Pages

Thursday, April 22, 2010

Irak yang Demokratis?

Invasi Amerika Serikat yang pada akhirnya menumbangkan Presiden Saddam Hussein pada 9 April 2003, ternyata tidak membuat Irak lebih baik. Tiada hari tanpa ledakan bom, ribuan orang menjadi korban baik tewas maupun luka-luka. Irak kini (kembali) terjumus kembali pada konflik antarsesama anak bangsa. Meski pemerintahan resmi telah terbentuk, namun perpecahan akibat isu sektarianisme dan etnis terus meningkat. Karena, pemerintah hasil pemilu 30 Januari 2005 tidak mampu mampu menciptakan stabilitas keamanan nasional.

Pasca Saddam, terdapat ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan nasional yang menjadi modal dasar bagi terciptanya stabilitas politik. Konflik antarmilisi sipil dan masih bercokolnya tentara asing, menjadi penyebab suburnya isu sectarian; Syiah dan Sunni.

Persoalan mendasar dari konflik ini menurut Yitzak Nakash dalam artikelnya berjudul “The Shi’ites and the future of Iraq” (Foreign Affairs, Juli/Agustus 2003) adalah persoalan politik bukan persoalan kultural. Di mana pertanyaan mendasarnya adalah, nasionalisme apa yang bisa menjadi pemersatu Irak? Sunni (masa pemerintahan Saddam) lebih mengadopsi nasionalisme Arab sebagai ideologi utama, sementara kubu Syiah lebih memilih nasionalisme Irak.

Persoalan ini jika ditarik garis sejarahnya, sudah terjadi sejak Kekhalifahan Usmaniah atau Otoman (1299-1522). Baghdad jatuh ke tangan Sulaiman Agung (1494-1656) pada 1535. Kekuasan militer dan politik jatuh ke kelompok minoritas Sunni (hanya sekitar 32-37 persen). Dalam artikel “Iraq’s Culture of Violence” (dimuat Midlle East Quarterly), Shafeeg N Chabra mengatakan kekuatan Sunni di Irak terkait erat dengan kekuatan Arab Sunni di Timur Tengah. Di mana, hubungan kultur antar Sunni di Irak yang menganggap diri mereka sebagai pewaris masa keemasan peradaban Islam Arab (kekhalifahan Abassiah di Baghdad abad 8 sampai 13) yang berhasil menduduki posisi penting dalam pemerintahan dan masyarakat. Mereka menjadi benteng atas gempuran Persia (Syiah) yang terus meluas. Pasca Perang Dunia I, ketika Inggris menduduki Irak, komposisi Sunni yang memegang otoritas tinggi dalam pemerintahan dan politik dipertahankan. Hal ini diteruskan oleh Pemerintahan Saddam.

Konflik atas dasar sektarianisme memuncak pada 22 Februari 2006 ketika terjadi pengeboman di Masjid Al Askariya di Sammara, di mana masjid itu adalah satui dari 4 masjid utama kaum Syaih.

Tantangan pemerintahan baru di Irak kini adalah bagaimana mengatasi milisi bersenjata di Irak Utara, Selatan, dan Tengah. Milisi Kurdi dan Syiah sering beroperasi sebagai pasukan keamanan pemerintah, demikian seperti dilaporkan The Washington Post pada Agustus 2006. Mereka, melakukan serangkaian penculikan, pembunuhan dan intimidasi. Jumlah milisi-milisi itu terus meningkat. Tahun 2006, menurut sumber terpercaya, jumlah mereka mencapai 8 sampai 20 ribu orang, sementara sumber intelejen Irak menaksir 40 ribu orang ditambah 160 ribu pendukungnya. Mereka tidak sekadar berasal dari Irak, mereka juga berasal dari Sudan, Suriah, Arab Saudi, dan Yaman. Misalnya, Abu Musb al Zarkawi yang tewas Juni 2006, dia adalah pimpinan Al Qaeda di Irak berasal dari Jordania. Lima kelompok bersenjata bergabung dalam satu payung dalam Dewan Shura Mujahidin pada awal 2006. Kelompok lain adalah pendukung Partai Baath yang telah dibubarkan. Mereka adalah mantan tentara dan kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai “Kaum Nasionalis Sunni”.

Siapa bersenjata, merekalah yang berkuasa. Barangkali hal itu dapat menjadi gambaran Irak kini. Mereka melakukan hal itu dengan dalih untuk menciptakan keamanan di negeri yang dapat dikatakan “tak ada hukum”. Mereka juga mengingini hengkangnya pasukan pendudukan dengan melakukan serangkaian serang bom di mana-mana. Sasarannya adalah siapa saja yang menjadi pendukung tentara pendudukan, baik warga asli, aparat Irak maupun tentara pendudukan itu sendiri. Korban tercatat sejak Maret 2003 hingga Juli 2006 berjumlah 50.443. dari jumlah itu, 83,9 persennya adalah warga sipil, 10,27 persen aparat keamanan, 5,14 persen tentara AS, 0,2 persen militer Inggris, 0,2 persen militer Negara lain dan 0,1 persen wartawan.

Penduduk Irak yang mengungsi ke luar negeri selama masa konflik ini pada 2006 sudah mencapai 440 ribu orang. Pada Maret 2006 saja mencapai 30 ribu orang, pada Agustus meningkat jumlahnya lebih dari 4 kali lipat (137.862 orang).



Apakah demokrasi sebagai resep AS untuk Irak dapat memecahkan persoalan di sana? Nanti dulu!

Wednesday, April 14, 2010

Tragedi Smolensk: Duka dan Doa untuk Polandia

Apa yang terjadi baru-baru ini di Polandia tentu saja sangat memilukan. Pesawat kepresidenan Polandia Tupolev 154 jatuh di Smolensk, Rusia barat, Sabtu (10/4). Selain Presiden Polandia Lech Kaczynski dan istrinya tewas, juga tak terselamatkan belasan pemimpin sipil dan orang penting Polandia di dalam pesawat tersebut.

Dalam artikel Pilot Terima Peringatan (Kompas, 13/4/2010) disebutkan, data penerbangan menyatakan pilot pesawat Presiden Polandia, sudah diberi peringatan bahwa cuaca amat buruk. Pendaratan pesawat mustahil dilakukan. Diduga kuat, pilot dipaksa melakukan pendaratan oleh ”seseorang”.

Kalimat terakhir tentu saja membawa tanda tanya besar. Pertanyaannya adalah siapa "seseorang" yang mampu mempengaruhi pilot pesawat naas buatan Rusia itu? Yang jelas, informasi ini dilayangkan oleh Wakil Perdana Menteri Rusia Sergei Ivanov, di Moskwa, Rusia
, Senin (12/4).

Niat baik Presiden Polandia Lech Kazynski (almarhum) untuk memperbaiki hubungan bilateral Polandia-Rusia dengan menghadiri undangan Rusia dalam peringatan pembantaian 22.000 tentara dan warga Polandia yang dibunuh oleh Soviet Secret Policy pada 1940 di hutan Katyin -letaknya tak jauh dari Bandara Smolensk, harus dibayar dengan drama tragedi kematiannya dan kepergian 88 orang terpenting di Polandia.

Kepala investigasi Rusia, Alexander Bastrykin, mengatakan , "The recordings that we have confirm that there were no technical problems with the plane. The pilot was informed about complex weather conditions but nevertheless made a decision to land." (http://www.telegraph.co.uk).

Senada dengan Ivanov, para investigator Rusia, yang telah bergabung dengan tim investigasi dari Polandia mengatakan, Kapten Arkadiusz Protasiuk (36) yang memiliki lebih dari 5000 jam terbang sudah diperingatkan 3 kali untuk mendarat di lapangan udara lain.

***

Kejadian yang membuat seluruh dunia berduka, adalah peristiwa yang sangat dekat dengan saya saat ini. Mengingat baru dua minggu lalu, bersama dua rekan sekelas saya; Lia Fauziah dan Sabriana Jaya Putri, kami merampungkan sebuah paper untuk mata kuliah Diplomasi Pertahanan di Pasca Sarjana Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI. "Dilema Keamanan Baru Hubungan AS-Rusia" begitu paper tersebut kami beri judul. Singkat cerita, dalam paper itu kami ingin menjelaskan bagaimana perluasan pengaruh AS di Polandia dan Republik Ceko -negara-negara bekas Pakta Warsawa- yang membuat berang pemerintah Moskow. Dan peristiwa ini menjadi pertanda dilema keamanan baru hubungan AS-Rusia pasca Perang Dingin.

Dengan dalih untuk melindungi AS dan negara-negara sekutu di Eropa dari serangan sistem kerja rudal yang diluncurkan oleh Iran dan Korea Utara, AS hendak membangun pangkalan pertahanan rudal AS di Polandia serta radar pembimbing di Republik Ceko. AS terus melebarkan sayapnya dan memperbesar spread of influences-nya di Eropa Timur dan Tengah. Ternyata hal itu tidak diingini Putin.

Pada November 2008 duta besar Rusia untuk NATO Dmitry Rogozin mengatakan, “Rudal Amerika di Polandia bisa menghujani Moskow hanya dalam waktu empat detik. Dan untuk mengeluarkan Amerika dan membongkar kepalsuan klaim Amerika bahwa fasilitas rudal di Polandia dan Ceko itu untuk menangkal Iran, Rusia menawarkan kepada Amerika untuk menyebar radarnya di samping radar Rusia di pangkalan radar Rusia di Gabala, Azerbaijan dan itu lebih dekat ke Iran daripada Polandia dan Ceko, jika memang targetnya adalah Iran,” katanya.

Masih menurut Rogozin, Amerika tidak menyetujuinya karena target Amerika adalah menancapkan pangkalan di Eropa Timur untuk mengancam Rusia. Dan Amerika tidak ingin Rusia ikut berkontribusi di pangkalannya sehingga pangkalan Amerika akan berada dalam pengamatan Rusia, selama targetnya adalah Rusia itu sendiri.

Ketika Rusia mengetahui rencana AS tersebut akan direalisasikan pada tahun 2011, Vladimir Putin memberikan pengumuman kepada masyarakat dunia bahwa Rusia akan menyebar rudal-rudal di perbatasan Kaliningrad di laut Baltik yang dekat dengan Polandia. Hal tersebut dipertimbangkan oleh Barack Obama, untuk melanjutkan misi former AS president atau mengambil jalur lain. Niat baik yang dilontarkan oleh Obama dalam isu ini yaitu membatalkan perjanjian ini, demi menjaga hubungan dengan Rusia. Sehingga Rusia pun mau mencabut kembali rudal-rudal yang telah dipersiapkan diperbatasan Polandia. Oleh karena itu, Putin pada April 2007 telah mengancam akan terjadinya perang dingin baru jika Amerika tetap berkeras menyebarkan penangkal rudal di Eropa Tengah. Sebagai tambahan, sebagai reaksi atas berbagai ancaman Amerika, Putin mengancam akan menarik diri dari Perjanjian Kekuatan Nuklir (NFT-Nuclear Forces Treaty) yang ditandatangani dengan Amerika pada tahun 1987. (selengkapnya: http://awigra.blogspot.com/2010/04/dilema-keamanan-baru-hubungan-as-rusia.html)

***

Mengaitkan tragedi Smolensk dengan rencana AS membangun pangkalan pertahanan rudal AS di Polandia dan Ceko pada 2011 bisa jadi sebagai sebuah perbuatan saru dan terkesan tidak etis selama masa berkabung. Namun, apapun kritik atas tulisan ini akan saya terima dengan lapang dada. Saya tidak bermaksud melakukan tuduhan kepada salah satu pihak atas terjadinya tragedi ini karena sampai saat ini tim investigasi masih terus bekerja. Tetapi, sebagai mahasiswa HI, saya hanya ingin menyumbangkan sedikit wacana atas situasi aktual yang terjadi di sana saat ini.

Dari berita di Kompas, diduga ada "seseorang" yang memaksa pilot untuk tetap melakukan pendaratan, adalah celah bagi saya dan siapa saja yang ingin terus mencari keadilan atas peristiwa ini. Dengan kata lain, tulisan ini adalah dukungan moral bagi terungkapnya kasus ini secara tuntas. Tulisan ini adalah sebaris doa untuk rakyat dan pemerintah Polandia yang berharap semoga kebenaran di sana akan meraung-raung dengan caranya sendiri, meski fakta bisa saja terus ditutupi atau bahkan mungkin dihilangkan! Karena, pengalaman di Indonesia (terus) mengatakan demikian. Siapa pembunuh Munir? Di mana Surat Perintah 11 Maret 1966? Dan sebagainya....



Duka dan doa tulus untuk saudara-saudariku di Polandia.... 
Jakarta, 14 April 2010




Daniel Awigra

Tuesday, April 13, 2010

Ulil dan Kebangkitan Islam

Hari ini aku menjumpai Ulil Abshar Abdalla (43). Perjumpaanku bukan untuk keperluanku melainkan hanya sekadar menemani dua kawanku dari Swedia (Emma Ebintra dan Frida Nilson) yang ingin melakukan wawancara khusus untuk keperluan thesisnya. Dari sana, aku (ingin) kembali menggali banyak pemikiran-pemikiran progresifnya.

