Pages

Tuesday, April 24, 2007

Perempuan dan Tentara


Gambar itu adalah potret sahabatku. Dia yang mati tertembak saat demonstrasi. Perempuan pemberontak dan pemberani.

***

Safir. Itulah namanya. Aku kenal dia saat menyusuri sisi kota pada waktu senja. Saat itu, dia sedang duduk dan melamun pinggir alun-alun tua. Lamunnya melintasi batas-batas kota. Mempertemukan aku dan dia dalam satu titik harmoni. Tanpa kata tanpa bicara.

Perjumpaanku dengan Safir adalah perjumpaan saat aku sampai disebuah persimpangan. Di sana, aku merasa bimbang. Bukan sekadar bingung menentukan arah jalan yang harus aku lanjutkan. Tapi, aku sudah tidak tahu lagi, jalan mana yang harus kutuju. Di benakku, semua menjadi buntu. Tanpa arah.

Ketika aku turun dari laju roda kendaraanku, saat itu juga mataku menabrak paras perempuan itu. Ia diam tak bergeming. Tatapnya kosong. Pucat pasi mukanya. Seolah, jiwanya melayang bersama lamunya.

Senyum kulemparkan. Tawa kuumbar. Tetap saja, tanpa balasan. Aku sengaja duduk di sampingnya. Tanpa bermaksud mengusik dia dalam dunianya, aku pun bermaksud melepas lelah. Setelah benakku penuh terisi pertanyaan-pertanyaan seputar jalan mana yang harus kuikuti.

Aku berharap bisa menghilangkan kebimbangan yang sedang menghantui hati dan pikirku dengan menemukan seorang teman baru. Ternyata, tidak. Dia sungguh sibuk dengan dirinya sendiri. Tapi aku pun tidak bisa berbuat apa-apa.

Kusulut sebatang rokok. Kunikmati asapnya yang merayap sampai ke paru-paruku. Kubuang sisanya, dan kuserap kenikmatan darinya. Kulihat perempuan itu menoleh dan tersenyum kepadaku. Kutawarkan rokok yang tinggal dua batang di dalam bungkusnya. Ia pun mengambil sebatang. Kunyalakan api untuknya. Dia tersenyum. Tanpa kata, tanpa bicara.

Aku dan dia pun sama-sama tidak mau memulai pembicaraan.

Dia mulai lagi melanjutkan lamunnya. Mukanya mulai tampak memerah ketika salah satu cahaya lampu kota yang baru saja menyala menerpa wajahnya. Kedamian begitu nyata dia rasakan. Aku menjadi iri. Karena, aku masih juga berkutat pada pertanyaan-pertanyaan seputar hidupku.

Sepertinya, dia sudah tidak lagi memedulikan hidupnya. Tapi sepertinya justru dia menjadi hidup ketika bayang-bayang kematian dan masa depan sudah dia tanggalkan. Sepertinya, dia juga sudah tidak peduli dengan dunia. Atau, sebaliknya, dia sedang kalut karena ulah dunia?

Sebenarnya, aku tak tahu persis apa yang sebenarnya dia pikirkan. Aku hanya bisa menebak-nebak. Sepertinya.. sepertinya...

Aku tidak mau terjebak dalam situasi ini. Aku ingin melanjutkan perjalannku meninggalkan kota. Aku berdiri. Kulanjutkan langkah kakiku. Kutinggalkan perempuan serba putih itu dalam lamunnya. Ia pun melambaikan tangan. Senyum kembali terkemabang.

***

Dentum musik menggema keras di lantai dansa. Muda-mudi turun ke sana penuh suka-cita. Tawa-canda berlomba-lomba. Tarian menjadi satu dengan gerak alkohol yang mengalir dalam tubuh-tubuh segar itu.

Melepas penat, kujatuhkan badanku di sofa pojok bar yang terlambat tutup itu. Kuamati lekat-lekat satu-satu pengunjungnya. Tak kukenal seorang pun. Aku menjadi seorang asing di sana. Tanpa peduli keadaanku, kuikuti alunan musik dan kuleburkan penat ini dalam melodinya. Kutenggak botol-botol minuman. Kurasakan dia bekerja. Aku mabuk dibuatnya.

