersifat ksatria yang berani dan tidak bisa sedikt pun memberi maaf melihat zalim kelakuan kakak sulungnya Rahwana. Wibisana dengan gagah berani menantang Rahwana meski nyawanya menjadi taruhannya (bdk. Anak Bajang Menggiring Angin: 188). Sementara, Kumbakarna tetap memilih membela negaranya yang –dengan sadar mengakui angkara murka di negaranya– dengan keyakinan benih-benih kebaikkan akan tumbuh di negeri Alengka. Lebih-kurang, Romo Adi adalah perpaduan keduanya.

Kepribadiannya yang unik tersebut diteruskan melalui pemikirannya yang menentang dikotomi-dikotomi sosial. Menurutnya cara pandang dikotomi tersebut menjadi masalah utama keberimanan seseorang. Di satu sisi mengaku beriman, namun di sisi lain tetap melakukan kejahatan dengan segala bentuk dan derajatnya. Ia kerap mengilustrasikan dengan contoh ini, “Kalau Sabtu atau Minggu ke gereja, sementara Senin sampai Jumat korupsi jalan terus!”

Sikap perlawanan terhadap dikotomi tersebut ia tuangkan juga dalam visi menggerejanya untuk membangun orang muda. Baginya, pendidikan iman bagi orang muda tidak bisa dilepaskan dari soal-soal kemanusiaan universal. Menggereja sekaligus memasyarat.

Orang muda Katolik, baginya adalah bagian dari gereja yang tak tarpisahkan dari masyarakatnya. Maka menurutnya, orang muda Katolik dituntut untuk aktif dalam bermasyarakat, bergaul dengan sesamanya, menggumuli persoalan sehari-hari, untuk terus mengusahakan terwujudnya kerajaan Allah di dunia hadir dan bisa dicecap bersama-sama anggota masyarakat lain.

Sewaktu menjabat sebagai Ketua Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Jakarta (1998-2004), pemikirannya terfragmen dalam program-program yang dijalankan bersama para volunteer-nya. Rekoleksi Gereja Memasyarakat, Pekan Studi Islam, Studi HAM dan Gender, adalah sedikit contoh nama programnya. 

Metode pendampingan orang muda yang ia pakai adalah cara pembelajaran orang dewasa. Di mana, ia lebih memilih menjadi sebagai pendamping dari pada pembimbing orang muda.

Menurut penjelasannya, kata pendamping lebih menunjukkan sisi positif dalam melihat orang muda. Bahwa orang muda menyimpan potensi dan hanya perlu didampingi saja untuk berjalan bersama menuju visi pembaruan. Atau dalam istilah yang lebih popular, Romo Adi mengajak orang muda untuk learning by doing.Sementara pembimbing, maknanya lebih skeptis terhadap orang muda. Ada yang salah dalam diri orang muda sehingga mereka patut dibimbing.

“Bagaimana jika pembimbingnya adalah seorang koruptor?” tanya Adi Wardaya.  
Dia juga memiliki harapan besar terhadap angkatan muda. Baginya, orang muda bukanlah generasi penerus masa depan, namun mereka adalah pemilik dan  penentu hari depan. Argumentasinya, jika generasi muda disebut sebagai penerus, maka jika generasi sebelumnya adalah generasi yang korup dan perusak lingkungan apakah generasi muda akan meneruskan saja generasi sebelumnya?

***

Kamis malam di depan peti jenazah di dalam kapel Kolese Kanisius, Menteng, pastor itu terbaring dalam damai dikelilingi murid dan sahabat-sahabatnya. Romo Adi wafat tepat pada Hari Raya Maria Dikandung tanpa Noda, 8 Desember 2011 pukul 17.36 WIB. Adi Wardaya, meninggal dunia tepat setelah 33 tahun ditahbiskan. Si Mbah yang lahir di Jombor, Klaten, 31 Maret 1949 itu barangkali adalah John Brechman itu sendiri yang sederhana, bersahaja dan jauh dari kesan ingin populer. Namun demikian, Romo Adi adalah Sang Pemula yang memberikan kesempatan dan kepercayaan penuh kepada orang muda untuk terlibat aktif dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan di Indonesia. Romo, Selamat berpulang ke pangkuan Bapa! [ ]

Catatan: Pepatah Latin mengatakan, de mortuis nihil nisi bene,yang lebih kurang berarti 'tentang orang yang sudah meninggal, tak ada dikatakan kecuali yang baik’. 