Dalam websitenya www.ulil.net, Ulil mengaku sebagai generasi kedelapan dari keturunan Kiai Mutamakkin dari desa Cebolek, atau desa tempat asal Serat Cebolek. Serat itu mengisahkan tentang seorang kiai mistik pengikut teori wahdatul wujud (kesatuan wujud) yang tak lain adalah kakek moyang Ulil, Mutamakkin. Dia dibesarkan dalam kultur santri tradisional. Tulisan-tulisannya selama dia masih menjadi koordinator Jaringan Islam Liberal kerap memantik reaksi keras dari sebagian kelompok Islam. Forum Ulama Umat Islam, misalnya, mengetuk palu fatwa mati bagi menantu KH A. Mustofa Bisri, pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Thalibien, Rembang. Ulil adalah kandidat doktor di the Department of Near Eastern Languages and Civilizations, Universitas Harvard.

"Iman yang kuat tak akan takut pada keraguan. Iman yang dangkal dan dogmatis selalu was-was pada pertanyaan dan keragu-raguan". Tulisan itu, kuambil dari tagline dalam webnya. Yah Begitulah Ulil. Secara tidak langsung dia mengjariku bagaimna hidup beriman tanpa keraguan. Karena rasionalitas sangat ia junjung tinggi. Bagiku sendiri, ia adalah pioneer kebangkitan Islam.

Dalam pidato kebudayaannya, Selasa, 2 Maret 2010 di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Ulil secara khusus menilai kebangkitan Islam dari dua arah sekaligus. Pertama, kebangkitan yang mengambil bentuk "kembali" kepada apa yang sering dianggap sebagai masa lampau yang "pristin", suci dan asli, atau kepada suatu Tradisi dengan "T" besar yang dianggap mewakili suatu bentuk model keagamaan yang ideal dan sempurna. Kedua, kebangkitan yang mengambil bentuk reinterpretasi dan kontekstualisasi. Bagi Ulil. Baik salafisme yang menoleh ke belakang atau "khalafisme" atau kontekstualisme yang melihat saat ini dan ke depan adalah dua bentuk kebangkitan ISlam yang sah.

"Seolah-olah yang pantas disebut sebagai kebangkitan Islam adalah gerak kembali kepada Quran dan sunnah, kepada generasi salaf atau kuno yang diandaikan terbebas dari segala bentuk korupsi ajaran. Sementara itu, gerak yang mengarah ke masa kini, meninjau ajaran-ajaran agama dalam terang zaman ini, tidak dianggap sebagai bagian dari kebangkitan agama, bahkan dianggap sebagai bentuk 'penyimpangan'. Anggapan ini jelas sama sekali kurang tepat.

Bagi Ulil, seharusnya kedua pandangan ini bisa berjalan beriringan secara simultan. Ulil mengakui terdapat banyak sumbangan besar dari gerakan salafisme yang membawa semangat untuk kembali secara konsisten kepada Quran dan sunnah. Namun, dia menilai ada kesalahan mendasar dalam gerakan ini.

"Kelemahan pertama adalah adanya asumsi bahwa ajaran-ajaran dari masa lampau seluruhnya masih memadai untuk menjawab masalah yang dihadapi oleh masyarakat saat ini. Gerakan ini sama sekali atau kurang menyadari adanya kaitan yang tak terelakkan antara teks dan konteks yang membentuknya; suatu teks selalu lahir karena menjawab konteks tertentu. Saat konteks itu berubah, maka dengan sendirinya teks itu juga harus dipahami ulang" ujarnya.

Persoalan selanjutnya adalah tantangan dengan yang "suci". Menafsirkan Quran dan sunnah sebagai fondasi pokok keberagaman Muslim kerap mendapat tantangan dari banyak kalangan yang memandang bahwa seharusnya di hadapan Quran dan sunnah yang suci itu kita harus bersifat pasrah tanpa boleh sedikit pun 'reserve'. Ulil menunjukkan dalil di mana sikap itu perlu dipertanyakan (QS 33:36). Sikap menjadikan apa kata Quran dan sunnah sebagai yang final dan sebagai palu terakhir atau yang dalam kata-katanya disebut sebagai "penyetop perbincangan" atau "conversation stopper". Begitu Quran dan sunnah mengatakan A, maka dengan sendirinya seluruh perdebatan dan perbincangan akan selesai.

"Kecenderungan menjadikan Quran dan sunnah sebagai 'penghenti perbincangan' ini sama sekali bukanlah pandangan yang sehat," ujar pria kelahiran Pati, 11 Januari 1967 ini.

Meski demikian, bukan berarti Ulil ingin mengingkari bahwa Quran dan sunnah adalah bukan lagi sebagai pedoman dan fondasi dasar seorang Muslim.

"Kita sebagai anggota dari komunitas beriman yang disebut dengan 'ummah', tunduk pada Quran dan sunnah sebagai sumber otoritatif. Masalahnya bukan di sana tentunya. Sumber otoritatif itu bisa dimaknai berbeda-beda. Orang-orang dengan mindset salafisme kurang menyadari bahwa teks suci mengandung banyak kemungkinan penafsiran. Ataupun kalau mereka menyadari kemungkinan banyak tafsir, mereka berusaha meredam multisiplitas teks suci dengan cara menyederhanakan keragaman tafsirnya agak sederhana dan seragam," paparnya gambang.

Kelemahan kedua gerakan salafisme menurut Ulil adalah anggapan bahwa teks suci adalah terang-benderang. Kecenderungan ke arah absolutisme penafsiran, menjadi kritik ketiga Ulil atas gerakan salafisme.

Dengan kritiknya, Ulil ingin mengajukan cara pandang baru yaitu khalafisme. Secara harafiah, khalaf berarti era kontemporer, atau periode belakangan yang muncul setelah periode terdahulu, periode "salaf".

"Khalafisme adalah cara pandang keagamaan yang menghendaki agar pemahaman keagamaan terus tumbuh seturut dengan perkembangan peradaban manusia. "Kata kunci pokok dalam khalafisme bukanlah "kembali pada Quran dan sunnah" tetapi memahami kedua sumber itu berdasarkan tuntutan zaman yang terus berubah. Khalafisme tidak menolak Quran dan sunnah sebagai sumber otoritatif, tetapi memahaminya secara kontekstual," tegas Ulil.


Monday, April 12, 2010

Bahagia dan Derita

Dulu itu hanya kata-kata
Seiring menggelindingnya roda-roda waktu
Semua sudah berputar, menjelama menjadi nyata
Tercecap sudah dalam jalintundan pengalaman bersama

Seolah saja
Ilalang kegetiran tumbuh subur
Sejumput kebencian membekas laksana bercak noda di atas kain mori
Kepasrahan menyergap bak duri tertancap
Kebencian naik menuju puncak-puncak gunung rasa
Emosi meluap dan menguap....

Dalam kesenduan seorang perempuan muda
Kemarin engkau datang
Sebuah tanya kau bawa
Dari negeri batas senja
"Adakah yang masih tersisa untukku?"

Ini bukan pertanyaan
Tapi dia adalah sepotong perasaan
Dari kedua manusia yang tergoda
Ingin merasa dan mengada dalam cinta
Yang katanya, di sana ada bahagia dan derita

Meskipun, jurang perbedaan menganga dan siap memangsa
Namun ada sebuah percaya
Justru di sanalah cinta berada

Dan dituliskanlah kata pertama, membangun sebuah cerita
Yang tak pernah diketahui babak akhirnya

Dalam laju putaran roda masa
Meliuk dan menukik
Sampai di dasar palungnya
Sakit
Rasanya, gundah di hati merumah selamanya

Dan engkau pun datang
Dalam kesenduan seorang perempuan muda
Yang justru dalam abu-abunya
Terterawang asli putihnya
Tertiup kembali angin harapan

Mengabarkan sebuah berita
Selesai sudah satu babaknya
Dalam sebuah dinamika
Lengkap dalam bahagia dan derita
Tekemas rapih dalam gulungan lontar asmara

Roda cinta berputar dalam porosnya
Kini rotasinya menanjak pelan
Terbalut dalam pelukan
Meninggalkan mata air air mata

Babak baru dimulai
Senyuman terkembang
Dalam genggaman temaram senja
Semua menjadi dewasa
Dan ingin membuah dalam karya-karya
Untuk manusia-manusia
Yang masih percaya kekuatan cinta

Di tempat dan waktu yang sama
Saat engkau pertama kali mengatakan IYA





Saturday, April 10, 2010

Malaris: Kampung Orang-orang Dayak Bukit

Jejak kakiku pernah tertinggal di Kampung Malaris. Menuju kampung ini dari Kota Seribu Sungai (Banjarmasin) ke arah Timur Laut, menempuh jarak 150 Km selama 5 jam perjalanan darat –menggunakan bus. Secara administratif permerintahan, kampung Malaris termasuk dalam Desa Lok Luhung Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimanatan Selatan. Jarak antara ibu kota kabupaten (Kandangan) dengan ibukota kecamatan (Loksado) adalah + 30 Km dapat ditempuh menggunakan angkutan pedesaan. Dari sana perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki atau sekarang dapat menggunakan jasa ojeg untuk menempuh perjalanan sekitar 1,7 Km.

Sewaktu live-in di Malaris selama 2 malam, aku mendapat kesempatan untuk mempelajari banyak hal berkaitan dengan kehidupan, tata sosial, dan sebagainya melalui wawancara langsung maupun studi literatur dari sejumlah pihak yang pernah melakukan penelitian di daerah tersebut. Dan berikut adalah beberapa temuannya;
Penduduk Malaris adalah keturunan dayak Meratus. Dahulu Dayak di Kalsel adalah suku Dayak tertua ke-2 setelah suku dayak Kutai. Namun, keberadaan suku dayak di Kalsel semakin tergeser ke arah pinggiran dan pedalaman seperti persis yang kita jumpai di Malaris.

Selain disebut sebagai suku dayak Meratus, orang-orang Melaris ini juga disebut dayak bukit atau dayak hulu sungai. Hal ini dikarenakan tempat tinggal mereka berada di hulu sungai dan di kaki bukit pegunungan meratus yang juga menjadi perbatasan antara Kalsel dan Kaltim bagian Timur.

Pegunungan Meratus adalah pegunungan yang kaya akan hasil bumi seperti emas dan hasil hutan seperti kayu manis, rotan dan karet. Hasil hutan adalah sumber penghidupan mereka. Maka pekerjaan mereka adalah berladang atau yang kerap disebut bahuma. Mereka menanam padi gunung, kayu manis, kemiri, menyadap karet (getah), rotan, damar, madu dan lain-lain.

Selain sebagai pekerjaan utama mereka, bahuma juga merupakan media untuk berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Mereka menggunakan siklus alamiah tidak menggunakan pupuk untuk menggemburkan dan menyuburkan tanah. Kawasan hutan yang dibuka adalah merupakan bekas pehumaan yang telah ditinggalkan selama puluhan tahun yang lalu dan selama itu mereka jarang bahkan tidak membuka lahan di hutan-hutan primer. Sistem perladangan seperti ini adalah menggunakan pola “Gilir Balik”. Sehingga, dengan kenyataan ini ditepislah anggapan bahwa selama ini mereka (masyarakat dayak pada umumnya).

Meski demikian, mereka tidak pernah sampai merambat ke dalam pegunungan meratus karena mereka menganggap meratus adalah bumi nenek moyang atau tanah tuan yang harus dijaga. Karena, selama ini memberikan sumber kehidupan dan perlindungan bagi mereka. Ini pula yang menjadi salah satu keyakinan dan pemahaman agama Kaharingan yang sangat percaya akan keabadian roh-roh leluhur/nenek moyang.

Masyarakat dayak kuno termasuk penduduk Malaris tinggal di rumah panggung yang disebut balai. Di tengah-tengahnya ruangan besar yang biasanya untuk bertkumpul bersama dan dipakai untuk panggung saat upacara Aruhganal. Upacara ini dilaksanakan 3 kali dalam setahun. Saat tanam, tengah tanam dan saat panen. Aruhganal adalah wujud ekspresi syukur dan komunikasi spiritual kusus kepada leluhur memohon berkah dan keselamatan.

Masyarakat Malaris seperti pada umumnya masyarakat dayak lainnya juga dipimpin oleh seorang ketua adat atau yang sering disebut Demang. Menurut Radam (2003:139) dalam bukunya Religi Orang Bukit, masyarakat dayak mengembangkan sistem peranan yang sesuai dengan kebutuhannya. Sistem peranan itu terkelin (sifatnya tertutup, tidak terbuka untuk umum) dalam memecahkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, eknomi dan religi.

