Tarik-menarik antarkepentingan politik, eknomi dan budaya dalam alam demokrasi sejak Reformasi 1998 telah menghidupkan dinamika sosial yang terus menuntut tantangan baru, salah satunya adalah penyelesaian berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Tulisan singkat ini ingin menjawab beberapa pertanyaan berikut; mengapa demokrasi di Indonesia belum mampu memberi jaminan bagi pemajuan HAM di tanah air? Apa persoalannya? Dan bagaimana tantangan bagi aktivis di Indonesia untuk memajukan HAM dan demokrasi dalam konteks dunia yang terus berkembang?
Persoalan HAM Aktual
Kasus peringatan tujuh tahun dibunuhnya Munir[1] dan vonis ringan para pembunuh tiga jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, setidaknya bisa menjadi cermin yang mampu memantulkan wajah penegakkan hukum dan pemajuan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Dua kasus tersebut menggambarkan bagaimana sikap pemerintah Indonesia yang tidak menganggap serius persoalan penegakkan HAM dan justru menjadi pelanggar HAM dengan melakukan pembiaran.
Pada 7 September lalu, sejumlah aktivis HAM memperingati tujuh tahun dibunuhnya Munir dengan menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan mengusut tuntas persoalan ini. Kasus Munir yang sudah tujuh tahun dijanjikan untuk bisa diungkap secara tuntas, mendeg di tingkat eksekutif yang awalnya mengaku memiliki kehendak politik untuk menyelesaikan kasus ini, namun kini berlindung di balik alasan tidak mau mengintervensi kasus hukum.
Presiden SBY melalui juru bicaranya Julian Aldrin Pasha justru memandang, kasus Munir adalah kasus kriminal biasa. Sementara, Jaksa Agung Basrief Arief menyatakan kasus Munir telah selesai.[2] Pihak istana ingin mengail di air keruh. Politik pencitraan dihembuskan “memanfaatkan” berbarengan dengan momentum 7 tahun dibunuhnya Munir. Pemerintah, membanggakan diri mengaku Pemerintah SBY berprestasi karena selama kepemimpinannya, tidak ada pelanggaran HAM berat yang terjadi.
Pernyataan pihak istana ini sebenarnya mudah saja disangkal. Pelanggaran HAM yang terjadi dewasa ini berbeda dengan apa yang terjadi pada masa Orde Baru. Tragedi kemanusiaan terjadi di Cikeusik Banten pada Minggu pagi, 6 Februari 2011 ketika ratusan massa melakukan penyerangan, pengeroyokan dan penganiayaan terhadap jemaah Ahmadiyah yang pada akhirnya menewaskan 3 orang. Padahal, polisi (sebagai aparat negara) telah mengetahui adanya rencana penyerangan tersebut dan tidak berbuat apa-apa!
Celakanya, Deden Sudjana warga Ahmadiyah yang juga korban malah divonis 6 bulan penjara. Sementara, 12 pelaku pembunuhan, pengeroyokan dan penganiayaan hanya divonis ringan antara 3 sampai 6 bulan penjara. Vonis kasus Cikeusik bagi anggota Ahmadiyah dan warga dunia telah mencederai rasa keadilan.
Berbagai perlakuan diskriminatif negara terhadap jemaah Ahmadiyah terjadi di seluruh Indonesia. Di Nusa Tenggara Barat misalnya, pada 1 Desember 2010 warga Ahmadiyah diusir paksa dari tempat tinggalnya oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam, sementara pemerintah daerah dan polisi setempat tidak menindak pelaku pengusiran. Padahal, mereka telah merusak 20 dan membakar 1 rumah dan memaksa jemaah Ahmadiyah tetap tinggal di tempat pengungsian Transito di Mataram. Pengusiran pertama dengan kekerasan terjadi pada 4 Februari 2006. Kini, 133 warga Ahmadiyah yang menempati Transito telah menjadi pengungsi di negeranya sendiri!
Politik Pembiaran
Fakta-fakta di atas menunjukkan, pemerintah secara faktual melindungi pelaku kekerasan dengan melakukan politik pembiaran. Inilah persoalan dan tantangan aktual yang harus dihadapi oleh rakyat Indonesia saat ini, di mana negara kalah terhadap pelaku kekerasan. Mirisnya, menurut Wikileaks, pelaku-pelaku kekerasan seperti Front Pembela Islam (FPI) justru dibentuk dan didanai oleh petinggi polisi dan intelijen Indonesia.[3]
Majelis keagamaan dalam banyak kasus terlibat secara tidak langsung dalam kekerasan agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) misalnya, pada tahun 2005 mengeluarkan fatwa menyesatkan Ahmadiyah dan mengharamkan sekularisme, liberalisme, dan pluralisme turut menjadi pemantik bagi makin massif dan eksesifnya gairah intoleransi di negeri ini. Maka, tidak mengherankan jika laporan tahunan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilansir The Wahid Institute dan Setara Institute sejak 2007 sampai 2010 mengonfirmasi mengerasnya kecenderungan intoleransi, diskriminasi, serta kekerasan yang berbasis etnis dan, terutama, agama yang dari tahun ke tahun makin meminggirkan kelompok-kelompok minoritas yang memiliki keyakinan, kepercayaan, pendapat, ekspresi, dan orientasi seksual yang berbeda.
