Daniel
Awigra[2]
“A New Hope”. Begitulah cuplikan kata-kata
bernada optimistis dalam headline
majalah Time edisi 27 Oktober 2014 dengan wajah Joko Widodo sebagai sampul. Dalam
liputan pada hari pelantikan Jokowi, Time menulis terdapat lima tantangan yang
akan dihadapi pemerintahan Jokowi; kesemerawutan politik, perlambatan ekonomi,
ekstrimisme agama, birokrasi kotor dan rasisme.[3]
Dua
dari lima tantangan Jokowi versi Majalah Time yaitu ekstrimisme agama dan
rasisme adalah isu pluralisme. Dua tantangan tersebut terkonfirmasi menjadi
satu bentuk di lapangan; ekstrimisme agama bercampur sentimen ras. Lagi-lagi,
Front Pembela Islam (FPI) menjadi contohnya. Mereka menentang rencana
pelantikan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok karena
latarbelakang sosialnya; Tionghoa dan Kristen. Pada 3 Oktober yang lalu FPI
kembali melakukan aksi dengan kekerasan yang mengakibatkan empat polisi jadi
korban lemparan batu, kotoran hewan, dan beling.[4]
Tak tinggal diam, Ahok pun mengirimkan surat rekomendasi kepada Kemenkumham dan
Kemendagri untuk membubarkan FPI.
Dalam riuh
politik semacam ini, bagaimana seharusnya media bersikap terhadap isu-isu
pluralisme khususnya pada era kepemimpinan Jokowi, yang publik banyak harapkan?
Tulisan ini, akan berangkat dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh Serikat
Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) terhadap media-media dalam memberitakan isu
pluralisme, selanjutnya mendiskusikan peran apa saja yang seharusnya diambil
oleh media.
Pemantauan
Melalui
pemantauan, tercermin sejauh mana perubahan media massa di Indonesia, sebagai
negara yang menganut sistem demokrasi dan falsafah Bhinneka Tunggal Ika, dalam
upayanya ikut membangun praktik jurnalisme keberagaman, yang merupakan bagian
tak terpisahkan dari jurnalisme damai. Karena itu kegiatan ini hendak menjawab
pertanyaan penting terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan, apakah secara
umum media di Indonesia mendukung, masih tidak peduli, atau malah makin
menentang semangat keberagaman dan prinsip pluralisme?
Berdasarkan
pemantauan yang dilakukan SEJUK sejak 2008 maka jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan di atas dapat disimpulkan bahwa masih banyak sekali media
nasional yang cenderung antikeberagaman. Hal tersebut teridentifikasi mulai
dari penggunaan diksi, pemilihan narasumber, pembuatan judul, sampai pada isi
berita yang memojokkan para korban dan kalangan minoritas agama dan
keyakinan.
Banyak
media memilih narasumber-narasumber intoleran yang menyudutkan korban atau
aparat-aparat yang diskriminatif, tidak tunduk pada jaminan konstitusi dan
instrumen HAM yang mewajibkan negara menghormati, melindungi dan memenuhi
hak-hak dan kebebasan setiap warga negara untuk beragama, berkeyakinan,
beribadah dan mendirikan rumah ibadah. Dalam pemberitaannya, bahkan, media
tidak memberikan ruang sama sekali kepada para korban.
Kecenderungan
media untuk mendiskreditkan korban dan kelompok minoritas agama dan keyakinan
juga tampak dari pembuatan judul berita. Sehingga, selama ini masih banyak pemberitaan
media-media yang lebih mengikuti dan mengamini opini mayoritas ataupun paham
keagamaan mainstream. Sebab, ketika membuat berita tidak mudah bagi media dan
jurnalisnya untuk berjarak dari keyakinan keagamaan yang dianutnya.