Di sana terdapat sistem pemerintahan adat. Di kawasan hulu Alai, Hamandit, dan hulu Sampanah kepala adatlah yang menjadi penanggungjawab sosial tertinggi. Di hulu Alai kepala adatnya disebut Tumenggung. Sementara di Hamandit disebut demang. Bila antar bubuhan terjadi konflik karena masalah lahan, kejadian sumbang, maka masalah itu diselesaikan oleh tumenggung atau demang.

Menurut Sam (2000: 38-39) struktur yang dalam masyarakat dayak Meratus secara sederhana terdiri dari tetua adat yang terkadang merangkap sebagai kepala balai, para balian dan kelompok masyarakat biasa. Dalam rangka kegiatan perkawinan ditunjuk seorang pengulu. Masing-masing bagian tersebut punya peran berbeda dalam menata kehiduapn masyarakat. Misalnya tetua adat bertugas menjaga aturan adat agar tetap menjadi panutan atau hukum yang dihormati oleh masyarakat. Merekalah yang paling mengerti tentang aturan dan menetapkan sanksi jika ada anggota masyarakat yang melanggar. Aturan-aturan tersebut mengatur hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan alamnya.

Hukum adat yang mengatur hubungan antar sesama manusia meliputi;
1. Kepemilikan tanah/ wilayah atau balai. Hukum adat mengatur bagaimana tanah atau wilayah balai dimiliki oleh sekelompok masyarakat. Setiap balai memiliki wilayah tertentu yang batasnya telah ditentukanoleh leluhur mereka. Jadi kepemilikan itu bersifat mewaris atau turun temurun dan tanah adalah milik adat. Orang dari luar tidak berhak atas tanah dan hutan. Semua warga berhak mengelola tanah, manugal dan menanam tanaman keras dari wilayah balai dengan persetujuan dewan adat. Siapa yang berhak mengelola tanah dia dapat kerjakan tanah tersebut secara turun temurun (dalam silsilah keluarga) dan berhak mengambil hasil tanaman namun tanah tersebut bukan milik pribadi. Untuk memiliki tanah secara pribadi maka harus memohon persetujuan dari dewan adat dan apabila disetujui, dewan adat akan memeberikan batas-batas serta memberitahukan batas-batas serta memberitahukan kepada warga lain dan si pemohon harus mematuhi aturan adat

2. Pencurian
Pada masyarakat Balai Malaris apabila terjadi pencurian, pencuri barang tersebut akan dikenai sanksi berupa denda yang besarnya ditentukan oleh dewan adat. Kemudian, pencuri akan diperingati. Jika melebihi 3 kali maka si pencuri akan diserahkan ke pihak kepolisian setempat. Dan jika ada pencuri dari balai lain, maka yang akan menyelesaikan adalah dewan adat orang yang bersangkutan.

3. Mengganggu istri orang/anak gadis
Jika ada orang mengganggu istri oeang lain baik atas dasar suka sama suka atau ada unsure paksaan, maka kedua belah pihak (laki-laki maupun perempuan) dikenai denda yang besarnya ditetapkan oleh dewan adat. Kemudian, hasil denda tersebut diserahkan kepada istri atau suami pelaku, atau denda itu akan digunakan sesuai dengan keputusan dewan adat. Jika pelaku yang mengganggu berasal dari balai lain maka yang akan mempersidangkan adalah dewan adat balai yang bersangkutan.
Apabila terdapat pemuda yang mengganggu anak gadis dengan paksaan maka dia juga akan dikenai denda yang besarnya ditentukan oelh dewan adat. Dan apabila ada pemuda dan pemudi yang melakukan perzinahan atas dasar suka sama suka maka kedua pemuda pemudi itu harus dikawinakan.

4. Perkelahian
Apabila terdapat perkelahian antar sesama warga balai dan perkelahian dan tidak terdapat luka fisik anatar keduanya maka akan didamaikan oleh dewan adat dan akan dibuatkan perjanjian antar keduanya. Apabila ada perkelahian dan ada yang terluka maka keduanya akan diadili sesuai ketentuan yang berlaku dan orang yang melukai akan dikenakan denda wajib untuk melaksanakan upacara bapalas. Upacara ini dimaksudkan untuk membuang sial atau tolak bala agar perkelahian yan terjadi tidak terulangi lagi, hal ini dicirikan dengan menyembelih ayam dan membuang darahnya, Palas berarti jadi darah dibuang untuk menolak bala serta menghilangkan dendam.
Dan apabila dalam perkelahian tersebut ada yang tewas maka dewan adat akan menindak pelaku dengan hokum adat yang telah ada. Apabila persoalan tersebut tidak selesai maka persoalannya akan dibawa ke pihak yang berwajib dalam hal ini kepolisian.

5. Perkawinan.
Dalam melakukan peminangan oleh laki-laki kepada perempuan, pihak laki-laki wajib untuk menyerahkan uang pinangan sebesar Rp 100,- sebagai syarat pinangan kepada orang tua yang dipinang. Dalam proses peminangan pihak perempuan menetapkan harga, kemudian pihak laki-laki menetapkan penawaran. Dari penetapan harga dari pihak perempuan dan penawaran dari pihak laki-laki, maka dewan adat membantu mencari harga yang bisa disepaklati dan disetujui oleh kedua belah pihak. Pemegang keputusan tertinggi adalah wali dari pihak perempuan. Apabila dalam pembicaraan pihak laki-laki tidak dapat memenuhi permintaan pihak perempuan maka pinangan putus.
Jika pihak perempuan menolak lamaranb dari pihak laki-laki maka pihak perempuan harus mengembalikan uang yang telah diberikan oleh peminang dengan perhitungan mengembalikan uang pinangan ditambah sepuluh kali lipat dari uang pinangan itu.
Apabila pinangan diterima, dan kedua pihak telah menyelesaikan pinangannya, maka pihak laki-laki harus menyediakan anatar alain gula, the dan seperasngkat alat kecantikan setalah itu dikawinkan oleh penghulu dan disaksikan seluruh warga balai.

6. Perceraian
Dalam hukum adat balai Malaris, perceraian tidak dibolehkan apabila istri yang akan diceraikan sedang dalam masa hamil. Apabila tetap ingin melakukan perceraian maka harus menunggu istri melahirkan. Apabila seorang seorang suami ingin menceraikan istrinya dan istrinya masih memiliki rasa sayang kepada suaminya, maka suami harus memberikan uang kepada istrinya dan besarnya uang yang harus dibayar oleh suami ditentukan oleh dewan adat. Aturan ini berlaku sebaliknya jika seoarang istri ingin meminta cerai terhadap suaminya. Pemberian uang tersebut biasa disebut sebagai uang tabus sayang seorang suami/istri. Dengan uang tersebut rasa sayangnya sudah ditebus dan dengan demikian perceraian dapat terjadi.

Apabila seorang istri ingin meminta cerai kepada suami dan suami tidak mau maka perceraian batal terjadi, kecuali suami sudah diketahui memiliki istri barumaka kepada istri pertama akan jatuh talak/cerai dan istri terbebas dari suaminya. Istri yang telah diceraikan bebas untuk menikah kapan saja. Suami yang menceraikan berhak rujuk atau bemantukan dengan istrinya kapan pun selama istrinya tidak memiliki suami baru setelah bercerai, dengan ketentuan suami harus membayar uang rujuk yang besarnya ditetapkan oleh dewan adat dengan pertimbangan atas semua kesalahan yang telah dibuat suami kepada istrinya. Dan uang rujuk diserahkan kepada orang tua istri.

7. Kematian
Jika orang meninggal dunia, maka harta peninggalannya berupa uang harus dibagikan kepada seluruh warga balai setempat. Pembagian harta disesuaikan dengan andil dari warga balai dalam mengantarkan jenazah ke kubur. Biasanya orang tersebut telah mempersiapkan uang yang akan dibagikan kepada seluruh warga balai sewaktu orang yang meninggal tersebut masih hidup kepada orang yang telah diwasiatkan. Uang itu dimaksudkan untuk mengurangi dosa-dosa selama ini dan pihak keluarga wajib melaksanakan parabia (selamatan) untuk mendoakan agar orang yang meninggal mendapat ketenangan jiwa.

8. Warisan
Dalam hokum adat masyarakat dayak malaris, warisan tidak akan dibagikan apabila salah satu dari sebuah keluarga orangtua masih hidup. Warisan bisa dibagi jika kedua orang tua sudah meninggal dunia. Warisan harus dibagikan seadil mungkin sesuai andil seorang anak dalam keluarga atau dalam mengurus orangtua selagi masih hidup. Siapa yang paling punya andil dan paling mengurus orang tua mendapat warisan paling banyak.

Sementara ada pula aturan yang mengatur hubungan dengan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan alam. Jika ada warga yang ingin membuka lahan baru maka aka nada upacara Batanung. Upacara ini sebagai sarana untuk memohon petunjuk kepada leluhur apakah lahan yang akan dibuka sebagai lahan ini subur atau tidak. Jika warga ingin melakukan perburuan juga harus meminta izin terlebih dahulu kepada penunggu hutan agar mendapatkan keselamatan dan mendapat hasil buruan yang banyak. Warga dilarang berburu pada hari-hari tertentu seperti pada saat dilaksanakannya upacara adat.

Selain itu, ada pula aturan yang mengatur hubungannya dengan yang maha kuasa dan leluhur. Setiap orang yang berusia lebih dari 20 tahun mereka wajib melakukan peribadatan kepada yang maha kuasa pada malam senin dan jumat. Selain itu dengan melakukan upacara-upacara adat. Yang pasti ada tiga kali dalam setahun; Sambu, Bawanang dan Aruh Ganal (Bawanang Kedua). upacara terseburt adalah ungkapan syukur atas berkah dari yang maha kuasa dan leluhur. Upacara lain adalah tolak bala dan Sanggar Banua.

Di rumah Asnawi, Kampung Malaris, 5 Mei 2009

Drama Rusaknya Hutan Riau

“Seratus orang tak berpendidikan akan menimbulkan pemberontakan, satu orang berpendidikan merupakan awal dari munculnya suatu gerakan”. (Chico Mendes)

Budaya lokal seolah-olah terstigma -mendapat pelabelan negatif- bahwa budaya itu terbelakang, udik, kuno, tidak rasional, dan lain-lain. Ada upaya sistematis yang menggiring siapa saja untuk meninggalkan budaya lokal itu.

Bisa jadi, itu adalah salah satu cara kerja kapitalis untuk masuk dan menghisap seluruh kekayaan alam Indonesia termasuk hutannya. Kerusakan hutan akibat pemabalakan dan ke(pem)bakaran hutan, saat ini menjadi isu yang santer dibicarakan di banyak media massa lokal, nasional maupun internasional.

Seorang ahli waris sekaligus saksi hidup dari kejadian-kejadian tragis yang menimpa hutan Indonesia (khususnya di Riau) menceritakan kepada penulis (April, 2007) bagaimana duduk persoalan paling mendasar yang terjadi pada hutan-hutan itu. Dialah, M. Yunus, salah seorang anggota DPRD Pelalawan.

Yunus berkesimpulan, persoalan rusaknya hutan-hutan di Riau tak lepas dari kisah panjang perjalanan regulasi pemerintah menyangkut keberadaan hutan, potensi-potensi yang dikandungnya serta hasil hutan yang dihasilkannya. Lebih dari itu, analisis Yunus sampai menyentuh level struktural di mana ada upaya sistematis pemerintah pusat lewat penyeragaman sistem tata kemasyarakatan daerah di seluruh Indoensia.

Perjalanan reguliasi itu, kata Yunus dimulai dari sejak Orde Baru mulai menancapkan kukunya. Sebuah UU Pokok Kehutanan diterbitkan. Tepatnya, tahun 1967. UU yang sarat penyeimbangan kepentingan keluarga Soeharto, militer dan konglomerat. Namun, sangat melanggar hak-hak tanah masyarakat adat (ulayat). Karena, dalam UU tersebut, hutan menjadi milik dan dikuasai oleh negara. Padahal, masyarakat adat yang menguasai hutan sebelumnya menganggap bahwa kepemilikan hutan bersifat komunal.

Hal ini, menurut Yunus bertentangan dengan semangat UUD 1945. Di sana, mengakui bahwa di Indonesia, selain ada hukum tertulis, juga ada hukum yang sifatnya tak tertulis atau konvensi. Hukum adat masyarakat Petalangan di Kabupaten Pelalawan, Propinsi Riau, adalah hukum tak tertulis. Namun, dengan UU Pokok Kehutanan tahun 1967, hak-hak masyarakat diabaikan begitu saja. UU Pokok Pertambangan yakni UU Nomor 11 tahun 1967 juga lahir pada tahun yang sama .

