Pages

Wednesday, March 14, 2007

Dunia Selebar Ranjang


Tubuh itu semakin kurus. Ia tergeletak tak berdaya di ranjang. Tidak hanya lumpuh, ia juga tak mampu menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Ketika ia hendak makan, ia harus dipapah supaya tubuhnya tegak. Ketika hendak memeringkan badannya untuk berganti posisi tidur pun, ia harus dibantu seseorang. Apalagi, ketika ia hendak membuang kotorannya sendiri. Dunianya kini hanya selebar ranjang.

Ranjang yang menjadi dunianya itu berukuran 2 x 1 meter. Di atas tilamnya, ada sebuah karpet yang di tempatkan di bagian bawah tubuh kurus itu. Dinding rumahnya, terbuat dari gedheg (bambu anyam). Jendela yang menganga tepat menghadap arah tenggelamnya matahari. Pemandangan dunianya sedikit terhalang oleh dahan pohon mangga. Jika malam tiba, ruangan itu semakin terlihat gelap. Hanya lampu bohlam ukuran 45 watt yang menerangi dua ruangan yang dijadikan satu. Sinarnya pun, terhalang oleh selembar plastik warna hitam putih kotak-kotak yang melindungi ranjang dari tampias (butiran air hujan yang masih bisa melewati celah-celah genteng).

Suasananya sendu. Sesendu hati orang yang sudah mulai mempasarahkan kesembuhannya. Berbagai rasa menghantui pikirnya. Takut, sedih, sakit, cemas, sepi, gelisah, dan hampa menjadi satu. Sesekali, hatinya terhibur dengan siapa saja yang mengajaknya mengobrol. Ia sedikit melupakan saktinya. Ia mulai memikirkan hal lain yang ditawarkan oleh lawan bicarnya.

Ia sendiri hanya mengenakan kaos dan sehelai sarung. Aku melihat kaos itu sudah dipakainya kemarin. Berarti, paling tidak, sudah dua hari ia tak berganti baju. Yang berganti hanyalah tetes-tetes keringat dan peluhnya. Bajunya menjadi lembab, selembab lantai tempat ranjang itu berbaring. Lantai yang tidak rapi dalam balutan semen. Terkelupas oleh gesekan kaki-kaki tak bersepatu dan air tanah.

Ketika orang-orang di sekitarnya ingin melihat ia keluar dari dunianya, orang lemah itu dibawanya ke ahli medis yang ada di sana. Dokter murah. Sekali berobat hanya Rp 15.000. Ia bekas dokter rumah sakit di sebuah desa. Dokter itu selain terkenal murah, ia juga terkenal mumpuni. Siapa saja yang datang, banyak yang pulang dengan senyum terkembang. Mungkin selain memiliki dasar-dasar ilmu medis, ia juga sakti. Barangkali...

Ketika orang yang hanya memiliki dunia selebar ranjang itu dibawa kepadanya, dokter sakti itu menganggap dirinya sudah sembuh! Dengan enteng dokter itu memberi nasehat, "Tinggal minum obat ini saja. Pasti sudah jauh lebih baik kondisinya".

Baiklah kalau begitu. Ditebusnya obat dari apotek. Dijejalkanlah obat dari dokter itu. Ditambahkannya makanan-makanan bergizi dalam semakok bobur di dalamnya. Masih ditambah susu perangsang tumbuhnya kalsium. Semua orang di sekitarnya, berharap, ia mampu keluar dari dunia penderitaannya, dunia pesakitannya, dan kembali ke dunianya dulu di sawah, kebun, ladang, dan di pasar.

Sudah tidak ada waktu lagi bagiku untuk terus bertahan di sana. Banyak kesibukan untuk mempertahankan hidupku dan orang-orang yang kucinta menungguku. Metropolitan, membutuhkan tanganku. Dan aku membutuhkan uangnya. Salah satunya, untuk mengeluarkan orang yang lemah tak berdaya itu keluar dari dunianya yang hanya selebar ranjang.

Aku pun berpamitan. Berharap, restu kudapat. Aku terkejut ketika orang itu justru meminta permohonan maaf kepadaku selama ia hidup. Aku tersentak. Apakah ini justru sebuah kata 'pamit' balik darinya. Aku tidak mau tercebur dan masuk dalam dunianya. Kutarik lagi ia masuk dalam duniaku. Kujanjikan ia mampu pulang ke dunianya yang lama. Lengkap dengan cangkul, parang, arit, pisau, ani-ani, karung, dan pupuk.