Lebih ironis lagi, pemerintah tidak jarang memenjarakan warganya yang dianggap meresahkan masyarakat karena dituduh “sesat“ dan menodai pokok-pokok ajaran agama mainstream. Ini bukan saja tidak adil tetapi juga merupakan kejahatan kemanusiaan. Sebab, di samping negara telah melakukan pembiaran (crime by ommission) terhadap pelbagai tindak kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh warga atau kelompok agama tertentu, juga membuat pelanggaran langsung (crime by commission) karena membatasi, melarang, dan memenjarakan setiap warga atau kelompok yang dianggap sesat oleh kelompok agama mainstream. Begitupun negara secara nyata tidak sekadar memberikan dukungan dan pembenaran kepada otoritas non-pemerintah dalam menciptakan fatwa-fatwa yang intoleran dan diskriminatif, sebagaimana diproduksi MUI atas penyesatannya terhadap warga dan kelompok-kelompok keagamaan tertentu, tetapi, dalam beberapa kasus, juga mengadopsinya untuk dijadikan sebagai kebijakan dan regulasi.
Fakta-fakta di atas sangatlah memprihatinkan. Sebab, dengan mengatasnamakan agama ataupun alasan memurnikan pokok-pokok ajaran agama, kelompok mainstream dan atau pemerintah bisa sangat semena-mena melakukan pelbagai cara untuk tidak saja memasung dan memberangus paham keagamaan dan kepercayaan yang oleh mereka dianggap menyimpang atau ”sesat,” tetapi juga mengebiri ekspresi-ekspresi kebudayaan yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan yang dianut mereka. Maka, tidaklah mengherankan apabila kalangan agama mainstream semakin leluasa melakukan perusakan dan penyerangan rumah ibadah maupun simbol-simbol keagamaan dari kelompok minoritas. Mereka juga tidak segan menyerang dan mengusir Jemaah Ahmadiyah Indonesia ataupun kelompok-kelompok keagamaan lainnya yang dituduh “sesat”; melarang tari Jaipong karena dinilai bertentangan dengan norma atau nilai-nilai Islam; berencana membumihanguskan komunitas Suku Dayak Losarang, Indramayu; melarang dan menggagalkan aktivitas-aktivitas yang dilakukan kalangan gay dan waria (di Tasikmalaya, Surabaya, Depok, dan yang paling mutakhir di Makassar, 1 Desember 2010). Dari kasus-kasus tersebut, tidak jarang pemerintah terlibat aktif merampas hak-hak warganya.
Yang pasti, segala jenis tindakan yang dapat mengakibatkan hilangnya hak-hak dasar seseorang atau sekelompok orang untuk memperoleh kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) yang berat. Bagaimanapun, terutama hak untuk beragama dan berkeyakinan adalah non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak dapat ditunda atau ditangguhkan pemenuhannya. Hak dan kebebasan tersebut mendapat jaminan pemenuhannya pada konstitusi (amandemen UUD 1945 Pasal 28E ayat 1 dan 2, Pasal 28I ayat 1, dan Pasal 29 ayat 2) dan Pasal 18 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR 1966) yang sudah diratifikasi, termasuk juga pasal 20, 26, dan 27, serta Deklarasi PBB 1981 tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama atau Keyakinan.
Peristiwa 7 September lalu dan banyak peristiwa pelanggaran HAM lain menjadi sangkalan langsung atas pernyataan pihak istana bahwa selama kepemimpinan SBY tidaklah terjadi pelanggaran HAM berat. Meski berbagai fakta tersebut bisa menjadi semacam awan kelabu bagi masa depan pengungkapan kasus pelanggaran HAM lain yang rentang waktunya jauh lebih lama dari pada kasus Munir, sebut saja kasus Trisakti, Tanjung Priok, Talangsari, Malari, G-30S, dan sebagainya, namun bukan berarti bahwa tidak ada harapan atau celah yang bisa digunakan untuk memajukan HAM di Indonesia.
Pemajuan Demokrasi
Demokrasi dan HAM kerap mengasumsikan dan menempatkan dua hal ini dalam satu persoalan yang sama. Dukungan terhadap penghormatan HAM, disatukan dalam satu paket dukungan pemajuan demokrasi.[4] Padahal secara prinsip, aturan mainnya dan prakteknnya berbeda.