Saat aku melayang, aku berjumpa kembali dengan Safir. Dia masih saja duduk di tepi alun-alun sisi kota. Dia masih seperti semula. Menatap langit, duduk dan memeluk kedua kakinya. Dalam temaram cahaya lampu kota, aku melihat dia begitu berkilau-kilauan. Dia belum juga berbicara dengan siapa pun.

Perjumpaanku dengan dia kali ini berbeda. Kali ini, aku sudah sedikit mengetahui apa yang ada dalam benaknya. Ada resonansi antara anganku dan angannya. Dan aku yakin, dia juga menyadari kehadiaranku. Walaupun tanpa persentuhan, dan kata-kata perjumpaanku dengan dia kali ini adalah benar-benar nyata.

Frekuensi getaran jiwa yang sama, menambatkan kami pada suatu dimensi ruang dan waktu yang tak begitu penting lagi. Safir, sedang galau. Begitu pun aku. Safir sedang resah karena diburu beribu serdadu. Sedangkan aku resah karena sedang memburu impian, ingin hidup mengikuti jejaknya, dalam caraku sendiri.

Safir adalah seorang penulis. Ia baru saja pulang dari daerah konflik. Beritanya membeberkan kelakuan serdadu-serdadu, menjadi bumerang bagi dirinya. Safir ibarat musuh utuma serdadu itu kali ini.

Misi keamanan yang dijanjikan penguasa, menjadi mimpi kelabu dan petaka bagi ratusan gadis dan ibu-ibu. Itulah inti cerita Safir. Dari kemampuannya merangkai kata, dia mampu menyulut amarah dan geram para perempuan, orangtua, mahasiswa, aktivis-aktivis di seluruh belahan dunia. Dalam waktu sekejap, ia menjadi terkenal di mana-mana. Namun, ia justru menghilang, menyendiri, dan menjauhi setiap keramian.

Ternyata, dari tulisan itu, tahta penguasa bergoncang. Dan pada akhirnya tumbang tak bersisa. Karena, penguasa yang juga bekas serdadu itu harus bertanggungjawab atas ulahnya sewaktu dia menjadi jendral dan memimpin operasi itu.

***

Dini hari, ketika embun pagi mulai turun dan membasahi dedaunan. Kutemui Safir kembali. Tepat, dimana perjumpaanku pertama dengannya. Aku hendak menemaninya dari galau yang sedang merenggutnya. Ia sudah menduga kehadiranku yang kedua. Dan aku pun sangat yakin dia masih di sana, di sisi kota.

"Hai..."
"Ya.."
"Kamu baik-baik saja"
"Tentu saja"
"Terima kasih, kamu kembali ke sini"
"Kamu tidak mau beranjak dari tempatmu?"
"Untuk apa?"
"Barangkali kamu ingin makan? Minum? Atau sekadar melepas penat?"
"Memang sih aku sudah mulai lapar dan haus. Tapi..."
"Kamu takut terjadi sesuatu dengan dirimu?"
"Tidak. Sama sekali tidak. Aku sedang ingin menyendiri saja. Menjauh dari keramian"
"Bagaimana kalau aku belikan barang secakir kopi dan sebungkus nasi?"
"Terima kasih. Tapi untuk apa? Aku pun bisa membelinya sendiri"
"Untuk menghilangkan lapar dan meneruskan misimu untuk menyendiri, menjauhi keramian"
"Terima kasih. Kamu baik sekali... Tapi ketahuilah, aku sudah mau mati"
"Setidaknya, aku bisa berbuat baik kepadamu sebelum kamu mati"
"Tawaranmu yang tulus sudah cukup membuatku kenyang dan lepas dari dahaga. Dan ketahuilah, aku sudah cukup bahagia!"

***

Safir seperti ahli nujum. Dia sudah tahu kapan dan dimana ia hendak meninggal dunia. Jam dan menitnya pun dia sudah tahu. Bahakan, dengan cara apa dia meninggal dia sudah tahu....

Barangkali, kata kebahagian yang meluncur dari mulutnya ditujukan pada kepastian hidup yang sudah bukan misteri lagi baginya. Dia sudah mengetahui kematiannya. Dia mempersiapkan dengan baik untuk itu semua. Dan yang terpenting, dia tidak takut menghadapinya. Justru dia menjemput kedatangannya, dengan tawa dan puasa.