Fakta-fakta
tersebut dikuatkan pula dengan laporan atau informasi pemberitaan media tentang
keberagaman yang masuk ke SEJUK dari para korban dan kalangan agama atau
keyakinan non-mainstream serta jaringan aktivis HAM KBB. Mereka juga
menyampaikan laporan dan pandangan umum tahunan dalam Refleksi & Proyeksi
Media dan Keberagaman yang digelar SEJUK setiap akhir tahun (2012 dan 2013).
Pemantauan
SEJUK 2013 mengambil tema Wajah Jurnalisme Keberagaman di Indonesia: Monitoring
Pemberitaan Media seputar Ahmadiyah, Syiah, dan Gereja. Alasan memilih tiga
kelompok tersebut adalah ketiganya terus-menerus menghadapi berbagai persoalan
diskriminasi, intoleransi dan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Jika
mengacu pada laporan tahunan kebebasan beragama dan berkeyakinan The Wahid
Institute dan Setara Institute, pemicu langgengnya persoalan yang menimpa
Ahmadiyah, Syiah, dan gereja adalah: pertama, regulasi yang diskriminatif dan
restriktif seperti UU No. 1 PNPS 1965, Perber tentang pendirian rumah ibadah
(2006), dan SKB tentang pelarangan aktivitas Ahmadiyah (2008), yang turunannya
adalah berbagai kebijakan dan tindakan aparat negara yang merampas hak-hak
beragama dan berkeyakinan warga negaranya. Kedua, meningkatnya intoleransi
beragama di kalangan masyarakat, yang secara sistematis di-“dakwah”-kan melalui
pendidikan dan lembaga-lembaga keagamaan, terutama MUI melalui fatwa-fatwa
“sesat”.
Sehingga,
peta kecenderungan media massa dalam memberitakan keberagaman pada isu HAM KBB
dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana pers di Indonesia menjalankan fungsi
“kontrol” terhadap kewajiban negara dalam memenuhi hak-hak dan kebebasan dasar
setiap warga negara untuk beragama dan berkeyakinan. Sejauh mana pula media
mengambil peran “edukasi” untuk mendorong toleransi dan semangat menghargai
keberagaman di tengah masyarakat yang semakin intoleran. Pemantauan ini
bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh perubahan-perubahan positif atau
negatif media massa di Indonesia, baik nasional maupun lokal (daerah), dalam
memberitakan isu keberagaman, melaui indikator-indikator yang lebih terukur dan
dengan lebih banyak media yang tercakup di dalamnya.
Sepanjang
2013 isu Ahmadiyah, Syiah, dan gereja cukup ramai diberitakan media. Ketakutan
untuk memberitakan isu HAM KBB karena anggapan sensitif sudah makin tersingkir,
terutama jika menyaksikan pemberitaan di media-media nasional. Kendati belum
konsisten, peran sebagai anjing pengawas kekuasaan pemerintah yang melanggar
HAM mulai dimainkan media-media nasional. Hal tersebut tampak dari banyaknya
pemberitaan media yang mengkritisi kegagalan pemerintahan SBY dalam menjaga dan
melindungi keberagaman. Begitupun kontrol media terhadap aparat negara atas
tindakan diskriminatif terkait penyegelan dan pembongkaran gereja serta
kriminalisasi pendeta HKBP Filadelfia. Media-media besar kembali melakukan hal
yang sama.
Inkonsistensi
media yang ditemukan dalam pemantauan lebih berupa pola yang berulang terkait
pemberitaan mengenai Ahmadiyah, Syiah, dan gereja yang peristiwanya kebanyakan
terjadi di daerah dan diberitakan oleh jurnalis daerah. Selain itu, nada
negatif pemberitaan karena absennya fungsi kontrol dan pendidikan masih banyak
ditemukan pada media online.
Pertanyaannya,
jika berasal dari daerah, mengapa pada media-media yang tampak sekali
menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan semangat keberagaman di tingkat
editing masih meloloskan berita yang negatif? Apakah semata karena kelalaian,
tuntutan kecepatan (pada media online), ataukah jurnalis dan editor yang
bertanggung jawab memuat berita-berita negatif itu masih belum bisa memisahkan
kerja-kerja jurnalistik dengan sentimen keyakinan yang dianutnya?