[Tulisan ini telah dimuat di Majalah HIDUP edisi 52 tanggal 25 Desember 2011. Namun menurut konfirmasi karena keterbatasan ruang maka pihak HIDUP memotong tulisan ini. Versi asli saya terbitkan di sini]

Monday, December 5, 2011

Mengutuk Polisi dalam Kasus Cikeusik


 Tragedi kemanusiaan terjadi di Cikeusik Banten pada Minggu pagi, 6 Februari 2011 ketika ratusan massa melakukan penyerangan, pengeroyokan dan penganiayaan terhadap jemaah Ahmadiyah yang pada akhirnya menewaskan 3 orang. Padahal, polisi (sebagai aparat negara) telah mengetahui adanya rencana penyerangan tersebut. Polisi beralasan bahwa pihaknya kekuarangan aparat yang bertugas di lokasi. Tentu hal ini menjadi alasan bodoh karena sebenarnya mereka sudah mengetahui akan adanya rencana penyerangan.
Masalahnya di sini adalah polisi justru tidak bisa memberikan jaminan rasa aman bagi warga. Ketika polisi mengetahui rencana penyerangan yang akan terjadi di Cikeusik, hal yang justru dilakukan polisi adalah ingin “mengevakuasi” pemilik rumah dan tamu-tamunya. Sementara, merasa diri mereka tidak melakukan pelanggaran hukum, maka pemilik rumah beserta tamunya tiada mau menerima ajakan polisi untuk “diamankan”.
Cara penanganan polisi yang tidak berani menangkap para penyerang dan justru “membiarkan” kejadian ini terjadi sampai merenggut nyawa 3 jemaah Ahmadiyah adalah hal yang patut dikutuk. Aparat kepolisian kalah terhadap para penyerang!
Apakah lantaran mereka yang ada di dalam rumah tersebut adalah penganut Ahmadiyah sehingga polisi membiarkan hal ini terjadi? Jika memang itu alasannya, maka polisi sudah melakukan diskriminasi terhadap warga Ahmadiyah yang juga warga negara Indonesia yang seluruhnya berhak mendapat rasa aman.
Segala jenis tindakan yang dapat mengakibatkan hilangnya hak-hak dasar seseorang atau sekelompok orang untuk memperoleh kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat. Bagaimanapun, terutama hak untuk beragama dan berkeyakinan adalah non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak dapat ditunda atau ditangguhkan pemenuhannya. Hak dan kebebasan tersebut mendapat jaminan pemenuhannya pada konstitusi (amandemen UUD 1945 Pasal 28E ayat 1 dan 2, Pasal 28I ayat 1, dan Pasal 29 ayat 2)  dan Pasal 18 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR 1966) yang sudah diratifikasi, termasuk juga pasal 20, 26, dan 27, serta Deklarasi PBB 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama atau Keyakinan.
Melihat alasan-alasan tersebut tentu polisi (khususnya Polda Banten) dalam hal ini sebagai aparat negara telah gagal menjalankan fungsinya menjamin rasa aman tanpa diskriminasi bagi warna negara Indonesia. Jika ini tak segera dibenahi, apakah hukum rimba sebenarnya de facto telah menggantikan Indonesia sebagai negara hukum? Perlu ditegaskan di sini, polisi pun digaji dari APBN yang salah satu elemennya berasal dari pajak yang dibayarkan warga negara Indonesia, termasuk jemaat Ahmadiyah!