Pages

Thursday, October 29, 2009

Bukan Pentagon yang Menjatuhkan Uni Soviet, tapi Hollywood

Judul di atas terkesan cukup terburu-buru dan terkesan provokatif menyimpulkan penyebab runtuhnya Soviet. Hal tersebut jelas susah dibuktikan secara ilmiah, namun setidaknya hal itu dapat menjadi pintu masuk memahami lebih dalam dan merefleksikan kejatuhan Soviet. Tulisan ini adalah sebuah bentuk refleksi 20 tahun keruntuhan komunisme di Eropa Timur.

Wajah Soviet seketika berubah ketika Mikhail Sergeyevitch Gorbachev menghembuskan glasnost (keterbukaan) dan perestroika (restrukturisasi) tahun 1985. Produk-produk industri kapitalis mengalir masuk bagai air bah termasuk aneka kendaraan roda empat, film-film Hollywood, sampai minuman kaleng seperti Coca-Cola. Masuknya produk itu tidak sekadar menawarkan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, namun lebih jauh dari itu, mereka perlahan-lahan menawarkan gaya hidup baru, dari sebuah ideologi “baru” di baliknya. Tak lama kemudian Gorbachev tumbang bersama Uni Soviet, tapi gerbong globalisasi terus melaju, melibas siapa saja yang tidak mampu bersaing dalam alam kapital.


Teori Konstruktivisme adalah teori yang paling ideal dalam menganalisa bagaimana identitas dan kepentingan dapat berubah dari masa ke masa, dimana hal ini menghasilkan pergeseran secara perlahan dalam pola tingkah-laku negara dalam Hubungan Internasional. Kelemahan utama realis dan liberalis adalah mereka memandang interest negara-negara itu statis. Realis yang lebih berfokus pada anarki dan distribusi kekuatan, gagal menjelaskan fenomena kejatuhan Soviet yang diakhiri tanpa perang. Sementara liberalisme dalam konteks Soviet gagal menjelaskan motif apa di balik Gorbachev.

Akhir era perang dingin memainkan peranan penting dalam pembentukan teori konstruktivis. Realisme dan Liberalisme tidak mampu mengantisipasi peristiwa ini, sekaligus kesulitan dalam menjelaskannya: Terutama ketika Presiden Mikhael Gorbachev merevolusi kebijakan luar negeri Soviet, karena ia memeluk ide baru “Common Security”.

Ketika Realis dan Liberalisme cenderung berfokus pada faktor material seperti kekuasaan dan perdagangan, pendekatan konstruktivis menekankan kepada dampak dari ide. Pendekatan ini lebih mengedepankan aspek historis yang spesifik dalam mengidentifikasi dan menganalisa kepentingan negara . Jelas, di sini konstruktivis memandang anarki bukanlah sebuah given. Berbeda dengan realis dan liberal.

Pendekatan ini memerhatikan secara seksama wacana umum yang berkembang dalam masyarakat, karena wacana tersebut merefleksikan pembentukan kepentingan dan keyakinan, serta menetapkan norma yang berlaku di masyarakat. Konstruktivisme juga secara khusus memerhatikan sumber-sumber perubahan. Pendekatan ini kemudian perlahan-lahan menggantikan teori Marxisme, sebagai salah satu perspektif radikal terkenal dalam HI.

Dari sudut pandang konstruktivisme, masalah pokok yang ada dalam perang dingin adalah bagaimana kelompok yang berbeda tersebut mengungkapkan jati diri dan kepentingannya. Meskipun Power disini bukanlah masalah yang relevan, pendekatan ini menekankan bagaimana ide dan identitas dibentuk, bagaimana mereka (ide dan identitas) berevolusi, dan bagaimana mereka menekan negara agar mengerti dan merespon.

Alexander Wendt, salah satu sarjana aliran konstruktivisme, menjelaskan bahwa konsepsi Realis tentang anarki tidak cukup menjelaskan bagaimana konflik antar negara terjadi. Wendt justru berkesimpulan bahwa anarki adalah apa yang dibentuk oleh negara.

Tema umum yang dapat merangkum berbagai macam teori konstruktivis di atas adalah bagaimana aktor politik mendefinisikan diri mereka dan kepentingan mereka, yang pada akhirnya mengubah perilaku mereka dalam menentukan kepentingan negara.

Prinsip dasar dari teori sosial konstruktivisme adalah bahwa masyarakat/orang bertindak terhadap objek, termasuk aktor lainnya, dalam tataran pengertian bahwa objek tersebut milik mereka. Negara melakukan tindakan berbeda terhadap lawan dibandingkan dengan apa yang dilakukannya terhadap kawan, karena lawan adalah ancaman, tapi berbeda dengan kawan.

Anarki dan distribusi kekuasaan tidak cukup untuk menjelaskan pada kita mana yang kawan, dan yang mana lawan. Kekuasaan militer US memiliki signifikansi/kepentingan yang berbeda untuk Kanada dibandingkan untuk Cuba, walaupun mereka memiliki posisi yang relative sama “secara struktural”, seperti halnya rudal British memiliki kepentingan yang berbeda untuk US daripada yang dilakukan rudal Soviet. Distribusi kekuasaan akan selalu mempengaruhi kalkulasi negara, tetapi bagaimana hal ini (distribusi kekuasaan) melakukannya tergantung pada pemahaman intersubjektif dan ekspetasi, pada “distribusi pengetahuan”, yang membentuk konsepsi diri mereka dan yang lain. Hal ini merupakan pengertian kolektif yang membentuk struktur yang mengatur aksi apa yang kita lakukan.

Tahap pertama pada transformasi intensional adalah rincian dari konsensus mengenai komitmen identitas. Pada kasus Soviet, komitmen identitas terpusat pada teori Lenin mengenai imperialisme, dengan kepercayaannya bahwa relasi antara negara kapitalis dan sosialis secara turun temurun berkonflik, dan pada pola aliansi dimana kepercayaannya ini timbul. Di tahun 1980-an, konsensus Uni Soveit terhadap teori Leninist pecah dalam beberapa alasan, pelaku utama di antara yang kelihatannya merupakan ketidakmampuan negara untuk bertemu dengan tantangan ekonomi, teknologi dan militer dari Barat, penurunan pemerintah akan legitimasi politik dalam negeri, dan kepastian dari Barat bahwa Barat tidak berintensi untuk menginvasi Uni Soviet, sebuah kepastian yang mengurangi biaya eksternal perubahan peran. Faktor-faktor ini menjadi jalan bagi transisi kepemimpinan radikal dan untuk skema politik yang tidak beku yang selanjutnya memfokuskan hubungan dengan Barat.

Rincian konsensus membuat mungkin keberadaan tahap kedua dari pemeriksaan kritis akan ide lama mengenai diri dan pihak lain, dan dengan perpanjang, struktur interaksi dimana ide telah dilanjutkan. Dalam periode identitas peran yang relatif tetap, ide dan struktur akan menjadi ter-reifikasi dan diperlakukan sebagai sesuatu yang eksis secara mandiri dari aksi sosial. Jika demikian, tahap kedua adalah salat satu dari denaturalisasi, dari identifikasi praktek-praktek yang memproduksi ulang ide-ide yang tampaknya tidak terelakkan tentang diri dan pihak lain, sejauh itu, hal ini merupakan bentuk teori “kritis” daripada teori “problem-solving”. Hasil dari kritik seharusnya merupakan sebuah identifikasi akan “possible selves” atau kemungkinan diri yang baru dan juga aspirasi. New Thinking terdiri dari teorisasi kritis.

