Pages

Wednesday, April 20, 2011

Tak Ada Satu Tempat pun yang Aman dari Teror

Sejarah Singkat Terorisme di Indonesia

Sejumlah aksi teror di Indonesia, sejauh dapat diungkap oleh Kepolisian Republik Indonesia memiliki target utama mendirikan Negara Islam Indonesia. Mereka menggunakan aksi teror untuk mempercepat pendirian Negara Islam. 

Selagi target operasi mereka belum tercapai, dan mereka masih menghalalkan cara-cara kekerasan, selama itu pula bahaya terorisme akan selalu ada di negeri ini. Meski demikian, sangat disayangkan, polisi tidak pernah bisa mengungkap secara tuntas apa sejatinya target operasi terorisme di Indonesia selain mendirikan Negara Islam.


Apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan persoalan terorisme di tanah air? Tentu saja hal ini tidak mudah. Selain ada persoalan perjuangan ideologis di antara para pelaku teror, persoalan lemahnya ekonomi Indonesia, tarik-menarik kepentingan sosial politik dan ekonomi global akan terus membuat pasang-surut persoalan terorisme.

Bom bunuh diri meledak di dalam masjid saat shalat Jumat baru saja dimuali di masjid Al-Dzikro, Kompleks Mapolresta Cirebon, Jawa Barat. Sampai tulisan ini dibuat, sejumlah pihak meyakini pelaku adalah bom bunuh diri pada Jumat (15/4) yang melukai 28 orang tersebut adalah Muchamad Syarif (32), warga Astanagarib, Kelurahan Pekalipan, Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon. Tentu, publik tanah air baru saja dikejutkan dengan kejadian pengiriman sejumlah bom buku dan polisi belum bisa mengungkap siapa pelaku lapangan dan aktor intelktual di baliknya. Belum juga publik mendapatkan hasil kinerja polisi terkait bom buku, hari-hari ini dunia dikejutkan dengan penangkapan Umar Patek oleh militer Pakistan.

Pasca tragedi 9/11, membuktikan kepada dunia bahwa tidak ada satu tempat pun yang aman dari ancaman teror. Persoalan terorisme tidak pernah surut dalam diskursus keamanan sejak abad ke-21 ini. Persoalan ini, telah sangat baik diprediksi oleh Colin S. Gray dalam buku Another Bloody Century. Tragedi di Cirebon membuktikan, bahwa Masjid pun tak steril ancaman teror yang pelakunya adalah orang beragama Islam sendiri.
Tulisan ini ingin mengurai persoalan terorisme di tanah air yang keberadaannya tidak muncul secara tiba-tiba dan tidak bisa dilepaskan dengan apa yang terjadi dalam konteks global dewasa ini.

Sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia tentu sangat berkepentingan untuk menunjukkan citra Islam sebagai agama pembawa damai atau rahmatan lil alamin. Persoalannya menjadi semakin pelik ketika wajah terorisme dikaitkan dengan dunia Islam, dan celakanya lagi, organisasi seperti Al-Qaeda yang jelas terbukti melakukan serangkaian aksi teror di sejumlah tempat di berbagai penjuru dunia juga mengatasnamakan aksi teror untuk kemuliaan Islam.

Sejak tragedi Bom Bali I, mata rantai persoalan terorisme di Indonesia seolah tiada pernah terputus. Meski operasi Densus 88 Antiteror telah berhasil memburu dan membunuh para gembong teroris kelas kakap yang beroperasi di Asia Tenggara seperti Dr. Azhari, Noordin M. Top, Imam Samudra, Amrozi, dan Dulmatin yang nyawanya meregang pada 9 Maret 2010 di bilangan Pamulang, tetap saja, nama-nama baru terus saja muncul. Peristiwa Cirebon membenarkan hal ini.

“Cerita” terorisme di Indonesia terus saja bersambung. Apa sejatinya target operasi mereka di tanah air? Siapa saja pelakunya? Bagaimana cara kerja mereka? Bagaimana ideologi itu bisa muncul di Indonesia dan berkembang subur di sini? Dan, bagaimana hubungan terorisme di Indonesia dengan jejaring terorisme internasional?

