Wednesday, February 23, 2011
Sofa Merah Marun
Di dalam ruang tamu apartemen bernomor 10-21 di Holland Avenue tengah hari, kusandarkan kepalaku pada bantal sofa merah marun. Rasa lelah memasungku untuk tidak mengikuti semangatku, tapi menuruti kehedak tubuhku. Kupejamkan mata barang sejenak sebelum meninggalkan negara berlambang kepala singa. Pada tengah hari jelang mataku terpejam, aku baru tersadar kalau hari itu adalah valentine’s day, 14 Februari 2011.
Dalam lelah dan rasa kantuk yang ujug-ujug datang, tidur siangku di atas sofa itu berasa berbeda. Ada sesuatu yang menindihku. Antara sadar atau tidak, nafasku mulai tersengal dan anggota badanku ada yang kaku. Kemudian sekilas aku merasakan sebuah halusinasi, dibawa ke sebuah ruangan gelap dengan orang-orang asing di sekitarku. Aku tidak tahu persis apakah itu efek dari rasa lelah atau memang ada gangguan dari mahluk lain yang mungkin asing terhadapku? Seketika aku bisa mengendalikan keadaan dalam alam bawah sadarku, aku pun terbangun. Kudapati dari cerimin di atas wastafel mukaku yang mulai berkeringat. Aku ke dapur dan meminum segelas air putih. Segera saja, aku merasa lebih bisa menguasai diri. Kuliahat dari jendela apartemen, sepasang pelajar yang masih mengenakan seragam sekolah bermesraan di halte bus kota. Aku mengamati tingkah mereka berdua. Sepertinya keduanya saling mengekspresikan perasaannya masing-masing. Aku pun tak meneruskan lakon sejoli itu, aku tersadar kembali jika hari ini adalah hari kasih sayang. Lalu kuputuskan duduk di sofa merah marun sembari merenung.
Aku menggugat diri sendiri yang rasanya susah mengekspresikan perasaanku sendiri. Ada perasaan iri kepada dua sejoli yang masih hijau di bawah sana. Yang kusesali hanya satu sebenarnya, kasih-sayang, kini lebih sering kupikirkan olehku daripada kurasakan. Aku lebih sering membahasnya daripada merasainya.
Dua hari yang lalu bersama seorang karib di ruang 10-24 ini, kubahas tema ini nyaris tuntas. Kuhabiskan malam dan hanya kusisakan sepotong subuh untuk sekadar memejamkan mata. Kita mendiskusikan cinta, hidup, dan masa depan, menurut sudut pandang dan caranya masing-masing melihat persoalan itu.
Karibku ini adalah orang yang kukenal sekitar sepuluh tahun lalu di Jakata. Dia mengenalkanku dengan sebuah buku berjudul “Theology of the Body” karya Christoper West yang terinspirasi oleh John Paul II tentang revolusi seksual.
“Ada tiga bagian penting dari buku. Pertama, the origin. Kedua the history dan terakhir adalah the ltimates objectives,” katanya.
Lanjutnya;
Awalnya (the origin) manusia diciptakan untuk incomunion (bersatu), maka diciptakanlah Adam dan Hawa
Adalah ketika manusia tergoda untuk memiliki power sama seperti penciptaNya, manusia mulai sadar bahwa dirinya mulai telanjang. The history mengatakan perasaan malu akan dirinya yang telanjang,disebabkan ketika manusia telah mengobjektivikasi orang lain (bukan lagi sebagai manusia yang the origin-nya incomunion). Sejarah manusia menunjukkan bahwa antarsesama manusia saling menjadikan orang lain sebagai objek.
Maka, manusia sebagai citra Allah pun kini memiliki hasrat untuk menguasai manusia lain. Hasrat untuk memiliki kekuasaan inilah yang memisahkan antarmanusia dengan manusia lain. dan the origin (incomunion) harus berahdapan dengan realitas sejarah yang menunjukkan adanya perebuatan kekuasaan.
Di sanalah Sang Pembebas lahir untuk menunjukkan the ultimate objectives. Bagaimana caranya mengembalikan manusia menjadi incomunion satu sama lain? Jawabannya, tentu dengan tidak mengobjektiviakasi tubuh lain..
Menurut perjanjian lama: dosa adalah rusaknya hubungan manusia dengan Allah, maka Sang Pembebas mngatakan dosa adalah rusaknya hubungan anatara sesama manusia. Rusaknya hub antar sesama manusia tak lain karena ada hasrat untuk menguasai tubuh lain. The ultimate objectives sejatinya ingin mengembalikan sejarah dari objektivikasi terhadap yang lain menjadi kembali incomunion
Dunia tanpa mengobjektivikasi yang lain berarti dunia yang equal, sejajar, dengan relasi antarsubjek yg berharga.