Pemikiran ulang semacam ini memberikan jalan bagi tahap ketiga dari praktek baru. Di banyak kasus, hal ini tidak cukup untuk memikirkan ulang ide seseorang akan diri dan pihak lain (self and other), karena identitas yang lama telah dipertahankan oleh sistem interaksi dengan aktor lainnya, praktek dimana menyisakan sebuah fakta sosial untuk pelaku transformatif. Untuk mengubah diri, lalu, hal ini sering kali perlu/penting untuk mengubah identitas dan kepentingan pihak lain yang membantu menopang/mempertahankan sistem interaksi tersebut. Kendaraan/alat untuk menginduksi perubahan adalah praktek masing-masing negara, dan khususnya praktek “altercasting” (perubahan peran), sebuah teknik kontrol interaktor dimana ego digunakan sebgai taktik dari self-prevention (pencegahan diri) dan menejemen tahap dalam sebuah usaha utuk membingkai definisi perubahan dari situasi sosial dengan cara membentuk peran dimana keinginan ego berubah untuk bermain.

Sebenarnya, dalam proses altercasting, ego mencoba untuk menyebabkan perubahan untuk mengambil identitas yang baru (dan dengan demikian melibatkan perubahan pada usaha ego untuk mengubah dirinya sendiri) dengan memperlakukan perubahan seolah-olah perubahan ini telah memiliki identitas tersebut.

Namun, praktek-praktek seperti itu sendiri tidak dapat mengubah sistem keamanan yang kompetitif, karena jika mereka tidak kembali dibentuk (reciprocreated) oleh perubahan, mereka akan mengekspose ego kepada “penghisap” hasil, dan dengan cepat berakhir sebelum waktunya. Agar praktek strategis yang kritis mentransformasi identitas yang kompetitif, hal ini harus “dihadiahi”/”diberikan reward” oleh perubahan, yang akan menyemangati praktek yang dilakukan ego dst. Seiring berjalannya waktu, hal ini akan menginstitusionalisasi identifikasi yang positif daripada yang negatif antara keamanan diri dan pihak lain, dan dengan demikian akan menghasilkan basis intersubjektif yang tetap untuk sesuatu yang awalnya merupakan komitmen yang tentatif menjadi identitas dan kepentingan yang baru.

Soviet dalam era Gorbachev adalah gambaran gamblang bagaimana proses perubahan interest berlangsung, identitas itu berubah sehingga berkontribusi sampai pada perubahan kebijakan politik luar negeri Soveit. Jelas hal ini bukan tanpa alasan, Soviet mencermati exogenous forces dalam melihat transformasi bergesernya ‘rejim’ komunis Soviet menjadi Rusia dengan ilusi demokrasinya. Perubahan faktor eksternal, perubahan selera masyarakat, kemajuan teknologi adalah sedikit contoh dari exogenous forces yang bisa mentransformasikan sistem sosial.


Bahaya Kuning dari Utara

“Jarak peradaban itu, berapa pun langkahnya tidaklah penting. Bagaimana pun yang kuat akan menelan yang lemah. Biar pun yang kuat itu hanya kecil. Bayangkan saja: Cina bangsa besar. Bagaimana kalau sekaligus kuat? Bahaya Kuning, Tuan-tuan, Bahaya Kuning. Awas-awas. Jepang sudah menjadi kenyataan. Cina juga bisa menjadi kenyataan. Kita suka atau tidak. Mungkin kita sudah tak bakal menyaksikan. Tapi awas-awaslah, karena waktu berjalan terus. Kita suka atau tidak .”
(Pramoedya Ananta Toer)

Percakapan Dan Maarten Nijiman dan Minke –dua tokoh dalam roman Anak Semua Bangsa– di atas, terjadi dalam kurun waktu awal abad ke-20. Nijiman mengagumi Angkatan Muda Cina yang progresif melakukan pembaharuan, peremajaan di Cina. Waktu itu kecil sekali jumlahnya. Nijiman tetap punya keyakinan, bagaimana pun kecil dan tak berarti kelihatannya, makin lama akan makin besar .

Nijiman siapa pun dia, entah tokoh fiktif atau personifikasi nyata seseorang yang menjadi inspirasi Pramoedya, termasuk salah seorang yang paling jeli pertama kali memprediksi kebangkitan Negeri Tirai Bambu.


Satu abad sesudah percakapan Nijiman dan Minke, dunia dibuat heboh dengan rekasasa baru dari Asia. Cina menjadi tuan rumah Olimpiade termegah sekaligus menjadi juara umumnya. Rakyat bangga bahwa China dapat melewati AS.

Cina berhasil melesatkan pesawat ulang-aliknya untuk membawa taikonot-nya mengelilingi dunia. Cina telah memegang surat berharga AS sekitar US$ 1,3 triliun, sekitar 70 persen dari cadangan devisanya senilai US$ 1,8 triliun, yang memicu kekhawatiran di antara politisi AS bahwa penguasaan yang sangat besar itu akan menjadi ancaman Cina terbesar.

Dalam perdagangan, kata I Wibowo dalam artikel 60 Tahun RRC di Kompas (1/10), China mampu menaklukkan AS sehingga negeri Paman Sam ini mengalami defisit besar. Koran-koran China pasti memuat berita yang memperlihatkan angka statistik dalam hal apa saja jika itu menyamai atau melebihi AS .

Awal 2009 ini, China boleh amat bangga bahwa untuk pertama kalinya posisi China diperhitungkan setara oleh AS. Adalah Robert Zoelick, Direktur Bank Dunia, yang pertama melontarkan gagasan bahwa krisis keuangan global saat ini hanya bisa diselesaikan oleh G-2. Maksudnya adalah AS dan China. Gagasan ini menguat, lalu masuk China, dan membuat banyak intelektual China berbunga-bunga. Krisis keuangan global yang mulai pada September 2008 memang telah mengubah seluruh tata ekonomi dunia, termasuk hubungan China dan AS.

Ilustrasi keberhasilan Cina yang gilang-gemilang di berbagai bidang apakah menjamin dirinya akan mampu menyaingi dan pada akhirnya mengalahkan AS? Apakah akan terjadi perubahan kekuatan dari Barat ke Timur?

Dalam artikelnya Think Again: Asia’s Rise, Minxin Pei meragukan itu semua. Argumentasinya cukup beralasan. Pertama, dia menjelaskan pertumbuhan Asia yang menunjukkan datangnya dunia miultipolar bukan unipolar lagi. Kedua, meski Asia telah meng-upgrade kekutan militer mereka, tetapi masih tetap 1/3 dari kekutan militer AS pada 2008 dalam arti pengeluaran militer. Dengan pertumbuhan ekonomi Asia yang seperti sekarang ini, dibutuhkan rata-rata 77 tahun untuk manyamai pemasukan rata-rata rakyat AS, China memerlukan 44 tahun dan India memerlukan 123 tahun. Dana militer se-Asia diakulmulasikan pun tidak akan menyamai dana militer amerika serikat selama 72 tahun.