Friday, March 2, 2007

Nenekku Lumpuh


Dering telepon itu tiba-tiba memecahkan suasana hening yang sedang menyelimuti hati dan jiwaku. Bukan lantaran suaranya yang memekakan telinga. Atau juga lamun yang sedang bermain-main dengan sukma. Tak lain, karena, dering itu mengalirkan sebuah nada-nada penuh pertanda.


Benar perasaanku. Nomor telepon yang terlihat dalam layar handphone ku menunjukkan kode daerah asalku 0287.... Ada apa? Selalu pertanyaan itu yang langsung mengisi seluruh ruang dalam pikirku.


Aku sempat terbisu dalam haru ketika sebuah kabar yang kuterima lewat suara salah seorang saudaraku di kampung menegaskan; "Nenekmu sekarang terbaring di kamarnya. Ia sudah tidak bisa lagi berjalan. Aku tidak tahu pasti apa penyebabnya, yang jelas ia sekarang sakit"


Nenekku lumpuh! Entah ia bisa sembuh atau tidak. Darah tinggi menyerang perempuan yang melahirkan Ibuku di tengah kesibukkannya mengurus sawahnya.


Ia seorang janda yang ditinggal suaminya sekitar 17 tahun yang lalu. Selama 17 tahun pula ia sungguh cepat terlihat tua. Namun, ia tidak pernah berpangku tangan menunggu rezeki tiba dari langit. Selama hidupnya, yang ia bisa lakukan hanya bercocok tanam. Tanah diolahnya. Biji-bijian, umbi-umbian, buah-buahan, daun-daunan, kayu-kayuan hasilnya.


Kulitnya hitam kusam mirip dengan warna tanah yang setiap hari ia pelihara. Terik matahari, derasnya hujan, kencangnya badai, gelegar petir adalah teman sejatinya ketika ia sedang turun ke sawah. Ia hanya memiliki sejengkal tanah berukuran 40 ubin (1 ubin sama dengan 13 meter persegi). Ladangnya di tepi sungai yang tak jauh dari sawah itu juga tak berbeda jauh luasnya. Semua itu, peninggalan suaminya yang sampai akhir hayatnya mempertahankan tanah-tanah itu untuk tidak dijual. Padahal, jelas, ketika suami nenekku sakit paru-paru menjelang akhir ajalnya, ia sungguh membutuhkan dana untuk biaya berobat dan rumah sakit. Namun, ia justru berpesan kepada anak-anaknya untuk jangan sekali-kali menjual tanah miliknya barang sejengkal pun! Akhirnya, nyawanya dijemput oleh penyakit yang menyerang paru-parunya. Waktu itu, Jumat Kliwon, 13 Maret 1990.


Kembali ke nenekku yang sedang terbaring di kamarnya... Masih lekat betul dalam ingatanku bagimana garis mukanya sungguh tegas. Dari sana aku dapat membaca bagaimana perjuangan hidupnya yang ia lalui penuh dengan derita. Jarang sekali senyum atau tawa dibagikan kepada lawan bicaranya. Ia lebih sering menekuk muka dan diam. Aku sendiri pun, tidak tahu apa arti raut dan air mukanya.


Aku juga mendengar kabar, saat ini ia lebih cerewet dari biasanya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya menjadi lebih keras dan mengarah ke kasar. Apa mungkin, ia sudah mulai kehilangan kesadaran dirinya?


Saat ini aku hanya bisa merangkai rasa simpatiku kepada ibu dari ibuku yang sekarang sedang terbaring di kamarnya dengan kata-kata. Biarlah ini menjadi satu bentuk rasa cinta cucumu yang belum bisa pulang karena alasan pekerjaan dan keuangan. Aku percaya ini juga sebagai bentuk dari doa.

Thursday, March 1, 2007

The Last Man Standing


Kisah ini bukan kisah kepahlawanan Bruce Willis dalam film "The Last Man Standing". Ini juga bukan kisah Mbah Marijan, juru kunci Gunung Merapi. Ini kisah seorang petani lancang dan buruh ternak sapi, Wito Kadir (50). Ia adalah orang terakhir yang tetap memutuskan tinggal di daerahnya, ketika tsunami mengoyak-oyak seluruh kampungnya.

Ketika semua orang hendak menyelamatkan diri, ia malah memutuskan untuk tetap menunggu dan menjaga kampungnya. Ia bukan tokoh fiktif seperti Bruce Willis dan juga bukan juru kunci yang punya tugas khusus dari kerton Jogja untuk menjaga Merapi seperti Mbah Marijan. Ia hanya orang biasa yang sangat sederhana.