Secara konseptual, pada dasarnya HAM adalah bagian dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi dan HAM berbagai sebuah komitemen bersama untuk sebuah politik bermartabat yang ideal untuk semua. Selain itu, untuk melaksanakan prinsip-prinsip HAM diperlukan pemerintahan demokrasi. Demokrasi berkontribusi untuk merealisasikan HAM. Meski di mana demokrasi dan HAM tidak berkonflik secara langsung, mereka sering menuju ke arah yang berbeda.[5]
Bahkan dapat dikatakan bahwa munculnya paham negara demokrasi liberal adalah untuk menjaga adanya eksistensi penghormatan HAM. Sementara dalam tataran praksis hubungan yang serupa pun terbentuk dalam hubungan internasional. Promosi terhadap HAM dikemas dalam paket bantuan pembangunan (development aid) yang program, pemajuan demokrasi. Paket tersebut diberikan dengan indikator yang berbeda-beda, namun pada dasarnya, indikator tersebut menggunakan prinsip yang sama, yakni kasus pelanggaran HAM sebagai salah satu penentu tingkat demokrasi suatu negara. Dalam hal ini, hubungan yang terlihat antara HAM dan demokrasi adalah hubungan interdependent, di mana penghormatan HAM akan mungkin terjadi apabila negara yang bersangkutan menggunakan paham demokrasi. Begitu pula sebaliknya, negara yang demokratis akan jauh lebih memperhatikan masalah-masalah HAM dibanding negara yang tidak demokratis.
Mendukung proses demokrasi dalam hal ini dengan lebih banyak melibatkan publik mengontrol dan mempersoalkan kerja pemerintah, tentu akan mengurangi resiko terjadinya tindak pelanggaran HAM. Karena, demokrasi tanpa kontrol publik adalah “bencana” dalam bentuk lain.
Advokasi Internasional
Selain terus mengusahakan pemajuan demokrasi melalui pelibatan public dalam setiap pengambilan keputusan public dan pengawasan kerja pemerintah, advokasi pada level internasional sebaiknya terus digalakkan, mengingat Indonesia telah meratifikasi sejumlah konvensi internasional HAM, baik kovenan hak sipil dan politik, serta hak ekonomi, sosial dan budaya.
Tekanan dunia internasional, terutama dari negara-negara yang sudah memilki komitmen tinggi terhadap HAM terbukti efektif menjerat penjahat HAM. Tertangkapnya Presiden Chile, Augusto Pinochet di Inggris setelah menjalani perawatan medis pada 1998. Penangkapan ini, didorong oleh Pemerintah Spanyol yang menuduh Pinochet melakukan pembunuhan terhadap 7 warga Spanyol selama Pinochet berkuasa. Mekanisme International Criminal Court juga efektif menjerat Slobodan Milosevic.
Peluang lain dating dari dinamika reginalisme di kawasan Asia Tenggara. ASEAN juga kini menempatkan HAM sebagai salah satu isu yang akan didorong selain tiga pilarnya yang disepakati yaitu kerjasama ekonomi, budaya, dan keamanan. Indonesia yang kini mendapat giliran menjadi ketua ASEAN, belum (baca: tidak) memilki prestasi pemajuan HAM di tanah air. Posisi yang strategis ini tidak dimanfaatkan karena ketiadaan kemauan politik untuk memajukan HAM.
Selain itu, hambatan pemajuan HAM di ASEAN datang dari ASEAN Charter sendiri yaitu prinsip non intervention. Padahal, pelanggaran HAM dan iklim antidemokrasi masih menjadi penyakit sebagian besar negara anggota ASEAN. Berbagai kasus kekerasan atasnama agama di Indonesia, tindakan represeif pemerintahan junta militer Burma, tidak adanya kebebasan pers dan demokrasi di Malaysia dan Vietnam adalah agenda strategis yang harus segera diselesaikan. Maka, kerjasama bilateral antarnegara anggota ASEAN yang memiliki komitmen terhadap pemajuan HAM sangat strategis dilaksanakan.
Dengan kata lain, advokasi pada level internasional bisa dilakukan dengan dua pendekatan sekaligus; multilateral dan bilateral untuk saling melengkapi. Memahami mekanisme HAM regional dan internasional menjadi sebuah keniscayaan bagi setiap aktivis dan penegak hukum di tanah air.
[1] Alm. Munir Said Thalib, meninggal di pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan dari Jakara ke Belanda pada 7 September 2004. Berdasarkan hasil otopsi yang dilakukan pihak berwenang Belanda ditemukan bahwa Munir diracun dengan arsenik.
[3] http://nasional.kompas.com/read/2011/09/06/15024812/Sutanto.Enggak.Benar.yang.Gitugituan.Lah
[4] Hampir setiap tahunnya, pemerintah AS menyiapkan dana sebesar USD 700 juta yang sebagian besar disalurkan ke Centre or Democracy and Governance. Guilhot, Nicholas, The Democracy Makers; Human Rights and International Order, Columbia University Press, 2005, hal. 2-4
[5] Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, 2003, hal. 191