Ketiga, tidak ada artinya membicarakan Asia sebagai kekuatan yang berasal dari satu entitas, sekarang maupun ke depannya. Sejarah di Asia dipenuhi dengan kompetisi kekuatan dan konflik militer antara negara-negara besar. Seperti China dan Jepang mereka memperrebutkan Korea, Uni Soviet bekerjasama dengan India dan Vietnam untuk menjaga China. Apabila Asia menjadi pusat gravitasi geoplitik di dunia, maka hasilnya dapat menjadi dunia yang suram. Selanjutnya Pei menekankan, salah satu bahan dalam kekuasaan adalah pemikiran (Idea). Pax Americana dapat terjadi dikarenakan oleh kuatnya ekonomi dan kekuatan militer Amerika Serikat, tetapi juga oleh beberapa pemikiran seperti: perdagangan bebas, Wilson liberalism, dan lembaga-lembaga multilateral.

Terakhir Pei berpendapat, yang melatarbelakangi Asia pada saat ini adalah kekuasaan. Asia boleh merasa bangga bahwa mereka memasuki revolusi industri baru. Tetapi “percaya diri” bukanlah sebuah ideologi dan model perkembangan Asia tidak terlihat seperti sesuatu produk yang dapat diekspor.

Pertumbuhan ekonomi di Asia baru-baru ini memang memberi harapan bahwa ekonomis Asia akan menjadi super power. Goldman Sachs, mengatakan bahwa pengeluaran ekonimi China akan melewati Amerika Serikat pada tahun 2027 dan India akan menyusulnya pada tahun 2050.

Meski demikian, apakah China akan mendominasi Asia?
“Tidak juga,” kata Pei. Alasanya, walaupun itu benar bahwa China akan menjadi salah satu Negara terkuat tetapi ada batas-batasannya. Pertumbuhan ekonomi China juga tidak dijamin dapat tumbuh dengan cepat secara konstan karena ada hambatan dari dalam negeri tersebut seperti partai komunis yang anti ekpansi dan Negara-negara tetangga Cina seperti Russia, India dan Jepang yang tidak ingin Cina menjadi negara super power di wilayah Asia.

Bagaimana Negara Bisa Menjadi Super power?
Headly Bull dalam The Great Power and International Order, konsep baru “super power” bagaimanpun tidak menambah apa-apa dari konsep yang lama “Great Power”. Adalah suatu kesalahan untuk mendefinisikan “kekuatan besar” / “super power” dengan posisi strategi kekuatan nuklir.

Terus, siapa sebenarnya yang dapat dikatakan sebagai kekuatan besar sekarang?
Masih dalam The Great Power and International Order, kriteria pertama adalah perbandingan status; kedua adalah dengan memiliki kekuatan militer yang baik; ketiga kontribusi dari kekuatan besar terhadap tatanan internasional beranjak dari fakta kekuatan yang tidak setara antara negara-negara yang membentuk sistem internasional.

Keempat, karena negara tidak setara dalam kekuatan, isu internasional tertentu diselesaikan sebagai konsekuensi, keinginan dari negara tertentu (yang lemah) dapat dalam prakteknya ditinggalkan, dan kehendak / keinginan dari negara (yang lebih kuat) dianggap sebagai isu yang sangat relevan. Kelima, ketidaksetaraan dalam bidang kekuatan negara telah mempunyai pengaruh, menyerdehanakan pola hubungan internasional, memastikan beberapa negara akan berjaya sedangkan yang lain akan redup, konflik tertentu akan membentuk motif politik internasional sedangkan yang lain akan terbenam.

Terakhir, kekuatan besar berkontribusi terhadap tatanan internasional dalam dua jalan: dengan cara mengelola hubungan yang satu dengan yang lain, dan dengan mengeksploitasi lebih besar dengan cara untuk mengalihkan tingkat arah pusat kepada urusan masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Kedua peran atau fungsi saling berhubungan dan sulit untuk memisahkan realitas sejarah, langkah dan kekuatan besar untuk mengatur hubungan antara satu dengan yang lain mengarah secara langsung untuk berusaha menyediakan arah pusat atau mengatur urusan masyarakat internasional sebagai keseluruhan.

Memang, untuk kriteria terakhir Cina menurut penulis masih belum bisa mengimbangi AS. Diperlukan soft power yang luar biasa besar hingga sampai pada taraf mengatur masyarakat internasional sebagai satu keseluruhan.

Namun, hal terebut bukanlah tidak mungkin untuk Cina kejar. Dalam tulisannya Cina 60 tahun ke depan, I Wibowo –pengamat masalah Cina, sudah mengirimkan tanda-tanda yang jelas jika Cina kini sedang mengembangkan soft power-nya.

Menurut I Wibowo, soft power Cina sudah besar, tapi belum cukup besar. Supaya dunia yakin negara itu tak mengandalkan hard power, Cina sebaiknya tak hanya menyebarluaskan bahasa, tapi juga nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ini sudah ada akarnya dalam kebudayaan mereka. Soft power harus dikembangkan bukan sebagai strategi diplomasi semata, melainkan juga komitmen yang otentik. Mungkin ini pekerjaan rumah penting untuk Cina 60 tahun ke depan .

Memperdebatkan “Bahaya Kuning Dari Utara” dalam persaingannya menjadi super power ke depan menurut penulis tidak cukup dijelaskan lewat data-data empiris saja. Dalam konteks dunia yang tampil nyaris tanpa batas ini, kecepatan memegang peranan paling penting. Siapa yang paling cepat memanfaatkan setiap peluang dialah yang akan menjadi pemenang. Dengan persebaran etnis di kota-kota besar di seluruh penjuru dunia dan kekuatan ikatan kekeluargaan serta kepercayaan di antara mereka sendiri adalah modal yang tidak dimiliki AS yang juga mesti diperhitungkan.

Memiliki kekuatan senjata nuklir seberapa hebat pun dia, tidaklah semudah mengoperasikannya dalam rangka meraih tujuan nasionalnya. Dia pasti sudah terikat dengan norma-norma demokrasi, hak asasi manusia, dan pertimbangan-pertimbangan rasional lainnya. Di titik inilah, penulis yakin Cina akan menjadi super power. AS telah menjilat sendiri ludahnya, demokrasi neoliberalisme diganti dengan politik proteksionisme. AS dalam pasar yang bebas sempurna kewalahan dengan barang-barang murah dari Cina yang kini telah berjajar di gerai-gerai Wallmart.


What is the Colour of Jacko’s Penis?

Michael Jackson memang luar biasa. Kematiannya tak sedikitpun menyurutkan antusiasme publik untuk mengenal lebih jauh tentang siapa raja pop dunia ini. Media terus saja mengeruk keuntungan dengan memberitakan hampir semua hal tentang Jacko. Berita seputar kontroversi sebab kematiannya, berapa jumlah anaknya, konser Madonna khusus mengenang Jacko, kontroversi mahalnya biaya pemakaman yang menghabiskan dana triliunan rupiah yang membuat berang pemerintah Los Angeles, dan sebagainya.