Dari sofa merah marun ini aku mulai merasa ada yang salah dalam diriku. Benar juga celotehan karibku. Bisa jadi, selama ini aku tidak meraakan kasih sayang justru karena aku menjadi subjek tunggal dari sebuah hubungan yang seharusn ya memiliki dua subjek. Di salah aku mulai merasa bersalah dengan pasanganku. Dan mulai belajar untuk tidak mengobjektivikasi siapa pun!
--------------------
Ini untukmumu sebagai bentuk pertobatanku secara sadar atas cara berpikir, sikap, dan prilakuku yang kerap mengobjektivikasi tubuh lain.
Sunday, February 6, 2011
Era Ketegangan Moral dan Politik
Tokoh lintas agama membuat pernyataan sikap bersama yang menyatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah melakukan delapan belas kebohongan publik. Pernyataan ini membuat merah telinga orang nomor satu di republik ini. Presiden, langsung mengundang tokoh lintas agama tersebut ke istana untuk melakukan diskusi dan sejumlah klarifikasi bersama dengan tokoh agama yang mendukung program pemerintah selama ini.
Fenomena seruan moral tokoh agama ini kepada presiden menunjukan bahwa dalam politik, tidak pernah bisa dilepaskan dari persoalan moral, termasuk moral agama.
Hubungan antara politik dan moral (berbasis tafsir agama) memiliki sejarah yang cukup panjang. Dalam bukunya Greg Forster yang berjudul “John Locke’s Politics of Moral Consensus” dijelaskan lebih dari setengah abad para liberalis mencoba mengusir urusan moral dari diskursus politik. Namun, usaha untuk mensterilakan politik dari urusan moral justru mendatangkan kontradiksi dan debat mengenai pedasaran argumentasi. Pemerintah yang seharusnya netral dari urusan moral adalah sebuah keharusan tersendiri –preposisi moral. Seluruh kegiatan, termasuk tindakan politik diarahkan oleh skema komitmen normatif dan politik pada akhirnya membawanya kembali kepada aras moral.
Filusuf Jerman kontemporer Jurgen Habermas juga menegaskan hubungan ini. Dalam sebuah jurnal filsafat ia mendeskripsikan bahwa setelah tragedi 9/11 dunia memasuki era post-secularism dimana ruang publik tidak bisa distrilkan dari urusan agama. Usaha pemisahan politik dari agama yang dilakukan oleh negara-negara yang mempromosikan sistem sekuler ternyata harus menerima kenyataan bahwa hal itu tidak bisa dipertahankan. Runtuhnya twin-towers WTC di jantung kapitalisme adalah bukti meledaknya usaha mengandangkan domain agama hanya masuk ke dalam kotak ruang privat. Konsekuensi dari hal ini menimbulkan tantangan-tantangan tersendiri. Bagi kaum sekuler mereka harus siap pasang kuping untuk mendengarkan bahasa politik yang didasarkan pada keyakinan kebenaran atas tafsir satu agama tertentu dalam ruang publik. Sementara bagi orang-orang yang tidak mau memisahkan ruang publik dari keyakinan agamanya juga memiliki tantangan tersendiri yaitu mereka belajar mengartikulasikan keyakinannya di dalam alam demokrasi. Dalam tarik-menarik antara dua tegangan ini dinamika politik sejatinya kini sedang bergeliat membuat wajah barunya.
Kembali pada soal kebohongan. Radhar Panca Dahana (Kompas, 18/1) menulis, seberapa pun cepat kebohongan menyebar (have speed), kebenaran akan menang karena memiliki daya tahan (have endurance). Namun, lanjut Dahana peribahasa tua mengatakan, setengah kebenaran akan menjadi kebohongan sepenuhnya.
Dari hal ini dapat dilihat bahwa dalam politik maupun agama sama-sama membutuhkan daya tahan alias power. Baik agama maupun politik juga sama-sama mencari dukungan. Kontestasi pemenangan argumentasi atas satu isu tertentu berdasar keyakinan masing-masing inilah yang sedang diperebutkan di ruang publik negeri ini. Ketika batu pijakannya berbeda, maka hasilnya pun akan berbeda dan wacana ini akan terus bergulir bak debat kusir.
Sebagai missal, pemerintah beranggapan bahwa ada pertumbuhan ekonomi sampai 5,8 persen pada tahun 2010, sementara tokoh lintas agama melihat pertumbuhan ekonomi itu tidak dirasakan secara riil di masyarakat. Perbedaan cara pandang dan alat analisisnya inilah yang seharusnya yang dikedepankan dalam diskusi antara pemerintah maupun tokoh agama. Berapa sejatinya angka kemiskinan? Jika menurut Badan Pusat Statistik adalah Rp. 211.000,- per orang per bulan apakah itu sudah sesuai dengan tingkat kebutuhan penduduk dan laju inflasi?
Kekuatan rasionalitas dan konsensuslah yang seharusnya menjadi hakimnya. Kemampuan pers dalam mengawal debat yang seharusnya rasional ini juga menjadi kunci keberhasilannya. Bagaimana pun demokrasi yang baik membutuhkan pers yang juga baik.
Subscribe to:
Posts (Atom)