Pages

Thursday, July 31, 2008

ST GEORGE TENGAH MALAM

Menyusur jalan St George setapak setelah keluar dari stasiun kereta api Central, Sydney, tiba-tiba anganku terantuk pada sebuah cerita tentang perayaan St. George seperti yang tertuang dalam novel Dracula-nya Bram Stocker. Di sana ditulis, “Ketika jam berbunyi pada tengah malam, semua yang jahat di dunia ini akan bebas merdeka.”
Rupanya, kebiasaan melamun dan mengkhayalkan hal-hal aneh terus saja membayang-bayangiku. Padahal, aku sedang berada di tempat baru. Aku sebagai orang asing di sini. Kuputuskan untuk menahan sejenak langkahku. Aku ingin mengisi isi batok kepala ini dengan hal-hal yang sifatnya nyata, guna menggeser bayang-bayang anganku yang sedang mengingat kembali cerita Dracula. Di tempat baru, seperti pesan Ibuku, haruslah selalu waspada.
Waktu itu senja datang lebih awal. Jam tanganku belum kuatur, jarumnya masih menunjuk angka 1. Padahal jam besar di atas stasiun Central sudah menunjuk angka 5. Kusandarkan punggungku pada salahsatu pilar tua. Kuhirup nafas dalam-dalam. Segar meraja kurasa.
Kuamati pemandangan baru. Lalu-lalang orang-orang yang baru saja pulang dari tempat kerja. Langkahnya panjang-panjang dan bergerak sangat cepat yang seketika mengusik kawanan burung-burung putih yang baru saja berkumpul. Mereka pun terbang berhamburan dan tak lama kemudian mereka berkumpul lagi. Entah apa yang sedang dibicarakan oleh burung-burung putih itu. Barangkali mereka sedang membicarakan aku. Orang asing dan baru di tempat mereka. Jarak kami hanya 2 meter. Kulihat senyum keramahan justru kudapati pada burung-burung putih itu. Kulempar pandangku sepanjang jalan St George. Kulihat di ujung sana banyak sekali pencakar-pencakar langit. Kugambar dan kupotret kota itu tegas dalam benakku.
Di tengah-tengah musim dingin, berlama-lama berdiri justru tidak membuatku merasa nyaman. Angin Benua Kanguru itu mampu menembus celah jaketku. Kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Darling Harbor guna menyelesaikan sebuah pekerjaan.
Setelah menanyakan arah terpendek menuju lokasi, kupacu langkahku bahkan melebihi mereka semua. Aku bukan saja berjalan sangat cepat, namun sudah hampir berlari. Tak terasa, hampir 1,5 kilometer telah kulalui.
Sydney Convention Center (SCC). Itulah gedung megah yang aku cari. Aku tidak langsung masuk ke dalam gedung itu. Aku menyempatkan diri mengisi perut ini di resto pinggir pelabuhan. Kupesan seporsi fish and chips. Kunikmati pemandangan pelabuhan itu sama seperti kunikmati hangatnya kentang goreng dicampur ikan. Kusantap pemandangan sepasang muda-mudi yang sedang larut dalam pergumulan frenchkiss-nya. Seorang perempuan yang hanyut dalam dekapan kekasihnya. Musisi jalanan yang sedang memainkan gitar ditemani topi hitam di bawahnya yang baru saja sedikit terisi oleh beberapa kepingan uang logam. Serta, dekorasi lingkaran partisi air yang membuat air-air itu berkejar-kejaran menuju bola besar di tengah-tengahnya. Semuanya ludes kutelan. Tanpa sempat kukunyah.
Kepada sepasang muda-mudi yang asik dalam pagutan asmaranya, jujur mataku terparkir cukup lama ke arahnya. Ketika kupejamkan kelopaknya, aku seperti melihat diriku sendiri hadir begitu nyata di sana. Tepat di bangku di mana pasangan itu berada sekarang. Yang tergambar di sebelahku adalah dia.
Seseorang yang sedang menjadi bayang-bayangku. Ke mana pun aku pergi ke sana pula ia mengikuti. Seseorang baru dalam hidupku. Yang kepadanyalah logika ini menjadi tak ada gunanya. Aku hanya bisa memanjatkan doa untuk memohon agar suatu saat bisa membawa dia ke tempat ini. Dan yang ingin kulakukan bersamanya adalah hal yang sama seperti yang dibuat oleh kedua pasangan itu.
“Tuhan, apakah itu berlebih?” doaku penuh dalam hati. Aku tahu, Tuhan langsung menjawab. Aku pun tersenyum sendiri. Kuselesaikan makanku, kubayar, dan aku bergegas ke SCC.
Media center berada di hall 2 SCC. Para volunteer sedang sibuk melayani banyaknya wartawan yang baru saja datang dari penjuru dunia. Terpaksa aku rela berjam-jam mengantri untuk kemudian dilayani.
Sepotong informasi akhirnya aku dapatkan. Walau tidak sebanding dengan usahaku mengejarnya, namun aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Mereka saja belum siap dengan pertanyaan-pertanyaanku. Mereka baru akan aktif berkerja besok pagi. Beberapa di antara mereka menyarankan aku untuk datang lagi ke sini besok pagi ketika manajer mereka besok datang. Dan aku mengangguk saja.
Kutinggalkan SCC dan Darling Harbor. Di salah satu ruas jalan menuju jalan St George, kudapati informasi kereta paling akhir tengah malam. Tengah malam itu tenyata tinggal setengah jam lagi. Kupacu langkahku lebih cepat lagi dari tadi sore ketika aku datang ke sini.
Sebenarnya, bukan karena setengah jam itu aku berlari. Namun karena anganku telah kembali dirasuki lagi oleh cerita tentang perayaan St. George dan kata-kata, “Ketika jam berbunyi pada tengah malam, semua yang jahat di dunia ini akan bebas merdeka.”
Sejurus kemudian, kutinggalkan kota dengan kereta menuju Congcord West.
***
Aku tidaklah pergi sendiri melainkan bersama sahabat baruku, Patrick Owen. Dialah yang menunjukkan jalan St George kepadaku. Dan tentu saja untuk dia...
Sydney, 14 Juli 2008

4 comments:

Anonymous said...

Interesting topics could give you more visitors to your site. So Keep up the good work.

Anonymous said...

ih,,,,
pasti khayalan lagi...
kapan c nulis cerita asli,,jangan fiksi mulu..
hahahahahahaha^^

Anonymous said...

Gw iri, wi..

Anonymous said...

apa yang saya cari, terima kasih