Bali masih pagi. Dengan Opel Blazer warna abu-abu saya bersama dua orang kawan berangkat dari Tabanan menuju Ubud. Ada sesuatu yang tampak beda dari hari-hari biasanya. Yang tak lazim itu adalah kesibukan polisi merazia hampir setiap kendaraan. Keamanan di Bali diperketat pasca teror bom yang mengguncang lagi. Rakyat Bali, jelas masih memiliki taruma dengan aksi terorisme. Tragedi bom yang meluluhlantakkan Legian dan untuk beberapa saat mematikan sektor pariwisara yang merupakan urat nadi perekonomian Bali masih menyisakan luka.

Entah mengapa, kendaraan yang kami tumpangi tidak diperiksa. Aparat keamanan hanya melambaikan satu tangannya pertanda kami diperbolehkan meneruskan perjalanan. Tak lama, tibalah kami di Campuan, Ubud dan langsung menuju sebuah musem milik maestro lukisan Antonio Blanco (1911-1999). Seorang aktor serba bisa dari Spanyol yang memilih tinggal di Bali dan mendedikasikan seluruh hidupnya demi sebuah pencapaian seni tertinggi.

Antonio Blanco pun menggapainya. Gelar “Don” yang mendahului namanya adalah bukti pengakuan dunia atas dirinya. “Don” adalah gelar khas Spanyol untuk orang-orang yang sangat berjasa di bidangnya. Don Quijote misalnya (diambil dari sebuah judul karya sastra garapan Miguel del Cervantes), Don Juan, dan sebagainya. Istilah Don, mirip dengan pemakian gelar “Sir” di Inggris.

Setelah membayar tiket masuk (Rp 30.000,- untuk tiket masuk tiap pengunjung lokal dan Rp 50.000,- untuk tiap turis asing) kami pun disambut dengan bunga kuning tanda selamat datang yang diharapkan akan diselipkan di salahsatu daun telinga. Pengunjung sebelum kami semuanya adalah warga asing. Turis Australia, Jerman, Prancis dan Spanyol. Tepat di atas pintu masuk museum, tepahat tulisan, “Through Over Portals Pass The Most Beautiful People In Bali”. Ketika memasuki pintu itu, kami justru berada di halaman rumah kerja Don Antonio Blanco. Beberapa kakaktua, rangkong, dan nuri menyambut dengan ramah. Mereka juga jinak untuk sekadar diajak foto bersama. Pintu masuk sesungguhnya museum itu adalah sebuah gapura yang tak lain adalah rancang bangun dari tanda tangan Antonio Blanco sendiri.

Karya Blanco
Memasuki ruang pameran, terdapat sebuah foto di mana di sana terlihat Micahael Jackson sedang menandatangani sebuah lukisan karya Blanco yang tak lain adalah gambar dirinya. Di sana, Jacko terlihat akrab dengan Blanco.
“Ini di Singapura dalam sebuah pameran lukisan,” kata seorang gadis pemandu kepada kami memberi keterangan.

Perlahan, satu demi satu karya Blanco saya cermati. Kebanyakan adalah lukisan perempuan telanjang. Yang dijadikan modelnya seorang penari Bali yang tak lain adalah istrinya sendiri, Ni Ronji. Eksotisme Bali terfragmen sempurna dalam tubuh telanjang perempuan.

Uniknya, semua dibingkai berbeda-beda. Ini adalah salahsatu ciri khas Blanco. Bingkai lukisan tak terpisahkan dari lukisan itu sendiri. Ada satu kesatuan yang utuh. Ciri khas lain dari lukisan Blanco adalah tidak adanya tanggal yang tertera di sana. Ini dimaksudkan Blanco agar karyanya abadi. Tiada awal dan akhir.

Dari banyaknya lukisan yang ada di sana, tak satu pun menurut Blanco menjadi karya agungnya. Semua dianggap sama nilainya. Setara. Namun, bagi saya, sebagai orang awam dalam dunia seni lukis, saya sangat mengagumi dan dapat menikmati beberapa saja. Satu di anataranya adalah karyanya tentang dosa asal. Tertutup dalam sebuah bingkai persegi berukirkan gambar lambang tanda cinta warna coklat yang terkoyak, karya itu seolah tersembunyi dan menjadi sebuah misteri. Ternyata, ukiran itu bisa dibuka persis seperti sebuah pintu gerbang. Ketika hiasan dinding berbentuk ukiran itu dibuka, tersibaklah misteri itu. Gambar senggama antara Adam dan Hawa yang memegang sesuatu mirip buah apel.

Misteri Jacko
Langkah saya tertahan lama di dalam ruang kerja Blanco. Karena, masih juga saya jumpai kenangannya bersama The King of Pop itu. Bisa jadi pertemuan Blanco dan Jacko adalah momentum yang sangat membekas bagi keduanya. Perjumpaan itu jelas bukan sekadar pertemuan, namun juga persentuhan (baca: persen tuhan). Ada persentuhan spiritual dari dua orang maestro.

Dalam karya berjudul Black or White, Jacko tergambar di sebuah sisi pada saat dia masih berkulit hitam dan di sisi yang lain ketika dia sudah berkulit putih. Seluruh dunia pun tahu akan hal ini. Namun, sebagai seorang maestro lukis, Blanco memiliki sebuah kejelian. Dia menanyakan hal yang mungkin tidak pernah disadari Jacko sebelumnya.

“What is the colour of your penis?” begitu gadis pemandu itu menuturkan ulang kepada saya pertanyaan Blanco kepada Jacko.

Jawaban Jacko juga mungkin tidak pernah disangka oleh Blanco. Katanya, “Not black, or white, or brown, or zebra…”

“So?” tanya saya kepada gadis pemandu penuh penasaran.

Gadis itu tak segera menjawab. Dia malah mendekati bingkai atas lukisan yang di sana terdapat topi khas Jacko, topi mirip para pesulap. Bedanya, topi itu lebih berukuran mini.

“Saya adalah seorang vegetarian. Jadi, warnanya adalah carrot,” katanya menirukan Jacko dengan nada menggoda tepat pada saat gadis itu membuka topi yang menjadi tutup sebuah wortel berwarna oranye.

Ups….


***

Ubud, 21 Juli 2009


Sistem Bipolar Lebih Stabil Dibanding Multipolar

(Perspektif Neorealis Tantangan Keamanan Internasional)

Perubahan situasi bisa berlangsung hanya dalam beberapa jam saja, tetapi untuk membangun sebuah struktur keamanan dunia, dibutuhkan waktu bertahun-tahun.

Pengantar
Petikan kaliamat di atas adalah sebuah gambaran umum atas apa yang akan dibahas dalam makalah ini. Tulisan ini akan membedah perspektif neorealis terhadap tantangan keamanan internasional mengutip pati sari pemikiran Kenneth Waltz.


Untuk memahami secara gambalang neorealis maka penulis dalam makalah ini ingin terlebih dahulu mengupas sedikit mengenai relaisme klasik karena akar dan asumsi-asumsi dasar realisme klasik tetap dipakai oleh neorealisme. Penekanannya, adalah jika realisme klasik masih memandang sifat negara seperti halnya sifat manusia, neorealis akan lebih menekankan pada anarki, di mana struktur internasional yang terdiri dari negara-negara yang berdaulat.