Media Cermin Realitas
Media
cermin dari realitas sebuah masyarakat. Pada masyarakat yang demokrasinya
dewasa, tingkat kematangan berpandangan, bersikap dan bertindak tergambar dalam
berbagai informasi, berita, dan ragam tayangan yang tampil di media mereka.
Begitupun sebaliknya, media menjadi corong kepentingan penguasa atau
pihak-pihak dominan dalam masyarakat yang tidak demokratis.
Namun
begitu, era demokrasi yang menyaratkan kebebasan pers bukan sekadar
memposisikan media sebagai cermin pasif yang begitu saja merepresentasikan
wajah suatu masyarakat. Ia adalah medium, ruang, yang mampu merekayasa wajah
masyarakat menjadi lebih sehat atau sebaliknya.
“The media's the most powerful entity on
earth. They have the power to make the innocent guilty and to make the guilty
innocent, and that's power. Because they control the minds of the masses,”
demikian Malcolm X, pejuang kesetaraan dan keadilan kulit hitam Amerika,
mengingatkan betapa berkuasanya media massa.
Karena
itulah dalam proses panjang mengkonsolidasikan demokrasi, Indonesia sangat
membutuhkan peran media yang mengedukasi masyarakat agar bangsa ini menjadi
lebih beradab dan bermartabat. Kontribusi besar media sangat diharapkan
terutama dalam pemberitaan yang berkaitan dengan persoalan-persoalan agama dan
etnis. Sebab, agama dan etnis masih menjadi faktor paling penting yang
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan, beberapa
survey yang mencoba memotret persepsi dan sikap keagamaan menunjukkan bahwa
masyarakat Indonesia semakin konservatif.
Demokrasi Substansial
Pada
pemerintahan Jokowi, perjuangannya harus masuk pada tataran demokrasi yang
lebih substansial. Tantangan bagi masyarakat sipil adalah bagaimana memenangkan
demokrasi untuk memberikan jaminan pemenuhan HAM, khusunya pada mereka yang terpinggirkan
hak-haknya, korban, dan sejumlah kelopok rentan.
Demokrasi
juga berhadapan dengan tantangan tirani mayoritas dan korupsi. Tirani mayoritas
mewujud dalam pemanfaatkan ruang keterbukaan dalam demokrasi untuk memenangkan
kepentingan mereka yang menganggap dirinya kelompok mayoritas. Di titik inilah
HAM diperlukan untuk menyediakan berbagai prinsip, norma-norma universal, serta
mekanisme dan sistem hukum untuk memastikkan bahwa di dalam demokrasi, tidak diperbolehkan
satu orang pun yang terdiskriminasi dan menjadi korban karena latar belakang atau
status sosialnya.
Peran bersama
yang bisa diambil insan pers dan lembaga payung adalah membangun sistem etik
dan operasional dengan menyusun Panduan Meliput Keberagaman, yang SEJUK
terlibat di dalamnya, penting juga untuk menciptakan sistem terpadu di internal
masing-masing media, dari tingkat jurnalis lapangan, editor (newsroom), dan pimpinan redaksi, untuk
secara rutin mengadakan “pembekalan” maupun mainstreaming
HAM KBB melalui workshop dalam rangka mengembangkan komitmen keberagaman dalam
pemberitaan.
Kerjasama
dengan para ahli hukum, aktivis pendamping, dan korban atau kelompok minoritas
dalam konteks HAM KBB dapat dilakukan dalam kegiatan-kegiatan pembelaan hak-hak
korban. [ ]
[1]
Tulisan ini digunakan sebagai pengantar diskusi “Pluralisme, Hak Minoritas, dan
Kebebasan Berekspresi di Media” yang diselenggarakan oleh Koalisi Independen
untuk Demokratisasi Penyiaran (KIPD) dan Yayasan Tifa, Selasa, 2 Desember 2014
di Jakarta.
[2]
Salah satu pendiri Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK)
No comments:
Post a Comment