***

Matahari mulai meninggi. Dia berdiri dari duduk dan lamunnya serta merapikan rambutnya. Safir berjalan menuju ke tengah-tengah kota. Aku mengikutinya dari kejauhan, tepat seperti pesannya kepadaku.

Jalannya ia percepat. Ia seperti mengejar waktu dimana saat pembebasannya tiba. Pasar, perempatan, rel kereta, dan bioskop ia lalui. Sampailah dia di jantung kota, dimana sudah berkumpul ribuan demonstran. Sesaat, dia berhenti dan melihat jarum jam pada tangannya.

Safir tampak dari kejauhan. Terkadang, ia lenyap di tengah-tengah lautan massa. Namun, segera saja dia mucul di barisan paling depan. Masih saja dia sembat membuang senyum....

Duar.... Duar.. Duar....

***

Kupandangi gambar itu.. Potret sahabatku, Safir.


Sisi kota,
24 April 2007

Thursday, April 19, 2007

malam tolak hukuman mati


Malam itu aku berjalan diikuti oleh sekitar seratus orang. Dengan dua lilin kugenggam di dua tanganku, aku berjalan perlahan-lahan sambil kupanjatkan doa. Sunyi.


Berbaris berdua-dua dan berbanjar, kami menelusuri jalur busway yang lengang. Jakarta hampir tengah malam, masih menunjukkan keangkuhannya sebagai metropolitan. Kanan-kiri kulihat gemerlap lampu-lampu kota menggoda kekusyukan doaku. Aku yakin, saudara-saudara yang mengikutiku juga merasakan hal yang sama. Lalu-lalang mobil memperhatikan aksi yang kupimpin.


Bak tontonan baru, aku dan saudara-saudaraku dipandang sebelah mata. "Tontonan macam apa ini? Apa yang menarik? Bisu!" kemudian mereka memalingkan muka dan kembali pada aktivitasnya; menyetir mobil, makan di resto cepat saji, kembali ke kamar hotel, menyelesaikan kerjaan kantor, berjaga-jaga gedung, dan meneruskan melobi klien.


Satu kali kulihat polisi bermata garang menatapku. Seolah-olah ia hendak meneror aku. Dalam hatiku berkata, "Apa salahku? Satu yang patut kau tahu; aku tidak takut!".

Satu-dua-tiga gedung kulalui. Sampai aku dan rombonganku pada perempatan. "Maafkan kami, mengganggu sedikit perjalanan Anda. Mungkin kalau aku di perempatan itu aku juga akan mengumpat..." bisikku dalam hati. Aku kembali melanjutkan doaku. Lilin tertiup angin lalu-lalang mobil di perempatan.

Kukayuh kaki ini yang sedikit demi sedikit mulai terasa pegal. Aku yakin, saudara-saudaraku juga merasakan hal yang sama. Letih.... tapi kami tetap diam membisu.

Sorot lampu kamera menerpa muka, leher, badan dan kaki kami... mereka berlomba-lomba mengambil angle terbaik untuk siaran beritanya. Kami menjadi objek berita. Mereka menginginkan kami buka mulut untuk menjelaskan apa yang sedang kami lakukan. Kami memahami hal itu, tapi kami ingin menyelesaikan aksi kami. JALAN BISU.

Tibalah kami di Bundaran Hotel Indonesia. Spanduk kami bentang. Di sana, kami sedikit berorasi.
"Kematian Tibo, Riwu dan da Silva tidaklah sia-sia. Karena dengan kematian mereka, kita kobarkan semangat penghapusan hukuman mati di negara yang berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa, dan Kemanusiaan yang adil dan beradab," seru salah seorang orator. Dia seorang aktivis perempuan.
"Kematian mereka berarti memutus mata rantai pengungkapan dalang kerusuhan Poso yang sesungguhnya!" tambah orator lain. "Kami memohon maaf kepada masyarakat karena tidak dapat berbuat banyak..." timpal yang lain.
"Kami mewakili masyarakat Poso di Jakarta inginmengatakan bahwa kami tidak dendam sedikitpun!" dan seorang yang lain juga menambahkan, "Saya sudah lama sekali tidak merasa bersedih sesedih malam ini..."
Air mataku tertetes. Jantungku berdegup lebih kencang. Kakiku melemas. Kata-kata pun meluncur dari mulutku... "Tolak Hukuman Mati"

Wednesday, April 4, 2007

BETARA KALA


(untuk seseorang yang sungguh sangat menginspirasi)

Tulisan itu kubuat sebagai ganti atas janji yang tertunda. Terkadang, waktu begitu berharga bagiku.