Hampir setiap hari, sebagian masyarakat Glempang Pasir, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, turun ke laut mengambil lancang (makanan itik, bentuknya semacam kerang kecil). Lancang baik untuk itik karena bisa menggantikan fur. Harga jualnya per kilo gram Rp 500. Kalau sedang panen, satu orang bisa mendapat sampai satu kwintal.

Tergiur dengan tambahan penghasilan, Wito mencoba profesi baru, mencari lancang. Senin (17/7) adalah hari ketiga ia turun ke laut. Ia bangun pukul 4 pagi, dan langsung bergegas ke laut mencari lancang. Siang hari ia jemur lancang hasil temuannya di hamparan pasir pinggir pantai. Menjelang senja, lancang siap diayak untuk kemudian dipanen.

Wito dilahirkan di pesisir pantai. Namun, sore itu ia melihat pemandangan laut yang belum pernah ia lihat sepanjang hidupnya. Ia teriakkan kepada teman-temannya yang sama-sama sedang mencari lancang, "Tsunami, tsunami..," serunya.

Kata tsunami itu sendiri ditemukan Wito dalam sebuah siaran berita ketika terjadi bencana tsunami di Aceh.

Namun, teman-temannya menganggap remeh peringatan Wito. Karena, Wito masih dianggap "amatir" di laut menurut mereka. Mereka menganggap hanya badai angin seperti biasa.
Wito sempat terkejut karena pada saat itu juga, ia melihat istrinya Yati (50) datang membantunya. "Ini pertama kali," kata Wito. Istrinya, sebelumnya belum pernah membantunya mencari lancang di laut.

Tak lama kemudian, tsunami yang pernah Wito tahu dalam siaran berita televisi menjadi kenyataan.

Semua orang berlari, berenang, memanjat, mengungsi ke tempat yang lebih tinggi untuk satu tujuan, menyelamatkan diri. Gulungan ombak yang tingginya melebihi tinggi rumah warga menerjang seluruh bibir pantai.

Saat itu, Wito justru tidak meninggalkan laut. Ia hadapi saja gelombang itu. Tangan kanannya menggandeng istrinya, tangan kirinya mengandeng tetangganya perempuan. Terhempas mereka bertiga.

"Tapi, saya masih sadar betul waktu itu," kenang Wito. Ke mana ombak membawa, Wito tetap menggendong kedua perempuan itu. Dua ombak besar mereka arungi. Ketika ombak ketiga datang, gandengan tangan kanannya terlepas. Istrinya hilang.

Tidak berdiam diri, ia selamatkan siapa saja yang masih mengapung dan berteriak-teriak meminta bantuan. Ia turun lagi ke laut. Ia selamatkan seorang bocah umur lima tahun yang seluruh tubuhnya sudah tertutup rerumputan. Ia bawa bocah itu ke bukit yang tidak jauhdari tempat itu. Ternyata bocah itu tak lain adalah keponakannya sendiri.

"Ada orang di samping bukit, sudah tidak bisa jalan, sudah tidak bisa apa-apa, langsung saya angkat. Ada yang satu lagi orang yang kepalanya kelihatan, tapi bawahnya tertutup rumput. Saya kejar terus. Sampai sekitar 500 meter. Ombak membalik. Ia sudah telanjang, namun ia bisa selamat," cerita bapak 4 anak ini.

"Dalam hati, sampai kapan pun selagi istri saya belum kembali saya tidak akan kembali," lanjut Wito dengan mata menerawang langit-langit rumahnya. Sampai pukul 19.00 WIB ia terus mencari istrinya. Istirahat 15 menit, ia nyalakan gantang, ia kembali ke laut seorangdiri.
Selasa pagi (18/7), Wito tak bisa mengelak kenyataan, istrinya ditemukan satu kilometer dari rumahnya. "Saya sudah menduga, tapi saya tidak bisa berkata apa-apa," kata Wito.

Wito seorang yang pendiam. Ia dikenal tetangga-tetangganya ringan tangan. Ia kerjakan apasaja. Menjadi buruh harian, kerja bangunan, dan apa pun. Keberanian Wito selaras juga dengan profesi sampingannya sebagai guru pencak silat di kampungnya. Mentalnya juga terasah ketika melanglang buana ke Medan, Tenam II Pasar Minggu Riau, Johor Malaysia, sewaktu ia muda.

Ke depan, Wito mengaku tidak akan mengungsi. Ia tidak takut mati. Namun, ia juga tak takut untuk hidup. Ia mengaku tidak takut hidup karena ia berani menghadapi semua tantangan. Hidup dan mati ia serahkan semuanya kepada Tuhan. Berani hidup menurutnya adalah berani mengalami kesulitan hidup. Namun, ia percaya dalam hidup juga menyisakkan harapan.