Secara sederhana, penulis ingin menyajikan makalah ini dalam empat bagian. Pertama, seperti sudah disinggung di atas bagian ini akan membahas realisme klasik. Bagian kedua akan membedah apa itu anarki dalam sistem internasional. Negara akan dipandang dalam posisinya yang memiliki fungsi yang sama akan dibahas pada bagian ketiga. Sementara bagian terakhir penulis ingin mengupas konstalasi dunia dalam neorealis yang dipandang dari sisi kekuatan atau power. Pada bagian terakhir juga penulis menjelaskan lebih jauh mengapa sistem bipolar lebih stabil dibanding multipolar.

Realisme Klasik
Pendekatan Realis adalah pendekatan yang dominan berkembang pada masa perang dingin. Realis menggambarkan hubungan internasional sebagai pergumulan untuk meraih kekuasaan di antara kepentingan nasional negara-negara dan digeneralisasikan sebagai pendekatan yang pesimistik dalam menghapuskan konflik dan perang.

Pendekatan ini mendominasi pada masa perang dingin karena realis memberikan penjelasan yang simpel, tetapi dengan penjelasan yang powerful tentang perang, aliansi, imperalisme, rintangan dalam berkerjasama dan fenomena masalah internasional lainnya. Dan dikarenakan untuk memberikan penekanan terhadap kompetisi. Realis secara konsisten terus menyoroti perseteruan antara AS dan Uni Soviet .

Pendekatan Realis klasik yang dipelopori oleh Hans Morgenthau dan Reinhold Niebuhr, percaya bahwa negara seperti halnya manusia, memiliki sifat dasar untuk mendominasi satu sama lain, yang akhirnya berujung pada perang. Morgenthau menarik kesimpulan bahwa sistem dunia multipolar merupakan bentuk terbaik dari balance of power suatu sistem, sedangkan rivalitas antar dua kekuatan (bipolar) merupakan suatu sistem yang berbahaya.

Realisme klasik memandang sifat negara tak ubahnya sifat dasar manusia yang pada dasarnya mau menang sendiri (selfish) dan serakah. Realisme klasik melihat individu (pria dan wanita) secara alami adalah binatang politik. Mereka dilahirkan untuk mengejar kekuasaan dan untuk memperoleh hasil dari kekuasaan. Manusia adalah animus dominandi (haus akan kekuasan), demikian kata Morgenthau .

Bagi kaum realis, negara (state) adalah aktor utama dalam hubungan internasional, sekaligus menekankan pada hubungan antarnegara (interstate relations). Negara dalam konteks ini diasumsikan sebagai entitas yang bersifat tunggal (unitary) dan rasional. Maksudnya adalah bahwa dalam tataran negara, perbedaan pandangan politis telah diselesaikan hingga menghasilkan satu suara, sedangkan negara dianggap rasional karena mampu mengkalkulasikan bagaimana cara mencapai kepentingan agar mendapat hasil yang maksimal .

Pemikiran realisme klasik ini mendapat tantangan dari seorang bernama Neal Kenneth Waltz (lahir 1924) dari Columbia University. Waltz menjadi sangat terkemuka di dalam ilmu Hubungan Internasional dengan teori neorealisme atau realisme strukturalnya. Meski demikian, Waltz sependapat dengan realisme klasik di mana konsep kedaulatan negara masih menjadi aspek normatif.

Anarki
Neorealisme memandang keamanan internasional bersifat anarki karena memang struktur internasional yang terdiri atas negara-negara yang berdaulat, dan tidak ada pemerintahan dunia. Sehingga, neorealisme menekankan studinya pada struktur sistem dan distribusi kekuasaan. Karena lahir merevisi realisme klasik, neorealisme memandang aktor-aktor kurang begitu penting sebab struktur anarki inilah yang memaksa mereka beraksi dengan cara-cara tertentu. Struktur atau sitem internasional beserta efeknya, pada dasarnya adalah faktor utama yang menentukan tindakan.

Dalam buku Man, the State, and War, Waltz mendefinisikan anarki sebagai sebuah kondisi atas kemungkinan untuk atau penyebab yang memungkinkan terjadinya perang, memperdebatkan bahwa “perang terjadi karena tidak ada yang mencegahnya”. Anarki mungkin bertahan karena Negara-negara ingin mempertahankan sifatnya yang otonom. Hal ini yang pada akhirnya menjadikan kritik Alexander Wendt –seorang konstruktivisme– terhadap Waltz. Anarki menurut Wendt adalah apa yang negara-negara buat sendiri .

Waltz berpendapat perhatian mendasar Negara-negara adalah keamanan dan kelangsungan hidup. Ia juga menganggap bahwa masalah utama konflik Negara berkekuatan besar adalah perang, dan tugas utama hubungan internasional –di anatara Negara-negara berkekuatan besar– adalah perdamaian dan keamanan .

Fokus Waltz dalam neorealismenya adalah bagaimana menciptakan sistem atau mengoperasikan sistem. Berbeda dari Morgenthau yang banyak mengupas sifat alami manusia, khususnya pemimpin negara, Waltz memandang pemimpin negara adalah sekadar tawanan dari struktur sistem negara dan logika determinasinya yang memberikan petunjuk tentang apa yang harus mereka lakukan dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Argumen ini pada dasarnya merupakan teori determinis di mana strukturlah yang menentukan kebijakan.

Fungsi Dasar Negara Sama
Bentuk dasar struktur hubungan internasional menurut Waltz adalah anarki yang tersebar di antara negara-negara. Negara-negara, serupa dalam semua fungsi dasarnya –disamping perbedaan budaya, ideologi, atau konstitusi, atau personal, mereka harus menjalankan tugas-tugas dasar yang sama. Semua negara harus mengumpulkan pajak, menjalankan kebijakan luar negeri, dan sebagainya.

Karena sifatnya yang sama-sama berdaulat, maka menurut Waltz, masing-masing Negara secara formal “sama terhadap yang lain. Tidak ada yang berhak memerintah, tak ada yang perlu dipatuhi”. Dalam hal ini, norma tentang kedaulatan negara seimbang. Bagi Waltz, semua negara adalah sederajat hanya dalam arti legal-formal. Mereka tidak sederajat, bahkan jauh berbeda dalam hal isi atau material.

Fungsi Negara dalam hubungan internasional adalah untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya, juga menjadi salah satu kajian Waltz. Bedanya, jika Morgenthau percaya bahwa para pemimpin Negara merasa wajib melaksanakan kebijakan luar negerinya dengan mengacu pada petunjuk yang digariskan oleh kepentingan nasionalnya, maka hipotesis neorealisme Waltz berkata bahwa setiap pemimpin akan selalu melakukan hal itu secara otomatis.