Ketika potensi di dalam hutan diketahui, baik yang dihasilkan oleh hutan itu sendiri maupun di dalam tanah yang dikandungnya, muncul lagi regulasi-regulasi yang pro-kapitalis dan penguasa. Tahun 1970-an lahir regulasi yang mengatur Hak Pengelolaan Hutan (HPH), tahun 1980-an lahir regulasi Hak Guna Usaha (HGU), pada 1990-an lahir Hutan Tanaman Induestri (HTI), dan pada 2000-an, lahir regulasi yang mengatur Hak Penggunaan Hutan Tanaman Campuran (HPHTC). Belum lagi yang mengatur soal transmigrasi.

Sejak keluarnya regulasi HGU, 6,4 juta hekatar hutan di Riau tahun 1982 sudah diplot oleh perusahaan-perusahaan pengelola hutan. Masalahnya, mereka beroperasi di atas tanah hutan ulayat. Penghancuran hak komunal tambah parah ketika keluar UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Struktur sosial kemasyarakatan oleh Orba diseragamkan dari Merauke sampai Sabang.

Dalam masyarakat hukum adat Petalangan, papar Yunus, struktur pemangku adatnya terdiri dari 29 batin ditambah 8 penghulu (setingkat batin). Masing-masing mempunyai hutan tanah ulayat yang bersifat otonom. Di bawahnya ada ketiapan, atau pembantu batin dan dibawahnya lagi ada tungkat, yang juga pembantu batin. Karakteristik unik ini dirusak lewat kehadiran sistem administrasi desa. Sehingga peran batin dan penghulu banyak diambil alih oleh kepala desa atau lurah. Terlebih urusan masalah pertanahan.

Persoalan banyaknya regulasi yang mengatur hutan ditambah penggantian struktur masayarakat itulah yang menjadi akar utama penghancuran hutan (khsuusnya di Riau). Lewat regulasi-regulasi itu perusahaan pemegang HPH, bebas menumbangkan pohon-pohon dengan chainsaw-nya.

Kearifan Lokal
Budaya dan pelestarian alam Orang-orang seperti Yunus, selalu diajari oleh para leluhurnya untuk senantiasa menjaga kelestarian alam. Bahkan, masyarakat hukum adat Petalangan memiliki sangsi/amar yang begitu keras pada para perusak hutan.

Yunus mencontohkan, jika seseorang merusak pohon kepungan sialang -tempat lebah dan anak-anaknya menimbun madu, ia sama prinsipnya dengan merusak diri kita sendiri. Maka, ia akan dikenai sangsi atau amar berupa hukuman mengkavani pohon kepungan sialang dari akar sampai rantingnya.

"Itu artinya, kita selalu diajari untuk melindungi dan melestarikan alam," kata Yunus.

Yunus bersaksi, seblum tahun 1980-an hutan di Riau sangat asri dan masih perawan. Sejak keluarnya regulasi-regulasi itulah, hutan Riau satu-persatu gundul. Yang menjadi geram Yunus adalah, terbesit banyak tuduhan kalau orang-orang kampunglah yang merusak hutan-hutan itu. "Itu sama sekali tidak benar!" bela Yunus dengan nada tinggi.

"Konsep adat kami mengapa hutan itu penting adalah, karena satu saja komunitas (tanaman) itu hilang, ratusan karya budaya Petalangan ikut musnah," lanjut Yunus. Secara sederhana, Yunus merumuskan, pada perinsipnya, merusak hutan sama saja merusak diri sendiri.

Yunus, adalah salah satu pewaris adat yang mau menghayati nilai-nilai mulia leluhurnya. Ia berontak ketika dicap bahwa masyarakat adat tidak punya aturan. Yunus juga marah dan tak tinggal diam ketika hutan warisan leluhurnya satu-persatu menghilang.

Kemarahannya ia salurkan lewat perjuangannya di DPRD untuk mengusahakan suapaya hak masyarakat adat ulayat bisa di-Perda-kan. Ia berkiblat dari keberhasilannya di Kabupaten Kampar. Yakni menelorkan Perda Ulayat Kabupaten Kampar, sebagai kabupaten induk Pelalawan.

The Readiness of Indonesia in Facing AEC

ASEAN Economic Community (AEC) in 2015 has been signed by 10 ASEAN countries at the 13th ASEAN summit on November 2007 in Singapore. The purpose of AEC is to achieve regional economic integration so that ASEAN becomes a single market and production area. There are 5 pillars reinforcement performed from the economic side, which are; the free flow of goods, services, investment, skilled labor and more freely capital flows 2. All of these pillars are implemented gradually in accordance with the strategic schedule which has been agreed together. In general, since 2008 AEC has gradually liberalized each pillar. The stages are monitored by the ASEAN mechanism scorecard.

Opportunities and challenges in Indonesian foreign policy in facing AEC:
The first is the readiness of Indonesian industry in dealing with the current ASEAN free trade 2015. According to An Investigation into The measures Affecting the Integrating of ASEAN's Priority Sectors (phase 2) (Oktaviani, Rifin and Reinhardt: 2007), Indonesia has advantages in the five sectors, which are wood-based products, agriculture, fisheries, rubber and electronic products. Indeed, Indonesia can use it to encourage exports which have comparative advantage toward other countries.

The challenge is, with current relatively high human resources, Indonesia has to give vale added to the Indonesian prime and superior exports since other ASEAN countries also have a comparative advantage in some similar areas with Indonesia that could lead to exports substitution of Indonesian goods. For example; Indonesian society prefer Thai rice than the local rice because of the price and better quality, the market for semiconductors from Indonesia compete with Malaysia, etc.

In addition, with the largest number of population, geographic area and GDP in ASEAN, it should be a valuable asset for Indonesia in order to play its role as a major player in AEC.

Indonesia's main problem today is Indonesia's competitiveness is deteriorating due to the lack of human competitiveness compared with other AEC countries. To be able to take advantage of economic expansion due to regional integration, the Indonesian labor should be able to improve their skills in accordance with the mutual recognition agreement which has been approved. Besides the problem of human resources, Indonesia has not had a good investment climate yet and there are still some infrastructure limitations in various fields.

NAM After Cold War

Role of Indonesian foreign policy toward the developing countries after the cold war ended was to (once more) become a pioneer of the Nonaligned Movement (NAM). After the collapse of the Berlin Wall on November 9, 1989 which marked the end of the cold war, it meant that the world order has changed. There are no more blocks, neither right nor left.

Since the left block has fallen, NAM as an alliance which positioned itself between the two blocks should review its position after the incident. Indonesia as the initiator country of NAM was most concerned to maintain NAM in the context of the new world. In 1985 (30 years of KAA) Indonesia failed to be the host of NAM Summit because the Latin America and some African countries refused Suharto’s domestic politics such as, anti-communist, and discrimination against the Chinese ethnic. Suharto had to pay it dearly with 23-day visit to Latin America and Africa in an effort to lobby to make Indonesia as the host of NAM in 1992.

In 1992, Suharto became a chairman of the NAM Summit and successfully convinced the members of NAM to change the focus of cooperation from the traditional (political and security) into social and economic issues. This meeting resulted Jakarta Massage which was brought to the UN forum in the same year. The point is Indonesia would be a facilitator in providing technical assistance to the agricultural sector (since Indonesia has achieved self-sufficiency in rice) and population (Indonesia's success in carrying out family planning program).

In addition, in 1994, Indonesia also hosted the APEC Summit. In a forum that is voluntary, it resulted in Bogor Goal. The point is, achieving an agreement in an open and free trade and investment within the Asia Pacific regions.

For the developing countries in ASEAN, Indonesia had played an important role after the Asian financial crisis. From there, ASEAN realized that the ASEAN Economic Community should be created. To achieve that, there were several steps; one of them was Bali Concord 2003, towards the ASEAN Community.

Thus, after the cold war, Indonesian foreign policy toward the developing countries, especially in NAM, was to change the focus of security and politics to social and economic cooperation. At this point, Indonesian struggle was to keep retaining the NAM’s position despite global context has changed (been proposed to change the NAM to be G-77). It means that, with the persistence of NAM, Indonesia's position as the founder and pioneer of the voices of the people in developing countries would always be needed by the world.

In the field of security and politics, Indonesia had successfully become a mediator in dealing with the conflict of Vietnam and Cambodia. In 1988 and 1989 Indonesia took the initiative to organize Jakarta Informal Meeting (JIM) in the Bogor Palace. JIM was conducted two times in Indonesia whereas; Thailand itself was interested to become the mediator.

JIM was presented by the Cambodian leader Hun Sen, including Heng Samrin. Heng Samrin was Khmer Rouge figure who was pro-China and replaced by Hun Sen, Cambodia's communist figure who was pro-Vietnam and the Soviet Union. It was also presented by King Norodom Sihanouk and several Cambodian leaders. Their presence in JIM I and II gave an indication that the ruling regimes in Phnom Penh still felt more comfortable with Indonesia rather than Thailand.

It proved that Indonesia still kept retaining its free-and-active foreign policy principle after the cold war. However, ‘free’ in here was defined as ‘free’ to work with various parties and remain active in maintaining world peace.

Friday, April 9, 2010

Revolusi yang Ironi

Revolusi persenjataan mengalami sebuah ironi makna pada masa pasca Perang Dunia II. Masa itu kerap disebut sebagai Perang Dingin (1947-1989). Apa yang membuat revolusi ini menjadi sebuah ironi adalah ketika senjata bukan lagi dibuat untuk tujuan berperang atau menaklukan musuh. Titik balik inilah yang mengubah pandangan umum tentang tujuan dibuatnya senjata. Nuklir telah menjadikan revolusi senjata menjadi ironi.

Nuklir adalah ciri utama Perang Dingin. Dia tidak sekadar hanya mempengaruhi karakteristik Perang Dingin. Menurut Joseph S. Nye dalam bukunya Understanding International Conflict menjelaskan apa yang membuat Perang Dingin menjadi begitu luar biasa adalah bahwa ada periode ketegangan yang berlarut-larut dan tidak berakhir dalam perang antara dua negara superpower (Amerika Serikat dan Uni Soviet). Perang terjadi beberapa kali di negara-negara periphery kedua superpower itu. Puncak Perang Dingin terjadi pada 1947-1963 ketika ada ketegangan negosiasi antara AS dan Uni Soviet.

Karakter utama perang dalam masa perang dingin antara lain; Pertama, Perang Dingin ditandai oleh sikap dan perasaan saling tidak percaya, kecurigaan, dan kesalahpahaman oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet, dan sekutu-sekutunya. Kondisi ini meningkatkan kemungkinan terjadinya perang dunia ketiga, yang dianggap secara luas mungkin meningkat menjadi perang nuklir . Tidak berhenti sampai sana, kedua belah pihak melakukan propaganda. Amerika Serikat menuduh Uni Soviet menyebarluaskan komunisme di seluruh dunia. Sementara Soviet, menuduh Amerika Serikat dengan mempraktekkan imperialisme baru dan mencoba untuk menghentikan aktivitas revolusioner di Negara-negara lain. Perang urat syaraf terjadi terus menerus antara dua kubu. Uni Soviet, mengikuti Marx dan Lenin mengajarkan bahwa koeksistensi antara Kapitalisme dan Komunisme mustahil, karena kapitalisme itu tidak bermoral dan pasti akan runtuh, sementara kapitalis Barat melihat Uni Soviet dalam kata-kata Presiden Reagan sebagai 'kekaisaran jahat'.

Kedua, Perang Dingin membagi dunia dalam sistem bipolar. Pada dasarnya setiap konflik antarnegara dalam sistem bipolar melibatkan dua blok besar yang selalu muncul untuk menentukan di mana posisi mereka. Apakah bagian dari blok barat atau timur? Pengikut ideologi liberalis atau sosialis? Memiliki aliran politik “kiri” atau “kanan”? Dengan demikian, Perang Dingin terus menyebar ke Timur Tengah, Asia, Afrika dan Amerika Selatan.

Ketiga, adanya perlombaan senjata (arm race) oleh kedua negara adidaya. Uniknya, produksi senjata oleh negara superpower tidak digunakan olehnya sendiri. Melainkan, senjata-senjata ini justru lebih digunakan oleh pihak ketiga dan bahakan di sanalah peperangan sesungguhnya terjadi .

Alat Negosiasi
Nuklir dikembangkan dan ditransformasikan fungsinya dari sekadar senjata pemusnah massal yang ampuh menjadi alat manjur untuk melakukan diplomasi pertahanan dengan cara pemaksaan (coercive). Hal ini dilakukan oleh superpower kepada negara periphery untuk memperluas pengaruh dan memaksakan sistem dengan jaminan kemanan sebagai imbalannya. Meski diketahui nuklir telah membawa ‘bencana’ kemanusiaan luar biasa saat penemuan dan percobaan nuklir pada puncak Perang Dunia II, namun tak sedikit pun menyurutkan keinginan negara superpower untuk tidak mengembangkan teknologi tersebut.

Krisis misil Kuba adalah puncak dari ketegangan akibat pengiriman nuklir dari Soviet ke Kuba pada Oktober 1962. Krisis ini bermuara pada negosiasi kepentingan AS dan Soviet. Negosiasi dalam bentuk kerjasama arm control adalah fragmentasi dari kesepakatan kedua superpower untuk menghidari adanya perang dunia. AS dan Soviet sama-sama mengklaim kemenangan atas krisis misil Kuba. 