Apa itu terorisme?
Kajian akademis tentang terorisme selalu berhadapan dengan kesulitan untuk mencari suatu definisi universal tentang terorisme. Masalah ini terungkap dengan baik dalam ungkapan “one person’s terrorist being another’s freedom fighter” (Widjajanto; 2003). Teror adalah fenomena yang cukup tua dalam sejarah. Menakut-nakuti, mengancam, memberi kejutan kekerasan, atau membunuh dengan maksud menyebarkan rasa takut adalah taktik-taktik yang sudah melekat dalam perjuangan kekuasaan, jauh sebelum hal-hal ini dinamai “teror” atau “terorisme”. Kata “assassin” mengacu pada gerakan dalam Perang Salib abad ke-11 Masehi (Hardiman; 2003). Kata “teror” masuk dalam kosakata politis baru pada Revolusi Prancis. Di akhir abad ke-19, awal abad ke-20, dan menjelang PD II, “terorisme” menjadi teknik perjuangan revolusi. Misalnya, dalam rezim Stalin pada 1930-an yang juga disebut “pemerintahan teror”. Di era perang dingin, “teror” dikaitkan dengan ancaman senjata nuklir .
Terorisme adalah fenomena dalam masyarakat demokratis dan liberal atau masyarakat yang menuju transisi ke sana. Kaum teroris memanfaatkan kebebasan yang tersedia dalam masyarakat itu. Di dalam negara totaliter atau otoriter, situasi ini relatif terkendali. Yang berlaku di sini adalah terorisme oleh negara.

Pada insiden 11 September 2001, teror mencapai dimensi barunya, bukan “sekadar” ingin menunjukkan sikap perlawanan atau menekan pada sebuah rezim, melainkan ingin memobilisasi sebuah konflik global dengan mengisi “kevakuman ideologis” yang ada sejak berakhirnya Perang Dingin. Skala gigantis dari teror ini ‘sukses’ memobilisasi opini politis global untuk mengarahkan pada antinomi “kawan” dan “lawan” pada skala global. Dan Al Qaeda adalah organisasi yang langsung menjadi target utama.

Terorisme termasuk dalam kekerasan politis (political violence), seperfti kerusuhan, pemberontakan, huru-hara, revolusi, perang saudara, gerilya dan pembantaian, dan sebagainya. Namun terorisme tidak selalu politis. Misalkan penyanderaan oleh seorang psikopat. Meski yang terakhir tidak masuk dalam kajian ini.

Terorisme politis memiliki karakteristik sebagai berikut ; pertama, merupakan intimidasi yang memaksa; kedua, memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana untuk suatu tujuan tertentu; ketiga, korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni “bunuh satu orang untuk menakut-nakuti seribu orang”; keempat, target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, namun tujuannya adalah publisitas, kelima, pesan aksi cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal, dan terakhir para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras. Misalnya, “berjuang demi agama dan kemanusiaan”.

Al Qaeda dan JI
Dalam buku Inside Al Qaeda, global network of terror karya Rohan Gunaratna (Gunaratna; 2003), khususnya pada bagian empat, Asia: Al Qaeda’s New Theater, Gunaratna menjelaskan secara khusus bangunan terorisme di Indonesia. Dalam bagian ini, dia menelusuri jejak awal tumbuh dan berkembangnya terorisme di Indonesia. Sebagai negara terbesar keempat dan Negara muslim terbesar secara jumlah di dunia, Indonesia adalah rumah bagi sebagian besar Islam moderat, namun beberapa kelompok radikal juga tumbuh di sini. Dalam wawancaranya dengan sejumlah intelijen Indonesia, Gunaratna memaparkan, meskipun Abu Bakar Ba’asyir adalah pimpinan Jamaah Islamiyah, namun yang memperkenalkan pertama kali Al Qaeda di Indonesia adalah sosok Abdullah Sungkar.

Gunaratna memulai ulasannya dengan menelanjangi sosok Abu Bakar Ba’asyir. Desember 1971, Ba’asyir bekerja sebagai dai atau guru agama, dan pesantrennya ditutup pemerintah Soeharto pada 1975. Pada 19 November 1978, dia dipenjara 3,5 tahun karena alasan ingin mendirikan Negara Islam Indonesia yang merusak eksistensi dasar negara Pancasila. Tahun 1985, dia keluar ke Malaysia. Ba’asyir bertemu pertama kali Osama bin Laden di Afganistan. Dia adalah pendiri JI di Malaysia dan beberapa tempat di Asia Tenggara.