Konstalasi Dunia Dilihat dari Power
Waltz dalam bukunya The Theory of International Politics (1979) memberikan penjelasan ilmiah tentang sistem politik internasional. Pendekatannya dipengaruhi oleh model ekonomi positivis. Teori terbaik dalam Hubungan Internasional menurut Waltz, memfokuskan dirinya pada struktur sistem, pada unit-unitnya yang saling berinteraksi, dan pada kesinambungan dan perubahan dalam sistem

Bagi Waltz, sistem internasional terdiri dari sejumlah kekuatan besar, setiap kekuatan itu mencari cara untuk tetap hidup. Dikarenakan sistem internasional bersifat anarki (tidak ada otoritas sentral yang melindungi suatu negara dari negara lain), setiap negara harus tetap survive dengan caranya masing-masing.

Waltz beragumen bahwa kondisi ini akan menjadikan negara yang lebih lemah menjadi kekuatan penyeimbang (tidak hanya sekedar mengikuti negara yang kuat saja) bagi negara rival yang lebih kuat. Hal ini juga berarti tugas negara-negara kuat adalah menjaga perdamaian dan kemanan dunia. Bertentangan dengan asumsi Morgenthau, Waltz mengklaim bahwa sistem bipolar lebih stabil daripada multipolar .

Negara-negara sangat berbeda hanya mengacu pada kapabilitas mereka yang sangat beragam. Mengutip Waltz, unit-unit negara dari sistem internasioanal “dibedakan khususnya oleh besar atau kecilnya kapabilitas mereka dalam menjalankan tugas yang serupa… struktur suatu sistem berubah seiring dengan perubahan dalam distribusi kapabilitas antar unit-unit sistem”. Dengan kata lain, perubahan internasional terjadi ketika Negara-negara besar muncul dan tenggelam, dan dengan demikian kekuatan akan bergeser. Alat-alat yang khas dari perubahan itu adalah perang negara-negara berkekuatan besar .

Negara berkekuatan besar tentu saja akan lebih menentukan dalam pembuatan dan perubahan sistem internasional. Negara-negar berkekuatan besar adalah mereka yang mengatur sistem internasional. Waltz memahami, Negara-negara berkekuatan besar memiliki kepentingan besar terhadap sistem itu. Untuk itu, dia menilai ketertiban internasional lebih mungkin dicapai melalui sistem bipolar.

Waltz membedakan anatara sistem bipolar saat Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dengan sistem multipolar –yang terjadi baik sebelum dan sesuadah Perang Dingin. Waltz yakin, bahwa sistem bipolar lebih stabil dan karenanya menyediakan jaminan perdamaian dan keamana lebih baik dibandingkan dengan sistem multipolar.

Mengapa sistem bipolar dikatakan lebih stabil dibandingkan multipolar? Menurut Waltz, sistem bipolar bersifat superior dibanding multipolar karena menyediakan staabilitas internasional yang lebih besar. Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan stabilitas sistem bipolar. Pertama, jumlah konflik antarnegara berkekuatan besar jauh lebih sedikit, dan hal ini mengurangi jumlah kemungkinan perang antar negara-negara besar. Kedua, lebih mudah menjalankan sistem penangkalan yang efektif sebab lebih sedikit Negara-negara berkekuatan besar yang terlibat. Terakhir adalah kemungkinan salah perhitungan dan salah bertindak lebih rendah. Dengan kata lain, dua super power akan bersaing terus menerus, saling mengoreksi satu sama lain .
”Hanya dengan dua negara berkekuatan besar, keduanya dapat diharapkan bertindak untuk memelihara sistem” kata Waltz .

Penutup
Waltz yakin bahwa struktur merupakan kunci dari seluruh persoalan hubungan internasional. Dengan menggugat pandangan realisme klasik di mana aktor atau pelaku menjadi fokus kajiannya, maka neorealis lebih menekankan pada bagaimana struktur hubungan internasional adalah anarki karena berisi negara-negara yang berdaulat.

Bagi Waltz, negara ditempatkan dalam fungsi yang sama dalam hubungan internasional. Meski demikian, Waltz mengakui adanya perbedaan kapasitas dari masing-masing negara. Sistem internasional terdiri dari sejumlah kekuatan besar, dan setiap kekuatan itu mencari cara untuk tetap hidup. Negara yang lebih lemah menjadi kekuatan penyeimbang (tidak hanya sekedar mengikuti negara yang kuat saja) bagi negara rival yang lebih kuat.

Dengan kata lain, stabilitas dalam neorealis adalah pencarian sebuah equilibrium. Dengan demikian, sistem bipolar diyakini Waltz akan

G-20 Tata Kelola Ekonomi Dunia Baru

Tata kelola ekonomi dunia ke depan diprediksi akan jauh lebih terbuka pasca 20 negara sepakat membentuk G-20 di Pittsburg, AS akhir September 2009. Di satu sisi banyak pihak menggadang-gadang lahirnya G-20 akan membawa kebangkitan dunia perdagangan dan investasi untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi global . Sementara di sisi lain, kelahirannya juga merupakan pengakuan atas kegagalan tata kelola ekonomi dunia di bawah G-8 (yang akan tetap eksis walau fokusnya ke depan non ekonomi).

G-20 akan menggantikan peran ekonomi G-8, menyumbang 90 persen terhadap produk domestik bruto dunia, sekitar 60 triliun dollar AS. Terdiri dari AS, EU27, Jepang, China, Jerman, Prancis, Inggris, Italia, Brazil, Kanada, India, Rusia, Meksiko, Australia, Korea, Turki, Indonesia, Argentia, Arab Saudi, dan Afrika Selatan, G-20 diharapkan akan mengubah elite dunia, yang sebelumnya didominasi negara-negara kaya menjadi kelompok elite dengan kombinasi negara kaya dan negara berkembang dengan prospek cerah serta egara-negara kaya. Diharapkan banyak pihak, G-20 mampu mendorong peluncuran sebuah kebijakan multilateral.

Berbagai kalangan yang menyambut positif lahirnya G-20 didasari oleh argumen di mana negara berkembang kini bisa langsung menyuarakan kepentingannya di forum informal dan tidak mengikat ini. Hal ini tentunya jauh berbeda jika dibandingkan dengan apa yang terjadi selama ini dimana negara berkembang sekadar menjadi penonton dan objek dari negara-negara kaya di G-8. Komunike pemimpin G-20 (sebuah organisasi informal baru menggantikan G-8) juga berharap, G-20 akan melawan proteksionisme bersama-sama. Karena, gejala ini menguat akhir-akhir ini di Uni Eropa dengan kian terbatasnya akses pasar ke AS dan negara lain .

Keputusan mengganti G-8 dengan G-20 merupakan keberhasilan diplomasi Obama yang menginginkan pembagian beban dalam tata kelola ekonomi internasional di tengah keterpurukan ekonomi AS. Ini sekaligus merupakan cara Obama mengimbangi Uni Eropa, khususnya Jerman dan Perancis, yang terus menekan AS agar lebih memperketat regulasi di sektor finansial, dengan membatasi bonus bagi para bankir dan eksekutif perusahaan dana cegah resiko.