Menurut John Mueller dalam tulisannya Deterrence, Nuclear Weapons, Morality, and War, dia mempopulerkan istilah deterrence by reward atau positive deterrence . Apa yang terjadi selama krisis misil Kuba, nuklir kedua belah pihak digunakan untuk mendapatkan reward dari masing-masing pihak. Kepentingan AS adalah menyingkirkan misil-misil dari Kuba yang jaraknya hanya 90 mil dengan Miami. Sementara, hal yang sama juga terjadi di pihak Soviet, pengiriman nuklirnya ke Kuba mendatangkan berkah melimpah, yaitu dilucutinya nuklir AS di Turki, dibebaskannya Kuba dari invasi militer dan AS tidak diperkenankan mencampuri lagi urusan rumah tangga Kuba.

Bagaimana dengan negara non adidaya?

Banyak negara tetap memilih mengembangkan teknologi nuklir pasca Perang Dunia II tentu saja pertama-tama ditujukan untuk kepentingan penangkalan (detterence). Konteks sosial-politik pada masa perang dingin adalah dunia terbelah dalam dua kubu besar, AS dan Uni Soviet. Sistem bipolar menjadi sesuatu yang terus dihidupi oleh negara-negara. Nuklir, oleh negara superpower dikembangkan dan digunakan sebagai simbol kekuatan yang dapat memberi jaminan keamanan bagi negara periphery ketika menjadi anggota aliansi militer yang dibangun negara core. Nuklir terus dikembangkan untuk menjaga sphare of influence negara core.

Karena fungsinya yang sudah bertransformasi dari senjata menjadi alat diplomasi yang ampuh, Negara-negara lain juga tertarik mengembangkan teknologi nuklir. Korea Utara misalnya, motif regime survival adalah alasan pertama pengembangan nuklirnya. Meski perang Korea telah berakhir sejak tahun 1953, namun, secara teknis perang belum berakhir mengingat perang orea mereda sejak ditandatanganinya perjanjian gencatan senjata, bukan perjanjian damai. Korea Utara masih merasa terancam dengan penempatan 27.000 pasukan AS di Korea Selatan, dtambah 47.000 tentara AS lainnya di Jepang. China sendiri, mengalami 3 kali ancaman perang nuklir dari AS pada dekade 1950-an. Dengan berhasilnya uji coba nuklir China tahun 1964, Presiden AS, Richard Nixon melakukan kunjungan ke Beijing untuk melakukan normalisasi hubungan AS-China. 


Korea Utara juga mengembangkan nuklirnya untuk tujuan ekonomi. Peningkatan posisi tawar dengan memiliki nuklir, dimanfaatkan Korea Utara untuk memeras negara tetangganya untuk memberi bantuan ekonomi. Hal ini pernah berhasil ketika Korea Utara sempat mengehntikan proyek nuklirnya dengan barter bantuan bahan makanan dan bahan bakar dari China dan Korea Selatan.

Motif lainnya adalah mengangkat status Korea Utara di mata dunia. Korea Utara selalu ingin melakukan negosiasi langsung dengan AS dan bukannya Korea Selatan yang dianggapnya hanya sekadar negara boneka AS.

Kapan Terjadinya Revolusi Persenjataan?
Dalam monograph-nya yang berjudul Recognizing and Understanding Revolutionary Change in Warfare: The Sovereignity of Context , Colin S. Gray mendebatkan persoalan aktual Revolution in Military Affairs (RMA), di mana dia ingin meyakinkan publik bahwa hal paling krusial dalam urusan perang adalah konteksnya. Dia mengingatkan, transformasi yang sangat cepat hanya terjadi pada beberapa kasus yang sifatnya strategis saja. Gray juga mengatakan, catatan sejarah menunjukkan sangat jelas di mana setiap perubahan yang sifatnya revolusioner dalam perang pada akhirnya –kurang atau lebih– ternetralisir oleh penangkal-penangkal yang satu atau lainnya (political, strategic, operational, tactical, and technological).
 

Gray mengingatkan efektivitas milter dalam proses perubahan yang sifatnya revolusioner dalam sebuah “way of war” hanya dapat dinilai dengan percobaan perang. Perang menurutnya adalah sebuah kondisi yang tercipta akibat ketidakpastian. Jadi, siapa saja yang ingin menawarkan nasehat startegis harus melakukan hal terbaik dengan informasi yang sempurna dan menghilangkan bias-bias yang diakibatkan oleh perbedaan konteks (ruang dan waktu) saat terjadinya perang dan saat menulis.

Berbicara menganai warfare (atau secara sederhana diartikan sebagai perang, peperangan dan bagaimana perang diselenggarakan) adalah berbicara mengenai konteks. Konteks politik adalah ruang yang menyediakan makna untuk perang dan bagaimana dia diselenggarakan. Pembahasannya jauh lebih kompleks dari sekadar pentingnya kecanggihan militer atau apa yang oleh Clausewitz dinamakan ‘grammar of war”. Gray dalam tulisan ini ingin menggali aturan main dari 6 konteks prinsip dari warfare. Meski keenamnya terpisah satu sama lain, namun semuanya saling mempengaruhi. Keenam konteks di bawah ini, dapat membawa perubahan dalam dalam cara penyelenggaraan perang.

1. The political context. Jika tidak ada konteks politik, di sana tidak ada perang. Karena, kekutan militer dalam Negara, tidak bisa diceraikan dari pengaruh sosial dan politik. Perang terjadi bukan karena perubahan pada tubuh militer atau terjadi revolusi. Seperti ketika mengubah konteks politik, insentif untuk inovasi militer juga akan berubah.

2. The strategic context. Seperti dalam konteks politik, konteks strategis menunjukkan hubungan anatara permintaan politik dan penawaran militer. Hanya dengan posisi yang tak pasti konsep strategic context bisa dimengerti. Strategi adalah jembatan antara tujuan politik atau kebijakan politik dan instrument militer. Di sini, Gray menjelaskan strategic context sebagai tugas atau misi untuk mengerahkan pasukan dengan sebuah kebijakan.

3. The social-cultural context. Warfare (bagaimana perang diciptakan) memiliki banyak dimensi. Dan strategic study harus dibuat secara holistik. Sosio-kultural seperti membuktikan dengan lebih menampakkan pada tahap awal prospek untuk perubahan secara revolututif dalam warfare melebihi tes rudal, kontrak pertahanan, manufer militer, dan sebagainya.

4. The economic context. Jarang perang atas dasar alasan ekonomi. Tetapi, warfare adalah prilaku ekonomi, dan hanya karena itu harus juga menjadi prilaku pemenuhan logistik. Perubahan yang sifatnya revolutif dalam warfare tidak membutuhkan kemampuan revolusi ekonomi. Karena sejarah strategi dan politik adalah sejarah ekonomi juga.

5. The technological context. Warfare selalu memiliki sebuah konteks teknologi, tetapi konteks ini tidak selalu menjadi hal paling prinsip dalam perubahan yang sifatnya revolutif. Scholars menggarisbawahi hal ini ketika belajar memisahkan antara Military Technical Revolution (MTR) dan RMA.

6. The geographical context. Tidak ada studi tentang bagaimana perang diciptakan mengabaikan konteks geografi.



Thursday, April 8, 2010

Keluar Mulut Singa, Masuk Rahang Buaya

Perjalanan pulangku dari Banjarmasin menuju Jakarta pada 23 September 2009 menyisakan sebuah cerita. Miris. Ini adalah fragmen atas gambaran kondisi penerbangan sipil di tanah air. Ibarat keluar mulut singa, masuk rahang buaya.

Bandara Syamsudin Noor masih lengang ketika embun pagi kota Banjarmasin belum juga mengering. Untuk menghangatkan badan, aku memesan segelas capucino di kafe yang berada tepat di depan pintu masuk bandara. Dari sana aku liat, orang-orang berpamitan dengan para pengantar. Ada beberapa pemandangan perpisahan yang mengharukan. Seorang anak kecil yang mungkin harus pergi ke suatu tempat diantar oleh beberapa orang yang aku duga adalah kedua orangtua dan saudara-saudara kandungnya. Cium dan peluk sepasang kekasih yang mungkin tidak mengingingi momen perpisahan, dan berbagai pemandangan ‘upacara’ perpisahan lainnya telanjang aku nikmati.

Tepat pukul 6 pagi Wita, aku mengantri untuk check-in di loket Batavia Air. Aku dilayani oleh seorang bernama Ali Rusli. Dia menginformasikan kalau pesawatnya rusak. Sementara spare parts-nya menunggu dikirim dari Jakarta. Dan penerbangan pun dibatalkan. Aku diminta ke loket untuk mendapatkan uang ganti sejumlah harga tiket. Dan aku direkomendasikan oleh petugas itu untuk berangkat dengan menggunakan pesawat dari maskapai Lion Air.

Memang, petugas itu membantuku untuk memesan sebuah tempat di maskapai itu. Namun, pihak Batavia awalnya tidak mau mengganti selisih harga antara Batavia dan Lion. Sehingga aku harus menanggung selisih biaya itu. Aku menolak tawaran Ali! Aku tetap dalam posisiku tetap meminta pihak Batavia menanggung seluruh ongkos perjalananku ke Jakarta. Logikanya, aku telah memepercayakan penerbanganku dengan Batavia, dan ketika ada kerusakan pada pesawat Batavia, mengapa aku harus menanggung sendiri akibat dari kerusakan itu? Kutolak penawaran pihak Batavia. Aku tetap meminta tiket ganti tiket. Tidak peduli mau bagaimana caranya.

Beberapa penumpang lain menerima saja tawaran itu. Ada yang langsung mencairkan tiket mereka dengan uang, ada yang menerima informasi lanjutan dari pihak Batavia, tentang kapan pesawat itu akan diterbangkan. Ada juga yang merasa beruntung dengan gagalnya penerbangan hari itu.

Kekisruhan sempat juga terjadi di pagi naas itu. Aku mengajak seorang penumpang lain yang juga merasa dirugikan terus menuntut pertanggungjawaban dari pihak Batavia. Aku sendiri jujur tidak mau berurusan dengan Ali. Aku tahu, dia hanya orang yang dipakai Batavia untuk pasang badan. Aku meminta Ali untuk mempertemukanku dengan orang yang paling bertanggungjawab atas situasi ini. Aku paham, posisi Ali yang menurut pengakuannya sebagai pegawai rendahan yang tidak bisa membuat keputusan. Tapi, aku mulai menjadi berang ketika Ali mengatakan kalau managernya tidak ada di tempat. Jujur aku mulai curiga.

Aku dan Ari Asmoyo –kuketahui lebih lanjut, dia adalah seorang karyawan yang bekerja di kawasan Mega Kuningan Jakarta, sepakat untuk memberikan ‘pelajaran’ untuk Batavia dan rekan-rekan sesama penumpang lain yang terkesan lebih pasrah dan mengalah.

Ke mana pun Ali pergi, kubuntuti dia. Dia tampak clingusan. Sesorang di ujung telepon, berbicara ke Ali. Aku yakin, orang di ujung telepon itu adalah manusia yang kucari. Ali berusaha menutup-nutupi mulutnya. Dia tak mau aku tahu apa isi pembicaraannya. Sesaat aku mendengar dia berbisik, “Iya, cuma dua orang saja kok!”

Tak lama, wajah Ali tampang sumringah. Dia mengajak aku dan Ari, berunding di salah satu pojok bandara. Dia membawa kabar baik buat kami berdua. Orang di ujung telpon mau menanggung selisih harga tiket. “Tapi, jangan bilang-bilang yang lain yah!” pesan Ali. Aku dan Ari hanya beradu pandang.

Setelah tiket Lion Air kami terima dari Ali, kuucapkan terima kasih kepadanya. Kemudian, aku pergi ke salah satu lounge di bandara. Dia mentraktirku. Pagi itu, dua kali akusarapan makanan ringan. Di sana, kita membahas apa yang baru saja terjadi.

Ari menilai janggal peristiwa ini. ”Mengapa pihak Batavia tiada berani memunculkan batang hidungnya yah?” tanyanya memulai.

“Aku rasa ini peristiwa biasa.”

“Maksudnya?”

“Tolong-menolong antarmaskapai! Alasannya sederhana saja, sepi penumpang. Terus dibilang rusak. Kalau sudah rusak, mau gimana? Penumpanglah akhirnya yang dikorbankan. Dia harus menanggung sendiri selisih harga tiket,” komentarku menduga-duga.

Akhirnya, kami sepakat pada kesimpulan ini. Entah benar atau salah. Intinya, kami tidak mau percaya begitu saja apa alasan yang diberikan oleh pihak maskapai. Karena, seharusnya bukan orang semacam Ali yang bisa menentukan jadwal keberangkatan dan penundaan keberangkatan pesawat. Apakah tidak ada engineer yang bertugas pagi itu? Kalau benar rusak, masa iya Ali dan pihak Batavia lain tidak tahu apa kerusakannya? Benar kata Ari. Janggal!