Seorang teman pernah bilang, "Jika ingin meraih kesuksesan dalam segala hal, kamu jangan pernah mau kalah dengan Betara Kala!"

Betapa terkejutnya aku waktu itu. Aku pikir, Betara Kala itu hanya ada dalam cerita rakyat turun-temurun ketika terjadi gerahana matahari. Orang-orang tua bilang, sang surya sedang ditelan raksasa bernama Batara Kala. Untuk itu, mereka meminta anak-anaknya untuk tidak keluar rumah. Memanjatkan doa dan laku tapa.
Ternyata sang raksasa itu kembali menyentuh daun telingaku. Namun, tidak dalam rupa yang mengerikan seperti gambaranku waktu aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Saat itu, aku membayangkan Betara Kala ibarat Buta Ijo. Matanya merah dan sangat lebar. Telinganya bak daun pohon jati. Rambutnya yang panjang beromabak tergerai tak karuan, menutupi seluruh punggung dan sebagian dadanya. Badannya berwarna hiaju. Yang paling mengerikan adalah mulutnya. Dengan taringnya yang tajam, lidah yang menjulur-julur berlumuran darah serta mampu menelan matahari.
Batara Kala yang ditawarkan temanku sudah bisa kurasionalisasikan bentuknya. Ia adalah sebuah analogi. Betara Kala ditujukan untuk mengganti kata WAKTU.
Dalam hidup pada zaman kini, sepertinya kita memang harus bisa mengalahkan gulungan lidah sang waktu. Banyak profesional mengatakan, displin. Mengatur waktu, bukan diatur olehnya. Kunci kesuksesan, kata temanku adalah manajemen WAKTU. Benarkah?
Sedangkan aku sendiri tidak tahu apa kesuksesan. Bagaimana dengan urusan mengatur-atur waktu? Yang kutahu hanya warisan pelajaran hidup dari kedua orangtuaku. Bahwa hidup harus memiliki keberartian.

Seringkali memang aku justru melihat banyak orang di sana sungguh diatur oleh waktu. Padahal, orang-orang itu yang paling vokal menyuarakan kedisiplinan. Kebanyakan mereka berdasi dan memiliki kantor pencakar langit yang terletak di jantung Metropolitan. Mereka sungguh tampak gagah. Tapi, bagiku tidak. Mereka sungguh sangat rapuh. Mereka untuk satu kata profesionalisme, mereka harus masuk kantor bersamaan. Sehingga mereka harus berdesak-desakkan di jalan raya. Mencari celah supaya mobilnya dapat meliuk-liuk bak jet daratnya Michael Schumacher. Mereka sungguh taat dengan waktu. Jam 9.00 masuk kerja, jam 12.00 sampai jam 13.00 makan siang dan jam 17.00 mereka harus pulang. Kalau masih di kantor berarti lembur. Dan waktu lembur dihitung berdasar nominal-nominal rupiah. Berapa sih harga sang waktu?

Sungguh mengkin pengusaha-pengusaha kelas kakap yang mampu menjebak para profesional itu dalam waktu-waktu kerja yang mereka punyai lewat perantaraan modalnya, adalah Tuhannya sang waktu. Mereka bisa saja ibarat pedagasng di pinggir-pinggir jalan yang berkoar, "Waktu-waktu..waktu-waktu... murah koq, cuma sepuluh ribu tiga." Dan, orang-orang berbondong-bondong menyerbu dan menunggu obaralan-obralan lain untuk mencari discount-nya si pengusaha waktu itu.

Seperti biasa, riakan-riakan ini hanya sekadar ungkapan nurani yang hendak mau bebas dari tipuan-tipuan dunia zaman mutakhir. Tapi, hal ini bukan aku tidak setuju untuk hal ini kawan, disiplin!

Monday, April 2, 2007

Surat Buat Christa


Seandainya kita pernah satu kelas pada masa-masa SMA, atau pernah ambil satu mata kuliah bareng, pastinya aku akan mengajukan diri untuk memilih menjadi 'teman sebangkumu'.