Sejarahnya sendiri G-20 digagas ketika AS mengalami kemerosotan ekonomi karena dua faktor utama. Pertama, beban sebagai polisi dunia dan perang teror yang mengakibatkan pengeluaran nonproduktif sangat besar. Kedua, sektor produktif manufaktur telah kehilangan daya saing secara signifikan. Karena itu, elite sektor finansial Wall Street menciptakan produk derivatif yang nilainya 684 triliun dollar AS atau 11 kali total PDB dunia yang 60 triliun dollar AS. Industri derivatif itu bertiwikrama menjadi monster predator yang menelan sektor keuangan dan perbankan konvensional dengan aset bermasalah dan beracun. Monster inilah yang ingin dijinakkan oleh elite global G-20 .

Pendekatan-pendekatan HI
Penulis dalam bagian ini akan merangkum secara singkat pendekatan-pendekatan ilmu Hubungan Interasional. Pendekatan-pendekatan ini akan digunakan pada bab selanjutnya sebagai pisau analisis melihat fenomena baru G-20. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah realis, liberalis, dan struktural atau radikal. Dalam bagian kedua ini, penulis hanya menerjemahkan ulang serta merangkum pokok-pokok pemikiran Kenneth Waltz dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul “International Relations: One World Many Theories”.

Realisme
Pendekatan Realis adalah pendekatan yang dominan berkembang pada masa perang dingin. Realis menggambarkan hubungan internasional sebagai pergumulan untuk meraih kekuasaan di antara kepentingan nasional negara-negara dan digeneralisasikan sebagai pendekatan yang pesimistik dalam penghapusan konflik dan perang. Pendekatan ini mendominasi pada masa perang dingin karena Realis memberikan penjelasan yang simpel, tetapi dengan penjelasan yang kuat mengenai perang, aliansi, imperalisme, rintangan dalam berkerjasama dan fenomena masalah internasional lainnya. Dan dikarenakan untuk memberikan penekanan terhadap kompetisi. Realis secara konsisten terus menyoroti perseteruan antara AS dan Uni Soviet.

Pendekatan Realis klasik yang dipelopori oleh Hans Morgenthau dan Reinhold Niebuhr, percaya bahwa negara seperti halnya manusia, memiliki sifat dasar untuk mendominasi satu sama lain, yang akhirnya berujung pada perang. Morgenthau menarik kesimpulan bahwa sistem dunia multipolar merupakan bentuk terbaik dari balance of power suatu sistem, sedangkan rivalitas antar dua kekuatan (bipolar) merupakan suatu sistem yang berbahaya.

Perbedaannya dengan teori “neorealis” yang dipelopori oleh Kenneth Waltz, neorealis mengabaikan sifat alami manusia dan berfokus kepada efek dari sistem internasional. Bagi Waltz, sistem internasional terdiri dari sejumlah kekuatan besar, setiap kekuatan itu mencari cara untuk tetap hidup. Dikarenakan sistem internasional bersifat anarki (tidak ada otoritas sentral yang melindungi suatu negara dari negara lain), setiap negara harus tetap survive dengan caranya masing-masing. Waltz beragumen bahwa kondisi ini akan menjadikan negara yang lebih lemah menjadi kekuatan penyeimbang (tidak hanya sekedar mengikuti negara yang kuat saja) bagi negara rival yang lebih kuat. Bertentangan dengan asumsi Morgenthau, Waltz mengklaim bahwa sistem bipolar lebih stabil daripada multipolar.

Liberalisme
Tantangan terbesar Realisme datang dari teori Liberalisme. Teori dari Liberalis berargumen bahwa ketergantungan ekonomi antar negara akan menghalangi negara tersebut melakukan perang melawan negara lain, sebab peperangan akan mengancam kemakmuran negara masing-masing.

Preisden Woodrow Wilson sebagai salah satu pendukung teori Liberalis (pada saat itu dinamakan teori idealis), melihat bahwa kunci kedamaian dunia adalah penyebaran dari demokrasi (spread of democracy). Ia mengklaim bahwa negara yang demokrasi secara otomatis akan lebih damai (peaceful) daripada negara yang otoriter.

Teori Liberalis juga berargumen bahwa kemunculan institusi internasional seperti International Atomic Energy Agency dan International Monetary Fund, mampu menolong dunia untuk mengatasi negara-negara yang memiliki pola tingkah laku yang egois, dengan mendorong negara tersebut untuk membatalkan pendapatan terhadap kepentingan nasional mereka, demi keuntungan yang lebih besar, yaitu menciptakan kerjasama yang lebih tahan lama (enduring cooperation).

Meskipun kaum Liberalis menegaskan bahwa aktor transnasional (new transnational actors), seperti Multinational Corporation/MNC, secara perlahan akan melampaui batas kekuatan negara; Liberalis masih menganggap bahwa negara menjadi aktor kunci di dalam hubungan internasional.

Pendekatan Radikal/Struktural
Sampai pada dekade 1980-an, terori Marxisme masih merupakan teori alternatif jika dibandingkan dengan teori Realis dan Liberalis. Ketika Realisme dan Liberalisme melihat bahwa negara dan sistem negara merupakan kunci dari hubungan internasional, Marxisme menawarkan penjelasan yang berbeda terhadap konflik internasional dan kerangka (blueprint) untuk menganalis transformasi fundamental ketertiban dunia.

Di dalam teori Marxis ortodox/klasik, negara kapitalisme memerangi satu sama lain sebagai konsekuensi terhadap pergumulan terus-menerus untuk mendapatkan profit dan memerangi negara sosialis karena negara ini merupakan bibit/awal dari kehancuran kapitalisme.

Sebaliknya, teori “ketergantungan” Neo-Marxis berfokus pada hubungan antara kekuatan kapitalis modern/maju dengan negara berkembang, dan beragumen bahwa negara kapitalis menolong kelas/elit yang berkuasa di negara berkembang tersebut (komprador), sehingga negara kapitalis akan mendapatkan kekayaan dengan mengeksploitasi negara berkembang tersebut. Oleh sebab itu solusinya adalah menggulingkan elit parasit tersebut dan melantik pemerintahan baru revolusioner yang berkomitmen untuk membangun pemerintahan yang mandiri.

Kedua teori ini secara langsung di-deskriditkan pada saat perang dingin berlangsung. Alasannya, sejarah membuktikan bahwa kapitalisme tidak secara langsung menyebabkan konflik. Di samping itu, perpecahan yang dialami negara komunisme menunjukkan bahwa sosialisme/komunisme tidak selalu menciptakan keharmonisan. Kemunduran teori ketegantungan (Marxisme) menandakan bahwa; Pertama, Partisipasi aktif dalam dunia ekonomi merupakan jalan yang lebih baik untuk mencapai kemakmuran, ketimbang pembangunan sosialis yang otonom/mandiri; Kedua, Banyak negara berkembang membuktikan dirinya cukup mampu dan terbukti berhasil dalam melakukan tawar-menawar dengan MNC ataupun institusi kapitalis lainnya.

Analisis G-20 dari 3 Pendekatan HI
Realis –lebih tepatnya neorealis, yang selalu melihat konstalasi dunia dalam kacamata kapablitas (dalam hal ini negara-negara kaya), G-20 juga adalah gambaran dari bergesernya konstalasi kekuatan ekonomi dunia yang diempu oleh negara-negara kaya yang kini sedang ambruk akibat krisis global.