Tak berselang lama, seorang petugas memanggil melalui alat pengeras suara supaya penumpang Lion lekas masuk ke pesawat. Kami pun bergegas segera. Saat pesawat sedang berjalan lambat menuju ke landasan pacu utama sebelum take off, tiba-tiba mesin pesawat Lion mati mendadak. Semua penumpang panik. Tiada informasi dari kapten pesawat mengenai peristiwa ini. Hal ini membuat kondisi semakin runyam. Hal ini membuat geram salahseorang bapak dan dengan emosi dia memasuki cockpit. Mereka beradu mulut di sana. Penumpang itu akhirnya diusir oleh pilot. Kami dikembalikan ke ruang tunggu. Aku dan dan Ari hanya bisa geleng-geleng kepala. “Keluar mulut singa, masuk rahang buaya,” katanya.

Beberapa penumpang memutuskan meminta ganti rugi kepada pihak Lion. Mereka memutuskan berpindah ke pesawat Garuda. Aku yakin, hal yang kurang-lebih sama pagi tadi terjadi di loket Lion. Aku dan Ari masih mempercayakan penerbangan bersama Lion. Menunggu kabar selanjutnya. Setelah kembali ke pesawat, aku melihat Wakil Ketua MPR RI, AM Fatwa bersamaku. Dia sedang mencoba menasehati pilot Lion.

“Ini bukan urusan kesalahan teknis atau apa. Ini persoalan emosi penumpang. Makanya kamu tidak boleh dengan emosi! tegur Fatwa kepada kapten pesawat.

Kami, tiba di Jakarta menjelang tengah hari dengan membawa oleh-oleh cerita. Cerita wajah penerbangan sipil di tanah air. Miris!

Jakarta, 23 September 2009

Wednesday, April 7, 2010

PERJUANGAN MEREBUT KEMBALI TANAH ULAYAT

Konflik antara sejumlah suku Melayu Petalangan dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit pemegang hak hutan tanaman industri belumlah usai sejak tahun 1987. Setelah dimakan waktu lebih dari 20 tahun, konflik itu bukannya makin mereda, tapi justru semakin meruncing. Dan, hal ini adalah semacam bom waktu.

Rahman GR, Kepala Suku Ketujuh Penghulu Setio Diraja, Petalangan, menuruturkan kisahnya kepada penulis beberapa waktu lalu. Usahanya menuntut keadilan bagi tanah ulayat yang ‘dirampas paksa’ oleh perusahaan yang menanam kelapa sawit, masih ia perjuangkan.

Rahman ditemani oleh tiga rekannya yakni Basri L dari suku Mandailing, Nazarudin US (Medang) dan Rohiman dari suku Madang, tergabung dalam satu payung yakni LSM Gema Bunut, mendatangi Badan Pertanahan Nasional, Rabu (25/4/2007). Di sana, mereka diterima oleh Harno, Staf Direktur Konflik BPN.

Menurut Rahman, BPN mau menjadi fasilitator bagi penyelesaian konflik tanah ulayat yang melibatkan PT. Serikat Putra yang tak lain merupakan salah satu anak perusahaan Salim Groups.

Konflik itu bermula dari kedatangan PT Serikat Putra mematok dan menguasai sekitar 12 ribu hektar lahan ulayat mereka. Perusahaan itu, belum mengganti rugi (pembebasan tanah) tanah masyarakat adat 10 desa ulayat penghulu setio seluas 7116 hektar, dalam areal HGU perusahaannya. Kesepuluh desa itu adalah desa Tambun, Lubuk Raja, Pengkalan Tampoi, Sialang Godang, Lubuk Kerongi, Terbangiang, Tanjung Air Hitam, Angkasa, Lubuk Terap, Balam Merah. Dengan jumlah 2.498 kepala keluarga mereka berada di kecamatan Bunut, Bandar Petalangan dan Kerumutan.

“Hanya 5706 hekatar yang diganti rugi dengan nilai Rp 607 juta. Padahal, standar minimumnya adalah waktu itu satu hektarnya Rp 750 ribu. Dari situ saja kita sudah dirugikan sebesar Rp 17 miliar,” kata Rahman.

Ditambahkan Rahman, dengan telah ditetapkannya Perda No.12 Tahun 1999, tentang hak tanah ulayat, juga berdasarkan Permenneg Agraria Permenneg Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah tanah ulayat masyarakat hukum adat maka, dengan itu, kata Rahman, HGU PT Serikat Putra tidak dapat lagi diterbitkan demi hukum di atas tanah ulayat hukum adat seluas 7900 hektar, yang telah diblokir 15 Maret 1999. Tetapi, justru pada 28 September 1999, HGU itu keluar.

Akhir tahun 1998 terjadi aksi pembakaran kebun sawit karena buntunya proses nogosiasi. Tanggal 15 April 1999 hingga Agustus 2000, Rahman harus menghirup udara di dalam bui di LP Bangkinang, Pasir Pangaraian, dan Rengat. Sempat pula, dia mendapat tawaran ‘damai’ dari perkebunan sawit itu untuk menghentikan langkah masyarakat yang memperkarakan lahan HGU-nya. Tahman terus diiming-imingi uang Rp 7 miliar dan pembebasan dari tuntutan. Namun, Rahman masih tegas pada perinsipnya, maka tawaran manis yang perusahaan itu berikan lewat begitu saja.

Tahun 2003, masyarakat juga ditawari Rp 18 miliar untuk ganti rugi 1.000 hektar lahan. “Kalau saya mau, saya cepat kaya. Bisa saja saya mengambil uang itu,” katanya.

Usaha Rahman setelah keluar dari LP ia lanjutkan, ia bersama LSM-nya menemui DPR, Komnas HAM, kepolisian, dan pihak-pihak lain mencari dukungan untuk pengembalian hak ulayat mereka.

Go To Hell With Your Aid

Go to hell with your aid adalah pernyataan Soekarno dalam konteks penolakan bantuan asing (baca: Amerika Serikat) yang memiliki tujuan politik tertentu yang dapat mengurangi kedaulatan Indonesia dalam pelaksanaan garis politik ekonomi berdikari (beridi di atas kaki sendiri).  Pernyataan itu, dikutip kembali oleh Menteri Perhubungan Freddy Numberi ketika memberikan keynote speech dalam Simposium dan Lokakarya Papua di Gedung AJB FISIP UI, Depok, Rabu (7/4).

Freddy membenarkan pernyataan Soekarno ketika mengamati 'pembangunan' di Papua, khususnya melihat kasus Freeport setelah konsesi selama 30 tahun (dari tahun 1967-1997, red). Dia menceritakan pernah diundang dalam sebuah rapat pada zaman pemerintahannya Habibie untuk membahas persoalan ini dan dia meminta pemerintah menutup Freeport. Karena, meski beroperasi di Papua, Freeport tidak memberikan kesempatan bagi orang Papua untuk bekerja di sana. "Yang bekerja di sana kalau tidak orang Australia, Amerika, dan Kanada!" katanya. Dalam kesempatan itu, Freedy mengaku walk out karena baginya hal ini bukan sekadar persoalan pembangunan ekonomi, melainkan persoalan human touch.

Freddy menegaskan ada persoalan serius di bangsa ini yang harus segera dibenahi, khusus menyangkut persoalan integrasi sosial. "Sebagai warga negara Indonesia, menjadi kabur ketika menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna." Dengan kata lain, kata Freddy selama ini Papua tidak menjadi apa-apa.  


Cara berpikir yang mengedepankan parqadigma agama dan etnis, menurut Freddy adalah hal yang membuat rusak bangsa ini. Sikap-sikap yang memandang warga Papua sebagai kelas dua, dicurigai keberadaannya, tidak layak menduduki posisi-posisi strategis seperti menjadi Kapolda, Pangdam dan sebagainya dikarenakan melulu karena mereka berasal dari Papua dan beragama Kristen adalah contoh yang dipaparkan Freddy. "Padahal para pendiri negara ini tidak pernah berpikir dalam paradigma itu. Asal kamu merah-putih, titik!" kenangnya.  Affirmative Actions adalah resep yang ditawarkan Freddy khusus bagi orang Papua di Indonesia.

Korupsi
Sementara, Gubernur Papua Barnabas Suebu melihat rendahnya kualitas human development index Papua dikarenakan tiadanya good governance dan menjamurnya korupsi di kalangan para birokrat Papua selama ini. Barnabas mengaku selama dia menjabat, dia telah melakukan reformasi birokrasi dan anggaran. Dari tadinya anggaran untuk aparatur sekitar 70 persen dari APBD Papua, dipotong menjadi 27 persen. Untuk pembangunan infrastruktur ditingkatkan angkanya dari 20 menjadi 27 persen. Sementara untuk subsidi ke kampung-kampung, Barnabas meningkatkan jumlahnya dari 10 persen menjadi 45 persen.

Barnabas juga mengaku sedang melaksanakan program food security guna menjamin kualitas generasi Papua ke depan. Hal ini di dasari oleh sebuah temuan hasil penelitian tingkat keterdidikan yang dilakukan oleh Conny R. Semiawan. Di mana, 77 persen anak usia dini (sampai usia 8 tahun) di Papua diprediksi tidak mampu mengikuti pendidikan formal sesuai kurikulum nasional. Conny yang juga hadir di situ menceritakan bagaimana saat Ujian Nasional (UN) dilaksanakan di Papua. "Seluruh pihak di sekolah, guru, siswa melakukan apa saja untuk lulus UN. Dan semua itu dilakukan atas nama peningkatan kualitas mutu pendidikan!" katanya miris. *** (awi)

Tuesday, April 6, 2010

Mari Bekerjasama Memerangi Kemiskinan?

Ada yang menggelitik saat aku bersama pacarku mengikuti misa malam Paskah kemarin di Katedral. Sesuatu yang menaarik itu adalah tulisan "Mari Bekerjasama Memerangi Kemiskinan" tema Aksi Puasa Pembangunan yang dituliskan pada sampul buku panduan perayaan misa Pekan suci. Aku berharap, saat homili, pastor pemimpin misa akan menjelaskan bagaimana Gereja Katolik Jakarta akan memerangi kemiskinan.

Dugaanku meleset. Pastor itu tak banyak menyinggung bagaimana tema itu diterjemahkan dalam proses menggereja di Jakarta. Aku kemudian terdiam sesaat. Otakku sesaat bermain dengan isu ini. Aku mengakui saat itu aku tak sanggup menjawab sendiri pertanyaan itu. Mungkin, karena aku jarang ke gereja ini, bisa jadi tema itu sudah dibahas pada masa prapaskah.

Seorang kawan kutanyai soal ini. Dia mengatakan, biasanya, tema-tema itu akan diperinci pada pertemuan-pertemuan di tingkat lingkungan atau komunitas basis. Untuk sementara, aku kembali percaya. Dan kembali, meletakkan kesalahannya kepada diriku sendiri yang tidak pernah aktif sebagai orang muda lingkungan di paroki tertentu.

Akhirnya aku sedikit menemukan 'pencerahan'. Aku berkunjung ke website resmi Keuskupan Agung Jakarta (http://kaj.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=99&Itemid=50). Di sana kudapati, alasan KAJ memilih tema ini adalah KAJ ingin mentargetkan kerjasama dan fokusnya adalah memerangi kemiskinan. Cara yang ditawarkan adalah dengan membuat dua gerakan; ke dalam dan ke luar. Ke dalam ruang jangkauannya adalah ke dalam keluarga sementara ke luar adalah bekerjasama dengan siapa saja mengetaskan kemiskinan namun lebih sifatnya ke luar lingkungan keluarga.

Sebenarnya pencarianku belumlah berakhir sampai di sini. Jujur, aku ingin mengawal dan berpartisipasi untuk suksesnya tema ini. Aku melihat, gereja sudah punya niat yang mulia untuk melawan hantu kemiskinan. Pertanyaannya adalah, bagaimana tema semulia ini bisa bekerja pada level operasional di tingkat basis? Bagaimana KAJ menggunakan 'mesinnya' (hierarkinya) untuk menyukseskan tema ini? Sejauh mana partisipasi masyarakat dibutuhkan? Lewat ruang-ruang seperti apa tema ini akan dibahas? Dan bagaimana kerjasama memerangi kemiskinan ini dapat dinilai tingkat keberhasilannya? Adakah target tertentu? Adakah mekanisme kontrol untuk memastikan prinsip transparansi dan akuntabilitas dapat bekerja?