Setelah Soeharto lengser, Ba’asyir dan Sungkar kembali ke Indonesia dan mengambil alih kendali Pesantren Al Mukmin dan mendirikan Majelis Mujahiddin Indonesia serta laskar Mujahid. Agitasi implementasi hukum Islam terus dikumandangakan Ba’asyir. Intelijen Indonesia melaporkan, “Sekitar 100 anggota atau Laskar Mujahidin yang menyebabkan konflik antara anggota kelompok keagamaan dii Maluku. Sejumlah Laskar Jundullah di bawah koordinasi Komite Persiapan Penerapan Syariat Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan terlibat konflik serupa di Poso” . Dalam Tablik Akbar Muktamar II Front Pemuda Muslim Surakarta pada 16 September 2001, Abu Bakar Ba’asyir dilaporkan karena menyatakan, “Megawati, Hamzah Haz, dan militer seharusnya berterima kasih kepada Osama bin Laden sebab Allah sudah mengirim junjungan kami sejak dia berjuang berdasar hukum Islam bukan politik”. Ketika MMI dan Pesantren Ngruki (sekolah aktivis Muslim di Jawa Tengah) dioperasikan secara terang-terangan, JI dikelola Ba’asyir dengan cara ditutup-tutupi.

Indikasi pertama Al Qaeda menginfiltrasi Indonesia dikenali intelijen Indonesia sejak 1998, beberapa saat sebelum Sungkar dan Ba’asyir meninggalkan Malaysia dan kembali ke Indonesia. Sebuah surat dikirim dari Osama, “kewajiban utama sebagai seorang Muslim hari ini adalah bekerjasama dalam rangka membebaskan tanah Arab dari cengkeraman musuh-musuh Allah, khususnya ditujukan kepada Amerika, Kristen, dan Yahudi”. Surat ini mencerminkan bagaimana hubungan dua orang ini dengan pemimpin Al Qaeda. Contoh operasi yang dibuat Al Qaeda di Indonesia, yaitu peledakan bom di 30 gereja di beberapa daerah di Indonesia pada malam natal 2000 yang memakan 18 korban nyawa dan 82 luka-luka.Karena operasi ini sangat terencana, hal ini dikategorikan sebagai operasi militer. Menurut pemerintah AS pada laporannya Maret 2002, kelompok ini berkembang di Indonesia sejak 2001. Sejak Februari 2002, JI sudah memiliki sel di Surakarta, Jawa Tengah.

Intelijen Pilipina dan Spanyol melaporkan bagaimana eksistensi training camp Al Qaeda di Indonesia. Interaksi Al Qaeda-MILF bekerjasama melatih 400-600 antara tahun 1996-2001. Pemerintah Indonesia mendapat tekanan dari dunia internasional ketika ditemui bukti transkrip telepon dari sel Al Qaeda di Spanyol dan sel Al Qaeda di Indonesia. Transkrip itu menunjukkan adanya hubungan antara Al Qaeda Spanyol dan dan aktivitas training militer di Poso pada Juli 2001. Intelijen Indonesia melaporkan, ”Kamp training dipimpin oleh Omar Bandon terdiri dari delapan sampai sepuluh desa-desa kecil dan berlokasi di dekat pantai, dilengkapi senjata api, dan bahan peledak. Partisipan training tidak sekadar berasal dari lokal Indonesia, tapi juga dari luar. Pelatih fisiknya adalah Parlindungan Siregar, jaringan Al Qaeda Spanyol”.

Masih menurut Gunaratna, di Indonesia, bahaya yang lebih nyata dan serius justru datang bukan dari al Qaeda, melainkan dari kelompok-klelompok yang meneruskan kampanye secara agresif penegakkan hukum Islam. Beberapa dari kelompok-kelompok ini baik secara langsung atau tidak terbentuk untuk mendukung tujuan Al Qaeda. Meskipun ada sekitar 60 kelompok radikal di Indonesia, hanya beberapa yang berpengaruh; Laskar Jundullah, Ikhwanul Muslimin Indonesia, Gerakan Mujahiddin Indonesia, FPI, Ponpres Ngruki, dan Laskar Jihad (Mubarak; 2008).