AS ingin kepentingan nasionalnya diperjuangkan dalam forum ini demi kembalinya stabilitas pertumbuhan ekonomi dan laju investasinya. AS melihat BRIC dan beberapa negara lain termasuk Indonesia, sebagai ‘solusi’ untuk menyelesaikan persoalan ini. Uni Europa 27, Jepang, Prancis, Jerman juga sepakat dengan jalan ini. Sepakat dengan analsis Syamsul Hadi dalam Kompas (29/9), UE adalah pihak yang menelan dampak paling pahit krisis finansial AS. Ancaman proteksionisme yang menguat akhir-akhir ini memperburuk ekonomi Eropa dengan terbatasnya akses pasar ke AS.

UE ‘menggunakan’ forum ini untuk meneruskan kepentingan nasionalnya. Hasilnya tercemin dalam beberapa butir kesepakatan KTT G-20 yaitu mengakhiri kompensasi berlebihan bagi para eksekutif di sektor perbankan, karena mereka meyakini hal inilah yang menjadi biang keladi resesi global. Sementara, ‘keuntungan’ dari negara-negara berkembang –yang dilibatkan, diberi konpensasi 5 persen dari suara pada Dana Moneter Internasional (IMF).

G-20 yang sebentar lagi akan menjadi rejim baru ekonomi dunia, dalam perspektif realis dipandang dalam kapasitasnya dengan relative gains. Rejim ekonomi baru ini diyakini kaum realis tak lain dipandang sebagai ajang konflik antar negara-negara yang memiliki kapabilitas untuk memeperebutkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi kepentingan nasionalnya. Realis rakial seperti Susan Strange bahkan menolak prinsip-prinsip pembangunan rejim yang dia yakini hanya alat untuk menipu dalam kaitannya negara hegemon yang ingin mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri.

Maka, bagi negara berkembang seperti Indonesia, jika hanya memandang –bakal– rejim baru ini sebatas ruang bagi para elit dunia yang menentukan tata ekonomi dunia ke depan adalah ruang untuk mencari efisiensi dan bukan berpegang pada prinsip non diskriminasi, maka penulis yakin Indonesia akan menjadi korban dari pertarungan para raksasa ekonomi dalam ruang yang disebut G-20. Negara-negara berkembang, seharusnya berani bersuara lantang dengan menjadikan rejim ini adalah ruang untuk memperebutkan keadilan dan redistribusi.

G-20 tentu akan menjadi berbeda jika dilihat dari kacamata liberal. G-20 diyakini mampu menolong dunia untuk mengatasi negara-negara yang memiliki pola tingkah laku yang egois, dengan mendorong negara tersebut untuk membatalkan pendapatan terhadap kepentingan nasional mereka, demi keuntungan yang lebih besar, yaitu menciptakan kerjasama yang lebih tahan lama (enduring cooperation).

Proteksionisme AS terhadap sektor ekonominya, dikecam oleh Liberalis karena menghalangi pasar barang dan jasa mereka –khususnya– UE ke AS. Mereka memang mengkritik sistem Anglo-Saxon yang diterapkan di AS terlalu memberi peluang bagi para spekulan ekonomi meraih keuntungan di sector finansial secara instan. Maka, salahsatu butir kesepakatan hasil G-20 di Pittsburg kemarin adalah pemerintah harus menghilangkan praktik pemberian fasilitas bebas pajak (tax havens) pada Maret 2010 atau Negara-negara yang mempertahankan fasilitas itu menghadapi konsekuensi internasional. Pengurang stimulus ekonomi juga diupayakan guna mengembalikan pertumbuhan dunia menjadi tinggi, berkelanjutan, dan seimbang.

Dari G-20 kaum liberalis meyakini ada keuntungan luar biasa yang akan dihasilkan dari forum ekonomi informal ini. Begaimanapun, rejim dalam perspektif liberal ditempatkan dalam posisinya dengan absolute gains. Yaitu, jika tidak ada keuntungan absolute yang bisa diambil dari forum ini, G-8 pasti tidak akan digantikan. Maka, keyakinan kaum liberalis ini sekaligus adalah bentuk pengakuan ‘kegagalan’ terhadap sistem pasar bebas (Anglo-Saxon). Ketika self interest mereka (anggota G-8) tidak bisa memenuhi kebutuhannya dan memerlukan bantuan –khususnya dari BRIC dan negara-negara berkembang berpotensi lainnya, maka G-8 segera mengubah prinsip, norma, aturan, dan proses pengambilan keputusan yang hal itu semua adalah syarat mutlak pembentukan rejim. Maka, dengan mengubah keempat hal tersebut di atas dan ditambahnya jumlah anggota, berarti juga mereka telah mengganti rejim.

Terakhir, penulis ingin mengaitkan G-20 dari perspektif struktural. G-20 adalah ruang antara kekuatan kapitalis dengan negara berkembang. Strukturalis beragumen bahwa negara kapitalis hanya akan ‘menolong’ kelas elit yang berkuasa di negara berkembang tersebut untuk menjadi komprador. Sehingga negara kapitalis akan mendapatkan kekayaan dengan mengeksploitasi negara berkembang tersebut. Yang terjadi adalah jika menggunakan cara pandang ini, krisis ekonomi dunia yang disebabkan oleh gagalnya sistem kapital di AS yang menyebabkan kebangrutan ekonomi negaranya, oleh segelintir orang yang mengambil peluang spekulasi juga harus ditanggung akibatnya oleh negara berkembang seperti Indonesia.

Dengan kata lain, keterlibatan Negara berkembang dalam forum seperti G-20 hanya akan memfasilitasi kepentingan Negara kaya untuk lebih mengeksploitasi sumber daya milik negara berkembang. G-20 adalah ruang kooptasi para elite negara berkembang. Model grotian lebih jauh akan menjelaskan lebih jelas soal ini. Di mana, kehadirannya harus dianaisis sejalan dengan dimensi sosial dan regional yang melingkupinya, proses yang mengawalinya, dan interaksi antar unitnya. Jika hal itu ditelan mentah-mentah saja, karena di dalamnya terdapat bagian paling esensi dari seluruh pola hubungan antar manusia termasuk prilaku dari sistem internasioanal.
Groation, menerima rejim dengan catatan cukup tegas yakni sebuah lesson learn. Misalnya bagaimana PBB dibangun atas dasar pelajaran dari LBB. Begitu juga analogi ini bisa dipakai di sini. G-20 berdiri atas hasil pembelajaran panjang G-8 yang telah dinilai gagal.

Manufer Super Canggih
G-20 yang baru saja ditelurkan lewat KTT di Pittsburg, adalah forum informal untuk tata kelola ekonomi global masa depan. Mengkritisi lahirnya G-20 dari tiga perspektif ilmu HI, akan memberikan gambaran yang lebih komprehensif. Khusus bagi negara berkembang yang masuk G-20, mengambil manufer yang sangat canggih untuk ‘memanfaatkan’ G-20 bisa dilihat seperti dua sisi mata uang, apakah ini sebagai peluang atau ancaman.

Tanpa manufer super canggih, negara berkembang dalam G-20 harus siap dengan resiko terburuk yakni ikut menderita dari sesuatu yang tidak dia perbuat.