Pertanyaan-pertanyaan itu tentu saja tidak harus dijawab segera. Harapku, dari pihak gereja mau semakin membuka diri agar umat tak hanyut dalam keindahan bahasa dalam tema, melainkan dapat secara gamblang ikut berpartisipasi, termasuk mengontrol kerja bersama ini. Jangan ada korupsi dalam gereja! Mengutip Montesquieu dalam konteks yang sedikit berbeda karena ia menjelaskan dalam sistem negara, di mana korupsi terjadi ketika tiga cabang kekuasaan negara ini disatukan. Ia menyatakan bahwa bukankah sebab dari korupsi adalah ketika para pembuat (legislators), pelaksana aturan hukum (executive institution), dan penegak hukum (law enforcers) tidak dipisahkan dan menyatu dalam diri seorang penguasa lalim?

Monday, April 5, 2010

Siapa Juara?

Wajah-wajah ini adalah mata rantai yang sanggup menghubungkan aku pada masa lalu dan masa depan. Mereka adalah orang-orang muda biasa. Mereka adalah sahabat-sahabatku. Atau, bolehlah kusebut saudara

Kami disatukan dalam satu masa. Dalam irisan dimensi ruang dan waktu yang cukup lama, 17 tahun. Sekolah, olahraga, dan tempat nongkrong yang sama adalah 'rumah' perjumpaan kami. Kami pun, punya sesuatu yang sama yaitu hobi bermain playstation. Jika sudah menyinggung hal ini, tak ada satu pun yang pernah mengaku kalah. Ribuan partai digelar untuk mencari siapa yang terbaik dalam bermain sepak bola dalam alam virtual. Namun, tak satu pun yang merasa pernah dikalahkan. Aneh, Semuanya mengaku juara.   

Friday, April 2, 2010

Dilema Keamanan Baru Hubungan AS-Rusia

Oleh Awigra, Lia Fauziah, dan Sabriana

Adigium yang abadi dalam politik adalah tidak ada kawan atau lawan abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan. Hal ini juga berlaku dalam politik antarnegara. Paska perang dingin, ketika Pakta Warsawa membubarkan diri, eksistensi NATO seolah menemui tantangan baru. Aliansi strategis militer yang dibangunnya seolah menemui jalan buntu. NATO, terus memperbaharui dirinya. Ia perlahan-lahan mulai menarik simpati dari bekas “lawan-lawannya”.

NATO, bab baru dimulai, bab kedua dari Aliansi; sebuah bab yang bisa saja berjudul "konsolidasi Eropa". NATO mengulurkan tangan untuk Eropa Tengah dan Timur, melalui kebijakan kemitraan dan dengan membuka pintu NATO bagi anggota baru . Aliansi juga memainkan peran utama dalam melibatkan Rusia dalam peran barunya di Eropa. Amerika Serikat yang sangat menguasai NATO, memanfaatkan hal tersebut dalam beberapa kepentingan nasionalnya.

Menurut Barry Buzan dalam People, States and Fear: an Agenda for International Security Studies in the Post Cold War Era bahwa penerapan strategi keamanan suatu negara selalu memperhitungkan aspek-aspek threat (ancaman) dan vulnerability (kerentanan) negara tersebut. Selain itu, ancaman dan kerentanan merupakan dua konsep yang berbeda namun memiliki keterkaitan yang erat di dalam perwujudan keamanan nasional. Suatu ancaman terhadap keamanan nasional yang dapat dicegah akan mengurangi derajat kerentanan suatu negara pada keamanan nasionalnya. Kedua aspek dari keamanan nasional tersebut sangat ditentukan oleh kapabilitas yang dimiliki negara tersebut.

AS dan Rusia sebagai contohnya, beragam upaya yang dilakukan dari kedua pihak demi terciptanya kepercayaan untuk mengurangi timbulnya konflik mengalami jalan yang rumit. Hal tersebut dikarenakan adanya faktor sejarah yang kurang harmonis di antara kedua negara ini. Sehingga, apapun yang dilakukan oleh masing-masing pihak, diperlukan keterbukaan atau transparansi yang jelas. Dalam makalah ini, penulis akan mengangkat isu kerjasama yang diupayakan AS dengan former Pakta Warsawa yaitu Polandia, dimana AS berencana menempatkan 10 penangkal rudal di Polandia serta radar pembimbing di Ceko dengan alasan sebagai bentuk antisipasi serangan rudal dari Iran dan Korea Utara, akan tetapi hal tersebut dipandang beda oleh Rusia karena dianggap mengancam keamanan negaranya. Isu ini merupakan segelintir isu yang acap kali menghambat diplomasi pertahanan AS dan Rusia.

Apa masalahnya?
Kasus penempatan sistem penangkal Misil AS di Polandia yang membuat geram pihak Rusia, dibahas dalam makalah ini dalam perspektif diplomasi pertahanan. Meliputi bagaimana strategic engagement bekerja? Apa tujuan dan kepentingan yang akan dicapai pihak AS maupun Polandia melalui kerjasama ini? Jenis-jenis kerjasama apa saja yang disepakati oleh kedua negara? Dan bagaimana respon Rusia melihat kerjasama ini?

Strategic Engagement
Secara sederhana, pengertian strategic engagement adalah kerjasama dan bantuan militer dipergunakan untuk membangun hubungan kerjasama dengan bekas musuh atau pihak yang berpotensi menjadi musuh , yang bertujuan sebagai bentuk usaha kerjasama strategis seperti bantuan militer yang mencakup pembelian alutsista, pembangunan pangkalan militer, dan pemberian security umbrella (dari satu pihak/kedua belah pihak). Selain itu juga bentuk kerja sama yang berlangsung dalam bentuk long-term relationship dan dapat berbentuk apa saja seperti diplomasi contohnya.

Strategic engagement sendiri sejarahnya tak lepas dari revolusi persenjataan atau yang sering dikenal Revolution in Military Affairs (RMA). Gagasan revolusi militer tumbuh dari Soviet sekitar 1970-an dan 1980-an, khususnya ketika dirilis serangkaian makalah yang ditulis oleh Marsekal NV Ogarkov menganalisis potensi teknologi revolusioner militer baru. Sebagai Marxis, dan Ogarkov rekannya merasa nyaman dengan ide bahwa sejarah didorong oleh revolusi. Studi-studi awal berbicara tentang "revolusi teknis militer" (MTR).

Tapi analis ini dengan cepat menemukan kekurangannya ketika terlalu membatasi pada urusan teknis dan kemudian berkembang menjadi konsep lebih holistik yaitu RMA. Seperti yang bisa diharapkan dengan ide baru, analis dari RMA belum sepenuhnya setuju pada maknanya. Futuris Alvin dan Heidi Toffler, menggunakan definisi membatasi didasarkan pada tingkat makro struktur perekonomian. Mereka menulis, “sebuah revolusi militer, dalam arti sepenuhnya, terjadi hanya ketika sebuah peradaban baru muncul untuk menantang peradaban yang lama, ketika seluruh masyarakat mentransformasikan dirinya, memaksa para angkatan bersenjata untuk mengubah pada setiap tingkat secara bersamaan-dari teknologi dan budaya untuk organisasi, strategi, taktik, pelatihan, doktrin, dan logistik. Ketika ini terjadi, hubungan militer terhadap perekonomian dan masyarakat adalah dan mengubah keseimbangan kekuatan militer di bumi .

RMA telah mengubah cara pandang banyak pakar kemiliteran mengenai peran militer dewasa ini. Hasil dari pesatnya perkembangan RMA juga dimanfaatkan oleh negara-negara core melalaui strategic engagement dengan negara periphery untuk memperluas pengaruh dan untuk mencapai kepentingan nasionalnya secara lebih luas. Sementara bagi negara periphery, strategic engagement dimanfaatkan untuk memperkuat kapabilitas pertahanan sambil memanfaatkan hubungan strategis yang terjalin, serta memperkuat kapabilitas pertahanan negara secara material. Selain membuktikan bahwa dalam politik tidak ada lawan atau kawan abadi, dan yang abadi hanyalah kepentingan, hal ini sekaligus menunjukkan bahwa dunia tidak pernah sepi dari sistemnya yang anarki.

Konflik
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, negara akan terus berupaya untuk menjamin keamanan negaranya melalui hubungan kerjasama dengan negara lain seperti memberikan bantuan militer kepada suatu negara, diplomasi untuk pembelian senjata sebagai bentuk usaha pengembangan kekuatan pertahanan, dan sebagainya. Dalam penulisan makalah ini, penulis menitik beratkan hubungan kerjasama antar dua negara sebagai bentuk upaya memperkuat kapabilitas negara tersebut, yakni AS sebagai negara adidaya yang terus berusaha untuk mengembangkan pengaruh hegemoninya dibeberapa negara eks- Uni Soviet (Polandia) dengan membangun pangkalan pertahanan rudal AS di Polandia serta radar pembimbing di Republik Ceko dengan tujuan melalui sistem tersebut akan melindungi AS dan negara-negara sekutu di Eropa dari serangan sistem kerja rudal yang diluncurkan oleh Iran dan Korea Utara.

Demikian sebaliknya, bentuk dari kerjasama AS dengan bantuan NATO yang bekerjasama dengan Polandia dan Republik Ceko ini menimbulkan kekhawatiran yang sama dari pihak Rusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa kerjasama dalam bidak militer masih dianggap sensitive issue oleh beberapa kalangan karena dapat menimbulkan ketegangan maupun dilemma.

Tidak dapat dipungkiri bahwasannya setiap tindakan yang dilakukan oleh suatu negara baik dalam bentuk kerja sama dalam sektor pertahanan dengan negara lain, dapat memicu kekhawatiran pihak ketiga, apalagi pihak tersebut memiliki latar belakang yang kurang baik dengan pihak pertama. Sebagai contoh, Rusia yang bekerjasama dengan India dalam pembuatan Jet Siluman dengan sandi T-50 yang diperkirakan akan siap untuk dipakai pada tahun 2015 , memicu kekhawatiran Pakistan, serta saingan regional India yaitu China. Walaupun kerjasama tersebut belum ditentukan kapan penandatanganan kedua negara direalisasikan, akan tetapi dampak yang ada sudah diprediksi.

Upaya Diplomasi AS dalam melakukan pendekatan ke Polandia
Dikutip dari harian Polandia Gazeta Wyborcza mengatakan bahwa di awal 1990an, Amerika Serikat dan Polandia memiliki kepentingan sama, yaitu ingin menancapkan demokrasi di Eropa Tengah, sekaligus menggiring bagian timur benua ini ke dalam struktur politik dan ekonomi Eropa Barat . Polandia yang secara resmi bergabung dengan NATO di akhir tahun 1990-an, berharap agar dengan aliansi tersebut dapat memperkuat sistem kapabilitas pertahanan negaranya yang merupakan negara bekas Pakta Warsawa. Dijelaskan oleh Cottey and Forster bahwa diplomasi pertahanan merupakan bentuk dari kerjasama pada masa damai dengan menggunakan armed forces sebagai bentuk kebijakan luar negeri dan pertahanan.

Selain itu, Pemerintah AS juga sudah lama merencanakan pembangunan sistem pertahanan misil di Polandia . Perundingan yang ada selama ini terbilang cukup alot, sampai akhirnya pada tahun 2008, Polandia sepakat untuk menerima AS membangun pangkalan pertahanan rudal di negaranya dengan imbalan berupa peningkatan pertahanan udara Polandia oleh AS. Selain itu, Polandia berpandangan bahwa dengan menyetujui pembangunan ini, akan menciptakan keamanan regional. Sedangkan dari pandangan AS, AS memiliki kekhawatiran terhadap rudal Iran dan Korea yang berpotensi nuklir dapat membahayakan sistem keamanan negaranya serta negara-negara sekutu yang berada di Eropa. Pro dan kontra dari perencanaan ini memang cukup menarik perhatian pengamat politik. Polandia pun ikut dikecam telah memprovokatori goyangnya hubungan AS dan Rusia, dimana kedua negara tersebut memiliki masa lalu yang kurang harmonis.

Dari kubu Pemerintahan Ceko pun sangat antusias dalam perencanaan ini karena hal tersebut dianggap sebagai langkah penting dalam usaha mereka untuk melindungi bangsanya sebagaimana dicerminkan dalam pernyataan berikut: “This agreement is an important step in our efforts to protect our nations and our NATO allies from the growing threat posed by the proliferation of ballistic missiles and weapons of mass destruction.”

Menurut AS, dengan ditempatkannya penangkal Rudal tersebut akan melindungi AS dari kemungkinan ancaman bahaya yang ditimbulkan oleh negara-negara di kawasan Timur Eropa maupun negara-negara utara. Penempatan Rudal AS di Polandia pada hakekatnya ditujukan untuk menangkis serangan rudal dari Korea Utara dan Iran. AS juga mengantisipasi dari dampak yang mungkin ditimbukan dari pengembangan Rudal Shihab 3 Iran di kawasan Timur-Tengah. Sebagaimana yang diketahui, Iran yang dalam pandangan AS menjadi bagian dari negara-negara utara, terus meningkatkan kapabilitas pertahanannya khususnya di bidang nuklir. Rudal Shihab Iran sendiri merupakan rudal darat yang memiliki jarak tembak sejauh 1.300 km dengan kemampuan lainnya yaitu membawa sekitar 1.000 kilogram bahan peledak . Dalam contoh kasus inilah AS berusaha mengawasi perkembangan pertahanan negara lain dengan salah satunya menempatkan rudalnya di Polandia tersebut.

