Pages

Saturday, December 6, 2014

Kondisi Tindak Kekerasan Korea Utara Terhadap Seni Sastra dan Media

Myourng-hak DO
Sekretaris Jenderal, PEN Center for Exiled North Korean Writers

Korea Utara memiliki 10 prinsip dalam ‘membangun rezim idola partai’ sebagai alat kontrol masyarakat di luar undang-undang dasar hukum negara. Jika seseorang melanggar aturan hukum pidana atau undang-undang, dia dapat dimaafkan. Tetapi jika melanggar 10 prinsip tersebut, maka akan ditahan dalam penjara khusus narapidana tanpa diadakan sidang di pengadilan.

Sesuai dalam Pasal 4 Ayat 7 dari 10 prinsip negara, ‘Laporan, diskusi, kuliah atau menulis sebuah artikel yang akan diterbitkan, isinya harus mengutip ajaran pemimpin tertinggi dan tidak boleh ada pelanggaran dalam tulisan atau ungkapannya.’

Thursday, December 4, 2014

Status Hak Asasi Manusia dan Karakteristik Rezim Korea Utara

Saya ingin berbagai beberapa paper yang saya dapat ketika menjadi panitia untuk acara “Unspeakable Atrocities” in North Korea and the Road Ahead atau “Tindak-Tindak Kekejaman yang Tak Terucap” di Korea Utara dan Nasibnya pada Masa Depan yang diselenggarakan oleh Human Rights Working Group (HRWG) dan National Democratic Institute (NDI) pada 21 Agustus 2014 di Hotel Morrissey, Jakarta.

Makalah-makalah tersebut menyoroti berbagai isu di antaranya: belenggu terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi di Korea Utara, cara-cara untuk memperkuat akses Informasi rakyat Korea Utara di bawah pengawasan, perjuangan hidup tiada henti tanpa kebebasan untuk bertindak, dan penculikan warga negara asing dan praktek spionase. Saya tidak mengubah apa pun dalam isi maupun tata bahasanya.

Peran Media dalam Isu Pluralisme pada Era Jokowi[1]

Daniel Awigra[2]

A New Hope”. Begitulah cuplikan kata-kata bernada optimistis dalam headline majalah Time edisi 27 Oktober 2014 dengan wajah Joko Widodo sebagai sampul. Dalam liputan pada hari pelantikan Jokowi, Time menulis terdapat lima tantangan yang akan dihadapi pemerintahan Jokowi; kesemerawutan politik, perlambatan ekonomi, ekstrimisme agama, birokrasi kotor dan rasisme.[3]

Dua dari lima tantangan Jokowi versi Majalah Time yaitu ekstrimisme agama dan rasisme adalah isu pluralisme. Dua tantangan tersebut terkonfirmasi menjadi satu bentuk di lapangan; ekstrimisme agama bercampur sentimen ras. Lagi-lagi, Front Pembela Islam (FPI) menjadi contohnya. Mereka menentang rencana pelantikan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok karena latarbelakang sosialnya; Tionghoa dan Kristen. Pada 3 Oktober yang lalu FPI kembali melakukan aksi dengan kekerasan yang mengakibatkan empat polisi jadi korban lemparan batu, kotoran hewan, dan beling.[4] Tak tinggal diam, Ahok pun mengirimkan surat rekomendasi kepada Kemenkumham dan Kemendagri untuk membubarkan FPI.