Pada kasus 9/11, di Indonesia, kelompok-kelompok ini membentuk “Tentara anti teroris Amerika”. “Sekali Afganistan diserang, orang dari AS dan aliansinya harus keluar dari Solo”. Laskar Jihad (LJ) Ahlus Sunah Waljamaah adalah yang paling radikal. LJ didirikan pada 1999 sebagai reaksi atas ketidaksukaan yang mendalam atas apa yang terjadi di Maluku dan dipimpin oleh Jafar Umar Thalib yang berpartisipasi dalam pertempuran kelompok yang mengklaim 8.000 orang yang terlibat. LJ berharap Negara Islam Maluku. Sementara, Laskar Jundullah dipimpin oleh M. Kolono. Dikampanyekan pada Oktober 2000, 150 brigade Hezbulah dan Laskar Jundulah men-sweeping sejumlah hotel berbintang.

Pasca Dulmatin
Dulmatin adalah sosok kunci paska tewasnya Dr Ashari dan Noordin M. Top. Karena, dia memegang kendali atas kelompok-kelompok baru yang mau menggabungkan diri di luar Jamaah Islam. Dulmatin adalah salah satu tokoh utama yang mengubah peta terorisme Indonesia. Kemampuannya dalam menyatukan faksi-faksi baru inilah yang membuat persoalan terorisme menjadi semakin kompleks. Tentu saja karena semakin lebih banyak kelompok lain yang dilibatkan atau berhasil direkrut.

Sejumlah aksi teror di Indonesia, sejauh dapat diungkap oleh Kepolisian Republik Indonesia memiliki target utama mendirikan Negara Islam Indonesia. Mereka menggunakan aksi teror untuk mempercepat pendirian Negara Islam. Selagi target operasi mereka belum tercapai, dan mereka masih menghalalkan cara-cara kekerasan, selama itu pula bahaya terorisme akan selalu ada di negeri ini. Meski demikian, sangat disayangkan, polisi tidak pernah bisa mengungkap secara tuntas apa sejatinya target operasi terorisme di Indonesia selain mendirikan Negara Islam.

Apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan persoalan terorisme di tanah air? Tentu saja hal ini tidak mudah. Selain ada persoalan perjuangan ideologis di antara para pelaku teror, persoalan lemahnya ekonomi Indonesia, tarik-menarik kepentingan sosial politik dan ekonomi global akan terus membuat pasang-surut persoalan terorisme.

Terorisme masuk dalam kajian kemanan karena sifatnya yang menyebabkan kerawanan (vulnerability). Yang prinsip adalah jangan sampai perang melawan terorisme justru merepresi kebebasan sipil dalam era demokrasi. RUU Intelejen yang sedang dibahas di DPR jangan sampai memberi kewenangan kepada intelejen dapat menangkap warga sipil dari justifikasi kasus-kasus terorisme di tanah air. Negara yang memberi kewenangan penuh kepada institusi kepolisian untuk melakukan kegitan ekstra yudisial terhadap orang-orang yang diduga pelaku terorisme juga jangan sampai disalahgunakan. Jangan sampai, semangat kebebasan yang didapatkan lewat gerakan reformasi harus dihantui dengan perang melawan teroris yang akhirnya justru membuat ‘teror’ baru dari negara sendiri. Demokrasi yang memungkinkan kontrol terhadap setiap lembaga Negara harus terus diperbaiki. Masyarakat sipil kini berhak mendapatkan jaminan atas akses informasi seperti dijamin melalui UU Kebebasan Informasi Publik.


Referensi:
1) Andy wijayanto, Menangkal Terorisme Global, dalam buku kumpulan esai Terorisme yang diterbitkan oleh Imparsial, 2003.
2) F. Budi Hardiman, Terorisme: Paradigma dan Definisi, dalam buku kumpulan esai Terorisme yang diterbitkan oleh Imparsial, 2003.
3) Rohan Gunaratna, Inside Terrorism, Columbia University Press, 2003
4) M Zaki Mubarak, “Geneologi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi”, LP3ES, Jakarta, April 2008


Catatan:
tulisan ini sudah dimuat di website Jaringan Islam Liberal pada 19 April 2011, dengan judul yang sama.

Sumber foto:
http://howtofixblogs.com/bomber-attacks-mosque-in-police-station/