Walaupun demikian, diplomasi AS ini dianggap Rusia mengancam keamanan Rusia. Hal tersebut dikarenakan kerjasama ini dianggap sebagai adalah langkah strategis untuk proses cari perluasan NATO ke arah timur serta memperkuat NATO dalam mengawasi serta mengontrol penempatan dan pengerahan tentara Rusia.

Dampak Penempatan Rudal AS di Polandia
Keberatan dengan Hubungan Rusia—AS yang pasang surut sejak Uni Soviet masih berdiri sampai keruntuhannya di tahun 1990-an, memberikan dampak ketegangan baru di kawasan Eropa Timur. Dalam rangka memperluas hegemoninya, AS telah mencapai kesepakatan dengan Polandia dan Republik Ceko dalam rangka menempatkan sistem pertahanan rudalnya di kawasan tersebut. Menteri Luar Negeri AS saat itu—Condoleeza Rize—dengan Menteri Luar Negeri Polandia—Radek Sikorski—akhirnya menandatangani kesepakatan penempatan rudal tersebut.

Dampak yang dapat dipastikan dalam kesepakatan ini tentu saja mengarah kepada Rusia, yang memang sejak awal negosiasi tersebut berlangsung, merasa keberatan. Rusia merasa penempatan Rudal AS di negara eks-pakta Warsawa karena menurut Rusia, AS bertujuan memata-matai gerak-gerik Rusia dan negara di kawasan Timur lainnya khususnya dalam segi pertahanan keamanan yang dapat juga dilihat sebagai keparanoidah AS terhadap peningkatan kapabilitas pertahanan dalam persenjataan . Selain itu, dilihat dari lokasi penempatan rudal di Polandia ini juga menjadi ancaman tersendiri bagi Rusia yang dirasakan AS sedang mengepung blokade Timur terlebih Rusia sendiri karena jarak yang dekat antara Rusia dengan Polandia.

Ancaman yang lebih teknis bagi Rusia juga dikarenakan rudal tersebut dapat mengunci posisi rudal Rusia. Sebelum kesepakatan AS-Polandia ini dibuat, Rusia sebenarnya telah menawarkan AS dalam penggunaan pangkalan radar Rusia yang terletak di Azerbaijan. Pangkalan rudal ini merupakan sebuha instalasi radar peringatan dini (early warning radar). Pangkalan radar ini dapat menjangkau Iran, Turki, India, Irak dan beberapa negara lainnya. Namun AS menolak tawaran tersebut karena memiliki tujuan yang berbeda.

Tujuan yang berbeda ini direalisasikan AS dengan penempatan Rudalnya di Polandia dan hal ini menjadi jawaban AS atas tawaran Rusia tersebut. AS lebih khawatir atas kapabilitas pertahanan Rusia dan oleh sebab itu merasa “bertanggung jawab” untuk terus memantau aktivitas pertahanan di Rusia maupun di negara-negara sekitar. Kecurigaan Rusia bahwa sebenarnya penempatan Rudal AS di Polandia dan Ceko dimaksudkan untuk mengunci rudal Rusia semakin kuat karena beberapa solusi yang ditawarkannya tidak digubris oleh AS. Sejak awal, Rusia telah menawarkan pengggunaan bersama pangkalan radar milik Rusia yang ada di Azerbaijan. Pangkalan tersebut merupakan sebuah instalasi radar peringatan dini (early warning radar). Stasiun radar yang ada di pangkalan ini memiliki jangkauan 6000 km. Jangkauan tersebut mencakup Iran, Turki, India Irak dan seluruh Timur Tengah. Dengan fakta itu maka penolakan AS untuk menggunakan pangkalan tersebut telah menegaskan maksud AS yang sesungguhnya untuk memperluas hegemoninya.

Dalam kasus penempatan Rudal ini, terlihat dampaknya terhadap Rusia maupun AS sendiri yang berpontensi memunculkan “Perang Dingin jilid II”, karena pada kenyataan ketegangan hubungan antara AS dengan Rusia sendiri sangatlah berfluktuatif. Ketika Rusia mengetahui rencana AS tersebut akan direalisasikan pada tahun 2011, Vladimir Putin memberikan pengumuman kepada masyarakat dunia bahwa Rusia akan menyebar rudal-rudal di perbatasan Kaliningrad di laut Baltik yang dekat dengan Polandia. Hal tersebut dipertimbangkan oleh Barack Obama, untuk melanjutkan misi former AS president atau mengambil jalur lain. Niat baik yang dilontarkan oleh Obama dalam isu ini yaitu membatalkan perjanjian ini, demi menjaga hubungan dengan Rusia. Sehingga Rusia pun mau mencabut kembali rudal-rudal yang telah dipersiapkan diperbatasan Polandia. Oleh karena itu, Putin pada April 2007 telah mengancam akan terjadinya perang dingin baru jika Amerika tetap berkeras menyebarkan penangkal rudal di Eropa Tengah. Sebagai tambahan, sebagai reaksi atas berbagai ancaman Amerika, Putin mengancam akan menarik diri dari Perjanjian Kekuatan Nuklir (NFT-Nuclear Forces Treaty) yang ditandatangani dengan Amerika pada tahun 1987.

Selanjutnya, perbedaan yang terlihat antara Perang dingin di era Soviet dengan kasus ini adalah bagaimana Rusia terlihat lebih smooth dalam permainan diplomasinya dengan AS. Pada akhirnya pun penempatan Rudal AS tersebut telah disetujui Polandia dan Rusia tidak memiliki otoritas terhadap Polandia karena sudah bukan lagi menjadi bagian dari Uni Soviet, Namun hal ini bukan berarti tidak ada implementasi nyata yang sangat tegang dari hasil kerjasama AS—Polandia. Dampaknya menjadi menyebar kemana-mana bahkan sampai isu geo-polotik Rusia dengan Georgia dimana AS membela Georgia. Rusia namun tetap bersikap defensive tanpa meninggalkan karakter diplomasi pertahanannya yang cenderung koersif. AS pun terlihat tetap dalam posisi dibelakang layar dalam memanasnya konstelasi politik yang ditimbulkan dari penempatan rudal AS tersebut.

Pada November 2008 duta besar Rusia untuk NATO Dmitry Rogozin mengatakan “Rudal Amerika di Polandia bisa menghujani Moskow hanya dalam waktu empat detik. Dan untuk mengeluarkan Amerika dan membongkar kepalsuan klaim Amerika bahwa fasilitas rudal di Polandia dan Ceko itu untuk menangkal Iran, Rusia menawarkan kepada Amerika untuk menyebar radarnya disamping radar Rusia di pangkalan radar Rusia di Gabala, Azerbaijan dan itu lebih dekat ke Iran dari pada Polandia dan Ceko, jika memang targetnya adalah Iran” Amerika tidak menyetujuinya karena target Amerika adalah menancapkan pangkalan di Eropa Timur untuk mengancam Rusia. Dan Amerika tidak ingin Rusia ikut berkontribusi di pangkalannya sehingga pangkalan Amerika akan berada dalam pengamatan Rusia, selama targetnya adalah Rusia itu sendiri.

Kerjasama NATO dan Rusia mencakup partisipasi kapal perang Rusia dalam patroli penangkalan terorisme di Laut Mediterania dengan saling menukar keahlian memerangi penyelundupan heroin keluar Afganistan.

Georgia
Dari konflik yang ditenggarai keinginan AS dalam menempatkan rudalnya di Polandia ini eksesnya menjadi terbawa pada konflik politik antara Georgia dengan Rusia dalam memperebutkan Ossetia selatan dan wilayah Abkhazia. Sebelumnya dalam aspek historis, Rusia memang telah besitegang dengan Georgia terkait dengan masalah kemerdekaan dari Pengaruh Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet dan keinginan Georgia sendiri untuk bergabung dengan NATO.

Secara otonomi, Rusia masih memiliki pengaruhnya di kawasan Georgia terkait dengan Ossetia selatan dan wilayah Abkhazia yang terletak tidak jauh dari desa Tsitelubani. Desa tersebut disinyalir sebagai tempat dimana pesawat-pesawat tempur Rusia mematai-matai kedua wilayah itu. Di Ossetia selatan dan di wilayah Abkhazia sendiri sejak 1990 memang telah terjadi konflik otonomi terkait berdasarkan etnik suku. Ditambah dengan kejadian tahun 2007 ketika dua pesawat tempur Rusia jenis SU-24 yang tertangkap radar Georgia sedang terbang di atas permukaan wilayah Georgia sendiri menambah konflik yang memang telah ada sejak Uni Soviet masih berdiri.

Dalam memandang Ossetia selatan dan wilayah Abkhazia, masing-masing dari Georgia dan Rusia memiliki pandangannya sendiri. Georgia menganggap konflik ini lebih menekankan pada sisi politiknya dengan Rusia sedangkan Rusia sendiri memandang bahwa masalah ini adalah konflik antar-wilayah. Presiden Georgia—Mikhail Saakashvilii—mencoba berdiplomasi dengan Rusia untuk mencari solusi atas konflik tersebut. Presiden Rusia, yang dijabat Vladimir Putin saat itu, menyatakaan bahwa sebenarnya Rusia tidak menginginkan kedua daerah itu karena wilayah Rusia sendidi sudah sangat luas. Namun realita yang terjadi adalah bahwa Amerika ada mencamuri konflik ini dengan mendukung Georgia. Hal ini dapat memunculkan “war by proxy” dimana Amerika menjadi dalang atas memanasnya konflik tersebut.

Dari gambaran ekses yang terjadi di atas antara Georgia—Rusia, tidak heranlah ketika Amerika berencana menaruh Rudalnya di Polandia mengakibatkan dampak yang meluas yang tidak dapat dipungkiri menjadi pelebaran konflik antara dua negara hegemoni ini. Selain itu masalah pipa gas Rusia yang banyak menyumbangkan kehidupan di Eropa Barat juga menjadi salah satu faktor yang akhirnya membatalkan rencana Amerika di balik label NATO untuk meletakkan rudalnya di Polandia tersebut.

Kesimpulan
Strategic engagement bisa terwujud jika ada terjalin CBMs serta transparansi yang jelas bagi semua pihak yang terlibat dalam bentuk kerjasama, terutama yang menyangkut dengan militer dan persenjataan. Diplomasi pertahanan sebagai bentuk dari strategic engagement pun dianggap penting bagi para aktor (states) dikarenakan keamanan dan ancaman yang ada di era globalisasi sudah berubah total dan sulit untuk diprediksi. Sehingga, jika sebuah negara menginginkan kestabilan dalam sektor pertahanan dan keamanan negaranya, negara tersebut harus mampu menjamin negaranya jauh dari ancaman baik eksternal maupun internal. Tantangan yang ada dalam strategic engagement berupa kekhawatiran akan adanya kecurangan yang akan dilakukan oleh pihak lain, masih terus diperdebatkan. Karena tidak dapat dielak lagi jika ada sebuah negara mampu mengancam (threat) negara lain, maka negara tersebut sudah mampu mempertahankan kapabilitas pertahanan negaranya.

Strategic engagement antara AS-Rusia dalam konteks pembangunan pangkalan pertahanan rudal AS di Polandia serta radar pembimbing di Republik Ceko dengan tujuan melalui sistem tersebut akan melindungi AS dan negara-negara sekutu di Eropa dari serangan sistem kerja rudal yang diluncurkan oleh Iran dan Korea Utara, membuat dilema keamanan baru hubungan AS-Rusia pasca Perang Dingin. Dilema itu muncul ketika AS ingin memperluas pengaruhanya di kawasan Eropa Tengah dan Timur dengan memberi paket bantun militer ke Ceko dan Polandia dengan imbalan dibangunnya pangkalan rudal AS. Hal ini membuat Rusia tidak bisa tinggal diam karena dengan rencana tersebut keamanan dan kepentingan nasionalnya terancam di Eropa Tengah dan Timur. Meski Rusia tidak memiliki otoritas langsung untuk mengintervensi pilihan Ceko dan Polandia menerima paket bantua AS, tetap saja Rusia memiliki cara untuk melakukan diplomasi meski harus menggunakan unsur pemaksaan (coercive). Nuklir kembali membuktikan dirinya sebagai alat diplomasi ampuh. Ancaman Perang Dingin Jilid II dilayangkan jika rencana ini diteruskan.

Dengan pergantian presiden dari Bush ke Obama yang lebih defensive, perjanjian itu akhirnya dibatalkan dengan pertimbangan smart power yang AS usung sebagai politik luar negerinya yang lebih bersahabat dan diharapkan dapat menjangkau semua pihak bahkan yang dianggap musuh sekalipun.

gambar: http://www.opfblog.com/wp-content/uploads/2009/07/OABAMA-RUSSIA-3.jpg