Bukan untuk memilih-milih teman atau mebeda-bedakan satu dan yang lain, yang jelas banyak unsur ketidakadilannya di sana. Tapi, aku adalah seorang penganut paham: HIDUP ADALAH PILIHAN.


Aku rasa, pengandaian di atas belumlah terlambat. Akhirnya, kita pun dipertemukan dalam satu forum...


Aku tidak tahu apakah ini sebuah kebetulan semata atau misteri. Bukan untuk terlalu membesar-besarkan makna pertemuan kita. Atau aku terlalu melankolis akhir-akhir ini. Tapi aku yakin, dalam setiap perjumpaan ada persentuhan (baca: PERSEN TUHAN). Bagiku, setiap perjumpaan adalah BERKAT-


Aku pengen tahu kamu lebih banyak. Itu saja intinya... Ketika aku menyadari, kalau kamu juga adalah 'hadiah' dari-NYA. Sepertinya ada yang salah saja jika aku tidak mau tahu atau membiarkan berkat perjumpaan antara kamu dan aku.....


Dari sedikit pemahamanku menyambut kamu, mungkin kamu bisa langsung menunjuk ada sesuatu yang kotradiktif. Satu soal berkat (bisa juga dimaknai sebagai misteri), dan yang lain soal pilihan.


Misteri bisa jadi dimaknai sebagai sesuatu yang tidak pernah bisa kita pahamai, dan di sisi lain, pilihan secara sederhana bisa dimaknai sebagai bentuk ungkapan sikap atas sebuah kesadaran utuh. Dua hal yang menurutku bertentangan. Satu ada unsur kebetulan dan ketdiaksengajaan dan yang lain merupakan kesengajaan....


Dalam dua tarik-menarik antara misteri dan pilihan, aku tulis email ini...


Christa, dunia bagiku memang tampil paradoks. Satu sisi dia sangatlah luas, tapi di sisi lain sempit. Seperti paradoks globalisasi. Globalisasi di satu sisi mengumpulkan orang-orang dari seluruh penjuru dunia dalam kampung, tapi di sisi lain globalisasi sungguh memisahkan, antara yang 'miskin' (penjual krupuk yang kita temui beberapa kali, waktu aku nebeng pulang itu...) dengan pengusaha potato, taro, dan sebagainya. Pada akhirnya yang 'miskin' (aku sebut miskin karena dia tidak bisa masuk dalam global village itu, entah karena tidak satu bahasa dengan para warganya,atau karena hal lain. Walaupun mereka sama-sama manusia), akan tergilas globlisasi dengan gerbong neoliberalisme-nya.

Bagiku, kamu juga bagian dari tampilan dunia yang paradoks itu. Kamu ternyata adik ipar temenku, HELEN.

Christa, selain paradoks, dunia bagiku juga tampil berwarna-warni. Tapi, seringkali aku tidak bisa mengenali warna-warna di duniaku sendiri. Kerap aku ibarat seorang buta warna. Karena, banyak sekali tampilan abu-abu (campuran hitam-putih) di depan mataku.

Di sanalah Christa, aku menginginkan kamu menjadi teman sebangkuku. Tidak sekadar menemaniku di saat aku senang dan susah. Tapi lebih dari itu, aku ingin kamu menjelaskan banyak warna-warni dunia dari sudut kelopak indah matamu....

Sekali lagi Christa, aku ingin mengetahuimu lebih banyak. Bukan untuk sekadar urusan pribadi, apalagi investigasi... Tapi, untuk urusan dunia ini. Dunia yang paradoks, warna-warni, abu-abu dan misteri. Di sana aku memilih kamu untuk membantuku (bersama dengan teman-teman lain tentu saja) melihat dan merasakan senja, fajar, terang, gelap, panas dan sejuknya dunia. Aku yakin, kamulah orangnya yang aku cari selama ini. Kenapa? Entah. Karena, aku sudah tidak tahu lagi hitam dan putih. Mengertikah kamu?

Ah Christa, mungkin ini terlalu berlebih. Jangan terlalu serius...Aku hanya ingin menulis dalam temaram senja Metropolitan, sembari membayangkanmu...